S501108056 Bab1 PDF
S501108056 Bab1 PDF
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Darah
Darah merupakan suatu komponen tubuh yang sangat penting guna kelangsungan hidup
manusia. Darah memiliki fungsi antara lain sebagai pembawa oksigen. Hematopoiesis
merupakan proses pembentukan komponen sel darah merah, dimana terjadi proliferasi,
maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan
peningkatan atau pelipatgandaan jumlah sel dari satu sel hematopoietik pluripotent
menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah,
sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat
khusus yang berbeda-beda (Lubis, 2006; Christensen, 2016) .
Sistem hematopoetik memiliki karakteristik berupa pergantian sel yang konstan untuk
mempertahankan populasi leukosit, trombosit dan eritrosit. Sistem hematopoetik dibagi
menjadi tiga, yaitu :
1. Stem sel (progenitor awal ) untuk menyokong hematopoesis
2. Colony Forming Unit (CFU) selanjutnya berkembang dan berdiferensiasi dalam
memproduksi sel
3. Faktor regulator yang mengatur agar sistem berlangsung teratur.
Sel stem merupakan satu sel induk yang mempunyai kemampuan berdeferensiasi
menjadi beberapa turunan, membelah diri dan memperbaharui populasi sel stem itu sendiri
dibawah pengaruh faktor pertumbuhan hematopoetik. Hematopoetik membutuhkan
perangsang untuk memicu pertumbuhan koloni granulosit dan makrofag yang disebut
Colony Stimulating Factor (CSF) yang merupakan glikoprotein. Dalam proses selanjutnya
diketahui regulasi hematopoesis sangat kompleks dan banyak faktor pertumbuhan yang
berfungsi tumpang tindih serta banyak tempat yang memproduksi faktor- faktor tersebut
termasuk organ hematopoetik. Dikenal sejumlah sitokin yang mempunyai peranan dalam
meningkatkan aktifitas hematopoetik diantaranya IL-3 (interleukin), IL-4, GM-CSF
(Granulosit Macrophage Colony Stimulating Factor) (Lubis, 2006).
Gambar 2.1. Sistem Hematopoesis (Haggstrom, 2011).
f. Malnutrisi
Nutrisi yang adekuat sulit untuk dicapai pada anak dengan penyakit kritis akibat penyakit
yang dideritanya dan ini menyebabkan terjadinya defisiensi. Kurangnya akses enteral,
menurunnya fungsi gastrointestinal dan tidakan pembedahan merupakan hal yang sering
menyebabkan defisiensi nutrisi. Anak dengan penyakit kritis umumnya mengalami
gangguan fungsi gastrointestinal yang menyebabkan gangguan dalam penyerapan
vitamin dan mineral.
Gambar 2.3. Patofisiologi anemia pada penyakit kritis (Didomenico, 2004)
Anemia dapat bersifat akut ataupun kronik. Pada anemia akut terjadi penurunan nilai
hemoglobin (Hb) dibawah 6 g/dl atau kehilangan darah dengan cepat yaitu lebih dari 30%-
40% volume darah, sehingga umumnya pengobatan terbaik adalah dengan transfusi sel
darah merah. Pada anemia kronik seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi sel
darah merah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronik. Transfusi sel
darah merah juga diindikasikan pada anemia kronik yang tidak responsif terhadap
pengobatan farmakologik. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan segera (darurat)
dengan kadar Hb <10gr/dl perlu dipertimbangkan pemberian Transfusi sel darah merah
sebelum tindakan tersebut (Garry, 2002; Thayyil, 2006; Liumbruno, 2009).
Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain kadar
hemoglobin adalah:
a. Gejala, tanda, dan kapasitas vital dan fungsional pasien
b. Ada atau tidaknya penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat
c. Penyebab dan antisipasi anemia
d. Ada atau tidaknya terapi alternatif lain (Christensen, 2011).
Pedoman transfusi sel darah merah pada anak dan remaja tidak serupa dengan pada
dewasa. Dosis pemberian transfusi sel darah merah yang dipergunakan untuk menaikkan Hb
dapat menggunakan modifikasi rumus empiris. Bila yang digunakan sel darah merah pekat
(packed red cells), maka kebutuhannya menjadi. Pemberian jumlah transfusi sel darah merah
didasarkan atas makin anemisnya seorang resipien makin rendah kadar hemoglobin pasien
maka makin sedikit jumlah darah yang diberikan dalam suatu seri transfusi sel darah merah
dan makin lambat pula jumlah tetesan yang diberikan untuk menghindari komplikasi gagal
jantung. Rumus tersebut adalah :Berat Badan (kg) x 4 x (Hb diinginkan - Hb tercatat)
(Djajadiman, 2002; Ramelan, 2005).
Jika menggunakan packed red cells untuk transfusi darah, maka dosis PRC untuk
transfusinya dapat dilihat pada tabel 1. (Ramelan, 2005).
Tujuan utama dari transfusi sel darah merah adalah untuk meningkatkan delivery oxygen
(DO2) dan meningkatkan penggunaan oksigen jaringan guna menjaga kestabilan organ
tubuh . Nilai DO2 tergantung pada tiga faktor :
a. hemoglobin (Hb)
b. cardiac output (CO)
c. proporsi relatif dari oksihemoglobin yaitu persen saturasi oksigen (SaO2) (Soemantri,
2009; Setiati, 2009) .
Oksigen diangkut dalam darah dan dikombinasikan dengan Hb, meskipun terdapat
sejumlah kecil yang secara bebas terlarut dalam fraksi plasma darah. Setiap gram Hb dapat
membawa sekitar 1,34 ml oksigen pada suhu tubuh normal. Oksigen terlarut plasma
berbanding lurus dengan PaO2 . Secara teori, dengan menaikkan kadar hemoglobin melalui
transfusi sel darah merah, maka dapat meningkatkan kapasitas pembawa oksigen darah, dan
memberikan cara yang efektif untuk meningkatan pengiriman oksigen kedalam sel-sel dan
menjadikan perbaikan klinis (Rao, 2002; Walsh, 2006).
Batas nilai hemoglobin agar dapat mentransportasikan oksigen pada anak dengan
penyakit kritis tidaklah dapat didefinisikan secara pasti, karena hal tersebut bergantung juga
pada keadaan tiap-tiap individu. Pada anak yang mengalami anemia mekanisme kompensasi
yang dilakukan tubuh adalah dengan meningkatan CO dan mengekstraksi oksigen untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dalam kadar hemoglobin yang sangat rendah.
Namun hal tersebut tidak terjadi pada pasien dengan perdarahan, dimana mekanisme
kompensasi tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Menurut penelitian Lackritz et al yang dilakukan secara retrospektif pada 2.400 anak di
rumah sakit Kenya, tercatat bahwa 29 % dari semua anak memiliki kadar hemoglobin < 5
g/dL. Sebagian besar anak-anak ini mengalami sakit malaria dan kasus anemia berat (Hb <
5 g/dL) dikaitkan dengan kematian yang meningkat secara signifikan 18 % pada anemia
berat sementara 8 % di kontrol dengan p = .0001 . Di sisi lain, Bojang dkk melakukan
penelitian prospektif 287 anak yang juga dengan malaria dan anemia berat, pada anak-anak
tersebut terdapat 173 anak dengan gangguan pernapasan atau hematokrit < 12% (n=173)
yang mendapat transfusi sel darah merah, dan sisanya 114 anak mendapat transfusi sel darah
merah atau pengobatan zat besi selama 28 hari secara acak. Dua puluh empat anak dalam
penelitian ini meninggal, dimana 23 anak memiliki hematokrit < 12 % . Dan kelompok yang
mendapat terapi besi, 1 anak meninggal dan 10 anak kemudian memerlukan transfusi sel
darah merah. Setelah 28 hari, kadar hemoglobin pada anak-anak yang mendapat terapi besi
meningkat secara signifikan pada dibandingkan dengan yang mendapat transfusi darah ( p =
.02 ). Meskipun anak-anak dalam studi ini mungkin akan sangat berbeda dari pasien anak di
negara-negara yang lebih maju, tetapi peneliti menggarisbawahi risiko besar dari kadar
hemoglobin sangat rendah sebagai suatu mekanisme fisiologis untuk mempertahankan DO2
dalam pengaturan anemia berat pada populasi anak (Lackritz, 1992; Bojang, 1997) .
Pada Symposium On PICU Protocols All India Institute of Medical Sciences dinyatakan
bahwa indikasi dilakukan transfusi sel darah merah pada penyakit kritis adalah sebagai
berikut:
a. Hemoglobin 4 gr/dl atau kurang dari angka tersebut (hematokrit 12%) walaupun
tidak sesuai keadaan klinis
b. Hemoglobin 4-6 g/dl (Hematokrit 13-18%) dengan klinis hipoksia atau asidosis yang
menyebabkan dispneu atau penurunan kesadaran
c. Hematokrit kurang dari 30% atau sedang menggunakan ventilator dengan FiO2 >
0.35
d. Hiperparasitemia pada malaria (> 20%)
e. Klinis decompensasi kordis karena anemia
f. Kondisi anak yang masih belum stabil setelah 2 kali bolus 20cc/kg cairan kristaloid
dan dicurigai adanya kehilangan darah lebih dari 30%.
Pertimbangan transfusi sel darah merah bergantung pada keadaan pasien itu sendiri.
Efek anemia haruslah dibedakan dari keadaan hipovolemia, meskipun keduanya dapat
menghambat pengiriman oksigen jaringan. Kehilangan darah yang lebih dari 30% volume
darah akan menyebabkan gejala klinis yang signifikan, namun resusitasi dengan kristaloid
dapat memberikan hasil yang baik untuk berhasil bahkan kehilangan darah lebih dari 40%
volume darah. Selain itu, anemia normovolemik akut dapat tmbul timbul setelah
mendapatkan resusitasi dengan penggantian volume cairan yang memadai. Oksigenasi
jaringan masih dapat dipertahankan bahkan dengan tingkat hemoglobin serendah 6-7g /dL
pada orang sehat (Uppal, 2010).
Terdapat berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi yang berbeda
mengenai kebijakan transfusi sel darah merah pada anak dengan penyakit kritis. Sebagai
contoh penelitian pada kelompok anak dengan penyakit kritis yang stable yang
membandingkan transfusi sel darah merah saat hemoglobin pasien 7 g / dL dengan
kelompok kontrol yang hemoglobin 9 g / dL dengan hasil mortalitas dan tingkat keparahan
penyakit lebih rendah pada kelompok yang mendapat transfusi sel darah merah setelah
hemoglobin 7g/ dl. Sementara kasus anak dengan penyakit jantung memang belum banyak
diteliti namun Jacques Lacroix, MD et al dalam Red Blood Cell Transfusion : Decision
Making in Pediatric Intensive Care Unit menyatakan bahwa batas aman untuk transfusi pada
kasus anak yang stable namun menderita penyakit jantung sianotik, batas kadar hemoglobin
untuk transfusi adalah kurang dari 9 g/dl, sementara pada anak dengan penyakit jantung
asianotik kadar hemoglobin lebih dari 7g/dl. Sedangkan pada anak dengan penyakit jantung
yang unstable tentunya dibutuhkan kadar hemoglobin lebih dari 9 g/dl. Dengan demikian,
transfusi sel darah merah pada penyakit kritis harus disesuaikan dengan kondisi pasien, dan
keputusan untuk transfusi harus dibuat atas dasar karakteristik individu masing-masing
pasien. Sayangnya, ketersediaan uji klinis tentang kebijakan ini belumlah banyak (Tavian,
2005; Lacroix, 2010; Uppal, 2010).
3. Anatomi paru
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm. Pembentukan paru
dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut. Selanjutnya pada groove ini terbentuk
dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian
proksimal foregut membagi diri menjadi dua, yaitu esophagus dan trakea. Pada
perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan primary lung bud. Primary lung
bud merupakan cikal bakal bronki dan cabang-cabangnya. Bronchial tree terbentuk setelah
embrio berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan
jumlahnya terus meningkat hingga anak berusia 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah besar
sesuai dengan perkembangan dinding thoraks.
Tanpa ventilator:
AaDO2 = (FiO2 (PB - PH2O) – 1.2 PaCO2)) – PaO2
C. Hipotesis
Terdapat pengaruh transfusi darah merah terhadap terhadap nilai Alveolar-arterial oxygen
tension Difference (AaDO2) pada anak dengan penyakit kritis.