Anda di halaman 1dari 9

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pertahanan Tubuh Udang


Mekanisme pertahanan pada krustasea sebagian besar bergantung pada sel-
sel darah dan proses hemolim. Darah udang tidak mengandung haemoglobin,
sehingga darahnya tidak berwarna merah. Peran haemoglobin digantikan oleh
haemosianin yaitu suatu protein mengandung Cu yang berfungsi untuk transport
oksigen dan sebagai buffer dalam darah krustasea (Maynard 1960).
Hemosit memainkan peranan penting pada pertahanan tubuh krustasea yaitu
dapat menghilangkan partikel asing yang masuk ke tubuh udang, meliputi tahap-
tahap pengenalan, fagositosis, melanisasi, sitotoksis dan komunikasi sel
(Johansson et al. 2000).
Pada krustasea dekapoda ada tiga tipe sirkulasi hemosit. Tipe ini didasarkan
pada keberadaan sitoplasma granula yaitu hialin, semi granular (setengah berisi
butir kecil) dan sel granular (berisi butir kecil) masing-masing memiliki morfologi
dan fisiologi tertentu. Hialin berukuran 6-13 μm merupakan sel dengan
perbandingan inti lebih tinggi dari sitoplasma dan memiliki sedikit granul sub-
mikron. Semi granular berukuran 10-20 μm merupakan sel dengan perbandingan
inti lebih rendah dari sitoplasma dan memiliki granul sub mikron dan mikron serta
adanya granul refractile. Semi granular memperlihatkan kapasitas mengenali dan
merespons partikel unsur atau molekul asing (Ramu and Zacharia 2000) atau
dikenal sebagai sel aktif dalam enkapsulasi (Johansson et al. 2000). Granul
berukuran 12-25 μm merupakan sel dengan perbandingan inti lebih rendah dari
sitoplasma berisi butiran halus dan bertanggung jawab mengaktifkan sistem
prophenoloksidase (sistem proPO) (Ramu and Zakaria 2000). Sel semi granular
dan granular melakukan fungsi sistem proPO sedangkan sel hialin melakukan
fagositosis dalam imunitas krustasea (Wang and Chen 2006).
Udang penaeid memiliki pertahanan internal terhadap patogen seperti virus,
bakteri, fungi dan metazoa (Sindermann 1990). Menurut Ramu and Zacharia
(2000), mekanisme pertahanan krustasea bersifat non spesifik atau kurang bisa
mengembangkan sistem kekebalan spesifik dimana memorinya sangat lemah
(tidak memiliki sel memori), dibandingkan vertebrata tingkat tinggi lainnya yang

19
mempunyai antibodi spesifik atau komplemen. Soderhall and Cerenius (1992)
menyatakan bahwa invertebrata seperti udang tidak mempunyai immunoglobulin
yang berperan dalam mekanisme kekebalan tubuh. Udang memiliki respons
imunitas yang meliputi respons seluler dan humoral yang bersifat nonspesifik
(Mori 1990; Johansson and Soderhall 1985; Itami et al. 1994). Sistem pertahanan
selular meliputi fagosit sel-sel hemosit, nodulasi dan enkapsulasi. Sistem
pertahanan humoral mencakup phenoloksidase (PO), prophenoloksidase (proPO),
letin, dan aglutinin. Kedua sistem ini bekerja sama memberikan perlindungan
tubuh terhadap infeksi organisme patogen dari lingkungan (Itami 1994). Menurut
Johansson and Soderhall (1989); Liu et al. (2004), PO terdapat dalam hemolim
sebagai inaktif pro-enzim yang disebut proPO proPO adalah non-self recognation
sistem yang terdapat pada arthropoda dan invertebrata lain. Transformasi proPO
menjadi PO melibatkan beberapa reaksi yang dikenal sebagai proPO aktivating
sistem. Prophenoloksidase (proPO) dan phenoloksidase dilibatkan dalam
enkapsulasi, melanisasi dan berfungsi sebagai sistem non self regonition. proPO
diaktifkan oleh prophenoloksidase activating enzim (PPA). Sedangkan PPA ini
bisa diaktifkan oleh lipopolisakarida seperti β-1,3 glukan, lipopolisakarida atau
peptidoglikan dari mikroorganisme melalui pola pengenalan protein. PPA
merupakan protein yang berlokasi di granulosit. Akibat pengaktifan proPO
menjadi PO maka dihasilkan protein faktor opsonin yang merangsang fagositosis
hialosit (Johansson and Soderhall 1989). Udang apabila mengalami luka maka
akan muncul suatu titik berpigmen hitam. Hal ini disebabkan karena kerja
phenoloksidase (PO), yang mendukung hidroksilasi phenol dan oksidasi 0-phenol
menjadi quinones yang diperlukan untuk proses melanisasi sebagai respon
terhadap penyerang asing dan selama proses penyembuhan. Quinone selanjutnya
diubah melalui suatu reaksi non-enzimatik menjadi melanin dan sering disebut
deposit pada benda yang dienkapsulasi dalam nodule hemosit dan pada daerah
kulit yang terinfeksi jamur. (Sritunyalucksana et al 2001). Skema mekanisme
bagaimana faktor-faktor pada sistem pertahanan udang berperan penting dalam
respon terhadap partikel non self dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar ini
terlihat bahwa hemosit yang bersirkulasi memainkan peranan penting tidak hanya

20
secara langsung menghambat dan membunuh agen infeksi tetapi juga melalui
sintesis dan eksositosis sejumlah molekul bioaktif yang aktif.

β-1,3 Glukan binding protein


(βGBP)
β-1,3 Glukan
Peptidoglikan
Live Bacteria
Bacterial antigen

Semigranular haemocyte granular haemocyte Hialinocyte

Degranulation
Inactive serine protease
(proppa) Phagositosis

Prophenoloksidase (proPO) peroxinectin

Aktive serine protease


(ppa)
Antiacterial peptides Degranulation

Phenoloksidase (PO)

Cell adhesion
Release of reactive
Opsonosation
Phenolic coumpount Quinones Melanios Encapsulation

Gambar 1 Mekanisme sistem pertahanan pada krustasea (Smith et al. 2003)

21
Terdapat dua tipe pengenalan protein dalam plasma udang, yaitu LPS-
binding aglutinin berperan sebagai opsonin untuk meningkatkan indeks
fagositosis dan β-glukan binding protein yang dapat merangsang degranulasi dan
aktivasi dari sistem prophenoloksidase (Soderhall et al. 1988).
Aglutinin/Lektin adalah protein yang biasanya tanpa aktivasi katalitik yang
mempunyai kemampuan mengikat spesifik karbohidrat yang terdapat pada
permukaan sel serta melakukan aglunitasi berbagai tipe sel seperti sel bakteri dan
sel patogen lainnya. Lektin adalah bivalent (molekul yang mempunyai paling
sedikit dua spesifik binding site), sehingga dapat mengikat sel dan reaksi
aglutinasi terjadi. Lektin terdapat pada hampir semua organisme hidup. Secara
normal aglutinin tidak meningkatkan aglutinasi haemosit, tetapi jika aglutinin
bereaksi dengan LPS yang mengandung partikel, protein ini mampu bereaksi
dengan permukaan hemosit dan meningkatkan aktifitas proPO sistem (Marques
and Barracco 2000).
Meningkatnya pertahanan tubuh dapat diketahui dengan meningkatnya
aktifitas sel-sel fagosit dari hemosit. Sel-sel fagosit ini berfungsi untuk melakukan
fagositosis terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh inang. Fagositosis
merupakan mekanisme pertahanan non spesifik yang secara umum mampu
melindungi adanya serangan penyakit. Hemosit dikenal sebagai faktor yang
sangat penting dalam sistem pertahanan seluler yang bersifat non spesifik. Untuk
mengetahui bahwa hemosit merupakan pertahanan tubuh yang bersifat seluler
dapat dilihat dari kemampuannya dalam aktifitas fagositosis yang dapat
meningkat pada kejadian infeksi. Dengan adanya infeksi akan merangsang sistem
pertahanan non spesifik seluler sehingga diharapkan dapat menangkal serangan
penyakit (Fountain et al. 1974).
Fagositosis merupakan reaksi yang paling umum dalam pertahanan seluler.
Jumlah sel fagositik bervariasi dari 2 – 28% dari jumlah total sel darah. Fagosit
dapat terjadi pada luka, didalam organ penyaringan, jaringan sistem peredaran dan
dalam cairan tubuh. Kemampuan fagosit dalam membinasakan serangan mikroba
bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme. Selama proses fagositosis,
partikel atau mikroorganisme dimasukkan ke dalam sel yang kemudian sel
membetuk digestive vacuola yang disebut fagosome. (Le Moullac et al. 1997).

22
Eliminasi partikel yang difagosit melibatkan enzim pengurai yang dilepaskan ke
dalam fagosom dan pembentukan ROI (Reaktive Oxygen Intermediate) yang
dikenal sebagai respirotory burst. ROI pertama yang dihasilkan adalah superoxide
anion (O2-). Reaksi berikutnya menghasilkan hydrosuperoxide (H2O2), hydroxyl
radicals (OH-) dan singlet oksigen (O-). Hydrosuperoxide dapat diubah menjadi
hypochlorous acid (HOCl-) melalui myeloperoxide sistem membentuk sistim
antibakterial potensial (Munoz et al. 2000).

2.2 Bakteri Probiotik Pada Udang Budidaya


Berdasarkan Fuller (1992) probiotik adalah mikrob hidup yang ditambahkan
ke dalam pakan yang dapat memberikan pengaruh menguntungkan bagi hewan
inang dengan memperbaiki keseimbangan mikrob ususnya. Tetapi bagi hewan-
hewan akuatik selain saluran pencernaan, air di sekelilingnya juga memegang
peranan penting. Gomez-Gill et al. (2000) menyatakan bahwa mikrob yang ada di
saluran pencernaan merupakan refleksi mikrob di lingkungan akuatik. Dengan
demikian probiotik untuk hewan akuatik adalah agen mikrob hidup yang
memberikan pengaruh menguntungkan pada inang dengan memodifikasi
komunitas mikrob atau berasosiasi dengan inang, menjamin perbaikan dalam
penggunaan pakan atau memperbaiki nutrisinya, memperbaiki respon inang
terhadap penyakit atau memperbaiki kualitas lingkungannya (Verschuere et al.
2000).
Penggunaan bakteri probiotik sebagai biokontrol terhadap V. harveyi telah
banyak dilakukan (Chythanya and Karunasagar 2002; Gullian et al. 2004;
Vijayan et al. 2006). Bakteri yang digunakan sebagai biokontrol dapat diisolasi
dari perairan laut di sekitar tambak atau pembenihan udang (Haryanti et al.
2000), lumpur dan air tambak (Rengpipat et al. 1998), air pemeliharaan larva
(Chosa et al. 1997; Li et al. 2006) dan dari usus penaeid yang berbeda (Rengpipat
et al. 2000). Menurut Verschuere et al. (2000) probiotik dapat diaplikasikan di
lapangan dengan cara : (1) ditambahkan pada pakan buatan; (2) ditambahkan
pada media kultur; (3) perendaman; (4) diberikan melalui pakan hidup.

23
Verschuere et al. (2000), menyatakan bahwa mekanisme kerja probiotik
dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu: (1) memproduksi senyawa inhibitor
seperti antibiotik, bacteriocins, siderophores, lysozyme, protease, hidrogen
peroksida ataupun asam organik yang dapat merubah pH : (2) kompetisi terhadap
senyawa kimia atau sumber energi (nutrisi), seperti besi ataupun nutrien yang
diambil dari inang; (3) kompetisi terhadap tempat pelekatan pada tubuh inang; (4)
meningkatkan respon imun (kekebalan) pada inang; (5) memperbaiki kualitas air
(6) interaksi dengan fitoplankton.

Probiotik harus memiliki sifat-sifat tertentu yang meliputi: (1) harus tidak
merugikan inang yang diinginkan (2) harus diterima oleh inang, misalnya melalui
ingesti dan kolonisasi potensial dan replikasi di dalam inang (3) harus mencapai
lokasi dimana pengaruh diperlukan terjadi (4) harus secara aktual bekerja secara
in vivo jika bertentangan dengan penemuan secara in vitro (5) harus mengandung
gen-gen resisten virulen atau gen-gen resisten antibiotika.
Bakteri probiotik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bakteri
probiotik yang telah diteliti memiliki kemampuan dalam hal competisi exclusion,
yaitu : (1) Vibrio alginolyticus 13G1 2) V. alginolyticus SKT-b (3) Vibrio sp.13B
(4) Vibrio sp. 8A (5) Pseudoalteromonas 1ub (6) Bacillus sp.

Tabel 2 Nama- nama bakteri probiotik, penemu dan asal bakteri


No Bakteri Probiotik Penemu Asal Bakteri
Widanarni et al. Hasil isolasi dari
1. V. alginolyticus SKT-b
(2003) skeletonema
Hasil isolasi dari
2. Pseudoalteromonas 1ub Tepu (2006)
naupli udang vaname
3. Vibrio alginolyticus 13G1 Hasil isolasi dari
Terumbu karang
4. Vibrio sp.13B Sasanti (2007)
Poecillophora sp. dan
5. Vibrio sp. 8A Acropora sp.
Hasil isolasi dari air
6. Bacillus sp. - tambak budidaya
udang vaname

24
Vibrio alginolyticus SKT-b merupakan bakteri dari genus vibrio bersifat
gram negatif, bentuk batang pendek, kuning pada media TCBS, menyebar pada
media SWC-agar. Mampu produksi protease dan amilase, tidak chitinase. Dapat
memanfaatkan glukosa dan sukrosa tidak laktosa. Dapat meningkatkan
kelangsungan hidup larva udang windu sebesar 93%, sensitif terhadap antibiotik
rimpafisin dan dapat diaplikasikan pada larva udang windu melalui pengkayaan
Artemia. Hasil karakterisasi fisiologi dan biokimia serta analisis sekuen sebagian
gen 16S-rRNA menunjukkan bahwa isolat ini termasuk spesies Vibrio
alginoliticus dengan indeks kemiripan 88% (Widanarni 2003).
Pseudoalteromonas Iub merupakan bakteri gram negatif, bentuk batang,
non-endospora, motil, aerobik, mesofilik. Di alam berasosiasi dengan spora alga,
larva invertebrata, bakteri dan fungi. Berwarna orange cerah pada media SWC-
agar, tidak tumbuh pada media TCBS sehingga termasuk bakteri non vibrio dapat
menekan aktivitas Vibrio harveyi pada uji in-vitro dan in-vivo (Tepu 2006).
Bakteri probiotik Pseudoalteromonas Iub juga sensitif terhadap antibiotik
rimpafisin (Ayuzar 2007).
Vibrio alginolyticus 13G1 diisolasi dari Poecilopora sp. berwarna krem dan
menyebar pada media swc-agar, bentuk koloni bulat. Pada media selektif TCBS
isolat V. alginolyticus 13G1 dapat tumbuh dan berwarna kuning, tidak berpendar
sehingga isolat ini termasuk kelompok vibrio non patogen, sensitif terhadap
antibiotik rimpafisin. Mampu menghambat pertumbuhan V. harveyi secara in
vitro. Pengujian secara in vivo mampu meningkatkan kelangsungan hidup larva
udang windu sebesar 88,33%. Hasil karakterisasi fisiologi dan biokimia serta
analisis sekuen sebagian gen 16S-rRNA menunjukkan bahwa isolat ini termasuk
spesies V. alginolyticus dengan indeks kemiripan 99,495%.
Vibrio sp. 13B diisolasi dari Poecilophora sp. berwarna krem putih
kekuningan dan menyebar pada media swc-agar, bentuk koloni bulat. Pada media
selektif TCBS isolat tumbuh dan berwarna kuning, tidak berpendar sehingga
isolat ini termasuk kelompok vibrio non patogen, sensitif terhadap antibiotik
rimpafisin. Mampu menghambat pertumbuhan V. harveyi secara in vitro dan
secara in vivo bakteri probiotik Vibrio 13B dapat meningkatkan kelangsungan
hidup larva udang windu sebesar 85% (Sasanti 2007).

25
Vibrio sp. 8A diisolasi dari Acropora sp. Berwarna putih kekuningan dan
menyebar pada media swc, koloni bulat kecil. Pada media selektif TCBS isolat
dapat tumbuh dan berwarna kuning, tidak berpendar sehingga termasuk kelompok
vibrio non patogen, sensitif terhadap antibiotik rimpafisin. Secara in vitro mampu
menghambat pertumbuhan V. harveyi. Pengujian secara in vivo mampu
meningkatkan kelangsungan hidup larva udang windu sebesar 83,33% (Sasanti
2007).

2.3 Probiotik untuk Imunostimulasi Sistem Imun Udang


Pencegahan penyakit merupakan upaya alternatif untuk menanggulangi
penyakit. Salah satu alternatif yang dapat digunakan yaitu dengan menggunakan
imunostimulan untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Pengertian imunostimulan
menurut Raa et al. (1996) yaitu senyawa kimia yang mengaktivasi atau
menstimulasi sistem imun pada hewan, sehingga menjadi tahan terhadap infeksi.
Imunostimulan ini merupakan suatu senyawa biologi dan sintesis atau bahan
lainnya seperti ekstrak agar, alga uniseluler, vaksin, β-glukan, LPS dan vitamin A,
B dan C dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Menurut Kwang (1996)
sejauh ini pemberian imunostimulan tidak mempunyai efek samping dan sangat
baik untuk diterapkan pada organisme yang tidak mempunyai sel memori dalam
sistem kekebalannya, seperti golongan krustasea dengan merangsang atau
memaksimalkan respon ketahanan non spesifiknya. Itami et al. (1996)
mengatakan bahwa pemberian imunostimulan bisa mencegah infeksi dari Vibrio
spp. karena bisa meningkatkan aktivitas fagositosis dan aktivitas proPO.
Menurut Smith et al. (2003) kriteria pemilihan imunostimulan untuk udang
yaitu : (1) biayanya murah (2) pemberian mudah (3) manjur (4) toksisitas bagi
host rendah. Imunostimulan mendapat perhatian dan tuntutan lebih untuk
keberhasilan dalam mendukung kelangsungan hidup krustasea terhadap
eksperimen paparan mikroorganisme meliputi lima tipe utama yaitu (1) bakteri
hidup (2) bakteri yang dimatikan (bakterin) (3) glukan (4) peptidoglikan (5)
lipopolisakarida (LPS). Glukan, peptidoglikan dan lipopolisakarida berasal dari
dinding sel bakteri non patogenik dan jamur. Bahan-bahan tersebut digunakan
karena pengaruh bahan tersebut dalam meningkatkan sistem imun udang.

26
Senyawa imunostimulator biasanya diberikan melalui (1) perendaman (2) pakan
tambahan dan (3) penyuntikan.
Imunostimulasi merupakan strategi alternatif untuk mensiagakan atau
menyiapkan sistem pertahanan (imun) udang sehingga meningkatkan resistensi
melawan bakteri patogen. Imunostimulasi pada udang dapat dilakukan oleh
peptidoglikan, lipopolisakarida dan β-glukan dimana perlakuan dengan bahan-
bahan ini menyebabkan opsonin, mengikat molekul protein dan protein
pertahanan lainnya yang dilepas ke dalam sirkulasi kemudian molekul ini tersedia
dengan segera untuk melawan oportunistik atau serangan patogen (Rodriguez and
Lee Moullac 2000).
Pada ikan, probiotik dalam pakan memodulasi parameter-parameter sistem
imun dan beberapa penelitian yang tersedia membuktikan stimulasi pertahanan
imun di usus (Salinas et al. 2008). Peningkatan sistem imun terlihat pada gilthead
seabream (Sparus aurata) ketika diberi probiotik Lactobacillus delbrueckii ssp.
lactis dan Bacillus subtilis (Salinas et al. 2008). Pemberian probiotik juga
memberikan pengaruh menguntungkan pada abalone. Macey dan Coyne (2005)
menemukan bahwa penambahan probiotik SSI, SY9 dan AY1 yang diberikan
dalam pakan memperlihatkan pengaruh imunostimulator oleh ketiga probiont
tersebut pada abalone Haliotis midae sehingga kelangsungan hidupnya meningkat
setelah diinfeksi dengan bakteri patogenik V. anguillarum. Stimulasi sistim imun
pada udang menggunakan isolat probiotik juga telah dilaporkan oleh Rengpipet et
al. (2000) bahwa P. monodon yang diberi pakan dengan penambahan bakteri
probiotik Bacillus S11 telah secara signifikan memperbaiki tingkat kelangsungan
hidup dan meningkatkan respons imun setelah ditantang dengan V. harveyi. Hal
yang sama juga dilaporkan oleh Gullian et al. (2004) yang menemukan bahwa
bakteri probiotik Bacillus P64 yang berasal dari hepatopankreas udang sehat
memiliki kemampuan sebagai probiotik dan imunostimulasi pada udang vaname.
Penelitian yang dilakukan oleh Li et al. (2008) memperlihatkan bahwa bakteri
probiotik Arthrobacter XE-7 mampu melindungi udang L. vannamei melalui
stimulasi ketahanan imun maupun pembentukan mekanisme competisi ecxlucion.

27

Anda mungkin juga menyukai