Disusun Oleh:
Dosen Pengampu:
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Critical Journal Review mata kuliah Bahasa Indonesia ini.
Critical Journal Review ini telah penulis susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar dalam
pembuatannya. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan Critical Journal Review
ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar dapat memperbaiki Critical Journal Review ini.
Semoga Critical Journal Review sederhana ini dapat dipahami bagi siapa pun
pembacanya. Sekiranya Critical Journal Review ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun bagi orang yang membacanya.
Penulis
REVIEW JURNAL
Menurut Gomez & Sanson (Briesmeister & Schaefer, 2007) kondisi stres
orang tua dalam menangani perilaku anak GPP/H dapat berimbas pada rendahnya
kualitas pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anak GPP/H. Orang tua
menjadi banyak mengontrol, kurang responsif terhadap pertanyaan anak, sering
memerintah, kurang konsisten dan memberikan hukuman sebagai metode yang
dianggap mampu mendisiplinkan anak, serta hanya sedikit memberikan
perhatian terhadap perilaku yang positif. Akibatnya gejala GPP/H terus berlanjut
dan berkembang berbagai gejala.
Orang tua sering bingung dan merasa kesulitan merawat seorang anak
GPP/H. Orang tua dan anak akan terjebak dalam lingkaran dari konfrontasi dan
konflik. Ini akan memicu perasaan bersalah, terutama ketika orang tua
mengatakan dan melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak boleh dikatakan dan
dilakukan oleh orang tua. Seluruh keluarga akhirnya sering berada pada titik kritis,
sehingga setiap anggota keluarga saling menyalahkan atas terjadinya masalah itu,
walaupun mungkin dalam hati kecil masing-masing merasa bahwa dirinyalah yang
mungkin bersalah (Pentecost, 2004).
Menurut Flanagen (2005) permasalahan lain yang timbul akibat perilaku
anak dengan GPP/H ini adalah, orang tua pada umumnya sulit untuk memahami dan
menerima anak. Orang tua menjadi cemas, kecewa dan biasanya bersikap menuntut
atau menekan anak. Permasalahan menjadi kusut seperti lingkaran setan, yang
sebenarnya dapat dihindari. Banyak orang tua yang kelelahan karena berusaha
mengatasi perilaku anak-anak mereka dan mendekati depresi setelah mengetahui
bahwa anaknya mengalami GPP/H.
2. Pembahasan
Adapun dari jurnal yang telah direview berkaitan dengan dua jurnal
pembanding yang telah dilaporkan diatas, dimana ketiga jurnal tersebut
sama-sama membahas tentang anak ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) atau dalam bahasa Indonesia anak dengan
Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktif (GPP/H). Namun , yang
menjadi subjek penelitian dari kegia artikel ini yaitu orangtua dari anak
dengan GPP/H.
ADHD adalah suatu kelainan medis yang dapat dikenali dan memiliki ciri
tersendiri yang cenderung merupakan keturunan (Flanagen, 2003). Secara
umum ada tiga jenis perilaku yang dikaitkan dengan kelainan ini, yaitu sikap
kurang memperhatikan sekeliling (inattentiveness) atau mudah terganggu
(distractibility), sikap menurutkan kata hati (impulsiveness) dan hiperaktivitas
(Flanagen, 2003). Pentecost (2004) menjelaskan lebih lanjut tentang gejala-
gejala pada anak ADHD bahwa kurangnya pemusatan perhatian yang
menyebabkan anak lebih mudah terganggu dibandingkan anak-anak lainnya,
dan sama sekali tidak dapat berkonsentrasi pada tugas-tugasnya, akibatnya
prestasi sekolah buruk dan mengganggu anak-anak lain. Impulsivitas ditandai
dengan selalu melakukan tindakan yang beresiko, berbuat tanpa berpikir
dahulu dan seolah-olah tidak sadar terhadap akibatnya, dan seolah-olah tidak
mendengar. Hiperaktivitas ditandai dengan selalu “ingin pergi” sulit untuk
diikuti, tidak pernah dapat diam, bergoyang-goyang, mengetuk-ngetukkan jari-jari
tangan atau kaki, mengayun-ayunkan tungkai, memutar-mutar badan, biasanya
mengerjakan beberapa hal sekaligus dan tidak pernah dapat duduk
tenang.
Kebanyakan orangtua mengalami shock bercampur perasaan sedih,
khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosis
bahwa anaknya mengalami ADHD. Ibu dari anak ADHD sering merasa
bersalah ketika mengetahui anak mengalami kelainan tersebut. Oleh karena
itu, sesuai dengan Ratna Yunita, dkk : 2014 membuat serangkaian pelatihan
pengasuhan untuk meningkatkan pemahaman dan kualitas pengasuhan
orang tua anak GPP/H.
Orang tua umumnya belum mengetahui tentang GPP/H dan bagaimana
tindakan yang tepat dalam menangani permasalahan tingkah laku anak
GPP/H. Terbatasnya pengetahuan orang tua tentang permasalahan tingkah laku
anak dan kemampuan menangani perilaku tersebut menjadikan orang tua rentan
mengalami permasalahan terkait dengan anak, seperti kecewa, tertekan,
memendam amarah yang kemudian tidak terkontrol sehingga keluar lewat
emosi dalam bentuk fisik dan psikis, malu pada orang lain karena perilaku
anak, serta perasaan bingung harus bagaimana dalam memberi pengasuhan/
mengarahkan anak. Selain itu orang tua menjadi mudah lelah dan saling
menyalahkan atas terjadinya permasalahan tingkah laku anak kepada
pasangannya, sehingga hubungan antara ayah dan ibu sebagai orang tua menjadi
tidak harmonis.
Sejalan dengan hal ini pada Erlina Listyanti : 2010, mengungkapkan bahwa
kepribadian seorang ibu akan membawa pengaruh besar terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak. Hubungan yang harmonis akan membawa kearah hidup
yang lebih bahagia. Ibu merupakan sosok didalam keluarga yang mengemban
tanggung jawab untuk mengasuh anak. Apabila orangtua tidak mampu untuk
menekan emosi negatif yang terjadi pada dirinya, inilah yang mengakibatkan pola
pengasuhan responsif terhadap anak.
Dalam Desi, dkk : 2015 mengungkapkan bahwa salah satu faktor
penyebab seorang anak anak mengalami ADHD yaitu, feritin serum merupakan
indikator besi di dalam tubuh yang reliabel termasuk di otak. Kadarnya yang
rendah dapat digunakan sebagai deteksi dini adanya defisiensi besi. Defisiensi
besi dapat menyebabkan gangguan neurotransmisi di otak dan diduga memiliki
peranan pada patofisiologi ADHD. Pendapatan per kapita keluarga
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan gizi dalam hal ini
mikronutrien besi. Berdasarkan hal tersebut, pemenuhan kebutuhan zat besi
pada kelompok anak ADHD sangat mungkin lebih baik dibanding anak tanpa
ADHD sehingga berdampak pada kadar feritin serum.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang mengalami gangguan
pemusatan perhatian/hiperaktif disebabkan oleh kurangnya kandungan
indikator besi didalam tubuh anak. Selain itu, sikap orangtua dalam mengasuh
serta mendidik anak sangatlah berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak
tersebut, terutama terhadap anak yang mengalami attention deficit and
hyperactivity disorder (ADHD) atau disebut juga dengan gangguan pemusatan
perhatian/hiperaktif (GPPH). Oleh karena itu, pendidikan pemahaman tentang
anak dengan GPPH sangatlah diperlukan bagi orangtua dan sangat membantu
untuk mengatasi permasalah yang terjadi pada anaknya dengan tindakan yang
tepat.