Anda di halaman 1dari 47

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA USIA 5 BULAN DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL

Oleh:
Muhammad Afif G99162126

Periode: 12 – 13 Februari 2018

Pembimbing:
Suwardi, dr., Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Referensi artikel dengan judul :

“SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA USIA 5 BULAN DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL"


Hari, tanggal :Rabu, 13 Februari 2018

Oleh:

Muhammad Afif G 99162121

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel Residen pembimbing

dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA dr.Anton Sutopo


NIP. 19630127 198611 1 002

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
I. Identitas pasien
Nama : An. Al
Umur : 22 Hari
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 0140xxxx
Alamat : Ngawi
Agama : Islam
Berat Badan : 2800 Kg
Tinggi Badan : 44 cm
MRS : 31 Januari 2018
Tanggal Periksa : 12 Februari 2018

II. Keluhan Utama


Muntah hijau

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan konsulan dari TS Anak. Lima hari SMRS, ibu
pasien mengeluhkan pasien yang muntah kehijauan, muntah sebanyak 5
kali sehari, dengan volume sebanyak 4–5 sendok makan. Tiap muntah
pasien selalu diberi susu asi namun setelah itu dimuntahkan lagi. Muntah
berwarna hijau, lendir (-), darah (-), demam (-), kejang (-), sekujur badan
kuning (-), sesak (-), batuk (-), BAB hanya 1 kali setelah lahir,
konsistensi lembek. Pasien lalu dibawa ke RSUD ngawi (NICU) dan
dilakukan foto babygram, pemeriksaan darah lengkap, dan diberikan obat
injeksi serta dirujuk ke RSDM. Hasil foto babygram menunjukan dilatasi
gastro dengan gas minimal pada bagian distal, kesan double bubble

3
(atresia duodenum), triple bubble (atresia jejunum). Pasien lalu dibawa
ke RSUD Dr. Moewardi

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit serupa : (+) 5 hari sekali sejak lahir
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat pijat perut : disangkal

V. Status Ibu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat jantung : disangkal

VI. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

VII. Riwayat Kelahiran


Pasien lahir pada tanggal 26 Januari 2018 dari ibu berusia 36 tahun
G1P1A0, lahir dengan persalinan normal dibantu oleh bidandengan umur
kehamilan 36 minggu. Bayi menangis kuat (+), nafas spontan (+),
ketuban jernih, tidak berbau, berat badan lahir 2800 gram, panjang badan
44 cm. Tidak ada penyulit persalinan.

4
VIII. Riwayat Kehamilan dan ANC
Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal
Riwayat ANC : pasien rutin kontrol kehamilan di bidan

II. PEMERIKSAAN FISIK


3. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, BB: 4.5 Kg, PB: 58 cm
2. Kesadaran : Composmentis
3. Vital sign :
TD : 100/70 mmHg
N : 158 x/menit, regular
RR : 30 x/menit
T : 36,7oC
SiO2 : 99%

4. General Survey
a. Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : mesocephal
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya
(+/+), cekung (-/-)
d. Telinga : sekret (-/-), low set ear (_)
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (+), sekret (-/-),
darah (-/-)
f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
h. Thorak : normochest, retraksi (-)

5
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
k. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada, distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Perkusi : pekak
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-), defans muscular (-),
undulasi (-), hepatomegaly (-), splenomegali (-)
l. Ekstremitas : CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis (+/+)

Akral dingin Oedema


- - - -
- - - -

m. Rectal toucher : TMSA (+), ampula longgar, mukosa licin, tidak


terdapat massa, feces (+) sarung tangan lendir
darah (-)

6
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah (06 Februari 2018) di RS Dr. Moewardi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 31.7 g/dl 14.0 - 17.5
Hematokrit 41 % 33 - 45
Leukosit 10.9 ribu/µl 4.5 - 14.5
Trombosit 390 ribu/µl 150 - 450
Eritrosit 4.06 juta/µl 3.80 - 5.80
Golongan B
Darah
HEMOSTASIS
PT 13 Detik 10.0 – 15.0
APTT 42.3 detik 20.0 - 40.0
INR 1.040 -
KIMIA KLINIK
GDS 75 mg/dl 60 - 100
Creatinin 0.6 mg/dl 0.5 – 1.0
Ureum 36 Mg/dl < 48
SGOT 21
SGPT 6
ELEKTROLIT
Natrium 142 mmol/L 132 – 145
darah
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.6 - 5.1
Chlorida 110 mmol/L 1. –
darah 106
Kalsium ion 1.06 Mmol/L 1.17-1.29
INDEX ERITROSIT
MCV 101.5 /µm 80-96

7
MCH 36 Pg 28-33
MCHC 35.4 g/dl 33-36
RDW 13.8 % 11.6-14.6
HDW - g/dl -
MPV 9.5 fl 7.2-11.1
PDW 19 % 25-65
Large plt - ribu/µl -
HITUNG JENIS
Eosinofil 1 % 0-4
Basofil 0.6 % 0-1
Netrofil 69.80 % 18-74
Granulosit - % -
Limfosit 18.0 % 60-66
Monosit 11.1 % 0-6
AMC - % -
Mono,Eos,Ba - % -
s

8
2. Foto Abdomen 3 Posisi (06 Februari 2018) di RS Dr. Moewardi

Kesimpulan:
kesan : double bubble (atresia duodenum)

IV. ASSESSMENT
Suspek atresia duodeni dd stenosis duodeni

V. PLANNING
1. Perbaikan KU
2. Pro laparotomi

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi dan Embriologi Duodenum
A. Embriologi Duodenum
Duodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian
sefalik dari usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di
sebela distal pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum
mengambil bentuk seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini
bersamaan tumbuh dengan kaput pankreas, menyebabkan duodenum
membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga
abdomen. Duodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan,
dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritoneum
yang ada di dekatnya. Kedua lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan
duodenum serta kaput pankreas terfiksasi di retroperitoneal.
Mesoduodenum dorsal menghilang kecuali di daerah pilorus dengan
sebagian kecil duodenum yang tetap intraperitoneal. Selama bulan ke dua,
lumen duodenum tersumbat oleh proliferasi sel di dinding lumen, dan akan
rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus depan akan dialiri pembuluh darah
cabang arteri sefalika dan usus tengah oleh cabang dari arteri mesenterika
superior.

B. Anatomi Duodenum
Panjang dari duodenum ± 25-30 cm, dimulai dari akhir
pylorus lambung, disebelah kanan tulang belakang pada vertebra lumbal 1,
kemudian membentuk C-shaped curve mengelilingi kaput pankreas dan
akhirnya berhubungan dengan yeyunum disebelah kiri vertebra lumbal 2.
Duodenum merupakan bagian paling proksimal, paling lebar, paling
pendek, dan paling sedikit pergerakannya dari bagian usus halus lainnya.
Duodenum dibagi menjadi 4 bagian:

 Bagian pertama / superior / bulbus duodeni / duodenal cap / D1

10
 Bagian kedua / vertikal / descenden/ D2
 Bagian ketiga / horizontal / tranversal/ D3
 Bagian keempat / obliq / ascending / D4

1. Duodenal cap
1. Duodenal cap bebas bergerak dan ditutupi oleh peritoneum kecuali jika
terdapat ulkus duodenum. Bagian ini mempunyai cekungan mukosal
longitudinal sementara bagian lain hanya cekungan transversal. Lapisan
anterior dan posterior dari peritoneum yang meliputi bagian atas dari
duodenal cap akan melanjutkan diri menjadi ligamentum
hepatoduodenale , yang berisi Portal Triad ( duktus koledokus , arteri
hepatika dan vena porta). Tepi anterior dari foramen Winslowi terbentuk
oleh karena adanya tepi bebas dari ligamentum ini. Tepat diatas duodenal
cap terdapat kantong empedu dan hepar segmen empat. Dibawah dan
dibelakang dari duodenal cap adalah caput pankreas.
Piloroplasti dan reseksi gastroduodenal menjadi lebih mudah jika
pilorus dan duodenum di mobilisasikan kearah depan didalam kavum
abdomen dengan manuver Kocher. Karena kedekatan duodenum superior
dengan kandung empedu dapat menjelaskan adanya batu empedu yang
sering secara spontan masuk kedalam duodenum melalui
kolesistoduodenal fistula. Selanjutnya peritoneum hanya melapisi bagian
ventral dari duodenum sepanjang 2,5 cm berikutnya.

2. Bagian kedua
2. Bagian kedua dari duodenum adalah retroperitoneal dan terfiksir
karena adanya fusi dari peritoneum visceral disebelah lateral peritoneum
perietale lateral dinding abdomen.
Dengan membuka peritoneum pada sisi lateral kanan (manuver
Kocher), dapat memobilisasi duodenum desending sehingga dapat
mencapai retroduodenal dan saluran empedu intrapankreatik. Disebelah

11
belakang dari bagian kedua duodenum ini terletak ginjal kanan dan
struktur hilusnya, kelenjar adrenal dan vena cava. Tepat dipertengahan
duodenum, mesokolon akan melintang secara horizontal, karena
bersatunya peritoneum dari arah atas dan arah bawah.

Diatas dari fleksura duodenalis, duodenum bagian pertama dan


duodenum bagian kedua akan membentuk sudut yang tajam dan berlanjut
berkisar 7-8 cm dibawah fleksura duodenalis. Kolon tranversum akan
melintang daerah tersebut di sebelah depannya.

Untuk memobilisasi duodenum secara menyeluruh yang harus


dilakukan adalah membuka fleksura hepatis pada sisi anteromedial kolon.
Kurang lebih pertengahan dari bagian kedua duodenum dinding
posteromedial adalah papila vateri, yang terdiri atas gabungan antar
duktus koledokus dan duktus pankreatikus Wirsungi. Letak dari duktus
pankreatikus Santorini lebih proksimal. Cabang superior
pankreatikoduodenal yang berasal dari arteri gastroduodenalis, berjalan
didalam cekungan antara kaput pankreas dan duodenum bagian
kedua atau desending.

3. Bagian ketiga
Bagian ketiga dari duodenum panjangnya sekitar 12-13 cm,
berjalan horizontal ke arah kiri di depan dari aorta, vena cava inferior,
columna vertebra L2 dan ureter, dan berakhir pada sebelah kiri pada
vertebra L3. Radiks yeyunoileum menyilang dekat akhir duodenum
bagian ketiga. Arteri mesenterika superior berjalan kebawah diatas depan
dari duodenum bagian ketiga dan masuk kedalam radiks mesenterii.
Arteri pankreatikoduodenale inferior membatasi pankreas dan tepi atas
dari duodenum bagian ketiga.

12
4. Bagian keempat
Bagian keempat dari duodenum berjalan kearah atas samping kiri
sepanjang 2-3cm disebelah kiri dari vertebra dan membentuk sudut
duodenoyeyunal pada radiks mesokolon transversal. Disebelah kiri dari
vertebra lumbal II, bagian terakhir dari duodenum menurun ke arah kiri
depan dan membentuk fleksura duodenoyeyunalis. Pada daerah ini,
ligamentum suspensorium duodenum (ligamentum Treitz) berawal,
tersusun atas jaringan fibrous dan pita triangular, berjalan ke arah
retroperitoneal, dibelakang pankreas dan vena lienalis, didepan vena
renalis, dari arah kiri atau kanan dari krus diafragma. Fleksura
duodenoyeyunalis dipakai sebagai landmark untuk panduan mencari
obstruksi di daerah usus halus dan menentukan bagian atas dari yeyunum
untuk dilakukan gastroyeyunostomi.

Saat laparotomi, ligamentum ini dapat ditemukan dengan


cara menekan daerah dibawah mesokolon tranversal ke arah belakang
sampai ke dinding abdomen bagian belakang sementara tangan yang satu
mempalpasi kearah atas melalui tepi kiri dari pada tulang belakang sampai
fleksura ini ditemukan dengan tanda adanya perabaan yang keras pada
tempat fiksasinya. Gabungan antara peritoneum visceral dari
pankreatikoduodenal dengan peritoneum parietal posterior yang tersisa
akan menutupi semua duodenum kecuali sebagian dari bagian pertama
duodenum.

Variasi gabungan tadi ke dinding abdomen bagian belakang akan


menentukan variasi dari mobilitas duodenum. Fleksura kolon kanan,
bagian dari mesokolon tranversalis yang terfiksir, hubungan antara
ampulla dan pembuluh darah dari duodenum dapat dilihat dengan jelas.

Pada posisi yang cukup dalam ini, menunjukkan bahwa duodenum


cukup terproteksi dengan baik dari adanya trauma, tapi kadang-kadang
dapat hancur dan bahkan terputus karena adanya penekanan dengan

13
landasan pada tulang belakang dari adanya trauma tumpul abdomen yang
berat,dan juga karena tidak ditutupi olehperitoneum.

5. Vaskularisasi
Vaskularisasai duodenum berasal dari cabang arteri
pankreatikoduodenal anterior dan posterior. Anastomosis antara arteri ini
akan menghubungkan sirkulasi antara trunkus seliakus dengan arteri
mesenterika superior.

Arteri ini membagi aliran darahnya ke kaput pankreas, sehingga


reseksi terhadap pankreas atau duodenum secara terpisah adalah satu hal
yang hampir tidak mungkin dan dapat berakibat fatal. Arteri
pankreatikoduodenal superior adalah cabang dari arteri gastroduodenale,
dan arteri pankreatikoduodenal inferior adalah cabang dari arteri
mesenterika superior.

Kedua arteri ini bercabang menjadi dua dan berjalan disebalah


anterior dan posterior pada cekungan antara bagian descending dan
bagian transversal duodenum dengan kaput pankreas, kemudian
beranastomosis sehingga bagian anterior dan posterior masing-masing
membentuk cabang sendiri.

Vena tersusun paralel bersamaan dengan arteri


pankreatikoduodenal anterior dan posterior. Anastomosis cabang psterior
berakhir di atas vena porta, dibawahnya vena mesenterika superior
(SMV). Vena posterosuperiorpankreatikoduodenal mungkin akan
mengikuti arterinya disebelah depan dari saluran empedu, atau mungkin
berjalan di belakang saluran tadi. Vena ini akan berakhir pada tepi
kiri sebelah bawah dari SMV. Pada tempat tersebut, vena tadi akan
bergabung dengan vena yeyunalis atau dengan vena pankreatioduodenal
inferior anterior. Sebagian besar aliran vena pada cabang anterior ini
berasal dari Trunkus gastrokolika atau ( Henle’s trunk).

14
Pada saat pankreatikoduodenektomi, lokasi SMV dapat ditelusuri
dari vena kolika media sampai ke hubungannya dengan SMV tepat
dibawah dari collum pankreas. Kadang- kadang identifikasi SMV dapat
dilakukan dengan cara insisi pada daerah avaskuler dari peritoneum
sepanjang tepi bawah dari pankreas. Disebelah atas dari pankreas, vena
porta akan terekspos dengan jelas bila arteri gastroduodenal dan duktus
koledokus dipisahkan.

Pembuluh arteri yang memperdarahi separuh bagian atas


duodenum adalah arteri pancreatikoduodenalis superior yang merupakan
cabang dari arteri gastroduodenalis.

Vena-vena duodenum mengalirkan darahnya ke sirkulasi portal.


Vena superior bermuara langsung pada vena porta dan vena inferior
bermuara pada vena mesenterikasuperior.

6. Inervasi
Persarafan GI tract diinervasi oleh sistem saraf otonom, yang
dapat dibedakan menjadi ekstrinsik dan intrinsik (sistem saraf enterik
). Inervasi ekstrinsik dari duodenum adalah parasimpatis yang berasal
dari nervus Vagus ( anterior dan cabang celiac ) dan simpatis yang
berasal dari nervus splanikus pada ganglion celiac. Inervasi intrinsik dari
plexus myenterikus Aurbach’s dan dan plexus submucosal Meissner.

Sel-sel saraf ini menginervasi terget sel seperti sel-sel otot polos,
sel-sel sekretorik dan sel- sel absorptive, dan juga sel-sel saraf tersebut
berhubungan dengan reseptor-reseptor sensoris dan interdigitatif yang
juga menerima inervasi dari sel-sel saraf lain yang terletak baik didalam
maupun di luar plexus.

7. Pembuluh Limfe
Aliran limfe pada duodenum umumnya berjalan bersama-sama
dengan vaskularisasinya. Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan

15
mengalirkan cairan limfe keatas melalui noduli lymphatici
pancreatikoduodenalis ke noduli lymphatici gastroduodenalis dan
kemudian ke noduli lymphatici coeliacus dan ke bawah melalui noduli
lymhaticipancreatico duodenalis ke noduli lymphatici mesentericus
superior sekitar pangkal arteri mesenterika superior.

Karsinoma duodenum primer mungkin menyebar ke pankreas


secara langsung atau melalui infiltrasi limfatik, tetapi biasanya karsinoma
ini biasanya menyebar pertama kali ke limfonodus periduodenal dan hati.

C. Fisiologi Duodenum
1. Motilitas.
Pengatur pemacu potensial berasal dari dalam duodenum, mengawali
kontraksi, dan mendorong makanan sepanjang usus kecil melalui segmentasi
(kontraksi segmen pendek dengan gerakan mencampur ke depan dan
belakang) dan peristaltik (migrasi aboral dari gelombang kontraksi dan bolus
makanan). Kolinergik vagal bersifat eksitasi. Peptidergik vagal bersifat
inhibisi. Gastrin, kolesistokinin, motilin merangsang aktivitas muskular;
sedangkan sekretin dan dihambat oleh glukagon.

2. Pencernaan dan Absorpsi


a. Lemak Lipase

pankreas menghidrolisis trigliserida.

Komponen yang bergabung dengan garam empedu


membentuk micelle. Micelle melewati membran sel secara
pasif dengan difusi, lalu mengalami disagregasi,
melepaskan garam empedu kembali ke dalam lumen dan
asam lemak serta monogliserida ke dalam sel. Sel
kemudian membentuk kembali trigliserida dan

16
menggabungkannya dengan kolesterol, fosfolipid, dan
apoprotein membentuk kilomikron. Asam lemak kecil
memasuki kapiler menuju ke vena porta. Garam empedu
diresorbsi ke dalam sirkulasi enterohepatik diileum distal.
Dari 5 gr garam empedu, 0,5 gr hilang setiap hari, dan
kumpulan ini bersirkulasi ulang enam kali dalam 24 jam.

b. Protein

didenaturasi oleh asam lambung, pepsin memulai


proteolisis. Protease pankreas (tripsinogen, diaktivasi
oleh enterokinase menjadi tripsin, dan endopeptidase,
eksopeptidase), lebih lanjut mencerna protein. Menghasilkan
asam amino dan 2-6 residu peptida. Transpor aktif membawa
dipeptida dan tripeptida ke dalam sel-sel absorptif.

c. Karbohidrat.

Amilase pankreas dengan cepat mencerna karbohidrat


dalam duodenum.

d. Air dan Elektrolit.

Air, cairan empedu, lambung, saliva, cairan usus adalah 8-


10 L/hari, kebanyakan diabsorpsi. Air secara osmotik dan
secara hidrostatik diabsorpsi atau secara pasif berdifusi.
Natrium dan klorida diabsorpsi berpasangan dengan zat terlarut
organik atau dengan transpor aktif.

e. Bikarbonat

diabsorpsi dengan pertukaran natrium/hidrogen.

17
f. Kalsium

diabsorpsi melalui transpor aktif dalam duodenum, jejunum,


dipercepat oleh PTH dan vitamin D. Kalium di absorpsi secara
pasif.

g. FungsiEndokrin
Mukosa usus kecil melepaskan sejumlah hormon ke dalam
darah(endokrin) melalui pelepasan lokal (parakrin) atau
sebagai neurotransmiter.
h. Sekretin

Suatu asam amino 27 peptida dilepaskan oleh mukosa usus


kecil melalui asidifikasi atau lemak. Merangsang pelepasan
bikarbonat yang menetralkan asam lambung, rangsang aliran
empedu dan hambat pelepasan gastrin, asam lambung dan
motilitas.

i. Kolesistokinin

Dilepaskan oleh mukosa sebagai respons terhadap asam


amino dan asam lemakàkontraksi kandung empedu dengan
relaksasi sfingter Oddi dan sekresi enzim pankreas. Bersifat
trofik bagi mukosa usus dan pankreas, merangsang motilitas,
melepaskan insulin.

j. Fungsi Imun
Mukosa mencegah masuknya patogen. Sumber utama dari
imunglobulin, adalah sel plasma dalam lamina propria.

II. Atresia Duodenum

A. Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang
dengan baik dan merupakan obstruksi yang sering terjadi pada neonatus,.

18
B. Etiologi dan Patofisiologi
Walaupun tidak diketahui penyebab dari atresia duodenum,
patofisiologinya terhubung jelas. hubungan erat antara atresia atau stenosis
duodenum dengan malformasi neonatus lainnya menguatkan bahwa
anomali disebabkan oleh adanya perkembangan dari tahap awal
kehamilan. Atresia duodenum berbeda dengan atresia lainnya dari usus
besar dimana anomali tunggal yang disebabkan oleh gangguan vaskuler
mesenterik.
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi
endodermal yang tidak adekuat atau kegagalan rekanalisasi. Banyak
peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam
usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal
secarasempurna.
Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat
duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi
melalui proses apoptosis atau kematian sel terprogram, yang timbul selama
perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia
duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang
mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat
gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan atau
berlebihan dari pancreatic bud.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic
gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari
endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel
antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat
penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis
dariduodenum.

19
C. Klasifikasi
Menurut letak jenisnya, Gray dan Slandalakis membagi atresia
duodenum menjadi:
1. Tipe I : Terbentuknya jaring oleh mukosa dan mukosa namun tidak
menyebabkan defek pada lapisan otolk. deformitas tipe windstock
dapat terbentuk jika jaring tipis. membrana basal dari tipe ini adalah
bagian kedua dari duodenum. Tipe I terjadi pada 92% kasus.
2. Tipe II : distal duodenum sudah atretik, terpisah pada jarak tertentu
namun masih terhubung oleh suatu jaringan penghubung.
mesenterium masih intak. Tipe II terjadi pada 1% kasus.
3. Tipe III : distal duodenum atretik, terpisah pada jarak tertentu namun
tidak ada jaringan yang menghubungkan keduanya. mesenterium
memiliki defek berbentuk V. Tipe III terjadi pada 7% kasus.

Gambar 4. Klasifikasi atresia duodenum

20
D. Manifestasi Klinis
Diagnosis atresia duodenum dapat ditegakkan bahkan sebelum bayi lahir,
atau diagnosis antenatal. Terdapat berbagai keuntungan diagnosis antenatal
dari obstruksi duodenal, termasuk konseling parental. Diagnosis dapat
dicurigai dari USG prenatal. Evaluasi USG pada fetus dengan ibu riwayat
polihidramnion dapat mendeteksi dua struktur konsisten berisi cairan dengan
double bubble lebih dari 44% kasus. Meskipun obstruksi duodenum biasanya
terjadi pada minggu ke 12, alasan kegagalan deteksi prenatal dini belum
sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus atresisa guodenal dideteksi antara
bulan ke 7 atau delapan gestasi. Dewasa ini diyakini bahwa pengosongan
gaster yang immature didalam uterus dapat berkontribusi terhadap tekanan
gaster yang rendah, menyebabkan dilatasi duodenum proksimal gagal sampai
gestasi lebih lanjut. saat lapisan otot baik otot sirkular dan longitudinal pada
gaster dalam minggu% ke 8 gestasi, tekanan meniggat pada minggu ke 25 dan
hanya 60% tekanan gaster.1

Keberadaan dari neonatus dengan obstruksi duodenum bervariasi


tergantung apakah obstruksi tersebut komplit atau inkomplit dan lokasi dari
amplulla vater terkait letak obstruksi. Adanya muntah hijau dalam beberapa
jam setelah lahir merupakan manifestasi klinis yang klasik dari obstruksi
duodenum. Distensi abdomen bisa ada atau tidak. Pada neonatus dengan
atresia duodenal, abdomen umumnya scaphoid. Aspirasi via NGT lebih dari
20 ml isi gaster pada neonatus dapat mengarahkan pada kecurigaan adanya
obstruksi intestinal, dimana pada kondisi normal aspirasi umumnya kurang
dari 5ml. untuk pasien yang stenosis, diagnosiss umumnya ditunda sampai
neonatus mulai mendapatkan suplai enteral dan intoleransi feeding
berkembang dan emesis dan adanya distensi gaster. 1

Pada kecurigaan kasus obstruksi duodenum antenatal, sebagaimana


pada neonatus dengan manifestasi klinis yang konsisten dengan obstruksi usus
proksimal, radiografi abdomen kanan atas biasanya penting untuk
mengkonfirmasi diagnosis atresia duodenal. Diagnosis radiografi dari atresia

21
duodenum adalah adanya double bubble dan tidak ditemukan gambaran udara
usus dibagian distal. Bubble sisi kiri proksimal dimana dilatasi duodenum
proksimal hadir sebagai bubble kedua pada midline kanan. Pada kebanyakan
semua kasus atresia duodenum, usus bagian distal tidak ada udara usus.
Walaupun demikian, adanya udara pada distal tidak dapat menyingkirkan
diagnosis atresia, sebagaimana dilaporkan adanya duktus bilier yang bifida
dimana insersi salah satu duktus proksimal dan distal ke segmen atretic yang
menyebabkan adanya bypass udara. Pada neonatus gaster didekompresi dari
aspirasi NGT atau muntah, 40-60 ml udara yang masuk ke gaster akan
membentuk gambaran double bubble.

Pada kasus yang jarang, duktus bilier terisi air, dan berbagai anomaly
pankreas dan bilier dapat ditemukan.

E. Diagnosis

Gejala atresia akan timbul dalam


beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus
menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan
atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien.
Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu
(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosa
apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri.

Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus


mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika
atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang
tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang mengental.
Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan Nampak
adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran
ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan

22
pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami
obstruksi usus.

Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan
diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang
jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu
dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki
mekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam
pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi
gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan
mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit.
Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau
hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna
empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.

Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik den
gan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran
kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini
disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F,
maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini
tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamanya pasien tidak dirawat. Jika
obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat
tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak
nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang
dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentarI
menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari
ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus
sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia
duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid.

23
Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran
kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka
gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut.

5. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat postnatal.

1.Prenatal

Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan prenatal


ultrasonografi.UltraSonografi dapat mengevaluasi adanya polihidramnion deng
an melihat adanya struktur yang terisi dua cairan dengan gambaran double
bubble pada 44% kasus
Sebagian besar kasus atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8
kehamilan, akan tetapi pada beberapa penelitian bisa terdeteksi pada minggu
ke 20.

2. Postnatal

Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan kecurigaan
atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiogra
fi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum, darah
lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin
progresive sehingga pasien akan mengalami gangguan elektrolit. Biasanya mutah
yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis dengan hypokalemia
atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan
elektrolit harus lebih
dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping itu,
dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien
mengalami demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum.2

24
Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain abdominal x-ray.
X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign tanpa gas pada distal dari
usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran gambaran lambung
yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum proksimal
pada garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-
ray terdapat gas distal, kondisi
tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalam
i dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-
angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan gambaran double-
bubble.

F. Penatalaksanaan
1. Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa, dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya
sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa
rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi.
2. Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri
atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan
bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan
cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita megakolon kongenital.

25
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon
kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik.
Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan
dikerjakan pada saat penderita masih neonatus.
a. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner, bagian sisa di rektum di
balikkan keluar, bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar
anus, dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai kembali didor
ong ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull through Swenson
Operasi ini memerlukan waktu lama dan baru dilakukan setelah
anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Banyak anak
laki-laki yang impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf
yang menuju genital, terutama yang melekat pada prostat.
b. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di
dalam, ini berarti bagian yang ditinggalkan harus lebih panjang
untuk memungkinkan penjahitan, ada bagian aganglioner yang
ditinggalkan.Cara ini cukup memadai karena anak dapat defekasi
2-3 hari sekali dan tidak timbul impotensi, akan tetapi cara ini
mudah terjadi residif.
c. Metode Duhamel
Bagian aganglioner tidak dibuang, namun bagian proksimal
nya dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang hingga ke bagian
berdiameter normal, kemudian ditarik ke arah anal, disambungkan
tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada sisi belakang
rektum. Jadi dilakukan colorectostomy end to side, dengan ini
sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang
aganglioner tidak dipakai. Saraf-saraf yang melekat pada prostat
tidak terganggu, trauma operasi kecil, sehingga dapat dilakukan
pada bayi- bayi usia 8-9 bulan, bahkan 4 bulan.

26
d. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehb
ein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal
letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk
tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama prosedur
Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik
masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas.

Gambar 5. Macam-macam eknik pembedahan pada operasi megacolon

G. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi sfingter.Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus
pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena
iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-
perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan

27
aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus
dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang
sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa
diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis
dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi
obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami
iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan
kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke
mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal
atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang
akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding
usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia
kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah
dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi
abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
H. Prognosis
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1
kasus diantara 5400-7200 bayi lahir hidup. Angka kematian bayi dengan
penyakit Hirschprung yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan jika
menjalani operasi mortalitasnya sangat rendah. 30% kematian penyakit
Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka
mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi
antara lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur
Duhamel 6,2%.

28
1. Anatomi dan Embriologi Duodenum
1. Embriologi kolon dan rectum
Duodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian
sefalik dari usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di
sebela distal pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum
mengambil bentuk seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini
bersamaan tumbuh dengan kaput pankreas, menyebabkan duodenum
membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga
abdomen. Duodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan,
dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritoneum
yang ada di dekatnya. Kedua lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan
duodenum serta kaput pankreas terfiksasi di retroperitoneal.
Mesoduodenum dorsal menghilang kecuali di daerah pilorus dengan
sebagian kecil duodenum yang tetap intraperitoneal. Selama bulan ke dua,
lumen duodenum tersumbat oleh proliferasi sel di dinding lumen, dan akan
rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus depan akan dialiri pembuluh darah
cabang arteri sefalika dan usus tengah oleh cabang dari arteri mesenterika
superior.

2. Anatomi Duodenum
Panjang dari duodenum ± 25-30 cm, dimulai dari akhir
pylorus lambung, disebelah kanan tulang belakang pada vertebra lumbal 1,
kemudian membentuk C-shaped curve mengelilingi kaput pankreas dan
akhirnya berhubungan dengan yeyunum disebelah kiri vertebra lumbal 2.
Duodenum merupakan bagian paling proksimal, paling lebar, paling
pendek, dan paling sedikit pergerakannya dari bagian usus halus lainnya.
Duodenum dibagi menjadi 4 bagian:

1. Bagian pertama / superior / bulbus duodeni / duodenal cap / D1


2. Bagian kedua / vertikal / descenden/ D2

29
3. Bagian ketiga / horizontal / tranversal/ D3
4. Bagian keempat / obliq / ascending / D4

5. Duodenal cap bebas bergerak dan ditutupi oleh peritoneum kecuali jika
terdapat ulkus duodenum. Bagian ini mempunyai cekungan mukosal
longitudinal sementara bagian lain hanya cekungan transversal. Lapisan
anterior dan posterior dari peritoneum yang meliputi bagian atas dari
duodenal cap akan melanjutkan diri menjadi ligamentum hepatoduodenale
, yang berisi Portal Triad ( duktus koledokus , arteri hepatika dan vena
porta). Tepi anterior dari foramen Winslowi terbentuk oleh karena adanya
tepi bebas dari ligamentum ini. Tepat diatas duodenal cap terdapat kantong
empedu dan hepar segmen empat. Dibawah dan dibelakang dari duodenal
cap adalah caput pankreas.
Piloroplasti dan reseksi gastroduodenal menjadi lebih mudah jika
pilorus dan duodenum di mobilisasikan kearah depan didalam kavum
abdomen dengan manuver Kocher. Karena kedekatan duodenum
superior dengan kandung empedu dapat menjelaskan adanya batu
empedu yang sering secara spontan masuk kedalam duodenum
melalui kolesistoduodenal fistula. Selanjutnya peritoneum hanya
melapisi bagian ventral dari duodenum sepanjang 2,5 cm berikutnya.

6. Bagian kedua dari duodenum adalah retroperitoneal dan terfiksir karena


adanya fusi dari peritoneum visceral disebelah lateral peritoneum perietale
lateral dinding abdomen.
Dengan membuka peritoneum pada sisi lateral kanan (manuver
Kocher), dapat memobilisasi duodenum desending sehingga dapat
mencapai retroduodenal dan saluran empedu intrapankreatik.

30
Disebelah belakang dari bagian kedua duodenum ini terletak ginjal
kanan dan struktur hilusnya, kelenjar adrenal dan vena cava. Tepat
dipertengahan duodenum, mesokolon akan melintang secara
horizontal, karena bersatunya peritoneum dari arah atas dan arah
bawah.

Diatas dari fleksura duodenalis, duodenum bagian pertama dan


duodenum bagian kedua akan membentuk sudut yang tajam dan
berlanjut berkisar 7-8 cm dibawah fleksura duodenalis. Kolon
tranversum akan melintang daerah tersebut di sebelah depannya.

Untuk memobilisasi duodenum secara menyeluruh yang harus


dilakukan adalah membuka fleksura hepatis pada sisi anteromedial
kolon. Kurang lebih pertengahan dari bagian kedua duodenum dinding
posteromedial adalah papila vateri, yang terdiri atas gabungan antar
duktus koledokus dan duktus pankreatikus Wirsungi. Letak dari
duktus pankreatikus Santorini lebih proksimal. Cabang superior
pankreatikoduodenal yang berasal dari arteri gastroduodenalis,
berjalan didalam cekungan antara kaput pankreas dan duodenum
bagian kedua atau desending.

7. Bagian ketiga dari duodenum panjangnya sekitar 12-13 cm, berjalan


horizontal ke arah kiri di depan dari aorta, vena cava inferior, columna
vertebra L2 dan ureter, dan berakhir pada sebelah kiri pada vertebra L3.
Radiks yeyunoileum menyilang dekat akhir duodenum bagian ketiga.
Arteri mesenterika superior berjalan kebawah diatas depan dari duodenum
bagian ketiga dan masuk kedalam radiks mesenterii. Arteri
pankreatikoduodenale inferior membatasi pankreas dan tepi atas dari
duodenum bagian ketiga.

31
8. Bagian keempat dari duodenum berjalan kearah atas samping kiri
sepanjang 2-3cm disebelah kiri dari vertebra dan membentuk sudut
duodenoyeyunal pada radiks mesokolon transversal. Disebelah kiri dari
vertebra lumbal II, bagian terakhir dari duodenum menurun ke arah kiri
depan dan membentuk fleksura duodenoyeyunalis. Pada daerah ini,
ligamentum suspensorium duodenum (ligamentum Treitz) berawal,
tersusun atas jaringan fibrous dan pita triangular, berjalan ke arah
retroperitoneal, dibelakang pankreas dan vena lienalis, didepan vena
renalis, dari arah kiri atau kanan dari krus diafragma. Fleksura
duodenoyeyunalis dipakai sebagai landmark untuk panduan mencari
obstruksi di daerah usus halus dan menentukan bagian atas dari yeyunum
untuk dilakukan gastroyeyunostomi.

Saat laparotomi, ligamentum ini dapat ditemukan dengan


cara menekan daerah dibawah mesokolon tranversal ke arah belakang
sampai ke dinding abdomen bagian belakang sementara tangan yang
satu mempalpasi kearah atas melalui tepi kiri dari pada tulang
belakang sampai fleksura ini ditemukan dengan tanda
adanya perabaan yang keras pada tempat fiksasinya. Gabungan antara
peritoneum visceral dari pankreatikoduodenal dengan peritoneum
parietal posterior yang tersisa akan menutupi semua duodenum
kecuali sebagian dari bagian pertama duodenum.

Variasi gabungan tadi ke dinding abdomen bagian belakang akan


menentukan variasi dari mobilitas duodenum. Fleksura kolon kanan,
bagian dari mesokolon tranversalis yang terfiksir, hubungan antara
ampulla dan pembuluh darah dari duodenum dapat dilihat dengan
jelas.

32
Pada posisi yang cukup dalam ini, menunjukkan bahwa duodenum
cukup terproteksi dengan baik dari adanya trauma, tapi kadang-
kadang dapat hancur dan bahkan terputus karena adanya penekanan
dengan landasan pada tulang belakang dari adanya trauma tumpul
abdomen yang berat,dan juga karena tidak ditutupi olehperitoneum.

1. Vaskularisasi
Vaskularisasai duodenum berasal dari cabang arteri
pankreatikoduodenal anterior dan posterior. Anastomosis antara arteri ini
akan menghubungkan sirkulasi antara trunkus seliakus dengan arteri
mesenterika superior.

Arteri ini membagi aliran darahnya ke kaput pankreas, sehingga


reseksi terhadap pankreas atau duodenum secara terpisah adalah satu hal
yang hampir tidak mungkin dan dapat berakibat fatal. Arteri
pankreatikoduodenal superior adalah cabang dari arteri gastroduodenale,
dan arteri pankreatikoduodenal inferior adalah cabang dari arteri
mesenterika superior.

Kedua arteri ini bercabang menjadi dua dan berjalan disebalah


anterior dan posterior pada cekungan antara bagian descending dan bagian
transversal duodenum dengan kaput pankreas, kemudian beranastomosis
sehingga bagian anterior dan posterior masing-masing membentuk cabang
sendiri.

Vena tersusun paralel bersamaan dengan arteri


pankreatikoduodenal anterior dan posterior. Anastomosis cabang psterior
berakhir di atas vena porta, dibawahnya vena mesenterika superior (SMV).
Vena posterosuperiorpankreatikoduodenal mungkin akan mengikuti
arterinya disebelah depan dari saluran empedu, atau mungkin berjalan di
belakang saluran tadi. Vena ini akan berakhir pada tepi kiri sebelah bawah
dari SMV. Pada tempat tersebut, vena tadi akan bergabung dengan vena

33
yeyunalis atau dengan vena pankreatioduodenal inferior anterior. Sebagian
besar aliran vena pada cabang anterior ini berasal dari Trunkus
gastrokolika atau ( Henle’s trunk).

Pada saat pankreatikoduodenektomi, lokasi SMV dapat ditelusuri


dari vena kolika media sampai ke hubungannya dengan SMV tepat
dibawah dari collum pankreas. Kadang- kadang identifikasi SMV dapat
dilakukan dengan cara insisi pada daerah avaskuler dari peritoneum
sepanjang tepi bawah dari pankreas. Disebelah atas dari pankreas, vena
porta akan terekspos dengan jelas bila arteri gastroduodenal dan duktus
koledokus dipisahkan.

Pembuluh arteri yang memperdarahi separuh bagian atas


duodenum adalah arteri pancreatikoduodenalis superior yang merupakan
cabang dari arteri gastroduodenalis.

Vena-vena duodenum mengalirkan darahnya ke sirkulasi portal.


Vena superior bermuara langsung pada vena porta dan vena inferior
bermuara pada vena mesenterikasuperior.

Pembuluh limfe

Aliran limfe pada duodenum umumnya berjalan bersama-sama


dengan vaskularisasinya. Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan
mengalirkan cairan limfe keatas melalui noduli lymphatici
pancreatikoduodenalis ke noduli lymphatici gastroduodenalis dan
kemudian ke noduli lymphatici coeliacus dan ke bawah melalui noduli
lymhaticipancreatico duodenalis ke noduli lymphatici mesentericus
superior sekitar pangkal arteri mesenterika superior.

Karsinoma duodenum primer mungkin menyebar ke pankreas


secara langsung atau melalui infiltrasi limfatik, tetapi biasanya karsinoma
ini biasanya menyebar pertama kali ke limfonodus periduodenal dan hati.

34
Innervasi

Persarafan GI tract diinervasi oleh sistem saraf otonom, yang dapat


dibedakan menjadi ekstrinsik dan intrinsik (sistem saraf enterik ). Inervasi
ekstrinsik dari duodenum adalah parasimpatis yang berasal dari nervus
Vagus ( anterior dan cabang celiac ) dan simpatis yang berasal dari nervus
splanikus pada ganglion celiac. Inervasi intrinsik dari plexus myenterikus
Aurbach’s dan dan plexus submucosal Meissner.

Sel-sel saraf ini menginervasi terget sel seperti sel-sel otot polos,
sel-sel sekretorik dan sel- sel absorptive, dan juga sel-sel saraf tersebut
berhubungan dengan reseptor-reseptor sensoris dan interdigitatif yang juga
menerima inervasi dari sel-sel saraf lain yang terletak baik didalam
maupun di luar plexus.

Gambar 1. Anatomi duodenum (Google Images)

2. Fisiologi Duodenum
3. Motilitas.

35
Pengatur pemacu potensial berasal dari dalam duodenum, mengawali
kontraksi, dan mendorong makanan sepanjang usus kecil melalui segmentasi
(kontraksi segmen pendek dengan gerakan mencampur ke depan dan
belakang) dan peristaltik (migrasi aboral dari gelombang kontraksi dan bolus
makanan). Kolinergik vagal bersifat eksitasi. Peptidergik vagal bersifat
inhibisi. Gastrin, kolesistokinin, motilin merangsang aktivitas muskular;
sedangkan sekretin dan dihambat oleh glukagon.

4. Pencernaan dan Absorpsi


k. Lemak Lipase pankreas menghidrolisis trigliserida.
Komponen yang bergabung dengan garam empedu
membentuk micelle. Micelle melewati membran sel secara
pasif dengan difusi, lalu mengalami disagregasi,
melepaskan garam empedu kembali ke dalam lumen dan
asam lemak serta monogliserida ke dalam sel. Sel
kemudian membentuk kembali trigliserida dan
menggabungkannya dengan kolesterol, fosfolipid, dan
apoprotein membentuk kilomikron. Asam lemak kecil
memasuki kapiler menuju ke vena porta. Garam empedu
diresorbsi ke dalam sirkulasi enterohepatik diileum distal.
Dari 5 gr garam empedu, 0,5 gr hilang setiap hari, dan
kumpulan ini bersirkulasi ulang enam kali dalam 24 jam.

l. Protein didenaturasi oleh asam lambung, pepsin memulai


proteolisis. Protease pankreas (tripsinogen, diaktivasi
oleh enterokinase menjadi tripsin, dan endopeptidase,
eksopeptidase), lebih lanjut mencerna protein.
Menghasilkan asam amino dan 2-6 residu peptida.
Transpor aktif membawa dipeptida dan tripeptida ke dalam
sel-sel absorptif.

36
m. Karbohidrat. Amilase pankreas dengan cepat mencerna
karbohidrat dalam duodenum.
n. Air dan Elektrolit. Air, cairan empedu, lambung, saliva,
cairan usus adalah 8-10 L/hari, kebanyakan diabsorpsi. Air
secara osmotik dan secara hidrostatik diabsorpsi atau secara
pasif berdifusi. Natrium dan klorida diabsorpsi berpasangan
dengan zat terlarut organik atau dengan transpor aktif.
o. Bikarbonat diabsorpsi dengan pertukaran
natrium/hidrogen.
p. Kalsium diabsorpsi melalui transpor aktif dalam
duodenum, jejunum, dipercepat oleh PTH dan vitamin D.
Kalium di absorpsi secara pasif.
q. FungsiEndokrin
Mukosa usus kecil melepaskan sejumlah hormon ke
dalam darah(endokrin) melalui pelepasan lokal (parakrin)
atau sebagai neurotransmiter.
r. Sekretin. Suatu asam amino 27 peptida dilepaskan oleh
mukosa usus kecil melalui asidifikasi atau lemak.
Merangsang pelepasan bikarbonat yang menetralkan asam
lambung, rangsang aliran empedu dan hambat pelepasan
gastrin, asam lambung dan motilitas.
s. Kolesistokinin. Dilepaskan oleh mukosa sebagai respons
terhadap asam amino dan asam lemakàkontraksi kandung
empedu dengan relaksasi sfingter Oddi dan sekresi enzim
pankreas. Bersifat trofik bagi mukosa usus dan pankreas,
merangsang motilitas, melepaskan insulin.
t. Fungsi Imun.
Mukosa mencegah masuknya patogen. Sumber utama dari
imunglobulin, adalah sel plasma dalam lamina propria.

3. Atresia Duodenum

37
1. Definisi
Atresia duodeni adalah Suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama
dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran
terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari
lambung ke usus.

Etiologi
Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum
diketahui, tapi ada beberapa yang bisa menyebabkan atresia duodenum:
 Gangguan pada awal masa kehamilan (minggu ke-4 dan minggu ke-5 )
 Gangguan pembuluh darah
 Banyak terjadi pada bayi prematur

Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi
endodermal yang tidak adekuat atau kegagalan rekanalisasi. Banyak peneliti
telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia
kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal
secarasempurna.
Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat
duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi
melalui proses apoptosis atau kematian sel terprogram, yang timbul selama
perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia
duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang
mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan
perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan atau berlebihan
dari pancreatic bud.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic
gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari
endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel

38
antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat
penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis
dariduodenum.

2. Manifestasi Klinis
Atresia duodenum adalah penyakit bayi baru lahir. Kasus
stenosis duodenal atau duodenal web dengan perforasi jarang tidak
terdiagnosis hingga masa kanak kanak atau remaja. Penggunaan USG
telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum
teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18
macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan
obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in vitro.
Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble
(gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu
pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal
postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal
memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan
untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu
merawat

3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
D. Anamnesis
III. Pada neonatus :
1. Mekonium keluar terlambat, lebih dari 24 jam
2. Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3. Terdapat distensi abdomen
4. Muntah
IV. Pada anak :
5. Konstipasi kronis

39
6. Mungkin terdapat distensi abdomen
7. Berat badan tidak bertambah
8. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
E. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat distensi abdomen, didapatkan
perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau
jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen
rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
kembung pada perut menghilang untuk sementara.
- Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa megakolon
kongenital adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas:
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda
khas megakolon kongenital, maka dapat dilanjutkan dengan foto
retensi barium setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihat barium yang
membaur dengan feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan megakolon namun disertai dengan

40
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah
rektum dan sigmoid.
1. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi megakolon kongenital didasarkan
atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik auerbach dan
pleksus submukosa meissner. Selain itu, akan terlihat penebalan
serabut saraf parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin
tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterase dibandingkan dengan pengecatan
konvensional dengan haematoxylin eosin. Hanya saja pengecatan
immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan.
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan 5 cm
proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan,
barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai
pleksus auerbach.
2. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu
pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada
penyakit yang melibatkan sfingter anorektal. Dalam prakteknya,
manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan
klinis, radiologis, dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat
ini memiliki 2 komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap
tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem
pencatat seperti poligraph atau komputer.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan
dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi
umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih
besar dibandingkan pada neonatus. Beberapa hasil manometri
anorektal yang spesifik untuk megakolon kongenital:

41
a) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
b) Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
segmen usus aganglionik;
c) Sampling refleks tidak berkembang;
d) Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi
rektum akibat desakan feses dan tidak dijumpai relaksasi
spontan.
4. Penatalaksanaan
 Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa, dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya
sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa
rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi.
 Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri
atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan
bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan
cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita megakolon kongenital.
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon
kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik.

42
Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan
dikerjakan pada saat penderita masih neonatus.
1. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner, bagian sisa di rektum di
balikkan keluar, bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar
anus, dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai kembali didor
ong ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull through Swenson
Operasi ini memerlukan waktu lama dan baru dilakukan setelah
anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Banyak anak
laki-laki yang impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf
yang menuju genital, terutama yang melekat pada prostat.
2. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di
dalam, ini berarti bagian yang ditinggalkan harus lebih panjang
untuk memungkinkan penjahitan, ada bagian aganglioner yang
ditinggalkan.Cara ini cukup memadai karena anak dapat defekasi
2-3 hari sekali dan tidak timbul impotensi, akan tetapi cara ini
mudah terjadi residif.
3. Metode Duhamel
Bagian aganglioner tidak dibuang, namun bagian proksimal
nya dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang hingga ke bagian
berdiameter normal, kemudian ditarik ke arah anal, disambungkan
tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada sisi belakang
rektum. Jadi dilakukan colorectostomy end to side, dengan ini
sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang
aganglioner tidak dipakai. Saraf-saraf yang melekat pada prostat
tidak terganggu, trauma operasi kecil, sehingga dapat dilakukan
pada bayi- bayi usia 8-9 bulan, bahkan 4 bulan.
4. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehb
ein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal

43
letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk
tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama prosedur
Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik
masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas.

Gambar 5. Macam-macam eknik pembedahan pada operasi megacolon

5. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi sfingter.Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus
pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena
iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-
perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan
aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus
dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang
sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang

44
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa
diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis
dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi
obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami
iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan
kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke
mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal
atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang
akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding
usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia
kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah
dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi
abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
6. Prognosis
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1
kasus diantara 5400-7200 bayi lahir hidup. Angka kematian bayi dengan
penyakit Hirschprung yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan jika
menjalani operasi mortalitasnya sangat rendah. 30% kematian penyakit
Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka
mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi
antara lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur
Duhamel 6,2%.

45
DAFTAR PUSTAKA

 Syaifuddin. 2006. Anatomi fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. Jakarta :


EGC

 Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,


editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105.
 Feldmen M, Friedman LS, Sleisenger MH. Hirschsprung’s disease:
congenital megacolon. In: Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and Liver
Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management. 7th ed. Philadelphia, Pa.:
Saunders, 2002:2131-5.
 Best KE, Glinianaia SV, Bythell M, et al; Hirschsprung's disease in the North
ofEngland: prevalence,associatedanomalies, and survival. Birth Defects Res
AClin Mol Teratol. 201 2 Jun;94(6):477-80.
 Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND
SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders.
Philadelphia. Page 2113-2114.
 Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung
Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page
617-640.
 Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC, 1993.
 Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton &
Lange; 1990: 555-77.
 Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
 Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

46
47

Anda mungkin juga menyukai