Anda di halaman 1dari 6

Asumsi Keperilakuan dalam Pengambilan Keputusan Organisasi

Pada bagian ini dibahas mengenai asumsi-asumsi keperilakuan yang mendasari proses
pengambilan keputusan perusahaan. Pertama, akan dibahas mengenai perusahaan sebagai
suatu unit pengambilan keputusan dan kemudian mengenai orang-orang atau kelompok-
kelompok di dalamnya yang bertindak sebagai pengambil keputusan dan pencari solusi.

Perusahaan sebagai Unit Pengambilan Keputusan

Suatu perusahaan dapat dianggap sebagai suatu unit pengambilan keputusan yang serupa
dalam banyak hal dengan seorang individu. Masalah keputusan yang dihadapi suatu
perusahaan begitu banyak dan kompleks. Masalah tersebut sering kali melibatkan lebih dari
satu departemen atas aktivitas. Keputusan yang rutin atau berulang muncul secara reguler,
sedangkan keputusan lain biasanya bersifat unik dan tidak berulang.

Untuk mengatasi kelebihan beban dalam pengambilan keputusan, organisasi


mengembangkan “prosedur operasi standar” yang formal atau tidak formal untuk masalah-
masalah yang berulang. Prosedur operasi standar ini menjadi “aturan pengambilan
keputusan” untuk keputusan-keputusan rutin dalam bidang-bidang, seperti manajemen
persediaan, perhitungan biaya, penetapan harga, dan pemrosesan pesanan. Keputusan dibuat
berdasarkan aturan pengambilan keputusan yang telah ditentukan sebelumnya, yang disebut
dengan keputusan yang diprogram.

Cybert dan March menggambarkan empat konsep dasar relasional sebagai inti dari
pengambilan keputusan bisnis: 1) resolusi semu dari konflik, 2) penghindaran ketidakpastian,
3) pencarian masalah, dan 4) pembelajaran organisasional.

Resolusi Semu dari Konflik

Suatu organisasi adalah koalisi dari individu-individu dengan tujuan yang berbeda yang
sering kali menimbulkan konflik. Karena pengambilan keputusan melibatkan pemilihan atas
satu alternatif yang sesuai dengan tujuan dan harapan secara keseluruhan, maka diperlukan
suatu prosedur untuk menyelesaikan konflik tujuan. Teori keputusan klasik mengasumsikan
bahwa konflik dapat diselesaikan dengan menggunakan rasionalitas lokal, aturan-aturan
pengambilan keputusan yang dapat diterima, dan perhatian secara berurutan pada tujuan.
Rasionalitas lokal dapat dicapai dengan membagi masalah pengambilan keputusan itu ke
dalam sub-submasalah dan dengan menyerahkannya kepada sub-suborganisasi untuk
siselesaikan. Dengan demikian, masalah yang kompleks dan saling berhubungan diperkecil,
sehinggs menjadi sejumlah masalah yang sederhana. Jika keputusan yang dihasilkan melalui
proses delegasi dan spesialiasi adalah konsisten satu sama lain dan sesuai dengan tuntutan
dari lingkungan eksternal, maka konflik dapat diselesaikan. Dalam arti teoritis, konsistensi
mengharuskan bahwa keputusan tersebut juga menghasilkan optimalisasi dalm hal keputusan.
Untuk menyelesaikan konflik di antara tujuan-tujuan pada tingkat yang lebih rendaj, maka
sub-submasalah ditangani pada saat yang berbeda.

Menghindari ketidakpastian
Cyber dan March (1963) menemukan bahwa para pengambil keputu-san dalam organisasi
sering kali menggunakan strategi yang kurang rumit ketika berhadapan dengan risiko dan
ketidakpastian. Schiff dan Lewin (1974) menambahkan slack organisasi ke alat-alat yang
digunakan untuk menghindari ketidakpastian.

Pencarian Masalah

Menurut Cybert dan March pencarian masalah didefinisikan sebagai proses menemukan
suatu solusi atas suatu masalah tertentu atau sebagai suatu cara untuk bereaksi terhadap suatu
peluang.

Pembelajaran Organisasi

Walaupun organisasi tidak mengalami proses pembelajaran seperti yang dialami oleh
individu, organisasi memperlihatkan perilaku adaptif dari karyawannya.

Manusia - Para Pengambil Keputusan Organisasional

Penting untuk diingat bahwa manusia, dan bukannya organisasi, yang mengenali dan
mendefinisikan masalah atau peluang dan yang mencari tindakan alternatif. Manusialah yang
memilih kriteria pengambilan keputusan, memilih alternatif yang optimal, dan
menerapkanya.

Lingkungan organisasi dimana manusia digunakan bergantung pada jenis dari


masalah pengambilan keputusan atau peluang yang dihadapi. Masalah pengambilan
keputusan berkisar dari yang sederhana sampai yang rumit. Masalah dianggap rumit jika
tidak didefinisikan dengan baik dan tidak terstruktur atau jika proses pencarian untuk suatu
solusi itu sendiri kompleks. Manusia bergantung pada jenis-jenis pengambilan keputusan
terhadap satu masalah atau peluang yang ditemui. Masalah-masalah keputusan bervariasi,
dari yang sederhana hingga yang kompleks.

Masalah sederhana yang ditemukan sehari-hari kemungkinan besar akan diselesaikan


oleh seorang individu, yang melali posisinya, memiliki pelatihan dan keahlian khusus dalam
bidang masalah tersebut. Untuk keputusan yang berulang dan rutin, organisasi kemungkinan
besar akan menggunakan aturan-aturan pengambilan keputusan atau prosedur operasi standar
yang telah ditentukan sebelumnya.

Komite-komite atau subkelompok antar-departemen atau antar—disiplin


kemungkinan besar akan digunakan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks karena
definisi dan solusi mereka akan mencerminkan suatu konsesnsus (antar-departemen atau
antar-disiplin), dan oleh karena itu akan memiliki dukungan yang lebih luas ketika
diterapkan.

Daripada menggunakan pendekan komite ad hoc, bebrapa organisasi


mempertahankan tim-tim spesialisasi dalam perusahaan untuk menyelesaikan masalah yang
kompleks. Contoh dari kapabilitas spesialisasi di dalam perusahaan tersebut adalah spesialis
riset, tim analisis nilai, dan berbagai kelompok penyelesaian masalah lainnya yang sangat
terspesialisasi.

Kekuatan dan Kelemahan Individu sebagai Pengambil Keputusan

Manusia merupakan makhluk yang rasional karena mereka memiliki kapasitas untuk
berpikir, memilih, dan belajar. Tetapi rasionalitas manusia adalah sangat terbatas karena
mereka hampir tidak pernah memperoleh informasi yang penuh dan hanya mampu
memproses informasi yang tersedia secara berurutan. Batasan pengambilan keputusan secara
rasional dari individu bervariasi menurut:

a. Lingkup pengetahuan yang tersedia dalam kaitannya dengan seluruh alternative yang
mungkin dan konsekuensinya

b. Gaya kognitif mereka (misalnya kemampuan untuk berpikir secara kritis dan analitis,
ketergantungan pada orang lain, kemampuan asosiatif, dan sebagainya), dengan asumsi
bahwa tidak ada satu pun gaya kognitif yang unggul karena dalam situasi masalah
tertentu, lebih dari satu pendekatan dapat mengarah pada hasil yang diinginkan.

c. Struktur nilai mereka yang berubah

d. Tendensi mereka yang lebih cenderung untuk memuaskan daripada untuk melakukan
optimalisasi.

Peran Kelompok sebagai Pembuat Keputusan dan Pemecah Masalah

Komite menyatukan orang-orang dengan karakteristik yang heterogen. Dalam situasi


pengambilan keputusan, komite semacam itu menawarkan keunggulan dari keragaman dalam
pengalaman, pengetahuan, dan keahlian serta luasnya ide dan dukungan yang
menguntungkan. Pembagian pengetahuan, ide, dan keahlian dapat menghasilkan dialog yang
lebih baik, pemahaman akan masalah, dan tindakan alternative yang lebih kreatif. Meskipun
terdapt fakta bahwa komite lebih banyak mengalami konflik dan lebih lamban dibandingkan
dengan individu, komite memiliki kinerja yang baik. Kelompok dianggap sebagai faktor yang
menyebabkan ide-ide diinvestigasi dengan lebih teliti dan meningkatnya kemungkinan bahwa
keputusan tersebut akan dapat diterapkan dengan efektif. Kemampuan kelompok untuk
menganalisis masalah, mendefinisikan, dan menilai alternatif secara kritis, serta untuk
mencapai keputusan yang valid bisa diperlemah oleh dua fenomena perilaku, yaitu: fenomena
pemikiran kelompok, dan fenomena pergeseran yang berisiko (dampak diskusi kelompok).

Fenomena Pemikiran Kelompok

Pemikiran kelompok (group think menggambarkan situasi dimana tekanan untuk


mematuhi mencegah anggota-angota kelompok individual untuk mempresentasikan ide atau
pandangan yang tidak populer. Hal ini mencegah kelompok tersebut, sehingga tidak dapat
dengan objektif menilai pandangan yang tidak biasa atau pandangan minoritas. Individu yang
memiliki pandangan yang berbeda dari mayoritas yang dominan berada dalam tekanan untuk
menyembunyikan atau memodifikasi keyakinan dan perasaan mereka yang sebenarnya.
Mereka akan mematuhi tekanan kelompok karena mereka ingin menjadi bagian yang positif
dari kelompok tersebut dan bukan sebagai kekuatan yang disruptif. Mereka mungkin tidak
memiliki cukup keberanian untuk melawan pandangan yang populer, meskipun oposisi dan
disrupsi mereka akan meningkatkan pertimbangan kelompok.

Pemikiran kelompok mengurangi efektivitas dari suatu komite. Kebanyakan orang


telah menjadi korbannya. Beberapa pakar menjelaskan bahwa pemikiran kelompok adalah
kemunduran dalam efisiensi mental, pengujian realitas, dan pertimbangan moral seseorang
sebagai akibat tekanan kelompok. Gejala-gejala dari fenomena tersebut adalah sebagi berikut:

1. Anggota-anggota kelompok merasionalisasikan setiap resistensi terhadap asumsi


yang telah mereka buat. Tidak peduli berapa kuat bukti tersebut menentang asumsi
dasar merka, para anggota bertindak demikian guna memaksakan asumsi-asumsi
tersebut sacara kontinu

2. Para anggota menerapkan tekanan langsung kepada mereka yang untuk sekejap
menyatakan keraguan terhadap pandangan bersama kelompok tersebut atau yang
mempertanyakan validitas dari argumen yang mendukung alternatif yang dipilih
oleh mayoritas.

3. Para anggota yang memiliki keraguann atau pandangan yang berbeda berusaha
untuk menghindari penyimpangan terhadap ap yang tampaknya menjadi konsensu
kelompok dengan cara tinggal diam terhadap kekhawatiran tersebut dan bahkan
meminimalkan pentingnya keraguan mereka

4. Tampaknya terdapat suatu ilusi mengenai kebulatan suara. Jika seseorang tidak
berbicara, maka diasumsika bahwa ia sepenuhnya setuju. Dengan kata lin, mereka
yang abstein dipandang sebagai suara yang “setuju”

Terdapat beberapa cara yang mungkin untuk mencegah atau mengoreksi pemikiran
kolompok, meski tidak ada satu pun tindakan perbaikan yang akan bekerja dalam setiap
situasi. Masing-masing mencoba untuk menerobos jerat kelompok guna memungkinkan
pendapat yang setuju dinyatakan dan dievaluasi. Untuk menghindari atau mengoreksi
pemikiran kelompok, seseorang sebaiknya:

1. Menugaskan anggota tim yang berbeda untuk memainkan peran “antagonis” pada
setiap pertemuan

2. Memasukkan pakar-pakar eksternal yang berbeda pada setiap pertemuan

3. Membagi kelompok tersebut menjadi dua atau lebih subkelompok dan meminta
mereka untuk melakukan investigasi atas berbagai alternatif secara terpisah

4. Menghindari untuk menyatakan solusi prefrensial pada awal diskusi, tetapi


membiarkan kelompok tersebut untuk melanjutkan proses diskusi tanpa ada solusi
yang sudah diambil terlebih dahulu

Fenomena Pergeseran yang Berisiko (Dampak Diskusi Kelompok)


Fenomena pergeseran yang berisiko, atau dampak diskusi kelompok, merupakan
produk sampingan dari interaksi manusia. Hal ini dicirikan oleh kelompok yang lebih
memilih alternatif yang lebih agresif dan berisiko dibandingkan dengan apa yang mungkin
dilakukan oleh individu-individu jika mereka bertindak sendirian. J.P. Campbell (1970)
menjelaskan fenomena ini sebagai berikut:

Kehati-hatian yang dirasakan oleh para anggota secara pribadi, mungkin tidak
dikomunikasikan dalam situasi kelompok dan di sana muncul kesan bahwa partisipan
yang lain lebih berani. Sekali lagi, ditemukan situasi kelompok di mana partisipasi
dapa mengarah pada peningkatan dan bukannya pada penajaman perbedaan antar-
anggota

Apa yang menyebabkan timbulnya pergeseran yang berisiko? Clark (1971)


menawarkan empat penjelasan: hipotesis familiarisasi, hipotesis kepemimpinan, hipotesis
sebagai nilai, dan hipotesis difusi tanggung jawab.

1. Hipotesis familiarisasi menjelaskan bahwa diskusi kelompok dimulai dengan periode


“perasaan asing” atau “mulai perlahan-perlahan”, namun ketika individu-individu
tersebut sudah lebih mengenal situasi yang dibahas dan mengenal satu sama lain,
mereka menkakdi lebih berani dan lbih rela mengambil lebih banyak risiko.

2. Hipotesis kepemimpinan, para pengambil risiko dikagumi dan dipandang oleh anggota-
anggota kelompok sebagai pemimpin karena mereka biasanya juga dominan dalam
diskusi kelompok, maka mereka menegaruhi partisipan lain untuk memilih alternatif
yang lebih berisiko

3. Hipotesis risiko sebagai nilai mengamati bahwa dalam kondisi masyarakat saat ini,
risiko moderat memiliki nilai budaya yang lebih kuat dibandingkan dengan
konservatisme dn bahwa orang yang mau mengambil risiko dikagumi.

4. Hipotesis difusi tangung jawab menjelaskan bahwa keputusan kelompok membebaskan


individu dan tanggung jawab langsung terhadap pilihan akhir kelompok. Jika keputusan
itu gagal, tidak ada seorang individu pun yang dapat dianggap bertanggungjawab secara
penuh

Kesatuan Kelompok

Kesatuan kelompok didefinisikan sebagai tingkat dimana anggota-anggota kelompok


tertarik satu sama lain dan memiliki tujuan kelompok yang sama. Kelompok dengan tingkat
kesatuan yang kuat pada umumnya lebih efektif dalam situasi pengambilan keputusan
dibandingkan dengan kelompok dimana terdapat banyak konflik internal dan kurangnya
semangat kerja sama di antara para anggotanya. Tingkat kesatuan kelompok dipengaruhi oleh
jumlah waktu yang dihabiskan bersama oleh para anggota kelompok, tingkat kesulitan dari
penerimaan anggota baru ke dalam kelompok, ukuran kelompok, ancaman eksternal yang
mungkin, dan sejarah keberhasilan dan kegagalan di masa lalu. Semakin besar kesempatan
bagi para anggota kelompok untuk bertemu dan berinteraksi satu sama lain, maka lebih besar
juga kesempatan bagi anggota untuk menemukan minat yang sama dan menjadi tertarik satu
sama lain. Semakin sulit untuk diterima menjadi anggota kelompok tersebut, maka semakin
para anggotanya akan menghargai keanggotaan yang mereka miliki. Perasaan “kami adalah
orang yang terpilih”, menciptakan ikatan yang kuat di antara mereka. Pada umumnya,
kesatuan kelompok akan menurun ketika ukuran kelompok meningkat karena interaksi
antaranggota dalam kelompok yang lebih besar menjadi lebih sulit dan ketaatan terhadap
tujaun bersama kelompok menjadi semakin tidak mungkin. Juga terdapat bahaya terjadinya
formasi klik (kelompok di dalam kelompok), yang terutama setia kepada tujuan dari klik
tersebut dan bukan kepada tujuan bersama kelompok.

Faktor lainnya yang juga mempengaruhi kesatuan kelompok secara mengun-tungkan


adalah riwayat dari kelompok itu. Sejarah pengambilan keputusan yang sukses menyatukan
para anggota (semangat kelompok) dan meningkatkan kesatuan, sementara kegagalan
memiliki dampak yang buruk. Kesatuan suatu kelompok juga akan meningkat ketika
kelompok tersebut diserang oleh sumber eksternal seperti atasan mereka atau kelompok lain.
Ancaman semacam itu, bahkan dapat menyatukan kelompok-kelompok yang berantakan jika
anggotanya memandang bahwa tujuan bersama mereka dalam bahaya. Akan tetapi, reaksi
terhadap ancaman tidaklah bersifat universal.

Menurut Alvin Zander (1979) jika anggota kelompok memandang bahwa kelompok
mereka mungkin tidak dapat menghadapi serangan dengan baik, maka kelompok tersebut
akan menjadi kurang penting sebagai sumber rasa aman, dan kesatuan tidak selalu akan
meningkat. Selain itu, jika para anggota yakin bahwa serangan ditujukan pada kelompok
hanya karena kelompok tersebut ada dan ancaman itu akan berhenti jika kelompok trsebut
diabaikan atau tercerai-berai, maka kemungkinan besar akan terdapat penurunan dalam
tingkat kesatuan.

Anda mungkin juga menyukai