Preskas Atresia Duodenum Afif
Preskas Atresia Duodenum Afif
Oleh:
Muhammad Afif G99162126
Pembimbing:
Suwardi, dr., Sp.B, Sp.BA
1
HALAMAN PENGESAHAN
”
Hari, tanggal :Rabu, 13 Februari 2018
Oleh:
2
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
I. Identitas pasien
Nama : An. Al
Umur : 22 Hari
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 0140xxxx
Alamat : Ngawi
Agama : Islam
Berat Badan : 2800 Kg
Tinggi Badan : 44 cm
MRS : 31 Januari 2018
Tanggal Periksa : 12 Februari 2018
3
(atresia duodenum), triple bubble (atresia jejunum). Pasien lalu dibawa
ke RSUD Dr. Moewardi
V. Status Ibu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat jantung : disangkal
4
VIII. Riwayat Kehamilan dan ANC
Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol, merokok : disangkal
Riwayat ANC : pasien rutin kontrol kehamilan di bidan
4. General Survey
a. Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : mesocephal
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya
(+/+), cekung (-/-)
d. Telinga : sekret (-/-), low set ear (_)
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (+), sekret (-/-),
darah (-/-)
f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
h. Thorak : normochest, retraksi (-)
5
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
k. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada, distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Perkusi : pekak
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-), defans muscular (-),
undulasi (-), hepatomegaly (-), splenomegali (-)
l. Ekstremitas : CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis (+/+)
6
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah (06 Februari 2018) di RS Dr. Moewardi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 31.7 g/dl 14.0 - 17.5
Hematokrit 41 % 33 - 45
Leukosit 10.9 ribu/µl 4.5 - 14.5
Trombosit 390 ribu/µl 150 - 450
Eritrosit 4.06 juta/µl 3.80 - 5.80
Golongan B
Darah
HEMOSTASIS
PT 13 Detik 10.0 – 15.0
APTT 42.3 detik 20.0 - 40.0
INR 1.040 -
KIMIA KLINIK
GDS 75 mg/dl 60 - 100
Creatinin 0.6 mg/dl 0.5 – 1.0
Ureum 36 Mg/dl < 48
SGOT 21
SGPT 6
ELEKTROLIT
Natrium 142 mmol/L 132 – 145
darah
Kalium darah 3.6 mmol/L 3.6 - 5.1
Chlorida 110 mmol/L 1. –
darah 106
Kalsium ion 1.06 Mmol/L 1.17-1.29
INDEX ERITROSIT
MCV 101.5 /µm 80-96
7
MCH 36 Pg 28-33
MCHC 35.4 g/dl 33-36
RDW 13.8 % 11.6-14.6
HDW - g/dl -
MPV 9.5 fl 7.2-11.1
PDW 19 % 25-65
Large plt - ribu/µl -
HITUNG JENIS
Eosinofil 1 % 0-4
Basofil 0.6 % 0-1
Netrofil 69.80 % 18-74
Granulosit - % -
Limfosit 18.0 % 60-66
Monosit 11.1 % 0-6
AMC - % -
Mono,Eos,Ba - % -
s
8
2. Foto Abdomen 3 Posisi (06 Februari 2018) di RS Dr. Moewardi
Kesimpulan:
kesan : double bubble (atresia duodenum)
IV. ASSESSMENT
Suspek atresia duodeni dd stenosis duodeni
V. PLANNING
1. Perbaikan KU
2. Pro laparotomi
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi dan Embriologi Duodenum
A. Embriologi Duodenum
Duodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian
sefalik dari usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di
sebela distal pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum
mengambil bentuk seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini
bersamaan tumbuh dengan kaput pankreas, menyebabkan duodenum
membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga
abdomen. Duodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan,
dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritoneum
yang ada di dekatnya. Kedua lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan
duodenum serta kaput pankreas terfiksasi di retroperitoneal.
Mesoduodenum dorsal menghilang kecuali di daerah pilorus dengan
sebagian kecil duodenum yang tetap intraperitoneal. Selama bulan ke dua,
lumen duodenum tersumbat oleh proliferasi sel di dinding lumen, dan akan
rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus depan akan dialiri pembuluh darah
cabang arteri sefalika dan usus tengah oleh cabang dari arteri mesenterika
superior.
B. Anatomi Duodenum
Panjang dari duodenum ± 25-30 cm, dimulai dari akhir
pylorus lambung, disebelah kanan tulang belakang pada vertebra lumbal 1,
kemudian membentuk C-shaped curve mengelilingi kaput pankreas dan
akhirnya berhubungan dengan yeyunum disebelah kiri vertebra lumbal 2.
Duodenum merupakan bagian paling proksimal, paling lebar, paling
pendek, dan paling sedikit pergerakannya dari bagian usus halus lainnya.
Duodenum dibagi menjadi 4 bagian:
10
Bagian kedua / vertikal / descenden/ D2
Bagian ketiga / horizontal / tranversal/ D3
Bagian keempat / obliq / ascending / D4
1. Duodenal cap
1. Duodenal cap bebas bergerak dan ditutupi oleh peritoneum kecuali jika
terdapat ulkus duodenum. Bagian ini mempunyai cekungan mukosal
longitudinal sementara bagian lain hanya cekungan transversal. Lapisan
anterior dan posterior dari peritoneum yang meliputi bagian atas dari
duodenal cap akan melanjutkan diri menjadi ligamentum
hepatoduodenale , yang berisi Portal Triad ( duktus koledokus , arteri
hepatika dan vena porta). Tepi anterior dari foramen Winslowi terbentuk
oleh karena adanya tepi bebas dari ligamentum ini. Tepat diatas duodenal
cap terdapat kantong empedu dan hepar segmen empat. Dibawah dan
dibelakang dari duodenal cap adalah caput pankreas.
Piloroplasti dan reseksi gastroduodenal menjadi lebih mudah jika
pilorus dan duodenum di mobilisasikan kearah depan didalam kavum
abdomen dengan manuver Kocher. Karena kedekatan duodenum superior
dengan kandung empedu dapat menjelaskan adanya batu empedu yang
sering secara spontan masuk kedalam duodenum melalui
kolesistoduodenal fistula. Selanjutnya peritoneum hanya melapisi bagian
ventral dari duodenum sepanjang 2,5 cm berikutnya.
2. Bagian kedua
2. Bagian kedua dari duodenum adalah retroperitoneal dan terfiksir
karena adanya fusi dari peritoneum visceral disebelah lateral peritoneum
perietale lateral dinding abdomen.
Dengan membuka peritoneum pada sisi lateral kanan (manuver
Kocher), dapat memobilisasi duodenum desending sehingga dapat
mencapai retroduodenal dan saluran empedu intrapankreatik. Disebelah
11
belakang dari bagian kedua duodenum ini terletak ginjal kanan dan
struktur hilusnya, kelenjar adrenal dan vena cava. Tepat dipertengahan
duodenum, mesokolon akan melintang secara horizontal, karena
bersatunya peritoneum dari arah atas dan arah bawah.
3. Bagian ketiga
Bagian ketiga dari duodenum panjangnya sekitar 12-13 cm,
berjalan horizontal ke arah kiri di depan dari aorta, vena cava inferior,
columna vertebra L2 dan ureter, dan berakhir pada sebelah kiri pada
vertebra L3. Radiks yeyunoileum menyilang dekat akhir duodenum
bagian ketiga. Arteri mesenterika superior berjalan kebawah diatas depan
dari duodenum bagian ketiga dan masuk kedalam radiks mesenterii.
Arteri pankreatikoduodenale inferior membatasi pankreas dan tepi atas
dari duodenum bagian ketiga.
12
4. Bagian keempat
Bagian keempat dari duodenum berjalan kearah atas samping kiri
sepanjang 2-3cm disebelah kiri dari vertebra dan membentuk sudut
duodenoyeyunal pada radiks mesokolon transversal. Disebelah kiri dari
vertebra lumbal II, bagian terakhir dari duodenum menurun ke arah kiri
depan dan membentuk fleksura duodenoyeyunalis. Pada daerah ini,
ligamentum suspensorium duodenum (ligamentum Treitz) berawal,
tersusun atas jaringan fibrous dan pita triangular, berjalan ke arah
retroperitoneal, dibelakang pankreas dan vena lienalis, didepan vena
renalis, dari arah kiri atau kanan dari krus diafragma. Fleksura
duodenoyeyunalis dipakai sebagai landmark untuk panduan mencari
obstruksi di daerah usus halus dan menentukan bagian atas dari yeyunum
untuk dilakukan gastroyeyunostomi.
13
landasan pada tulang belakang dari adanya trauma tumpul abdomen yang
berat,dan juga karena tidak ditutupi olehperitoneum.
5. Vaskularisasi
Vaskularisasai duodenum berasal dari cabang arteri
pankreatikoduodenal anterior dan posterior. Anastomosis antara arteri ini
akan menghubungkan sirkulasi antara trunkus seliakus dengan arteri
mesenterika superior.
14
Pada saat pankreatikoduodenektomi, lokasi SMV dapat ditelusuri
dari vena kolika media sampai ke hubungannya dengan SMV tepat
dibawah dari collum pankreas. Kadang- kadang identifikasi SMV dapat
dilakukan dengan cara insisi pada daerah avaskuler dari peritoneum
sepanjang tepi bawah dari pankreas. Disebelah atas dari pankreas, vena
porta akan terekspos dengan jelas bila arteri gastroduodenal dan duktus
koledokus dipisahkan.
6. Inervasi
Persarafan GI tract diinervasi oleh sistem saraf otonom, yang
dapat dibedakan menjadi ekstrinsik dan intrinsik (sistem saraf enterik
). Inervasi ekstrinsik dari duodenum adalah parasimpatis yang berasal
dari nervus Vagus ( anterior dan cabang celiac ) dan simpatis yang
berasal dari nervus splanikus pada ganglion celiac. Inervasi intrinsik dari
plexus myenterikus Aurbach’s dan dan plexus submucosal Meissner.
Sel-sel saraf ini menginervasi terget sel seperti sel-sel otot polos,
sel-sel sekretorik dan sel- sel absorptive, dan juga sel-sel saraf tersebut
berhubungan dengan reseptor-reseptor sensoris dan interdigitatif yang
juga menerima inervasi dari sel-sel saraf lain yang terletak baik didalam
maupun di luar plexus.
7. Pembuluh Limfe
Aliran limfe pada duodenum umumnya berjalan bersama-sama
dengan vaskularisasinya. Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan
15
mengalirkan cairan limfe keatas melalui noduli lymphatici
pancreatikoduodenalis ke noduli lymphatici gastroduodenalis dan
kemudian ke noduli lymphatici coeliacus dan ke bawah melalui noduli
lymhaticipancreatico duodenalis ke noduli lymphatici mesentericus
superior sekitar pangkal arteri mesenterika superior.
C. Fisiologi Duodenum
1. Motilitas.
Pengatur pemacu potensial berasal dari dalam duodenum, mengawali
kontraksi, dan mendorong makanan sepanjang usus kecil melalui segmentasi
(kontraksi segmen pendek dengan gerakan mencampur ke depan dan
belakang) dan peristaltik (migrasi aboral dari gelombang kontraksi dan bolus
makanan). Kolinergik vagal bersifat eksitasi. Peptidergik vagal bersifat
inhibisi. Gastrin, kolesistokinin, motilin merangsang aktivitas muskular;
sedangkan sekretin dan dihambat oleh glukagon.
16
menggabungkannya dengan kolesterol, fosfolipid, dan
apoprotein membentuk kilomikron. Asam lemak kecil
memasuki kapiler menuju ke vena porta. Garam empedu
diresorbsi ke dalam sirkulasi enterohepatik diileum distal.
Dari 5 gr garam empedu, 0,5 gr hilang setiap hari, dan
kumpulan ini bersirkulasi ulang enam kali dalam 24 jam.
b. Protein
c. Karbohidrat.
e. Bikarbonat
17
f. Kalsium
g. FungsiEndokrin
Mukosa usus kecil melepaskan sejumlah hormon ke dalam
darah(endokrin) melalui pelepasan lokal (parakrin) atau
sebagai neurotransmiter.
h. Sekretin
i. Kolesistokinin
j. Fungsi Imun
Mukosa mencegah masuknya patogen. Sumber utama dari
imunglobulin, adalah sel plasma dalam lamina propria.
A. Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang
dengan baik dan merupakan obstruksi yang sering terjadi pada neonatus,.
18
B. Etiologi dan Patofisiologi
Walaupun tidak diketahui penyebab dari atresia duodenum,
patofisiologinya terhubung jelas. hubungan erat antara atresia atau stenosis
duodenum dengan malformasi neonatus lainnya menguatkan bahwa
anomali disebabkan oleh adanya perkembangan dari tahap awal
kehamilan. Atresia duodenum berbeda dengan atresia lainnya dari usus
besar dimana anomali tunggal yang disebabkan oleh gangguan vaskuler
mesenterik.
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi
endodermal yang tidak adekuat atau kegagalan rekanalisasi. Banyak
peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam
usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal
secarasempurna.
Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat
duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi
melalui proses apoptosis atau kematian sel terprogram, yang timbul selama
perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia
duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang
mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat
gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan atau
berlebihan dari pancreatic bud.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic
gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari
endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel
antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat
penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis
dariduodenum.
19
C. Klasifikasi
Menurut letak jenisnya, Gray dan Slandalakis membagi atresia
duodenum menjadi:
1. Tipe I : Terbentuknya jaring oleh mukosa dan mukosa namun tidak
menyebabkan defek pada lapisan otolk. deformitas tipe windstock
dapat terbentuk jika jaring tipis. membrana basal dari tipe ini adalah
bagian kedua dari duodenum. Tipe I terjadi pada 92% kasus.
2. Tipe II : distal duodenum sudah atretik, terpisah pada jarak tertentu
namun masih terhubung oleh suatu jaringan penghubung.
mesenterium masih intak. Tipe II terjadi pada 1% kasus.
3. Tipe III : distal duodenum atretik, terpisah pada jarak tertentu namun
tidak ada jaringan yang menghubungkan keduanya. mesenterium
memiliki defek berbentuk V. Tipe III terjadi pada 7% kasus.
20
D. Manifestasi Klinis
Diagnosis atresia duodenum dapat ditegakkan bahkan sebelum bayi lahir,
atau diagnosis antenatal. Terdapat berbagai keuntungan diagnosis antenatal
dari obstruksi duodenal, termasuk konseling parental. Diagnosis dapat
dicurigai dari USG prenatal. Evaluasi USG pada fetus dengan ibu riwayat
polihidramnion dapat mendeteksi dua struktur konsisten berisi cairan dengan
double bubble lebih dari 44% kasus. Meskipun obstruksi duodenum biasanya
terjadi pada minggu ke 12, alasan kegagalan deteksi prenatal dini belum
sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus atresisa guodenal dideteksi antara
bulan ke 7 atau delapan gestasi. Dewasa ini diyakini bahwa pengosongan
gaster yang immature didalam uterus dapat berkontribusi terhadap tekanan
gaster yang rendah, menyebabkan dilatasi duodenum proksimal gagal sampai
gestasi lebih lanjut. saat lapisan otot baik otot sirkular dan longitudinal pada
gaster dalam minggu% ke 8 gestasi, tekanan meniggat pada minggu ke 25 dan
hanya 60% tekanan gaster.1
21
duodenum adalah adanya double bubble dan tidak ditemukan gambaran udara
usus dibagian distal. Bubble sisi kiri proksimal dimana dilatasi duodenum
proksimal hadir sebagai bubble kedua pada midline kanan. Pada kebanyakan
semua kasus atresia duodenum, usus bagian distal tidak ada udara usus.
Walaupun demikian, adanya udara pada distal tidak dapat menyingkirkan
diagnosis atresia, sebagaimana dilaporkan adanya duktus bilier yang bifida
dimana insersi salah satu duktus proksimal dan distal ke segmen atretic yang
menyebabkan adanya bypass udara. Pada neonatus gaster didekompresi dari
aspirasi NGT atau muntah, 40-60 ml udara yang masuk ke gaster akan
membentuk gambaran double bubble.
Pada kasus yang jarang, duktus bilier terisi air, dan berbagai anomaly
pankreas dan bilier dapat ditemukan.
E. Diagnosis
22
pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami
obstruksi usus.
Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan
diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang
jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu
dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memiliki
mekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam
pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi
gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan
mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit.
Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau
hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna
empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.
Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik den
gan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran
kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini
disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F,
maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini
tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamanya pasien tidak dirawat. Jika
obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat
tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak
nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang
dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentarI
menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari
ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus
sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia
duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid.
23
Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati
epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran
kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka
gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut.
5. Pemeriksaan penunjang
1.Prenatal
2. Postnatal
Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan kecurigaan
atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiogra
fi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum, darah
lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin
progresive sehingga pasien akan mengalami gangguan elektrolit. Biasanya mutah
yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis dengan hypokalemia
atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan
elektrolit harus lebih
dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping itu,
dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien
mengalami demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum.2
24
Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain abdominal x-ray.
X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign tanpa gas pada distal dari
usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran gambaran lambung
yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum proksimal
pada garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-
ray terdapat gas distal, kondisi
tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalam
i dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-
angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan gambaran double-
bubble.
F. Penatalaksanaan
1. Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa, dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya
sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa
rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi.
2. Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri
atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan
bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan
cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita megakolon kongenital.
25
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon
kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik.
Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan
dikerjakan pada saat penderita masih neonatus.
a. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner, bagian sisa di rektum di
balikkan keluar, bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar
anus, dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai kembali didor
ong ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull through Swenson
Operasi ini memerlukan waktu lama dan baru dilakukan setelah
anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Banyak anak
laki-laki yang impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf
yang menuju genital, terutama yang melekat pada prostat.
b. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di
dalam, ini berarti bagian yang ditinggalkan harus lebih panjang
untuk memungkinkan penjahitan, ada bagian aganglioner yang
ditinggalkan.Cara ini cukup memadai karena anak dapat defekasi
2-3 hari sekali dan tidak timbul impotensi, akan tetapi cara ini
mudah terjadi residif.
c. Metode Duhamel
Bagian aganglioner tidak dibuang, namun bagian proksimal
nya dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang hingga ke bagian
berdiameter normal, kemudian ditarik ke arah anal, disambungkan
tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada sisi belakang
rektum. Jadi dilakukan colorectostomy end to side, dengan ini
sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang
aganglioner tidak dipakai. Saraf-saraf yang melekat pada prostat
tidak terganggu, trauma operasi kecil, sehingga dapat dilakukan
pada bayi- bayi usia 8-9 bulan, bahkan 4 bulan.
26
d. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehb
ein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal
letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk
tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama prosedur
Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik
masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas.
G. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi sfingter.Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus
pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena
iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-
perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan
27
aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus
dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang
sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa
diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis
dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi
obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami
iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan
kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke
mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal
atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang
akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding
usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia
kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah
dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi
abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
H. Prognosis
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1
kasus diantara 5400-7200 bayi lahir hidup. Angka kematian bayi dengan
penyakit Hirschprung yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan jika
menjalani operasi mortalitasnya sangat rendah. 30% kematian penyakit
Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka
mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi
antara lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur
Duhamel 6,2%.
28
1. Anatomi dan Embriologi Duodenum
1. Embriologi kolon dan rectum
Duodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian
sefalik dari usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di
sebela distal pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum
mengambil bentuk seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini
bersamaan tumbuh dengan kaput pankreas, menyebabkan duodenum
membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga
abdomen. Duodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan,
dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritoneum
yang ada di dekatnya. Kedua lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan
duodenum serta kaput pankreas terfiksasi di retroperitoneal.
Mesoduodenum dorsal menghilang kecuali di daerah pilorus dengan
sebagian kecil duodenum yang tetap intraperitoneal. Selama bulan ke dua,
lumen duodenum tersumbat oleh proliferasi sel di dinding lumen, dan akan
rekanalisasi sesudah bulan kedua. Usus depan akan dialiri pembuluh darah
cabang arteri sefalika dan usus tengah oleh cabang dari arteri mesenterika
superior.
2. Anatomi Duodenum
Panjang dari duodenum ± 25-30 cm, dimulai dari akhir
pylorus lambung, disebelah kanan tulang belakang pada vertebra lumbal 1,
kemudian membentuk C-shaped curve mengelilingi kaput pankreas dan
akhirnya berhubungan dengan yeyunum disebelah kiri vertebra lumbal 2.
Duodenum merupakan bagian paling proksimal, paling lebar, paling
pendek, dan paling sedikit pergerakannya dari bagian usus halus lainnya.
Duodenum dibagi menjadi 4 bagian:
29
3. Bagian ketiga / horizontal / tranversal/ D3
4. Bagian keempat / obliq / ascending / D4
5. Duodenal cap bebas bergerak dan ditutupi oleh peritoneum kecuali jika
terdapat ulkus duodenum. Bagian ini mempunyai cekungan mukosal
longitudinal sementara bagian lain hanya cekungan transversal. Lapisan
anterior dan posterior dari peritoneum yang meliputi bagian atas dari
duodenal cap akan melanjutkan diri menjadi ligamentum hepatoduodenale
, yang berisi Portal Triad ( duktus koledokus , arteri hepatika dan vena
porta). Tepi anterior dari foramen Winslowi terbentuk oleh karena adanya
tepi bebas dari ligamentum ini. Tepat diatas duodenal cap terdapat kantong
empedu dan hepar segmen empat. Dibawah dan dibelakang dari duodenal
cap adalah caput pankreas.
Piloroplasti dan reseksi gastroduodenal menjadi lebih mudah jika
pilorus dan duodenum di mobilisasikan kearah depan didalam kavum
abdomen dengan manuver Kocher. Karena kedekatan duodenum
superior dengan kandung empedu dapat menjelaskan adanya batu
empedu yang sering secara spontan masuk kedalam duodenum
melalui kolesistoduodenal fistula. Selanjutnya peritoneum hanya
melapisi bagian ventral dari duodenum sepanjang 2,5 cm berikutnya.
30
Disebelah belakang dari bagian kedua duodenum ini terletak ginjal
kanan dan struktur hilusnya, kelenjar adrenal dan vena cava. Tepat
dipertengahan duodenum, mesokolon akan melintang secara
horizontal, karena bersatunya peritoneum dari arah atas dan arah
bawah.
31
8. Bagian keempat dari duodenum berjalan kearah atas samping kiri
sepanjang 2-3cm disebelah kiri dari vertebra dan membentuk sudut
duodenoyeyunal pada radiks mesokolon transversal. Disebelah kiri dari
vertebra lumbal II, bagian terakhir dari duodenum menurun ke arah kiri
depan dan membentuk fleksura duodenoyeyunalis. Pada daerah ini,
ligamentum suspensorium duodenum (ligamentum Treitz) berawal,
tersusun atas jaringan fibrous dan pita triangular, berjalan ke arah
retroperitoneal, dibelakang pankreas dan vena lienalis, didepan vena
renalis, dari arah kiri atau kanan dari krus diafragma. Fleksura
duodenoyeyunalis dipakai sebagai landmark untuk panduan mencari
obstruksi di daerah usus halus dan menentukan bagian atas dari yeyunum
untuk dilakukan gastroyeyunostomi.
32
Pada posisi yang cukup dalam ini, menunjukkan bahwa duodenum
cukup terproteksi dengan baik dari adanya trauma, tapi kadang-
kadang dapat hancur dan bahkan terputus karena adanya penekanan
dengan landasan pada tulang belakang dari adanya trauma tumpul
abdomen yang berat,dan juga karena tidak ditutupi olehperitoneum.
1. Vaskularisasi
Vaskularisasai duodenum berasal dari cabang arteri
pankreatikoduodenal anterior dan posterior. Anastomosis antara arteri ini
akan menghubungkan sirkulasi antara trunkus seliakus dengan arteri
mesenterika superior.
33
yeyunalis atau dengan vena pankreatioduodenal inferior anterior. Sebagian
besar aliran vena pada cabang anterior ini berasal dari Trunkus
gastrokolika atau ( Henle’s trunk).
Pembuluh limfe
34
Innervasi
Sel-sel saraf ini menginervasi terget sel seperti sel-sel otot polos,
sel-sel sekretorik dan sel- sel absorptive, dan juga sel-sel saraf tersebut
berhubungan dengan reseptor-reseptor sensoris dan interdigitatif yang juga
menerima inervasi dari sel-sel saraf lain yang terletak baik didalam
maupun di luar plexus.
2. Fisiologi Duodenum
3. Motilitas.
35
Pengatur pemacu potensial berasal dari dalam duodenum, mengawali
kontraksi, dan mendorong makanan sepanjang usus kecil melalui segmentasi
(kontraksi segmen pendek dengan gerakan mencampur ke depan dan
belakang) dan peristaltik (migrasi aboral dari gelombang kontraksi dan bolus
makanan). Kolinergik vagal bersifat eksitasi. Peptidergik vagal bersifat
inhibisi. Gastrin, kolesistokinin, motilin merangsang aktivitas muskular;
sedangkan sekretin dan dihambat oleh glukagon.
36
m. Karbohidrat. Amilase pankreas dengan cepat mencerna
karbohidrat dalam duodenum.
n. Air dan Elektrolit. Air, cairan empedu, lambung, saliva,
cairan usus adalah 8-10 L/hari, kebanyakan diabsorpsi. Air
secara osmotik dan secara hidrostatik diabsorpsi atau secara
pasif berdifusi. Natrium dan klorida diabsorpsi berpasangan
dengan zat terlarut organik atau dengan transpor aktif.
o. Bikarbonat diabsorpsi dengan pertukaran
natrium/hidrogen.
p. Kalsium diabsorpsi melalui transpor aktif dalam
duodenum, jejunum, dipercepat oleh PTH dan vitamin D.
Kalium di absorpsi secara pasif.
q. FungsiEndokrin
Mukosa usus kecil melepaskan sejumlah hormon ke
dalam darah(endokrin) melalui pelepasan lokal (parakrin)
atau sebagai neurotransmiter.
r. Sekretin. Suatu asam amino 27 peptida dilepaskan oleh
mukosa usus kecil melalui asidifikasi atau lemak.
Merangsang pelepasan bikarbonat yang menetralkan asam
lambung, rangsang aliran empedu dan hambat pelepasan
gastrin, asam lambung dan motilitas.
s. Kolesistokinin. Dilepaskan oleh mukosa sebagai respons
terhadap asam amino dan asam lemakàkontraksi kandung
empedu dengan relaksasi sfingter Oddi dan sekresi enzim
pankreas. Bersifat trofik bagi mukosa usus dan pankreas,
merangsang motilitas, melepaskan insulin.
t. Fungsi Imun.
Mukosa mencegah masuknya patogen. Sumber utama dari
imunglobulin, adalah sel plasma dalam lamina propria.
3. Atresia Duodenum
37
1. Definisi
Atresia duodeni adalah Suatu kondisi dimana duodenum (bagian pertama
dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran
terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari
lambung ke usus.
Etiologi
Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum
diketahui, tapi ada beberapa yang bisa menyebabkan atresia duodenum:
Gangguan pada awal masa kehamilan (minggu ke-4 dan minggu ke-5 )
Gangguan pembuluh darah
Banyak terjadi pada bayi prematur
Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi
endodermal yang tidak adekuat atau kegagalan rekanalisasi. Banyak peneliti
telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia
kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal
secarasempurna.
Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat
duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi
melalui proses apoptosis atau kematian sel terprogram, yang timbul selama
perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia
duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang
mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan
perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan atau berlebihan
dari pancreatic bud.
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic
gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari
endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel
38
antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat
penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis
dariduodenum.
2. Manifestasi Klinis
Atresia duodenum adalah penyakit bayi baru lahir. Kasus
stenosis duodenal atau duodenal web dengan perforasi jarang tidak
terdiagnosis hingga masa kanak kanak atau remaja. Penggunaan USG
telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum
teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk 18
macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan
obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in vitro.
Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble
(gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu
pada lambung, dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal
postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis prenatal
memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan mempertimbangkan
untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki fasilitas yang mampu
merawat
3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
D. Anamnesis
III. Pada neonatus :
1. Mekonium keluar terlambat, lebih dari 24 jam
2. Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3. Terdapat distensi abdomen
4. Muntah
IV. Pada anak :
5. Konstipasi kronis
39
6. Mungkin terdapat distensi abdomen
7. Berat badan tidak bertambah
8. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
E. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat distensi abdomen, didapatkan
perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau
jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen
rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian
kembung pada perut menghilang untuk sementara.
- Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa megakolon
kongenital adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas:
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda
khas megakolon kongenital, maka dapat dilanjutkan dengan foto
retensi barium setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihat barium yang
membaur dengan feses kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan megakolon namun disertai dengan
40
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah
rektum dan sigmoid.
1. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi megakolon kongenital didasarkan
atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik auerbach dan
pleksus submukosa meissner. Selain itu, akan terlihat penebalan
serabut saraf parasimpatis. Akurasi pemeriksaan akan semakin
tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterase dibandingkan dengan pengecatan
konvensional dengan haematoxylin eosin. Hanya saja pengecatan
immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan.
Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan 5 cm
proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan,
barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai
pleksus auerbach.
2. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu
pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada
penyakit yang melibatkan sfingter anorektal. Dalam prakteknya,
manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan
klinis, radiologis, dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat
ini memiliki 2 komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap
tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem
pencatat seperti poligraph atau komputer.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan
dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi
umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih
besar dibandingkan pada neonatus. Beberapa hasil manometri
anorektal yang spesifik untuk megakolon kongenital:
41
a) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
b) Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
segmen usus aganglionik;
c) Sampling refleks tidak berkembang;
d) Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi
rektum akibat desakan feses dan tidak dijumpai relaksasi
spontan.
4. Penatalaksanaan
Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa, dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya
sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa
rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit serta penjagaan nutrisi.
Tindakan Bedah
Tindakan bedah pada penyakit megakolon kongenital terdiri
atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan
bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan
cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya
kematian pada penderita megakolon kongenital.
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada megakolon
kongenital antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein, prosedur transanal dan bedah laparoskopik.
42
Saat ini prosedur transanal satu tahap telah berkembang dan
dikerjakan pada saat penderita masih neonatus.
1. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner, bagian sisa di rektum di
balikkan keluar, bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar
anus, dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai kembali didor
ong ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull through Swenson
Operasi ini memerlukan waktu lama dan baru dilakukan setelah
anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Banyak anak
laki-laki yang impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf
yang menuju genital, terutama yang melekat pada prostat.
2. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di
dalam, ini berarti bagian yang ditinggalkan harus lebih panjang
untuk memungkinkan penjahitan, ada bagian aganglioner yang
ditinggalkan.Cara ini cukup memadai karena anak dapat defekasi
2-3 hari sekali dan tidak timbul impotensi, akan tetapi cara ini
mudah terjadi residif.
3. Metode Duhamel
Bagian aganglioner tidak dibuang, namun bagian proksimal
nya dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang hingga ke bagian
berdiameter normal, kemudian ditarik ke arah anal, disambungkan
tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada sisi belakang
rektum. Jadi dilakukan colorectostomy end to side, dengan ini
sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang
aganglioner tidak dipakai. Saraf-saraf yang melekat pada prostat
tidak terganggu, trauma operasi kecil, sehingga dapat dilakukan
pada bayi- bayi usia 8-9 bulan, bahkan 4 bulan.
4. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehb
ein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal
43
letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk
tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama prosedur
Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik
masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas.
5. Komplikasi
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi sfingter.Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus
pada penderita penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena
iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-
perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin, kenaikan
aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus
dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang
sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang
44
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa
diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis
dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi
obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami
iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan
kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke
mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya ke rongga peritoneal
atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat berlanjut yang
akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan dinding
usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia
kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah
dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare, distensi
abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
6. Prognosis
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1
kasus diantara 5400-7200 bayi lahir hidup. Angka kematian bayi dengan
penyakit Hirschprung yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan jika
menjalani operasi mortalitasnya sangat rendah. 30% kematian penyakit
Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. Angka
mortalitas operasi yang didapatkan setelah beberapa prosedur operasi
antara lain prosedur Swenson 2,5%, prosedur Soave 4,5% dan prosedur
Duhamel 6,2%.
45
DAFTAR PUSTAKA
46
47