Anda di halaman 1dari 3

Opini: Politisasi Ranah Sepakbola

Sabtu, 13 Juni 2015 09:35

Oleh: Novendra Hidayat, Dosen dan Pembina Kelompok Kegiatan Olahraga dan Seni
(K20S) FISIP UBB

Sepakbola telah menjadi cabang olahraga yang paling menarik hati di seantero bumi.
Olahraga ini bisa dimainkan dan dinikmati oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun dengan
cara amat sederhana.

Dengan realitas demikian pantaslah dikatakan sepakbola sebagai suatu bahasa universal.
Tidak hanya sebagai olahraga, sepakbola dalam konteks global adalah bahasa pemersatu yang
dapat merekatkan persaudaraan kehidupan antar bangsa.

Sebagai bahasa yang universal, sepakbola selalu saja terasa hingar-bingarnya. Sensasi
olahraga sepakbola pun tak luput juga dinikmati masyarakat di Indonesia baik itu hanya
sebatas bermain mengisi waktu senggang, hobi, amatiran hingga profesional-profesional yang
hidup di sepakbola.

Geliat sepakbola di Indonesia sungguh menjadi sebuah harapan kita bersama akan hadirnya
sepakbola yang bisa memanjakan seluruh masyarakat Indonesia. Memanjakan penonton
karena hadirnya tontonan sepakbola yang berkualitas serta para pemain yang berimbas
kepada hadirnya industri sepakbola.

Untuk mewujudkan ini semua kita membutuhkan sebuah komitmen bersama mengenai
manajemen pengelolaan persepakbolaan yang bebas dari intervensi apapun. Urusan
sepakbola tidak bisa dan jangan sampai menjadi alat-alat politis yang kental akan
kepentingan-kepentingan jahat para pemodal maupun individu haus kuasa.

Sepakbola bukanlah menjadi olahraga kuasa mengkuasai, namun sepakbola berkaitan dengan
bagaimana kita berusaha menyatukan kemajemukan kita bersama melalui sebuah kompetisi
yang sehat, kompetitif tanpa mengabaikan nilai-nilai sportifitas.

Realitas yang kita hadapi bersama saat ini sungguh jauh berbeda dan mengecewakan harapan
besar akan sepakbola. Hasrat kuasa acapkali menciderai dan memporak-porandakan agenda
persepakbolaan Indonesia. Tak luput kebijakan-kebijakan sepakbola disisipi dengan
kepentingan.

Sebagaiaman kita saksikan begitu buruknya nasib pesepakbola Indonesia mulain dari
tunggakan gaji pemain, skandal pengaturan skor, lambannya pengembangan infrastruktur
hingga pembentukan tim nasional yang disusupi kepentingan-kepentingan. Ini semua pada
akhirnya menjadi jawaban awal kita semua akan nasib sepakbola Indonesia yang miskin akan
prestasi.
Langkah-langkah penyelamatan oleh beberapa pihak dianggap perlu untuk dilakukan, yang
pada akhirnya berujung kepada keluaranya sanksi dari FIFA sebagai otoritas tertinggi
sepakbola dunia. Masyarakat sepakbola Indonesia pada akhirnya menjadi saksi dan korban
akan pertunjukkan kuasa mengkuasai terlepas dari niatan baik perbaikan nasib sepakbola
Indonesia. Lantas yang menjadi pertanyaan kita bersama, akan dibawah kemana sepakbola
Indonesia? Ke sebuah tatanan sepakbola yang baik efek dari reformasi sepakbola yang keras
didengungkan untuk diperjuangkan atau justru malah sebaliknya menuju mati surinya
sepakbola Indonesia.

Menjamin kompetisi
Kesadaran kita bersama akan potensi sepakbola Indonesia harus segera ditindaklanjuti
dengan sesegera mungkin dalam sebuah tata kelola yang menjamin sepakbola bisa dinikmati
semua orang. Pemerintah harus menjamin hadirnya lapangan sepak bola disetiap daerah
bahkan setiap desa, jangan biarkan rakyat kehilangan lapangan sepakbolanya dikarenakan
ego pemutus kebijakan untuk dijadikan kawasan bisnis.
Pemikiran dimana sebenarnya kekurangan atau kelemahan PSSI dalam membina
persepakbolaan di Indonesia tentu akan selalu menjadi perdebatan yang menarik. Penulis
berusaha mengkaji berdasarkan teori Bompa (1983) dimana prestasi optimal dapat dicapai
melalui pembinaan yang sinergis dan berkesinambungan seluruh komponen pendukung
prestasi. Komponen pendukung tercapainya prestasi optimal satu diantaranya adalah
dilaksanakannya kompetisi yang berkualitas.
Kualitas kompetisi yang rendah menyebabkan prestasi optimal yang menjadi tujuan
organisasi atau klub belum dapat terwujud. Konflik pengelolaan klub dan kompetisi yang
terjadi dalam tubuh PSSI selama tahun 2010-2011 sangat mempengaruhi kualitas kompetisi
di Indonesia. Prestasi tim nasional dalam berbagai kejuaraan masih belum membanggakan,
kinerja pengurus PSSI dan klub anggota dalam melaksanakan kompetisi teryata belum
mampu membawa pengelolaan kompetisi sepakbola Indonesia berada di standar profesional
(versi AFC).
Selain itu, pemutus otoritas sepakbola negeri ini harus bisa menjamin hadirnya sebuah
kompetisi yang dipelopori masayarakat dalam sebuah ajang tanding antar kampung (tarkam).
Jika ini semua sudah hadir pemerintah daerah tinggal mendukung melalui program-program
penguatan sehingga akan muncul bibit-bibit muda terbaik nusantara melalui sebuah kompetisi
dari level akar rumput.
Industri Sepakbola Indonesia
Dalam sebuah kesempatan mantan Ketua PSSI Nurdin Halid di era kepemimpinannya pernah
mengatakan bahwa arah industri sepakbola dunia adalah masuk ke dalam arus sepakbola
modern yang mengglobal. Sepakbola Indonesia harus terlibat dalam panggung raksasa
persepakbolaan dunia yang semakin mengglobal dan kompetitif. Strategi dan tahapan untuk
mencapai visi sepakbola industri dijabarkan lagi dalam berbagai program strategis yang
tertuang di dalam blueprint sepakbola Indonesia 2007-2020, melaui kompetisi yang dikemas
dalam industri PSSI berharap lahirnya prestasi tim nasional Indonesia.
Industri sepakbola selain bermanfaat bagi seluruh komponen yang terlibat langsung dalam
kegiatan sepakbola juga sangat membantu program pemerintah untuk meningkatkan roda
perekonomian. Firmansyah yang dikutip kompas (2009: 1) dalam iklim otonomi daerah
diharapkan setiap pemerintah daerah dapat menggali potensi olahraga daerahnya. Olahraga
tidak bisa dilihat sebagai alat pengembang sumber daya manusia saja, juga dilihat sebagai
peluang dan sumber potensi ekonomi daerah.
Tanda-tanda atau indikator industrialisasi sepakbola atau pengelolaan klub dan kompetisi
yang profesional di Indonesia menurut Subardi (2010: 4) sudah mulai terlihat. Kompetisi ISL
(Indonesia Super League) atau LSI (Liga Super Indonesia) yang merupakan kompetisi
sepakbola profesional di Indonesia pada musim kompetisi 2009-2010 dikuiti 18 tim.
Pertandingan LSI berjumlah 306 selama satu musim, live TV: 113 pertandingan, melibatkan
jumlah penonton sebanyak: 2.067.500 orang, rata-rata penonton tiap pertandingan: 10.712
orang dengan durasi selama 8 bulan. Liga Super Indonesia berhasil bekerja sama dengan PT.
Djarum sebagai sponsor Utama. Perputaran uang dari industri sepakbola di Indonesia
diperkirakan bisa menembus Rp. 3 triliun (Kompas, 2010: 29). Kompetisi Djarum LSI dan
Liga Ti-phone Divisi Utama 2010 yang dikemas secara profesional diharapkan menjadi
pendorong dan penarik terciptanya industri dengan nilai ekonomi tinggi. Klub peserta ISL
jika selama 1 musim mengeluarkan rata-rata 20 miliar rupiah untuk menjalani kompetisi
maka uang 360 milyar rupiah telah beredar untuk kegiatan sepakbola.
Edisi terakhir persepakbolaan Indonesia sebelum dibekukan FIFA juga menunjukkan geliat
industri yang sama. Hal ini ditandai dengan hadirnya QNB perusahaan asing asal Qatar
sebagai sponsor utama perputaran kompetisi sepakbola tertinggi negeri ini. selain itu,
mengenai hak siarpun sudah ditangani dengan serius televisi berbayar asing. Hal ini semua
menunjukkan telah berjalan dengan baik industrialisasi persepakbolaan Indonesia.
Pada akhirnya, kita semua berharap carut marut tata kelola serta tarik menarik kepentigan
politis adalam persepakbolaan Indonesia segara berakhir. Kita semua merindukan hadirnya
sepakbola Indonesia yang sehat, indah serta membanggakan dengan hadirnya prestasi-
prestasi baik level klub maupun tim nasional di level regional asia maupun dunia. Majulah
sepakbola Indonesia. (*)

Anda mungkin juga menyukai