1. Cara Diagnosis
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan
yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara
langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan
1
dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim,
2000).
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan
karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan
imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan
adanya bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi
atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat
diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pnemonia.
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan
menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi
lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika
(terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan
tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia
mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa
Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri
yang selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di
negara maju pnemonia pada balita disebabkan oleh virus.
Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan
atau kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat)
sesuai umur. Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung
frekuensi pernafasan dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat
adalah :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali
per menit atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50
kali per menit atau lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40
kali per menit atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan
ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak
60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding
dada sebelah bawah ke dalam. Rujukan penderita pnemonia berat
2
dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai
adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Pada klasifikasi bukan
pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa (common cold),
pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.
3
patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa
yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus
bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran pernafasan sehingga timbul
sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini
dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi.
Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan
infeksi virus pada saluran pernafasan dapat menimbulkan gangguan gizi akut
pada bayi dan anak. Virus yang menyerang saluran pernafasan atas dapat
menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat
menyebabkan kejang, demam, dan juga menyebar ke saluran pernafasan
bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri pun menyerang saluran pernafasan
bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam
saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi
paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Colman, 1992).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan
aspek imunologis saluran pernafasan terutama dalam hal bahwa sistem imun
di saluran pernafasan yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama
dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran pernafasan
yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri
khas sistem imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa imunoglobulin
A (IgA) memegang peranan pada saluran pernafasan atas sedangkan
imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan bawah. Diketahui pula
bahwa sekretori IgA sangat berperan dalam mempertahankan integritas
mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu:
1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan
mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan
daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.
4
3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit.
Timbul gejala demam dan batuk.
4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat
sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis
dan dapat meninggal akibat pneumonia.
C. Pengobatan ISPA
ISPA mempunyai variasi klinis yang bermacam-macam, maka timbul
persoalan pada diagnostik dan pengobatannya. Sampai saat ini belum ada
obat yang khusus antivirus. Idealnya pengobatan bagi ISPA bakterial adalah
pengobatan secara rasional dengan mendapatkan antimikroba yang tepat
sesuai dengan kuman penyebab. Untuk itu, kuman penyebab ISPA dideteksi
terlebih dahulu dengan mengambil material pemeriksaan yang tepat,
kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiologik, baru setelah itu diberikan
antimikroba yang sesuai (Halim, 2000).
Kesulitan menentukan pengobatan secara rasional karena kesulitan
memperoleh material pemeriksaan yang tepat, sering kali mikroorganisme itu
baru diketahui dalam waktu yang lama, kuman yang ditemukan adalah kuman
komensal, tidak ditemukan kuman penyebab. Maka sebaiknya pendekatan
yang digunakan adalah pengobatan secara empirik lebih dahulu, setelah
diketahui kuman penyebab beserta anti mikroba yang sesuai, terapi
selanjutnya disesuaikan.
Di dalam referensi yang lain berikut ini disebutkan macm-macam
pengobatan untuk para penderita Pneumonia.
1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigen dan sebagainya.
2. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan
di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat
5
batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,
dekstrometorfan dan antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun
panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada
pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai
pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang
tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik
(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan
tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan
selanjutnya.
6
ISPA merupakan penyebab utama kematian adalah banyaknya penderita ISPA
yang terus meningkat.
Berdasarkan DEPKES (2006) juga menemukan bahwa 20-30%
kematian disebabkan oleh ISPA. Selanjutnya berdasarkan hasil laporan
RISKESDAS pada tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada baduta
(>35%), ISPA venderung terjadi lebih tinggi pada kelompok dengan
pendidikan dan tingkat pengeluaran rumah tangga yang rendah.
Data Kemenkes menunjukkan bahwa penyakit ISPA di Indonesia
sepanjang 2007 sampai 2011 mengalami tren kenaikan. Pada 2007 jumlah
kasus ISPA berkategori batuk bukan Pneumonia sebanyak 7.281.411 kasus
dengan 765.333 kasus Pneumonia, kemudian pada 2011 mencapai 18.790.481
juta kasus batuk bukan pneumonia dan 756.577 pneumonia.
7
pada bayi berumur kurang dari satu tahun, sedangkan menurut Sukar et
al. (1996), anak berumur kurang dari dua tahun memiliki resiko lebih
tinggi untuk terserang ISPA. Depkes (2000), menyebutkan resiko
terjadinya ISPA yaitu pneumonia terjadi pada umur lebih muda lagi yaitu
kurang dari dua bulan.
3. Faktor Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil SDKI tahun 1997 menunjukkan adanya
perbedaan prevalensi 2 minggu pada balita dengan batuk dan napas cepat
(yang merupakan ciri khas pneumonia) antara anak laki-laki dengan
perempuan, dimana prevalensi untuk anak laki-laki adalah 9,4%
sedangkan untuk anak perempuan 8,5% (Depkes RI, 1997).
Ada kecendrungan anak laki-laki lebih sering terserang infeksi dari
pada anak perempuan, tetapi belum diketahui faktor yang
mempengaruhinya (Soetjiningsih, 1995).
4. Faktor Vitamin
Diketahui adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan
resiko terjadi ISPA. Anak dengan xerophthalmia ringan memiliki resiko
2 kali untuk menderita ISPA. Depkes (2000), menyebutkan bahwa
keadaan defisiensi vitamin A merupakan salah satu faktor resiko ISPA.
Defisiensi vitamin A dapat menghambat pertumbuhan balita dan
mengakibatkan pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan.
Gangguan pada epitel ini juga menjadi penyebab mudahnya terjadi ISPA.
5. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)
Malnutrisi dianggap bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita
terutama pada Negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah
dipahami karena keadaan malnutrisi menyebabkan lemahnya daya tahan
tubuh anak. Hal tersebut memudahkan kemasukan agen penyakit ke
dalam tubuh. Malnutrisi menyebabkan resistensi terhadap infeksi
menurun oleh efek nutrisi yang buruk. Menurut WHO (2000), telah
dibuktikan bahawa adanya hubungan antara malnutrisi dengan episode
ISPA.
8
6. Status Imunisasi
Telah diketahui secara teoritis, bahwa imunisasi adalah cara untuk
menimbulkan kekebalan terhadap berbagai penyakit (Kresno, 2000). Dari
penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Sebodo (1996), didapatkan
proporsi kasus balita penderita ISPA terbanyak terdapat anak yang
imunisasinya tidak lengkap (10,25%).
7. Status Sosioekonomi
Diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi
yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan
masyarakat. Sebuah penelitian di Filipina telah membuktikan bahwa
sosiaoekonomi orang tua yang rendah akan meningkatkan resiko ISPA
pada anak usia kurang dari 1 tahun (Tupasi et al., 1988).
8. Faktor Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Penelitian-penelitian yang dilakukan pada sepuluh tahun terakhir
ini menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi cairan tubuh
untuk melawan infeksi bakteri dan virus. Penelitian di Negara-negara
sedang berkembang menunjukkan menunjukkan bahwa ASI melindungi
bayi terhadap infeksi saluran pernapasan berat (Djaja, 2000).
Jika produksi ASI cukup, pertumbuhan bayi umur 4-5 bulan
pertama akan memuaskan, pada umur 5-6 bulan berat badan bayi menjadi
2 kali lipat dari pada berat badan lahir, maka sampai umur 4-5 bulan
tidak perlu memberi makanan tambahan pada bayi tersebut (Pudjiadi,
2000).
Lemahnya koordinasi menelan pada bayi umur dibawah 4 bulan
dapat menimbulkan aspirasi kedalam saluran pernapasan menjadi pemicu
untuk terjadinya infeksi saluran pernapasan (Ngastiyah, 1997).
9. Faktor Pencemaran Udara Dalam Lingkungan
Pencemaran udara di dalam rumah selain berasal dari luar ruangan
dapat pula berasal dari sumber polutan di dalam rumah terutama aktivitas
penghuninya antara lain, penggunaan biomassa untuk memasak maupun
pemanas ruangan, asap dari sumber penerangan yang menggunakan
bahan bakar, asap rokok, penggunaan obat anti nyamuk, pelarut organik
9
yang mudah menguap (formaldehid) yang banyak dipakai pada peralatan
perabot rumah tangga dan sebagainya (Mukono, 1997).
Menurut soesanto (2000) yang dikutip dari Samsuddin (2000),
rumah dengan bahan bakar minyak tanah baik untuk memasak maupun
sumber penerangan memberikan resiko terkena ISPA pada balita 3,8 kali
lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar gas.
Asap rokok dalam rumah juga merupakan penyebab utama
terjadinya pencemaran udara dalam ruangan. Hasil penelitian yang
dilakukan Charles (1996), menyebutkan bahwa asap rokok dari orang
yang merokok dalam rumah serta pemakaian obat nyamuk bakar juga
merupakan resiko yang bermakna terhadap terjadinya penyakit ISPA.
Penggunaan obat anti nyamuk bakar sebagai alat untuk
menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran
pernapasan karena hasilnya asap dan bau yang tidak sedap. Adanya
pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme
pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan
pernapasan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indra Chahaya
pemakaian obat nyamuk bakar mempunyai exp (B) 19,97 yang berarti
faktor pemakaian obat nyamuk bakar mempunyai 19 kali beresiko
terhadap terjadiya ISPA.
Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernapasan
dapat menyebabkan terjadinya:
a. Iritasi pada saluran pernapasan, hal ini dapat menyebabkan pergerakan
silia menjadi lambat, bahkan berhenti, sehingga mekanisme
pembersihan saluran pernapasan menjadi terganggu.
b. Peningkatan produksi lendir akibat iritasi bahan pencemar.
c. Produksi lendir dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan.
d. Rusaknya sel pembunuh bakteri saluran pernapasan.
e. Pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang pertumbuhan sel
sehingga saluran pernapasan menjadi menyempit.
f. Lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir
10
Akibat hal tersebut di atas maka menyebabkan terjadinya kesulitan
bernapas, sehingga benda asing termasuk Mikroorganisme tidak dapat
dikeluarkan dari saluran pernapasan dan hal ini akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran pernapasan (Soewasti, 2000).
10. Ventilasi
Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar,
mencegah akumulasi gas beracun dan mikroorganisme, memelihara
temperatur dan kelembaban optimum terhadap udara di dalam ruangan.
Ventilasi yang baik akan memberikan rasa nyaman dan menjaga
kesehatan penghuninya (Mukono, 1997).
Penelitian yang dilakukan oleh Soewasti (2000) membuktikan
bahwa ventilasi berhubungan dengan kejadian ISPA. Penderita ISPA
banyak di temukan pada masyarakat yang mempunyai Ventilasi rumah
dengan perhawaan paling kecil (0 - 0,99 m).
11. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam
rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin
cepat udara di dalam rumah akan mengalami pencemaran. Hal ini sesuai
dengan penelitian Achmadi (1990) yang dikutip oleh Chahaya (2005),
bahwa rumah yang padat sering kali menimbulkan gangguan pernapasan
terutama pada anak-anak dan pengaruh lain pada anak-anak adalah mereka
menekan tumbuh kembang mentalnya. Menurut hasil penelitian Hidayati
(2003) yang di kutip oleh Agustama (2005) menunjukkan bahwa dengan
kepadatan rumah yang tidak memenuhi syarat terhadap terjadinya ISPA
pada balita sebesar 68% dimana jika terjadi kepadatan dalam hunian kamar
akan menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental maupun
moril. Rumah dengan penghuni kamar yang padat akan memudahkan
terjadinya penularan penyakit saluran pernapasan.
11
F. Cara Pencegahan ISPA
Cara pencegahan berdasarkan level of prevention:
1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat
kesehatan (health promotion) dan pencegahan khusus (spesific protection)
terhadap penyakit tertentu. Termasuk disini adalah :
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini
diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap
hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan
penyuluhan ini dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan
ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada
ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan bahaya
rokok.
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi
angka kesakitan ISPA.
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir
rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani
masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.
2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan
dan diagnosis sedini mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA,
seorang balita keadaan penyakitnya termasuk dalam klasifikasi bukan
pneumonia apabila ditandai dengan batuk, serak, pilek, panas atau demam
(suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera diberi
pengobatan.
Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPaA atau
bukan pneumonia adalah tanpa pemberian obat antibiotik dan diberikan
perawatan di rumah. Adapun beberapa hal yang perlu dilakukan ibu untuk
mengatasi anaknya yang menderita ISPA adalah :
a. Mengatasi panas (demam).
12
b. Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau
dengan kompres dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air
(tidak perlu air es).
c. Pemberian makanan dan minuman
Memberikan makanan yang cukup tinggi gizi sedikit-sedikit
tetapi sering, memberi ASI lebih sering. Usahakan memberikan cairan
(air putih, air buah) lebih banyak dari biasanya.
13
2. Imunisasi
Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak
maupun orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan
tubuh kita supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang
disebabkan oleh virus / bakteri.
2. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan
mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah,
sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa
menyebabkan terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat
memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat
bagi manusia.
3. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/
bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini
melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini
biasanya berupa virus / bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol
(anatu suspensi yang melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni
Droplet, Nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari
tubuh secara droplet dan melayang di udara), yang kedua duet (campuran
antara bibit penyakit).
14
angka kematian akibat ISPA dan pneumonia pada tahun 1999 untuk negara
Jepang yaitu 10%, Singapura sebesar 10,6%, Thailand sebesar 4,1%, Brunei
sebesar 3,2% dan Philipins tahun 1995 sebesar 11,1% (SEAMIC Health
Statistics, 2000)
ISPA menyebabkan 40% dari kematian anak usia 1 bulan sampai 4
tahun. Hal ini berarti dari seluruh jumlah anak umur 1 bulan sampai 4 tahun
yang meninggal, lebih dari sepertiganya meninggal karena ISPA atau diantara
10 kematian 4 diantaranya meninggal disebabkan oleh ISPA (DepKes, 1985).
Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa
20-35% kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA. Diperkirakan
bahwa 2-5 juta bayi dan balita di berbagai negara setiap tahun mati karena
ISPA (WHO, 1986)
15
bulan (4,5%), 6-11 bulan (11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan
(9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan (8,0%).
ISPaA merupakan penyakit yang morbiditasnya sangat tinggi pada
kelompok anak-anak. Episode penyakit batuk pilek pada balita
diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun), sehingga
penyakit saluran pernafasan akut merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di seluruh dunia.
2. Menurut Tempat (place)
Dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka
kesakitan ISPA di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini
mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan
pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa.
Menurut penelitian Djaja, dkk (2001) didapatkan prevalensi ISPA di
perkotaan (11,2%) lebih tinggi daripada di pedesaan (8,4%). Prevalensi di
Jawa-Bali (10,7%) lebih tinggi daripada di luar Jawa-Bali (7,8%).
3. Menurut Waktu (time)
Berdasarkan data SKRT 1986-2001, diketahui proporsi kematian
ISPA di Indonesia yaitu pada bayi (umur 0-<1 tahun) di tahun 1986
sebesar 18,85%, tahun 1992 sebesar 36,40%, tahun 1995 sebesar 32,10%
dan tahun 2001 sebesar 27,60% dan pada balita (umur 1-4 tahun) di tahun
1986 sebesar 22,80%, tahun 1992 sebesar 18,20%, tahun 1995 sebesar
38,80% dan tahun 2001 sebesar 22,80%.
Hasil survei program P2ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara
Barat) selama kurun waktu 2000-2002 kasus ISPA terlihat berfluktuasi,
tahun 2000 dengan proporsi 30,1% (479.283 kasus), tahun 2001 proporsi
22,6% (620.147 kasus) dan tahun 2002 proporsi menjadi 22,1% (532.742
kasus).
16
I. Tujuan P3M ISPA
1. Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia.
2. Tujuan Khusus
a. Pengendalian Pneumonia Balita
1) Tercapainya cakupan penemuan pneumonia Balita sebagai berikut
(tahun 2010: 60%, tahun 2011: 70%, tahun 2012: 80%, tahun 2013:
90%, tahun 2014: 100%).
2) Menurunkan angka kematian pneumonia Balita sebagai kontribusi
penurunan angka kematian Bayi dan Balita, sesuai dengan tujuan
MDGs (44 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup) dan Indikator
Nasional Angka Kematian Bayi (34 menjadi 23 per 1.000 kelahiran
hidup).
b. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta
penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah
1) Tersusunnya dokumen Rencana Kontijensi Kesiapsiagaan dan
Respon terhadap Pandemi Influenza di 33 provinsi pada akhir tahun
2014.
2) Tersusunnya Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan
Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.
3) Tersosialisasinya pedoman-pedoman yang terkait dengan
Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun
2014.
4) Tersusunnya Pedoman Latihan (Exercise) dalam Kesiapsiagaan dan
Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.
c. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun
Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia di Rumah
Sakit dan Puskesmas dari 10 provinsi pada tahun 2007 menjadi 33
provinsi pada akhir tahun 2014.
17
d. Faktor risiko ISPA
Terjalinnya kerjasama/ kemitraan dengan unit program atau
institusi yang kompeten dalam pengendalian faktor risiko ISPA
khususnya Pneumonia.
18
1. Advokasi dan Sosialisasi
Advokasi dan sosialisasi merupakan kegiatan yang penting dalam
upaya untuk mendapatkan komitmen politis dan kesadaran dari semua
pihak pengambil keputusan dan seluruh masyarakat dalam upaya
pengendalian ISPA dalam hal ini Pneumonia sebagai penyebab utama
kematian bayi dan Balita.
a. Advokasi
Dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka mendapatkan
komitmen dari semua pengambil kebijakan.
b. Sosialisasi
Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran,
kemandirian dan menjalin kerjasama bagi pemangku kepentingan di
semua jenjang melalui pertemuan berkala, penyuluhan/KIE.
19
a. Penemuan penderita pneumonia
Penemuan dan tatalaksana Pneumonia merupakan kegiatan inti
dalam pengendalian Pneumonia Balita.
1) Penemuan penderita secara pasif
Dalam hal ini penderita yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
seperti Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Rumah Sakit dan Rumah
sakit swasta.
2) Penemuan penderita secara aktif
Petugas kesehatan bersama kader secara aktif menemukan penderita
baru dan penderita pneumonia yang seharusnya datang untuk
kunjungan ulang 2 hari setelah berobat.
20
b. Perkiraan jumlah penderita Pneumonia Balita (Perkiraan
pneumonia Balita)
Perkiraan jumlah penderita Pneumonia Balita suatu Puskesmas
didasarkan pada angka insidens Pneumonia Balita dari jumlah Balita di
wilayah kerja Puskesmas yang bersangkutan. Jika angka insidens
pneumonia untuk suatu daerah belum diketahui maka dapat digunakan
angka perkiraan (nasional) insidens pneumonia Balita di Indonesia yang
dihitung 10 % dari total populasi balita.
Jumlah Balita di suatu daerah diperkirakan sebesar 10% dari
jumlah total penduduk. Namun jika provinsi, kabupaten/kota memiliki
data jumlah Balita yang resmi/riil dari pencatatan petugas di
wilayahnya, maka dapat menggunakan data tersebut sebagai dasar
untuk menghitung jumlah penderita pneumonia Balita.
Rumus perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita di suatu
wilayah kerja per tahun adalah sebagai berikut :
1) Bila jumlah Balita sudah diketahui
Insidens pneumonia Balita = 10% jumlah balita
Contoh:
Jumlah Balita di Puskesmas Rembulan = 10.000 Balita
Maka perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita =
10% x 10.000 = 1.000 Balita
Atau :
2) Bila jumlah Balita belum diketahui
Perkiraan jumlah Balita = 10% jumlah penduduk
Contoh:
Angka insidens Pneumonia Balita =10%
Perkiraan jumlah Balita = 10% jumlah penduduk
Jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Melati = 30.000 orang
Maka:
Perkiraan jumlah penderita pneumonia di wilayah kerja tersebut per
tahun adalah:
10% x 10% x 30.000 = 300 Balita/tahun
21
Perkiraan Jumlah penderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas
Melati per bulan adalah :
10% ×10%×30.000
= 25 Balita/bulan
12
Berarti Puskesmas Melati tidak mencapai target 70%, oleh karena itu
perlu dianalisis penyebab permasalahannya sehingga dapat diketahui
pemecahan masalah dan dapat ditindaklanjuti untuk tahun berikutnya.
d. Tatalaksana pneumonia Balita
Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan
Pengendalian ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada Balita
didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan
WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi
Indonesia.
22
Bagan 2. Tatalaksana penderita batuk dan atau kesukaran bernapas
umur < 2 Bulan
23
3. Ketersediaan Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
pengendalian ISPA. Penyediaan logistik dilakukan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku dan menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan pembagian kewenangan
antara pusat dan daerah maka pusat akan menyediakan prototipe atau
contoh logistik yang sesuai standard (spesifikasi) untuk pelayanan
kesehatan. Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban memenuhi
kebutuhan logistik sesuai kebutuhan. Logistik yang dibutuhkan antara lain:
a. Obat
1) Tablet Kotrimoksazol 480 mg
2) Sirup Kotrimoksazol 240 mg/5 ml
3) Sirup kering Amoksisilin 125 mg/5 ml
4) Tablet Parasetamol 500 mg
5) Sirup Parasetamol 120 mg/5 ml.
24
Untuk menghindari kelebihan obat maka perhitungan kebutuhan
obat berdasarkan hasil cakupan tahun sebelumnya dengan tambahan
10% sebagai buffer stock.
Contoh penghitungan kebutuhan obat:
Target cakupan tahun 2011 = 70%
Pencapaian cakupan tahun 2010 = 30%
Perkiraan jumlah penderita pneumonia Balita = 300 Balita/tahun
Kebutuhan tablet Kotrimoksazol 480 mg setahun
= hasil cakupan tahun sebelumnya x perkiraan pneumonia balita x 6
tablet + 10% bufferstock
= (30% x 300 x 6 tablet ) + 10% (30% x 300 x 6 tablet )
= 540 tablet + 54 tablet = 594 tablet
b. Alat
1) Acute Respiratory Infection Soundtimer
Digunakan untuk menghitung frekuensi napas dalam 1 menit. Alat
ini memiliki masa pakai maksimal 2 tahun (10.000 kali pemakaian).
Jumlah yang diperlukan minimal:
a) Puskesmas
3 buah di tiap Puskesmas
1 buah di tiap Pustu
1 buah di tiap bidan desa, Poskesdes, Polindes, Ponkesdes
b) Kabupaten
1 buah di dinas kesehatan kabupaten/kota
1 buah di rumah sakit umum di ibukota kabupaten/kota
c) Provinsi
1 buah di dinas kesehatan provinsi
1 buah di rumah sakit umum di ibukota provinsi.
2) Oksigen konsentrator
Untuk memproduksi oksigen dari udara bebas. Alat ini
diperuntukkan khususnya bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang
25
menyelenggarakan rawat inap dan unit gawat darurat yang
mempunyai sumber daya energi (listrik/ generator).
3) Oksimeter denyut (Pulseoxymetry)
Sebagai alat pengukur saturasi oksigen dalam darah diperuntukan
bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki oksigen
konsentrator.
c. Pedoman
Sebagai pedoman dalam melaksanakan pengendalian ISPA. Dinas
Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Puskesmas
masing-masing minimal memiliki 1 set buku pedoman Pengendalian
ISPA, yang terdiri dari:
1) Pedoman Pengendalian ISPA
2) Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita
3) Pedoman Autopsi Verbal
4) Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza
5) Pedoman Respon Nasional menghadapi Pandemi Influenza
d. Media KIE (Elektronik dan Cetak)
1) DVD Tatalaksana pneumonia Balita.
Media ini berisi cara-cara bagaimana memeriksa anak yang
menderita batuk, bagaimana menghitung frekuensi napas anak dalam
satu menit dan melihat tanda penderita Pneumonia berat berupa
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chestindrawing).
3) TV spot dan Radio Spot tentang pneumonia Balita.
4) Poster, Lefleat, Lembar Balik, Kit Advokasi dan Kit Pemberdayaan
Masyarakat.
e. Media pencatatan dan pelaporan
1) Stempel ISPA
Merupakan alat bantu untuk pencatatan penderita pneumonia Balita
sebagai status penderita.
2) Register harian Pneumonia (non sentinel dan sentinel).
3) Formulir laporan bulanan (non sentinel dan sentinel)
26
Pemantauan logistik dilaksanakan sampai di fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama (dengan menggunakan formulir supervisi) yang
dilakukan oleh petugas pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Di semua
tingkat pemantauan dilakukan sesuai dengan ketentuan pengelolaan barang
milik pemerintah (UU No.19 tahun 2003 tentang badan usaha milik
negara). Penilaian kecukupan logistik dapat dilihat dari indikator logistik
pengendalian ISPA.
4. Supervisi
Supervisi dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pengendalian
ISPA berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan/ditetapkan dalam
pedoman baik di provinsi, kabupaten/kota, Puskesmas dan rumah sakit
menggunakan instrumen supervisi (terlampir). Supervisi dilakukan secara
berjenjang difokuskan pada propinsi, kab/kota, Puskesmas yang:
pencapaian cakupan rendah
pencapaian cakupan tinggi namun meragukan
kelengkapan dan ketepatan laporan yang kurang baik
a. Pelaksana supervisi:
1) petugas pusat,
2) petugas provinsi,
3) petugas kabupaten/kota,
4) petugas Puskesmas.
b. Alat:
Formulir(checklist) untuk supervisi mencakup aspek manajemen
program (pencapaian target, pelatihan, logistik) dan aspek tatalaksana.
c. Keluaran
Keluaran dari kegiatan supervisi dan bimbingan teknis pengendalian
ISPA adalah :
1) data umum wilayah
2) data pencapaian target program
3) data pelatihan
27
4) data logistik
5) identifikasi masalah
6) cara pemecahan masalah
7) langkah tindak lanjut, dan
8) laporan supervisi dan bimbingan teknis.
28
timbul dapat diantisipasi dengan baik khususnya dalam pengendalian
Pneumonia.
Data dan kajian perlu disajikan dan disebarluaskan/diseminasi dan
diumpan balikan kepada pengelola program dan pemangku kepentingan
terkait di dalam jejaring.
Diseminasi di tingkat Puskesmas dilakukan pada forum pertemuan
rutin, lokakarya mini Puskesmas, rapat koordinasi kecamatan dan
sebagainya.
Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, diseminasi dilakukan pada
forum pertemuan teknis di dinas kesehatan, rapat koordinasi di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, forum dengar pendapat serta diskusi dengan
DPRD dan sebagainya, serta dituangkan dalam bentuk buletin, laporan
tahunan ataupun laporan khusus.
Dalam pelaksanaan Pengendalian ISPA di Indonesia diagnosis tidak
dianggap sama dengan klasifikasi tatalaksana sehingga timbul kerancuan
dalam pencatatan dan pelaporan. Oleh karena itu dalam klasifikasi “Bukan
Pneumonia” tercakup berbagai diagnosis ISPA (non Pneumonia) seperti:
common cold/ selesma, faringitis, Tonsilitis, Otitis, dsb. Dengan perkataan
lain “Batuk Bukan Pneumonia” merupakan kelompok diagnosis.
29
(lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh
melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten.
Kegiatan kemitraan meliputi pertemuan berkala dengan:
1) lintas program dan sektor terkait,
2) organisasi kemasyarakatan,
3) lembaga swadaya masyarakat,
4) tokoh masyarakat,
5) tokoh agama,
6) perguruan tinggi,
7) organisasi profesi kesehatan,
8) sektor swasta
b. Jejaring
Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan
peningkatan jejaring kerja (networking) dengan pemangku kepentingan.
Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari jejaring antara lain
pengetahuan, keterampilan, informasi, keterbukaan, dukungan,
membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian pneumonia di
semua tingkat.
Jejaring dapat dibangun dengan berbagai pemangku kepentingan
sesuai dengan kebutuhan wilayah (spesifik wilayah) baik sektor
pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga/organisasi non
pemerintah, dll. Jejaring dapat dibangun melalui pertemuan atau
pembuatan kesepahaman (MOU). Untuk menjaga kesinambungan
jejaring, maka komunikasi perlu secara intensif melalui pertemuan-
pertemuan berkala dengan mitra terkait.
30
a. Pelatihan pelatih (TOT)
TOT Tatalaksana Pneumonia Balita, Manajemen Pengendalian ISPA
dan Pandemi Influenza.
Tujuan:
Tersedianya tenaga fasilitator/pelatih pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota dalam pengendalian ISPA
Sasaran:
1) Pengelola ISPA Pusat
2) Pengelola ISPA Provinsi
3) Pengelola ISPA Kabupaten/Kota
b. Pelatihan bagi Tenaga Kesehatan
1) Tatalaksana ISPA
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu mempraktekkan tatalaksana
penderita Pneumonia sesuai standar di tempat kerjanya masing-
masing.
Sasaran:
a) Paramedis Puskesmas, Polindes dan Bidan desa
b) Dokter Puskesmas
c) Dokter Rumah Sakit
d) Paramedis Rumah Sakit
e) Pengelola Program ISPA kabupaten dan provinsi
Materi:
a) Buku/modul Tatalaksana PneumoniaBalita
b) Bagan Tatalaksana Penderita Batuk dan Kesukaran Bernapas
Pada Balita
c) DVD Tatalaksana Pneumonia Balita
Penyelenggaraan:
a) Jumlah peserta optimal30 orang per kelas
b) Rasio fasilitator termasuk MOT dengan peserta diupayakan 1:5
Lama pelatihan: 4 hari
31
2) Pelatihan Manajemen Program Pengendalian ISPA
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan manajemen
program Pengendalian ISPA secara efektif sesuai kebijakan program
Pengendalian ISPA Nasional dan situasi spesifik setempat.
Sasaran:
a. Pengelola program ISPA provinsi
b. Pengelola program ISPA kabupaten/kota
c. Pengelola program ISPA Puskesmas
Materi:
Pedoman/modul Pelatihan Manajemen Pengendalian ISPA terbitan
Kementerian Kesehatan.
Penyelenggaraan:
Jumlah peserta maksimal 30 orang per kelas
Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 5
Lama Pelatihan: 4 hari
3) Pelatihan Promosi Pengendalian Pneumonia Balita
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu mengembangkan promosi
penanggulangan
Pneumonia melalui advokasi, bina suasana dan penggerakan
masyarakat.
Sasaran :
a) Pengelola program ISPA provinsi, kabupaten/kota
b) Pengelola program Promosi Kesehatan provinsi, kabupaten/kota
Materi :
Buku Pedoman/modul Promosi Pengendalian Pneumonia Balita.
Penyelenggaraan:
a) Jumlah peserta maksimal 30 orang per kelas
b) Rasio pengajar/fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 5
Lama pelatihan: 4 hari
32
c. Pelatihan Autopsi Verbal
Tujuan:
Petugas kesehatan mampu mengumpulkan gejala-gejala pada Balita
menjelang kematian melalui metode wawancara yang dilakukan antara
1-3 bulan setelah kematian dan mampu membuat klasifikasi penyakit
yang diderita anak umur <5 tahun menjelang kematiannya.
Sasaran:
c) Pengelola ISPA dan surveilans provinsi, kabupaten/kota dan
Puskesmas.
d) Tenaga kesehatan (keperawatan dan kebidanan) Puskesmas, Pustu
dan Polindes.
e) Pengelola program ISPA Puskesmas.
Materi:
1) Modul pelatihan Autopsi Verbal kematian Balita
2) Formulir wawancara
Penyelenggaraan:
1) Jumlah peserta diupayakan maksimal 30 orang per kelas
2) Rasio pengajar/fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 8-10
Lama pelatihan: 4 hari
33
Tujuan:
Peserta latih memahami dan mampu melaksanakan kegiatan promosi
pengendalian Pneumonia Balita melalui penyampaian informasi
Pneumonia yang benar kepada orang tua/pengasuh Balita dan
masyarakat umum.
Sasaran:
1) Kader
2) TP PKK desa dan kecamatan
3) TOMA
4) TOGA
Materi:
Buku pemberdayaan kader
Penyelenggaraan:
1) Jumlah peserta diupayakan maksimal 30 orang per kelas
2) Rasio fasilitator dengan peserta diupayakan 1 : 10
Lama pelatihan: 1 hari
8. Pengembangan Program
a. Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza
Kegiatan meliputi:
1) Penyusunan pedoman
2) Pertemuan lintas program dan lintas sektor
3) Latihan (exercise) seperti desktop/tabletop, simulasi lapangan
b. Sentinel Surveilans Pneumonia
Kegiatan di Puskesmas dan RS sentinel meliputi:
1) Penemuan dan tatalaksana pneumonia semua golongan umur.
2) Pengumpulan data pneumonia untuk semua golongan umur.
3) Pelaporan dari Puskesmas dan RS sentinel langsung ke Subdit P
ISPA dengan tembusan ke kab/kota dan propinsi.
4) Pengolahan dan analisis data dilakukan di semua jenjang.
5) Umpan balik dari Pusat ke Puskesmas dan RS sentinel dan tembusan
ke kab/kota dan propinsi.
34
6) Pembinaan/monitoring kegiatan pelaksanaan sentinel.
c. Kajian/pemetaan
1) Pengetahuan, sikap dan perilaku (KAP) yang terkait pneumonia.
2) Kesakitan (termasuk faktor risiko) dan kematian.
3) Pengendalian pneumonia di fasilitas kesehatan.
4) Penggunaan dan pemeliharaan logistik ISPA
5) Terapi oksigen dalam tatalaksana kasus pneumonia
35
10. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring atau pemantauan pengendalian ISPA dan kesiapsiagaan
menghadapi pandemi influenza perlu dilakukan untuk menjamin proses
pelaksanaan sudah sesuai dengan jalur yang ditetapkan sebelumnya.
Apabila terdapat ketidaksesuain maka tindakan korektif dapat dilakukan
dengan segera. Monitoring hendaknya dilaksanakan secara berkala
(mingguan, bulanan, triwulan).
Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil atau keluaran/output
yang diperlukan untuk koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6
bulan, tahunan dan lima tahunan. Keberhasilan pelaksanaan seluruh
kegiatan pengendalian ISPA akan menjadi masukan bagi perencanaan
tahun/periode berikutnya.
a. Kegiatan monitoring dan evaluasi dalam Pengendalian ISPA
Beberapa komponen yang dapat dipantau/evaluasi adalah:
1) Sumber Daya Manusia
a) Tenaga Puskesmas terlatih dalam manajemen program dan
teknis
b) Tenaga pengelola Pengendalian ISPA terlatih di kabupaten/kota
dan provinsi
2) Sarana dan Prasarana
a) RS Rujukan (FB/AI, Influenza Pandemi) yang memiliki ruang
isolasi, ruang rawat
b) intensif/ ICU dan ambulans sebagai penilaian core capacity
penanggulangan pandemi influenza.
c) Ketersediaan alat komunikasi baik untuk rutin maupun insidentil
(KLB).
3) Logistik
a) Obat:
Ketersediaan antibiotik
Ketersediaan antiviral (oseltamivir)
Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)
36
b) Alat:
Tersedianya ARI sound timer
Oksigen konsentrator
Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium,
Puskesmas dan lapangan
c) Pedoman (ketersedian dan kondisi sesuai standar)
d) Media KIE dan media audio visual
e) Tersedianya formulir pencatatan dan pelaporan
b. Indikator masukan
1) Sumber Daya Manusia
a) Tenaga fasilitas pelayanan kesehatan yang terlatih dalam
manajemen program dan teknis pengendalian ISPA.
Proporsi Puskesmas dengan Tenaga Terlatih
Pembilang (a):
Jumlah Puskesmas dengan tenaga terlatih yang ada di suatu
wilayah tertentu.
Penyebut (b):
Jumlah seluruh Puskesmas yang ada di wilayah tersebut
𝑎
Cara perhitungan: x 100%
𝑏
37
Penyebut (b) :
Jumlah semua Puskesmas yang ada di wilayah tersebut.
𝑎
Cara perhitungan: 3𝑏 x 100%
b) Ketersediaan antibiotik
c) Ketersediaan antiviral (oseltamivir)
d) Ketersediaan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)
e) Ketersediaan APD untuk petugas RS, laboratorium, Puskesmas
dan lapangan.
f) Ketersediaan pedoman
g) Media KIE dan media audio visual
c. Indikator luaran (Evaluasi)
1) Cakupan tatalaksana Pneumonia Balita
Pembilang (a):
Jumlah kasus Pneumonia Balita yang ditatalaksana di suatu
wilayah kerja Puskesmas dalam 1 tahun.
Penyebut (b):
Perkiraan jumlah penemuan PneumoniaBalita di wilayah kerja
Puskesmas tersebut dalam 1 tahun (10% dari jumlah Balita).
𝑎
Cara penghitungan: 𝑏 x 100%
38
K. Ukuran Epidemiologi ISPA yang Dapat Dipakai
1. Ukuran Morbiditas
a. Insiden
Insiden adalah gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu
penyakit yang ditemukan pada suatu waktu tertentu di dalam kelompok
masyarakat.
1) Insidence rate
Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada
suatu jangka waktu tertentu(umumnya 1 tahun) dibandingkan dengan
jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru tersebut pada
pertengahan jangka waktu yang bersangkutan.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑎𝑟𝑢
Insidence rate = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑢𝑛𝑔𝑘𝑖𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑛𝑎 × 100%
2) Attack Rate
Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada
suatu saat dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin
terkena penyakit tersebut pada saat yang sama.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑎𝑎𝑡
Attack Rate = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑢𝑛𝑔𝑘𝑖𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑛𝑎 × 100%
𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
b. Prevalen
Prevalen adalah gambaran tentang frekuensi penderita lama dan baru
yang ditemukan pada suatu jangka waktu tertentu di sekelompok
masyarakat tertentu.
Poin prevalen rate: Jumlah penderita lama dan baru suatu penyakit
pada suatu saat dibagi dengan jumlah penduduk pada saat itu.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑖𝑡𝑢
Poin prevalen rate = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑖𝑡𝑢
2. Ukuran Mortalitas
a. IMR (Infant Mortality Rate) =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
/1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑑𝑖 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
39
b. PMR (Perinatal Mortality Rate) =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒ℎ𝑎𝑚𝑖𝑙𝑎𝑛 28 𝑚𝑔𝑔 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ+
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑦𝑖<7 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛
/ 1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑑𝑖 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
40
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis
sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan ISPA
bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri.
2. ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14
hari.
3. Pada umumnya ISPA termasuk ke dalam penyakit menular yang
ditularkan melalui udara.
4. Tanda dan gejala penyakit ISPA pada anak bermacam-macam seperti
batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit
telinga.
5. Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Sedangkan diagnosis ISPA
oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah,
biakan cairan pleura.
6. Transmisi penyakit ISPA dapat melalui udara dan melalui kontak
langsung/tidak langsung dari benda yang telah dicemari jasad renik (hand to
hand transmission).
7. Riwayat alamiah ISPA dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa.
Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan
sebelumnya memang sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul
gejala demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat
meninggal akibat pneumonia.
41
8. Pengobatan ISPA oleh virus belum ditemukan sedangkan pengobatan bagi
ISPA bakterial adalah pengobatan secara rasional dengan mendapatkan
antimikroba yang tepat sesuai dengan kuman penyebab.
9. Penyakit ISPA di Indonesia sepanjang 2007 sampai 2011 mengalami tren
kenaikan.
10. Faktor yang berpengaruh terhadap ISPA antara lain:
a. Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
b. Faktor umur
c. Faktor Jenis Kelamin
d. Faktor Vitamin
e. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)
f. Status Imunisasi
g. Status Sosioekonomi
h. Faktor Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
i. Faktor Pencemaran Udara Dalam Lingkungan
j. Ventilasi
k. Kepadatan Hunian
11. Cara pencegahan ISPA berdasarkan level of prevention:
a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
1) Penyuluhan
2) Imunisasi
3) Usaha di bidang gizi
4) Program KIA Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP)
b. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya
pengobatan dan diagnosis sedini mungkin.
c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Memperhatikan apabila timbul gejala pneumonia dan supaya
tidak bertambah parah maka membawa anak pada petugas kesehatan
dan pemberian perawatan yang spesifik di rumah dengan
memperhatikan asupan gizi dan lebih sering memberikan ASI.
42
12. Penyakit ISPA adalah penyakit yang dapat menyerang semua kelompok
usia dari bayi, anak-anak dan sampai orang tua dan merupakan salah satu
masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju.
13. Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian
pada kelompok bayi dan balita. Dilihat dari pengamatan epidemiologi
dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung lebih
besar daripada di desa. Proporsi kematian akibat ISPA di Indonesia
cenderung meningkat.
14. Tujuan P3M ISPA secara umum adalah untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian karena pneumonia.
11. Strategi yang diterapakan dalam P3M ISPA adalah Membangun
komitmen, Penguatan jejaring internal dan eksternal, Penemuan kasus
pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif, Peningkatan mutu
pelayanan, Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini
pneumonia, Pelaksanaan Autopsi Verbal Balita di masyarakat, Penguatan
kesiapsiagaan dan respon pandemi, Pencatatan dan pelaporan secara
bertahap, Monitoring dan pembinaan teknis secara berjenjang, terstandar
dan berkala serta Evaluasi program secara berkala.
B. Saran
ISPA merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang siapa saja.
Oleh karena itu dalam rangka menghindari ISPA, upaya inti seperti perbaikan
kualitas lingkungan sangat perlu dilakukan. Selain itu, hal-hal lain yang
terkait upaya pencegahan ISPA juga perlu dilakukan agar proteksi terhadap
penularan ISPA semakin baik.
43
DAFTAR PUSTAKA
44
S Djaja, (2001). Determinan Prilaku Pencarian Pengobatan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. . - : Buletin Penelitian
Kesehatan
WHO (2007). Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas
pelayanan kesehatan. WHO Interim Guidelines. Available from:
http://www.who.int/csr/resources/publications/csrpublications/en/index7.ht
ml (Diakses: 12 April 2013)
WHO (2008). Pengenalan dini, pelaporan, dan manajemen
pencegahan dan pengendalian infeksi ISPA yang berpotensi menimbulkan
kekhawatiran.
WHO. 2003. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil
Negara Berkembang. Jakarta : EGC.
WHO. 2008. Pencegahan dan Pengendalian ISPA di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Available from:
http://www.who.int/csr/resource/publication/AMpandemicbahasa.pdf.
(Diakses: 13 April 2013)
45