Anda di halaman 1dari 3

Nama : Heni setianah

NIM : 1611201011
Minggu, 18 maret 2018

AKTIVITAS MANUSIA YANG MERUGIKAN KEANEKARAGAMAN


HAYATI DISULAWESI

1. Kebakaran dan penebangan hutan


Hutan di Sulawesi masih terus menghadapi tekanan kebakaran hutan, baik yang
disengaja atau alami, akibat utama dari pemberian konsesi pertambangan jangka panjang
kepada perusahaan multinasional di dalam kawasan konservasi di Sulawesi Utara serta di
perbatasan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Perubahan tata guna
lahan ini mempercepat laju kehilangan kawasan hutan lindung sulawesi. Pada akhirnya akan
mengancam kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati. Bahkan menurut perkiraan
Bank Dunia, kawasan hutan daratan rendah Sulawesi sebenarnya telah habis tahun 2000 lalu.
Begitu juga pada ekosistem pesisir dan laut. Konversi lahan mangrove yang tidak
terkendali, kegiatan reklamasi pantai di kota-kota besar, polusi limbah dan minyak, eksploitasi
yang berlebihan dan perdagangan ekspor organisme yang berkaitan dengan ekosistem terumbu
karang dan lamun, telah meningkatkan kerusakan fungsi ekologi laut dan pesisir sulawesi.
Masalah yang terkait antara lain erosi, abrasi pantai, sedimentasi, serta ancaman kepunahan
beberapa spesies komersial dan yang dilindungi. Misalnya, di pantai Tokke Kecamatan
Pitumpanua, sekitar 50 km ke arah utara ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, telah
mengalami erosi pantai dengan tingkat abrasi 30 – 50 m per tahun selama 12 tahun terakhir.
Abrasi ini sekarang telah mencapai antara 400 – 1000 m ke arah daratan. Ini terjadi akibat
pembabatan hutan mangrove oleh penduduk sebagai tanggapan atas program pengembangan
budidaya tambak pada tahun 1982/1983.
Dampak konversi adalah kerugian ekologis dan ekonomis karena fungsi kawasan
mangrove sebagai pelindung pantai, intrusi air laut, pemijahan dan perkembangbiakan biota
pesisir, termasuk berbagai jenis burung tidak dapat berlangsung lagi. Selanjutnya, walaupun
belum ada data, kegiatan pembongkaran karang untuk mendapatkan abalon, rotan laut, bambu
laut dan pengangkatan karang hidup merupakan ancaman serius bagi kelestarian terumbu
karang. Hasil penelitian Mathews dkk. (2002) memperkirakan adanya hubungan antara
pengembangan budidaya secara besar-besaran dan kerusakan mangrove di pesisir dengan
penurunan hasil tangkapan udang alami (Panaeus marguiensis) di Sulawesi Selatan. Pada
kurun waktu 1985 – 1987 hasil tangkapan alami mencapai 8000 ton, tetapi pada tahun 1993
menurun tajam hingga kurang dari 3900 ton, walaupun upaya penangkapan sudah ditingkatkan.
Nama : Heni setianah
NIM : 1611201011
Minggu, 18 maret 2018

Pada saat yang sama konversi mangrove menjadi lahan tambak meningkat drastis seiring
dengan peningkatan produksi hasil budidaya dari 39.000 ton tahun 1985 menjadi 47.000 ton
tahun 1987 dan terus meningkat hingga tahun 1993.
2. Sedimentasi
Untuk ekosistem lahan basah, penyebab kerusakan ekosistem danau mencakup
pendangkalan dan penyempitan alur air oleh sedimentasi, pertumbuhan tanaman air yang tidak
terkontrol, serta polusi dan pencemaran limbah pertanian dan domestik. Akibatnya, selain
sungai dan danau menjadi mati, yang masih ada pun dalam hal ini produktivitas dan populasi
flora dan fauna, termasuk jenis endemik, mengalami penurunan. Sebagai contoh, sedimentasi
yang menyebabkan kedangkalan Danau Tempe berasal dari aktivitas di hulu sungai-sungai
serta aktivitas masyarakat sekitar danau. Menurut berbagai hasil penelitian, muatan sedimen
yang begitu tinggi di perairan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup flora dan fauna.
Pendangkalan dilaporkan sekitar 15 – 30 cm pertahun dengan muatan sedimen 518.000 juta
m3/tahun.
Danau Tondano saat ini memiliki kedalaman rata-rata 12 m dengan luas sekitar 4628
ha, sangat berbeda dibandingkan kondisi tahun 1934 yang luasnya 5622 ha dan kedalaman rata-
rata 27 meter. Danau ini mempunyai 25 saluran masuk dan hanya satu saluran keluar, yaitu
Sungai Tondano. Rata-rata laju erosi danau ini 62,33 ton/ha/tahun, dan laju sedimentasi sekitar
135.746 ton/tahun di kawasan pengolahan lahan yang tidak intensif, sedangkan di kawasan
perkebunan cengkeh laju erosi rata-rata 126,72 ton/ha/tahun dengan laju sedimentasi sekitar
176.857 ton/tahun. Danau Poso yang terletak di Sulawesi Tengah memiliki luas 32.324 ha.
Danau ini mengalami erosi karena kegiatan perambahan hutan oleh masyarakat untuk
perluasan areal pertanian/perkebunan dan pemukiman. Kegiatan pertanian/perkebunan di
kawasan hutan, khususnya daerah berlereng curam, mempercepat proses erosi.
3. Penggunaan pestisida
Masalah yang dihadapi ekosistem pertanian adalah pengembangan pertanian dan
perkebunan, khususnya introduksi berbagai bahan kimia anorganik yang dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif seperti degradasi kualitas lahan. Penggunaan pestisida dan pupuk
sering berdampak negatif pada keanekaragaman hayati karena adanya kecendrungan
peningkatan resistensi organisme jasad pengganggu tanaman, predator yang bermanfaat
menjadi punah dan kesuburan tanah menurun. Hasil pemantauan yang dilakukan di Kabupaten
Toraja, Sulawesi Selatan pada tahun 2001, menunjukkan bahwa limbah pestisida dan pupuk
Nama : Heni setianah
NIM : 1611201011
Minggu, 18 maret 2018

anorganik dari kegiatan pertanian dan perkebunan masuk ke aliran sungai, permukaan tanah
dan pemukiman berturut-turut mencapai 16,77 m3 dan 7,63 ton setiap harinya.
(Sumber: Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2003 – 2020)
4. Perburuan liar anoa
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara merilis laporan
mengejutkan tentang populasi satwa anoa yang tersisa lima ribu ekor di seluruh wilayah
Sulawesi. Jumlah itu terkategori kritis seiring penyusutan luas hutan di Sulawesi. Penyebab lain
penurunan signifikan populasi anoa adalah perburuan liar. Para pemburu anoa makin merajalela
di hampir semua provinsi di Sulawesi. Padahal, katanya, anoa adalah satwa endemik yang harus
dilindungi karena terancam punah. Anoa berada di posisi kelima satwa nasional yang dilindungi
undang-undang. “Perlu dibangun kesadaran masyarakat untuk tidak berburu dan mengonsumsi
anoa. Dan juga mengingatkan kepada masyarakat, termasuk pengusaha, agar tidak menggunduli
hutan sembarangan. An oa tidak punya tempat lagi untuk hidup kalau hutan dibabat,” kata
Agustinus.
Data berbeda tentang populasi anoa diungkap Anoa Breeding Centre (ABC). Menurut
Irma, seorang peneliti anoa pada ABC, populasi anoa di Sulawesi tersisa 2.499 ekor. “Khusus
di Minahasa saja sudah tak ada lagi anoa,” katanya. Anoa di Sulawesi Utara berada di lokasi
penangkaran Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(BP2LHK) Manado. Jumlahnya tidak banyak, hanya delapan ekor. Tempat penangkaran itu
didirikan hasil kerja sama dengan BKSDA Sulawesi Utara pada 2011. "Upaya ini dilakukan
untuk melestarikan anoa secara ex situ melalui kegiatan penelitian dan pengembangan

"Anoa juga digolongkan sebagai satwa yang terancam punah. Hingga tahun 2016, anoa yang
berada di kandang BP2LHK Manado berjumlah tujuh ekor yang terdiri dari dua jantan dan
lima betina. “Anoa ini hasil sitaan dan penyerahan secara sukarela dari masyarakat ke BKSDA
Sulut untuk dibesarkan dan dikembangbiakan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan,”

https://www.viva.co.id/berita/nasional/880536-anoa-di-ambang-punah-akibat-hutan-
sulawesi-kritis

Anda mungkin juga menyukai