Anda di halaman 1dari 21

PERAN GLOBAL GOVERNANCE DAN REZIM LINGKUNGAN DALAM

MENGATASI ISU-ISU LINGKUNGAN HIDUP (STUDI KASUS: REDD)

OLEH : WARITSA YOLANDA (1501115622)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU

1
2
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................ 5
1.3. Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penulisan ....................................................................................................... 5
1.5 Metodologi Penulisan ................................................................................................... 5
BAB II .................................................................................................................................... 6
1. Definisi dan Konsep Global Governance .................................................................... 6
2. Faktor Pendorong Kemunculan Global Governance ................................................ 8
3. Pieces of Global Governance ...................................................................................... 10
4. Global Governance dalam Tata Kelola Lingkungan Global .................................. 12
5. Rezim Lingkungan ..................................................................................................... 18
BAB III................................................................................................................................. 20
PENUTUP ............................................................................................................................ 20
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini ilmu hubungan internasional tidak hanya terpaku pada isu high
politics seperti perang dan damai, tetapi isu – isu low politics mulai mengambil peran
yang signifikan, ditandai dengan era globalisasi yang membuat kajian ilmu hubungan
internasional semakin beragam. Dengan kata lain meluasnya signifikansi kajian ilmu
hubungan internasional terhadap percaturan politik internasional kearah yang lebih
kompleks. Berbicara mengenai low politics, kita tidak hanya terpaku pada ekonomi,
tetapi juga fokus pada isu isu lain seperti isu lingkungan hidup.
Isu lingkungan dianggap penting karena banyaknya kerusakan lingkungan
yang terjadi, baik yang dikarenakan oleh kerusakan alamiah dan kerusakan yang
diakibatkan oleh ulah manusia. Manusia telah lama berkontribusi dalam perusakan
lingkungan. Sejak zaman purba hingga zaman modern manusia telah banyak
menghisap kekayaan alam semesta, mulai dari kebutuhan bahan pangan hingga
menjadi faktor pendukung dalam kegiatan perekonomian, politik, dan sosial. Puncak
dari pemanfaatan lingkungan terjadi ketika manusia telah berfikir untuk
mengeksploitasi lingkungan ke tingkat yang lebih tinggi seperti membuat sebuah
industri – industri besar.
Hal ini mendorong perlunya sebuah tata kelola yang bersifat global atau sering
disebut dengan Global Governance. Global governance adalah tujuan untuk
mengambil keputusan atau menyelesaikan suatu masalah. Global Governance ini
biasanya digunakan oleh aktor-aktor yang memiliki kepentingan yang sama atau
sejalan. Aktor-aktor dalam Global Governance ini meliputi negara, Organisasi antar
Pemerintahan (IGO), organisasi antar Non-pemerintahan (NGOs), para ahli, jaringan
politik global dan MNC. Contoh global Governance yang berperan dalam isu-isu
lingkungan adalah UNEP, UNFCCC, Greenpeace, Green Party, dan banyak yang
lainnya.
Di dalam global governance terdapat rezim lingkungan yang juga tak kalah
pentingnya dalam menanggulangi masalah-masalah lingkungan hidup ini. Contoh
Rezim lingkungan ini adalah Protokol Montreal, Protokol Kyoto, REDD, dan lain-
lain.

4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan rumusan
masalahnya sebagai berikut: “Bagaimana Peran Serta Global Governance dan
Rezim Lingkungan dalam Menanggulangi Isu-isu Lingkungan Hidup?”

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut:

1. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk pengumpulan tugas mata


kuliah Dinamika Hubungan Internasional Pasca 1945
2. Untuk mengetahui peran global governance dan rezim lingkungan
dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1. Bahan informasi dan kajian bagi akademisi terkait global governance
dan rezim lingkungan dalam menanggulangi masalah lingkungan
hidup, khususnya mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia.
2. Manfaat praktis: di mana dalam manfaat praktisnya penulisan makalah
ini diharapkan untuk mengajukan penelitian selanjutnya seperti:
penulisan tugas-tugas selanjutnya, proposal dan skripsi.

1.5 Metodologi Penulisan


Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka: dalam
metode penulisan ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan
makalah ini seperti: majalah berita, buku referensi, artikel, jurnal dan berbagai jenis
buku lainnya, serta berbagai sumber dari internet yang berhubungan dengan global
governance dan rezim lingkungan dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup
serta sesuai dengan tema makalah ini.

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi dan Konsep Global Governance


Dengan menguatnya globalisasi dan melemahnya peran Negara, maka berbagai
persoalan atau masalah terlebih melibatkan lebih dari satu aktor, Negara maupun non-
negara harus diselesaikan melalui sebuah kerja sama antaraktor. Ketidakmampuan
Negara dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan
kepentingan berbagai pihak itu menimbulkan sebuah krisis otoritas tentang siapakah
yang kemudian berhak mengatur dan mengambil keputusan tentang suatu masalah.
Hal ini mendorong perlunya sebuah tata kelola yang bersifat global atau sering
disebut dengan Global Governance.
Commission on Global Governance memberikan definisi tentang global
governance sebagai ”the sum of the many ways individual and institutions, public and
private, manage their common affairs”.1 PBB menambahkan tentang definisi
governance sebagai “the traditions, institutions, and processes that determine how
power is excercised, how citizens acquire a voice and how decisions are made on
issues of public concern”.2
WHO (2015) juga ikut menyatakan mengenai definisi global governance yaitu
“…the way in which global affairs are managed. As there is no global government,
global governance typically involves a range of actors including states, as well as
regional and international organizations. However, a single organization may
nominally be given the lead role on an issue, for example the World Trade
Organization in world trade affairs. Thus global governance is thought to be an
international process of consensus-forming which generates guidelines and
agreements that affect national governments and international corporations.
Examples of such consensus would include WHO policies on health issues”.3 Definisi
lain menyebutkan bahwa global governance adalah the process of decision making
and the process by which decisions are implemented (or not implemented).4

1
Dikutip dari Lee & McBride (eds.) 2007. Neo-Liberalism, State Power and Global Governance. AA Dordcrecht:
Springer, hal. 10
2
Ibid.
3
World Health Organization (WHO) (2015). Global Governance. January 2015. Available
Online: http://www.who.int/trade/glossary/story038/en/
4
www.unscap.org

6
Sebenarnya cukup sulit untuk mendefinisikan global governance. Dari sekian
definisi global governance yang telah dipaparkan sebelumnya, Rosenau mengatakan
sesuatu yang paling mendekati mengenai global governance, yaitu, “an order that
lacks a centralized authority with the capacity to enforce decision on a global scale”.5
Dengan kata lain, global governance adalah tujuan untuk mengambil keputusan atau
menyelesaikan suatu masalah. Global Governance ini biasanya digunakan oleh aktor-
aktor yang memiliki kepentingan yang sama atau sejalan.6
Di kalangan ahli muncul sebuah kesepakatan bahwa global governance perlu
memiliki empat elemen dasar utama sebagai berikut.7
1. The society of states. Elemen ini penting karena dalam situasi anarkis
global governance harus mampu mencegah agar situasi anarkis tidak
berubah menjadi kekacauan atau chaos. Oleh karena itu hukum
internasional menjadi tumpuan bersama yang sangat penting untuk
mencegah agar the society of states tidak terjerumus ke dalam
kekacauan.
2. Hegemony. Dibutuhkan sebuah Negara hegemon yang mempunyai peran
penting dalam sebuah dunia global. Hegemony merupakan bentuk global
governance yang memiliki struktur yang hierarkis. Elemen ini
merupakan hasil pemikiran dan pandangan kaum realis dalam
mengkritisi global governance.
3. Institutions merupakan elemen dasar yang dikaitkan dengan institusi
internasional, yang memiliki peran penting dalam seluruh dunia global.
Perang penting institusi internasional dikaitkan dengan kemampuannya
dalam memengaruhi banyak pihak sekaligus diberi hak untuk menelaah
dan memproses persoalan, serta menawarkan solusi masalah yang
ditanganinya. Beberapa institusi bisa disebutkan, misalnya PBB dan
IMF, yang memiliki kemampuan untuk memaksakan keputusannya
kepada aktor-aktor menyangkut berbagai masalah yang ditanganinya.
4. Global norms merupakan elemen penting pula bagi sebuah global
governance. Elemen ini berisikan tentang bagaimana idealnya sebuah
global governance. Kesetiaan kepad global norms ini oleh aktor-aktor,

5
J. Rosenau, 1992. Governance, Order and Change in World Politics, New York: Cambridge University, hal. 7.
6
Budi Winarno, 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman Bagi Indonesia, Jakarta: Erlangga.
7
Budi Winarno, 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.

7
baik Negara maupun non-negara yang mengikuti dengan baik dan patuh
terhadap global norms. Terdapat tiga jenis global norms (1) regulative
norms adalah tipe norma yang bersifat keras dan harus diikuti oleh
aktor-aktor yang ada, (2) constitutive norms adalah norma yang
membentuk aktor-aktr dan kepentingan mereka yang terlihat dalam
global governance, (3) perspective norms berisikan tentang bagaimana
sesuatu itu seharusnya dijalankan.

2. Faktor Pendorong Kemunculan Global Governance

Sekian banyak diskusi mengenai global governance adalah berdasarkan


struktur operasional dunia yang kita tinggali saat ini. Hal ini berkaitan seperti yang
dijelaskan oleh Thakur dan Weiss (2015),
“There is no government for the world. Yet, on any given day, mail is delivered across
borders; people travel from one country to another via a variety of transport modes;
goods and services are freighted across land, air, sea, and cyberspace; and a whole
range of other cross-border activities take place in reasonable expectation of safety
and security for the people, groups, firms, and governments involved. Disruptions and
threats are rare…This immediately raises a puzzle: How is the world governed even
in the absence of a world government in order to produce norms, codes of conduct,
and regulatory, surveillance, and compliance instruments? How are values allocated
quasi-authoritatively for the world, and as accepted as such, without a government to
rule the world?
The answer…lies in global governance. It is the sum of laws, norms, policies, and
institutions that define, constitute, and mediate relations between citizens, societies,
markets, and states in the international system–the wielders and objects of the
exercise of international public power” (27).8
Pernyataan diatas menjelaskan bahwa tidak adanya pemerintah atau
government di dunia ini. Namun, arus globalisasi seperti surat yang dikirim lintas
Negara, orang-orang bertransportasi dari suatu Negara ke Negara lain, barang dan jasa
diangkut melintasi pulau, udara, lautan atau bahkan angkasa, dan lain-lain Hal ini

8
Thakur, R. & Weiss, T.G. (2015) Chapter 2, Framing Global Governance, Five Gaps, hal 27-40, in Steger,
M., The Global Studies Reader, New York, New York: Oxford University Press.

8
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana dunia mengatur ini semua dengan
tujuan menghasilkan norms, kode dari pelaksanaan, dan regulasi, pengawasan dan
lainnya meskipun tidak ada pemerintah dunia? Jawabnnya tergantung pada Global
Governance, yang mana merupakan kumpulan dari hukum, norma-nroma, kebijakan-
kebijakan, dan institusi yang menetapkan, membuat, dan menjadi mediasi hubungan
antara masyarakat, pedagangan dan Negara di dalam sistem internasional, pemegang
dan objek dari penghayatan public power.
Budi Winarno (2014) juga menambahkan bahwa gagasan global governance
ni berjalin dengan globalisasi yang memunculkn dua fenomena sekaligus, yaitu:
1. Menguatnya aktor-aktor non-state sebagai pusat kekuasaan baru
dalam interaksi hubungan internasional
2. Munculnya persoalan-persoalan baru yang implikasinya sangat luas,
tapi diluar kemampuan Negara untuk mengatasinya.

Menyinggung pertanyaan Thakur dan Weiss (2015) mengenai tidak


pemerintah dunia, James N. Rosenau ikut menyatakan bahwa governance tidaklah
sinonim dengan government. Keduanya merujuk pada perilaku yang terarah (purpose
behaviors), aktivitas yang berorientasi pada pencapaian tujuan tertentu (goals-
oriented), dan adanya seperangkat aturan tertentu (system of rule). Government
melaksanakan aktivitasnya dengan dukungan otoritas formal, dalam arti memiliki
wewenang dan kekuasaan serta kekuatan untuk memastikan implementasi
kebijakannya terlaksana. Governance, di sisi lain, merujuk pada aktivitas yang
berlandaskan tujuan atau kepentingan bersama, yang bisa saja—namun tidak selalu—
bersumber pada tanggung jawab legal formal, dan tidak bergantung pada keharusan
adanya kekuasaan/otoritas, baik untuk memastikan pemenuhannya, ataupun untuk
menyelesaikan pertentangan yang timbul dalam pelaksanaan yang lebih luas. Dengan
demikan, governance merupakan fenomena yang lebih luas dan kompleks dari
government sebab ia melingkupi institusi pemerintah, dan di sisi lain juga melibatkan
mekanisme informal/non-pemerintah, yang di dalamnya individu dan organisasi
bersama-sama bekerja mencapai tujuannya. Lebih lanjut, Rosenau menyatakan bahwa
governance merupakan seperangkat aturan (a system of rules) yang ditetapkan dengan
dan bergantung pada persetujuan bersama yang sifatnya mengikat pihak-pihak yang
terlibat dalam pembentukannya. Oleh karena itu, governance dapat berjalan dengan

9
baik, jika ia diterima oleh mayoritas pihak, atau paling tidak, oleh pihak yang lebih
kuat (powerful).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa global governance bukanlah


pemerintahan global, bukan satu ketertiban dunia, bukan top-down, hirarki struktur
otoritas. Ini adalah kumpulan kegiatan pemerintahan terkait, aturan, dan mekanisme,
formal dan informal yang ada di berbagai tingkatan di dunia saat ini. Kita cenderung
menyebutnya sebagai "bagian dari pemerintahan global” atau “Pieces of Global
Governance”.

3. Pieces of Global Governance

Bagian dari pemerintahan global atau Pieces of Global Governance


merupakan kerjasama pemecahan masalah pengaturan dan kegiatan yang dimana
negara dan aktor lain dikumpulkan ke dalam suatu ruang untuk menangani berbagai
isu dan masalah. Beberapa kasus seperti aturan, norma, dan struktur dihubungkan
bersama, beberapa sarjana lebih menyebutnya sebagai rezim internasional untuk
mengatur masalah tertentu seperti masalah isu-isu lingkungan. Berikut akan
dijelaskan yang termasuk pada bagian dari pemerintahan global menurut Margaret
Kans dan Karen Mingst9:

1) Hukum Internasional

Mahkamah Pengadilan Internasional mengakui lima sumber hukum


internasional (Perjanjian atau konvensi, praktik adat, tulisan-tulisan sarjana hukum,
putusan pengadilan, dan prinsip-prinsip umum hukum), salah satunya adalah
Konvensi Wina tentang traktat, konvensi lingkungan seperti untuk ozon, perubahan
iklim, perburuan ikan paus, hukum laut, hukum humaniter (Konvensi Jenewa), hukum
hak asasi manusia, hukum perdagangan, perjanjian pengawasan senjata, dan hukum
kekayaan intelektual.

Kelemahan dari hukum internasional adalah menyatukan seluruh negara dalam


satu aturan, dan ini tidak akan berhasil karena setiap negara memiliki kedaulatan
masing-masing yand tidak bisa diganggu oleh negara lain.

9
Margaret Kans & Karen Mingst, 2004. International Organizations: The Politics and Processes of Global
Governance.

10
2) Aturan Internasional (Hukum lunak)
Hukum lunak merupakan konvensi hukum internasional yang ditetapkan
tetapi pada dasarnya tidak mengikat kewajiban bagi setiap negara, melainkan norma
atau standar perilaku, kadang-kadang disebut sebagai hukum.

3) Organisasi antar Pemerintah (IGOs)


IGO adalah organisasi yang anggotanya tertiri dari setidaknya tiga negara,
yakni memiliki kegiatan di beberapa negara, dan anggota yang diselenggarakan
bersama oleh perjanjian formal antar pemerintah. IGO diakui sebagai subyek hukum
internasional yang berbeda dari negara, berdiri sendiri walaupun terdiri dari negara-
negara tersebut.
IGO tidak hanya menciptakan peluang bagi negara-negara anggota mereka,
tetapi mereka juga mempunyai pengaruh dan memaksakan kendala pada kebijakan
dan proses negara-negara anggota mereka. IGO mempengaruhi negara anggota
dengan menetapkannya secara internasional dan, oleh karena itu, hal tersebut menjadi
agenda dan memaksa pemerintah untuk menjadikan sebagai masalah nasional.
Mereka mendorong pengembangan pengambilan keputusan khusus dan proses
pelaksanaan untuk memfasilitasi dan mengkoordinasikan partisipasi IGO. Mereka
mewujudkan atau memfasilitasi penciptaan prinsip-prinsip, norma, dan aturan
perilaku dengan menyatakan harus menyelaraskan kebijakan.

4) Organisasi Non-Pemerintah (NGO)

Organisasi ini merupakan organisasi yang anggotanya tidak hanya antar


negara, tetapi juga non-negara.

5) Rezim Internasional
Dimana ada rezim internasional, disitulah negara-negara yang berpartisipasi
dan aktor internasional lainnya harus mengakui adanya kewajiban tertentu dan merasa
terdorong untuk menghormati mereka. Karena ini adalah "pemerintahan tanpa
pemerintah," mereka harus memenuhinya karena mereka menerima legitimasi aturan
dan norma yang mendasari, dan validitas dari prosedur pengambilan keputusan.
Mereka mengharapkan negara dan aktor-aktor lain

11
juga untuk mematuhi dan memanfaatkan prosedur penyelesaian sengketa untuk
menyelesaikan konflik.

6) Aturan Ad Hoc
Dalam situasi di mana IGO yang ada tidak menyediakan forum yang cocok
untuk berurusan dengan masalah tertentu dan IGO baru tidak diperlukan, negara
bagian dan aktor-aktor lain dapat membuat pengaturan ad hoc.

7) Konferensi Global
Konferensi global telah menjadi bagian penting dari proses politik global
untuk mengatasi masalah interdependensi, untuk mencari cara untuk memperbaiki
kehidupan dan kesejahteraan manusia, dan untuk memperkuat bagian lain dari
pemerintahan. Mereka juga berfungsi untuk meningkatkan kesadaran mengenai isu
saling ketergantungan, menggembleng penciptaan, penyebaran, dan berbagi
pengetahuan, menciptakan norma-norma baru dan hukum internasional baru,
menciptakan struktur baru, dan menentukan prioritas politik global. Secara kumulatif,
konferensi global juga mendorong pemahaman tentang keterkaitan antara isu-isu
perlindungan lingkungan, hak yang sama (Terutama bagi perempuan), penghapusan
kemiskinan, meningkatkan akses sumber daya ekonomi, berbagi pengetahuan dan
teknologi, dan partisipasi masyarakat setempat. Konferensi global telah melahirkan
diplomasi multilateral kompleks dengan LSM, ahli ilmiah, perusahaan, dan individu
yang tertarik mencoba untuk mempengaruhi hasil-hasil konferensi.

8) Pemerintahan Swasta
Pemerintahan swasta merupakan salah satu bagian dari pemerintahan global
yang fungsinya adalah untuk menetapkan pedoman untuk pengambilan keputusan
pada penyelesaian masalah yang besar.

4. Global Governance dalam Tata Kelola Lingkungan Global


Munculnya konsepsi global governance dalam diskursus hubungan
internasional merupakan repsons terhadap semakin kompleksnya persoalan yang
dihadapi umat manusi serta menguatnya aktor-aktor baru (non-state) yang mampu
menawakan peran yang lebih beragam. Terkait persoalan dan ancaman yang

12
menghadapi umat manusia dalam dunia internasional, aspek lngkungan hidup
termasuk bagian yang menjadi kepedulian global governance.
Bagi penganut Green Theory seperti Eckersley, ia mengatakan mengenai tata
kelola lingkungan sebagai berikut, “environmental governance should be about
protecting not only the health and wellbeing of existing human communities and
future generations but also the larger web of life, made up of nested ecological
communities at multiple levels of aggregation (such as gene pools populations,
species, ecosystems,” (Eckersley 2007, p. 251).
Ia menyatakan tata kelola lingkungan tidak hanya melindungi kesehatan dan
kesejahteraan dari masyarakat dan generasi masa depan, tapi juga kehidupan makhluk
hidup yang lebih luas, yang terdiri dari jaringan komunitas ekologi pada kesatuan
banyakya tingkat (seperti kelompook populasi genus, spesies, dan ekosistem.
Dengan demikian, isu-isu lingkungan hidup ini menjadi salah satu agenda dan
fokus Hubungan Internasional semenjak akhir abad ke 20. Pada dekade-dekade
terakhir abad ini masalah lingkungan hidup meningkat secara segnifikan. Contohnya
adalah area hutan hujan tropis yang makin menipis hingga 50 persennya sejak 1950an
hingga menyebabkan 10 dari ribuan spesies diperkirakan punah. Masalah-masalah
utama lainnya adalah dari polusi atmosfer yaitu hujan asam, menipisnya lapisan ozon,
dan perubahan iklim.
Menurut Greene, ada beberapa hal yan menjadi alasan mengapa isu
lingkungan ni menjadi salah satu fokus penting dalam Hubungan Internasional. Yang
pertama, beberapa masalah lingkungan hidup sudah menjadi permasalahan global.
Seperti emisi gas yang menyebabkan perubahan iklim di seluruh dunia. Yang kedua,
beberapa masalah lingkungan berhubungan dengan eksploitasi sumber daya yang
dimiliki bersama. Misal jika pembuangan limbah dilakukan di laut perbatasan dua
negara tentu dampaknya juga akan mengenai kedua negara tersebut. Yang ketiga,
banyak masalah lingkungan yang sifatnya transnasional dan tak terikat oleh batas
wilayah. Yang keempat, meskipun permasalahnnya hanya tingkat lokal, namun
dialami lintas negara. Yang kelima, permasalah lingkungan berkaitan juga dengan
ekonomi-sosial maupun politik.
Isu lingkungan hiduo mulai muncul ke permukaan dan diperdepatkan
setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

13
1. Dengan berakhirnya rivalitas ideology maupun militer antar kedua
superpower (AS dan Uni Soviet), maka terdpat kesempatan untuk
membahas isu-isu lain yang kemudian menjadi perdebatan di kalangan
Negara-negara Barat.
2. Terdapatnya kesadaran public dan media terhadap perubahan
lingkungan global karena terdapat gejala-gejala yang mengindikasikan
terjadinya degradasi lingkungan global, seperti musim panas yang
berkepanjangan di Amerika Utara pada tahun 1988.
3. Scientific Communities mulai membeberkan hasil-hasil penelitian
mereka dan memberikan informasi terkait dengan kondisi lingkungan
penelitian mereka dan memberikan informasi terkait dengan kondisi
lingkungan kepada para pembuat kebijakan. Sebagai contoh, scientific
communities memberikan informasi tentag terdapatnya lubang pada
lapisan ozon Antartika pada pertengahan tahun 1980 dan menjelaskan
perihal kerusakan lingkungan ini, dan bagaimana mengatasinya.

Dalam perkembangannya, kepedulian terhadap isu lingkungan hidup semakin


meningkat dan meluas, dan kemudian menjadi isu global yang perlu diperhatikan oleh
global governance dengan alasan berikut ini :10
1. Beberapa masalah lingkungan hidup secara inheren bersifat global.
CFC (chlorofluorocarbons) yang terlepas ke dalam atmosfer
menyumbangkan masalah penipisan ozon stratospheric secara global
dimanapun CFCs dipancarkan, seperti halnya dengan emisi carbon
dioxide menyumbang terhadap perubahan iklim.
2. Beberapa masalah dikaitkan dengan eksploitasi the global commons,
yaitu: sumber-sumber yang menjadi milik bersama dari seluruh
anggota masyarakat internasional, seperti samudera/ocean, atmosfer,
dasar laut, dan ruang angkasa. Banyak yang berpendapat bahwa
sumber-sumber genetic dunia merupakan sebuah sumber global yang
harus dipelihara dan dipertahankan untuk kepentingan bersama.
3. Banyak masalah lingkungan hidup yang secara intinstik internasional,
dalam arti melewati batas-batas Negara, bahkan sekalipun masalah-

10
Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.

14
masalah tersebut seluruhnya tidak bersifat global. Misalnya, emisi
sulphur dioxide yang berasal dari suatu Negara kan dibawa oleh angin
dan mengandung hujan asam bisa menyebar ke beberapa Negara
tetangga mengikuti arah angin. Limbah yang dibuang ked lam laut,
baik tertutup dan semi tertuutp memengaruhi Negara-negara yang
mempunyai pantai berpasir. Masalah-masalah kawasan dan
transnsional seperti itu ada di banyak bagian dunia, dan memberikan
tantangan teknik dan politik terhadap global governance untuk
menanggulanginya.
4. Banyak proses ekspoloitasi yang berlebihan atau degradasi lingkungan
hidup yang secara relative dalam skala local atau nasional, dan ini
terjadi di sejumlah besar tempat di seluruh dunia, yang kemudian
dipandang sebagai masalah-masalah global. Misalnya masalah-
masalah yang mencakup praktik pertanian yang tidak berkelanjutan,
deferostasi, polusi sungai, dan banyak masalah lingkungan yang
dikaitkan dengan urbanisasi dan praktik-praktik industry. Isu-isu
lingkungan hidup ini secara tidak langsung merupakan bagian dari
ekonomi politik global, yang dikaitkan dengan generasi dan distribusi
kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan, serta pola-pola konsumsi
energy, industrialisasi, pertumbuhan penduduk, kehidupan yang
melimpah dan kemiskinan.

Bentuk global governance mengenai isu lingkungan hidup sebenarnya sudah


ada sejak jaman dahulu. Pada awalnya, fokus isu lingkungan hidup ini telah ada
semenjak tahun 1900an dalam konteks kesepakatan saja. Misalnya adalah IMO yang
dibentuk tahun 1948 yang memfasilitasi perkapalan internasional, navigasi, dan
mempromosikan keselamatan dalam berlayar. Kemudian mulai tahun 1970an
dibentuklah konferensi tingkat internasional yakni Stockholm Conference yang
dibentuk oleh UNCHE. Diadakannya konferensi ini sebagai respon atas munculnya
permasalahan polusi dan isu lingkungan lainnya. Konferensi ini juga merupakan awal
isu lingkungan yang menjadi terlembaga yang mana telah terdapat prinsip-prinsip dan
pentingnya peran negara dalam merespon permasalah lingkungan ini. Di pertengahan
tahun 1970an-1980an diadakanlah berbagai konferensi yang telah mengmbangkan

15
berbagai prisip dan konsep. Di tahun-tahun itu jugalah gerakan hijau (green party),
NGOs, dan organisasi internasional mulai muncul dan menjadi aktor dalam hubungan
internasional.
Konferensi paling besar yaitu pada tahun 1992. UNCED mengadakan
konferensi di Rio de Jeneiro yang mengangkat masalah yang berkaitan dengan
masalah lingkungan seperti penemuan lubang di ozon, bukti-bukti global warming
atau perubahan iklim, biodiversitas yang hilang dan penipisan jumlah ikan. Pada
konferensi ini juga diperkenalkan akan konsep perkembangan berkelanjutan dan
rekonstruksi fasilitas lingkungan hidup global. Hasil dari konferensi ini juga adalah
agenda 21 yang berisi program dan prinsip untuk mengatur berbagai sektor
lingkungan serta mengahasilkan diantaranya hak negara yang berdaulat untuk
memanfaatkan SDAnya, hak negara untuk berkembang, prioritas untuk kebutuhan
pengembangan negara dan lebih banyak bantuan keuangan terhadap negara miskin.
Meskipun begitu, prinsip dan program dari konferensi ini sayangnya bersifat sukarela.
Teori-teori dan asumsi-asumsi yang ada dalam perspektif-perspektif studi
Hubungan Internasional tentu ada juga dalam isu lingkungan. Salah satu asumsinya
pasti berkaitan dengan peran negara yang mana dalam tradisi dominan Hubungan
Internasioanl sifatnya adalah state-centric. Sedangkan dalam isu lingkungan dalam
kaitannya dengan negara adalah adanya permasalahan lingkungan memunculkan
pertanyaan akan kedaulatan negara dalam menjaga lingkungan alamnya dan dalam
mengatur kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Selain itu negara dalam
mengatasi lingkungan ini mempunyai peran yang sama penting dengan aktor-aktor
Hubungan Internasional yang lain dan konferensi maupun perjanjian yang diadakan.
Karena dalam menghadapi permasalahan yang krusial ini tentu dibutuhkan banyak
pihak seperti di kalimat sebelumnya, yaitu peran aktor-aktor non state.
Selain berhubungan dengan peran negara, isu lingkungan hidup ini juga
berhungan dengan knowledge, power, dan interest. Knowledge dan scientific ini
sangat berguna dalam membantu mengatur agenda, mempengaruhi pola pengaruh
dan power, dan membentuk dugaan berdasarkan ada prioritas dan interest. Selain itu,
komunitas dari ilmuan dan para ahli juga bisa memberikan pengaruh substansial lain
seperti menganalisa dan memantau jika ada permasalahan lingkungan.
Salah satu studi kasus tentang peran Global Governance pada isu lingkungan
adalah dengan adanya peran Greenpeace. Dalam menanggulangi masalah pencemaran

16
air dan udara di China, Greenpeace melakukan serangkain kegiatan. Greenpeace
melakukan berbagai kegiatan yakni, melakukan kampanye terhadapa masalah
pencemaran udara dan air, advokasi; bersama masyarakat menekan kebijakan
pemerintah China dalam hal lingkungan. Melakukan monitoring, penelitian, dan
evaluasi ialah Greenpeace mengawasi kebijakan lingkungan da aktivitas perusahaan
atau institusi dalam menjaga lingkungan dan pencemaran yang terjadi. Memberikan
fasilitas komunikasi yakni Greenpeace sangat berperan besar dalam membentuk pola
komunikasi yang terarah dan baik antara masyarakat maupun institusi perusahaan
yang sering kali mengalami konflik lingkungan. Greenpeace dapat dikatakan telah
mampu menangani permasalahan pencemaran air dan udara di China, karena berbagai
tindakan Greenpeace telah menghasilkan berbagai tindakan yang mengarah pada
perbaikan mutu lingkungan hidup di China, terkait pencemaran udara dan air.
Kemudian, analisis terhadap hasil pencapaian Greenpeace di China
menjelaskan tentang adanya keuntungan atau dampak positif yang di 1673 Peran
Greenpeace Dalam Penanganan Kerusakan Lingkungan (Dori & Tri Joko) dapat oleh
Greenpeace dalam menangani permasalahan lingkungan di China. China sebagai
negara yang tertutup dan sangat ketat terhadap bentuk intervensi yang dilakukan
pihak asing untuk ikut serta dalam menangani permasalahan dalam negerinya,
menjadikan sulitanya pihak asing untuk masuk dan ikut serta dalam menyelsaikan
permasalahan tersebut.
Dalam hal ini, Greenpeace dapat dikatakan mampu dan berhasil untuk ikut
serta menyelsaikan permasalahan lingkungan hidup yang terjadi. Berdasarkan
pemahaman atas perspektif pluralism yang menyatakan hubungan internasional tidak
hanya terbatas pada hubungan antar negara saja, tetapi juga merupakan hubungan
antar individu dan kelompok kepentingan dimana negara tidak selalu sebagai aktor
utama dan aktor tunggal. Dalam kacamata pluralism, aktor lain bias masuk dalam
suatu negara apabila negara tersebut tidak mampu bertindak secara rasional dalam
menyelsaikan permasalahan dalam negerinya, China dalam hal ini dipandang tidak
mampu menyelsaikan permasalahan lingkungan yang terjadi.
Melihat hal tersebut, Greenpeace telah dapat menunjukkan eksistensi sebagai
NGO lingkungan hidup yang memiliki Bargaining Power, dengan adanya hal tersebut,
memudahkan Greenpeace untuk menangani permasalahan lingkungan hidup
khusunya di kawasan negara-negara di Asia. Kemudian prestasi Greenpeace atas

17
pencapainnya tersebut juga dapat dijadikan sebagai pencitraan untuk Greenpeace
sebagai salah satu Organisasi Lingkungan hidup dalam skala internasional.

5. Rezim Lingkungan
Stephen Krasner (1977) berpendapat bahwa definisi rezim internasional adalah
seperangkat prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan dimana
harapan aktor bertemu dalam suatu wadah.11 Walaupun tidak disadari, rezim berlaku
pada setiap aspek kecil dalam hidup manusia, kancing baju contohnya (Purnomo,
2014). Mulai dari aspek terkecil hingga aspek yang mempengaruhi hidup manusia
secara keseluruhan. Lingkungan, merupakan topik yang sedang “naik daun” dalam
dunia rezim internasional. Walaupun pada awalnya tidak dianggap penting oleh ranah
hubungan internasional (hi), akhir tahun 1990-an merupakan awal keterbukaan ranah
hi terhadap perspektif alternatif. Penulis akan membahas rezim lingkungan dengan
membawa studi kasus Protokol Kyoto menggunakan review jurnal dari Sabenius
James (1991), Carsten Helm & Sprinz Detlef (2000).
Rezim lingkungan dapat didefinisikan sebagai sebuah rezim yang mengatur
dan membas tentang lingkungan pada lingkup internasional. Secara garis besar, rezim
lingkungan muncul dikarena perubahan alam yang signifikan dan menimbulkan
kekhawatiran akan dampaknya. Negara merasa membutuhkan suatu rezim lingkungan
untuk mengatasi isu tersebut. Dalam perkembangannya terdapat beberapa rezim
lingkungan yaitu UNCLOS, Protokol Montreal, Protokol Helsinki, Protokol Sofia dan
yang paling sering dibahas adalah Protokol Kyoto (Sabenius, 1991)12
Perbedaan rezim lingkungan dan rezim internasional lainnya adalah proses
terbentuknya rezim lingkungan didorong oleh kesadaran negara yang terlibat.
Spontaneous order lebih mendominasi di mana respon terhadap isu lingkungan yang
sedang terjadi, adalah yang melatarbelakangi munculnya rezim lingkungan. Terdapat
beberapa hambatan yang dihadapi oleh rezim lingkungan, yaitu aspek teknis dan
ideologis-politis. Aspek teknis menyangkut sulitnya pencapaian solusi dikarenakan
hasil yang tidak konkrit. Contohnya adalah pengurangan emisi yang dicanangkan oleh
Protokol Kyoto, pengurangan kerusakan akibat pengurangan emisi tidak dapat dilihat

11
Margaret Kans & Karen Mingst, 2004. International Organizations: The Politics and Processes of Global
Governance.
12
Sebenius, James. 1991. “Designing negotiations toward a new regime: the case of global
warming”. International Security, vol. 15, no. 4, pp. 110-148.

18
langsung hasilnya. Sedangkan aspek ideologis-politis, banyak negara yang menolak
rezim dikarenakan kepentingan yang berbenturan (Sebenius, 1991).13 Permasalahan
lingkungan muncul akibat tindakan manusia, secara rasional akan adil jika manusia
berkontribusi untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan.
Permasalahan lingkungan ini selain perlu adanya dukungan dari negara-negara
tentu perlu juga dikembangkannya rezim yang membantunya. Dalam pengembangan
rezim ini ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Yang pertama adalah membentuk
tahapan agenda. Pada tahapan ini, permasalahan lingkungan telah dideteksi dan sudah
menjadi agenda bagi politik internasional yang mana perlu adanya negosiasi dan
pengambilan keputusan. Yang kedua, tahapan negosiasi dan pengambilan keputusan.
Pada tahapan ini proses politik dibawa pada isu yang menjadi daftar teratas dari
agenda. Kemudian keputusan internasional akan membuat kebijakan dan peraturan
untuk menyelesaikan atau menangani isu tersebut. Yang ketiga adalah tahapan
implementasi. Pada tahapan ini, semua aktifitas terlibat dalam implementasi
keputusan dan kebijakan sebagai respon dari permasalahan atau isu. Rezim ini akan
bertahan bila aktor di dalamnya dapat berkomitmen dan dan berpartisipasi. Yang
keempat, rezim perlu adanya perkembangan lebih lanjut untuk meningkatkan
keefektifannya. Bisa dengan terlembaganya rezim, memahami permasalahan dengan
baik, atau dengan kesempatan baru dalam politik atau ekonomi.

13
ibid

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan menguatnya globalisasi dan melemahnya peran Negara, maka
berbagai persoalan atau masalah terlebih melibatkan lebih dari satu aktor,
Negara maupun non-negara harus diselesaikan melalui sebuah kerja sama
antaraktor. Ketidakmampuan Negara dalam mengambil keputusan untuk
menyelesaikan masalah yang melibatkan kepentingan berbagai pihak itu
menimbulkan sebuah krisis otoritas tentang siapakah yang kemudian berhak
mengatur dan mengambil keputusan tentang suatu masalah. Hal ini
mendorong perlunya sebuah tata kelola yang bersifat global atau sering
disebut dengan Global Governance.
Global Governance merupakan kumpulan kegiatan pemerintahan
terkait, aturan, dan mekanisme, formal dan informal yang ada di berbagai
tingkatan di dunia saat ini. Contoh yang berkaitan dengan isu lingkungan
adalah UNEP, UNFCCC, GreenPeace, Green Party, dan lain-lain.
Rezim lingkungan sebagai salah satu bagian dari Global Governnce
juga memiliki andil dalam menanggulangi masalah-masalah lingkungan hidup,
seperti Protokol Montreal, Protokol Kyoto, REDD, dan lain-lain.

20
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Kans, Margaret & Karen Mingst, 2004. International Organizations: The Politics and
Processes of Global Governance.

Lee & McBride (eds.) 2007. Neo-Liberalism, State Power and Global Governance. AA
Dordcrecht: Springer.

Rosenau, J., 1992. Governance, Order and Change in World Politics, New York: Cambridge
University

Thakur, R. & Weiss, T.G. (2015) Chapter 2, Framing Global Governance, Five Gaps, in
Steger, M., The Global Studies Reader, New York, New York: Oxford University
Press.

Winarno, Budi, 2008. Globalisasi: Peluang atau Ancaman Bagi Indonesia, Jakarta: Erlangga.

Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.

Jurnal

Sebenius, James. 1991. “Designing negotiations toward a new regime: the case of global
warming”. International Security, vol. 15, no. 4

Online

http://www.greenpeace.org/international/about/our-mission, diakses pada tanggal 14 Maret


2017 “Action at Coal Power Plant in Beijing”

World Health Organization (WHO) (2015). Global Governance. Maret 2017. Available
Online: http://www.who.int/trade/glossary/story038/en/

www.unscap.org

21

Anda mungkin juga menyukai