Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai


banyak kekayaan alam yang melimpah baik yang dapat diperbaharui
(renewable resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources). Kekayaan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti
sumberdaya mineral, batubara, dan sumberdaya geologi lainnya memberikan
kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia, terutama bagi daerah-daerah
yang secara geologi wilayah memiliki komoditi mineral yang melimpah
seperti tembaga, emas, perak, batubara, timah, nikel. Sumberdaya mineral
yang melimpah ini di sebagian wilayah berhasil dieksplorasi terutama daerah-
daerah yang memiliki kandungan yang tinggi. Salah satu daerah di Indonesia
yang mempunyai potensi sumberdaya mineral dan geologi yang cukup besar
adalah Kabupaten Bombana di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sumberdaya mineral merupakan kekayaan alam yang harus dikelola
seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam
pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pasal tersebut mengamanatkan bahwa kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Implementasi pasal tersebut kemudiam tertuang dalam
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4 Tahun 2009 tentang
pertambangan mineral dan batubara yang menyatakan bahwa mineral dan
batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk memberi
nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
BAB II
PEMBAHASAN

1. GEOLOGI REGIONAL
Geologi daerah studi termasuk geologi daerah Wumbubangka dan
Rau-rau, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi
Tenggara, yang telah diteliti sebelumnya oleh Kisman, (2009). Pembahasan
geologi daerah penelitian meliputi pembahasan geomorfologi, stratigrafi,
dan struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian.

2.1 Geomorfologi

Morfologi daerah Bombana terdiri dari morfologi perbukitan terjal dan


morfologi pedataran. Morfologi pegunungan terjal menempati bagian Selatan,
bagian sisi Barat, Barat Laut hingga agak ke tengah pada daerah studi
(Gambar 2). Pegunungan yang menempati bagian terluas kawasan ini yaitu
Pegunungan Rumbia yang mempunyai topografi yang sangat kasar dan
kemiringan lereng yang sangat tinggi, pegunungan dalam satuan ini memiliki
pola yang hampir sejajar berarah Barat Laut – Tenggara. Arah ini sejajar
dengan struktur sesar regional di kawasan ini. Pola tersebut mengindikasikan
bahwa pembentukan morfologi pegunungan ini erat hubungannya dengan sesar
regional. Pegunungan ini dibentuk oleh batuan malihan dan memiliki bentuk
morfologi yang khas yaitu punggung gunungnya terputus pendek-pendek
dengan lerang yang tidak rata walaupun bersudut tajam.

2.2 Stratigrafi

Pembagian satuan batuan di daerah studi didasarkan pada sistem pembagian


tatanama tidak resmi, yaitu pengelompokan lapisan batuan secara bersistem
menjadi satuan bernama berdasarkan ciri-ciri litologinya. Meliputi jenis dan
kombinasi batuan, serta kesamaan ciri atau gejala litologi batuan yang dapat
diamati di lapangan. Pembagian satuan batuan juga didasarkan pada dominasi
batuan yang tersingkap di daerah studi. Berdasarkan ciri-ciri litologi yang
dominan, perbedaan antara batuan yang satu dengan batuan lainnya, serta
posisi stratigrafi yang diamati di lapangan, maka stratigrafi daerah studi dapat
dibagi menjadi 2 (dua) satuan batuan yaitu satuan sekis yang beranggotakan
sekis muskovit, sekis epidot, serta metalimestone, dan satuan batupasir yang
beranggotakan konglomerat (Pasomba, 2015).
1. Satuan sekis

Satuan sekis ini terdiri dari sekis epidot, sekis muskovit, dan metalimestone
dengan struktur foliasi. Di dalam satuan batuan metamorf ini terdapat
bongkahan-bongkahan batuan tersilisifikasi dengan kuarsa bertekstur
saccharoidal mengisi foliasi dan rekahan- rekahannya Kenampakan lapangan
dari batuan sekis) memperlihatkan warna segar abu- abu kebiruan sampai
kehijauan, warna lapuk coklat, dengan tekstur lepidoblastik, struktur foliasi
(schistose), isian kekar berupa kuarsa dan dengan kedudukan foliasi
batuan N 65o E,29o. Berdasarkan klasifikasi batuan metamorf menurut
Travis, (1955), batuan ini dinamakan sekis epidot (Pasomba, 2015)

2. Satuan batupasir

Satuan batupasir Formasi Langkowala ini diusulkan oleh Simandjuntak dkk,


(1980), dengan runtunan sedimen yang didominasi batupasir dengan sisipan
serpih, batulanau, dan juga konglomerat pada Formasi Langkowala ini.
Anggota satuan batuan ini menyebar luas di daratan Langkowala, membentuk
daratan dan perbukitan rendah yang luas.

Ciri fisik batupasir ini ditandai oleh tidak dijumpai adanya fosil dengan
kelimpahan mineral kuarsa dan feldspar. Berdasarkan ciri fisik tersebut, maka
satuan batupasir ini pada daerah penelitian berumur Miosen Atas
(Simanjuntak dkk, 1980).

2.3 Struktur Geologi

Struktur geologi utama yang berkembang di daerah penelitian berupa sesar


naik yang memiliki arah umum Timur – Barat dengan bagian Selatan
merupakan hanging wall yang memisahkan bagian Utara yang merupakan
satuan morfologi perbukitan rendah dan pedataran Langkolawa, dan di
bagian Barat, Selatan maupun Timur merupakan satuan morfologi perbukitan
tinggi di bukit Tangkeno Wumbubangka dan Pegunungan Rumbia (Kisman,
2009).

Bagian hanging wall yang membentuk perbukitan rendah ini kemudian


mengalami oksidasi yang mengakibatkan terjadinya proses pengayaan.
Kemungkinan proses hidrotermal masih aktif sampai saat ini dengan
ditemukannya sumber mata air panas.

1. GENESIS ENDAPAN
Menurut Bateman (1981) secara umum proses pembentukan
ore atau mineralisasi bijih pada endapan jenis hidrotermal dipengaruhi oleh
beberapa faktor pengontrol, meliputi: larutan hidrotermal yang berfungsi
sebagai larutan pembawa mineral, zona lemah yang berfungsi sebagai saluran
untuk lewat larutan hidrotermal, tersedianya ruang untuk pengendapan
larutan hidrotermal, terjadinya reaksi kimia dari batuan induk/host
rock dengan larutan hidrotermal yang memungkinkan terjadinya pengendapan
mineral bijih (ore), dan adanya konsentrasi larutan yang cukup tinggi untuk
mengendapkan mineral bijih (ore).

Oleh akibat larutan hidrotermal bersifat sangat cair, menyebabkan


larutan ini sangat mudah untuk melalui bidang bidang rekahan pada batuan
yang dilewatinya dan kemudian mengalami proses pendinginan dan
mengendapkan ion-ion logam yang membentuk endapan dalam bentuk
vein atau urat. Kuarsa sebagai mineral yang paling akhir terbentuk umumnya
hadir dan terendapkan dalam urat-urat ini yang seringkali dijumpai bersama
dengan endapan emas. Kehadiran urat-urat ini merupakan salah satu penciri
utama dari jenis endapan hidrotermal.

Endapan tipe urat atau vein type deposit merupakan daerah yang
umumnya termineralisasi dengan jelas yang umumnya membentuk tubuh
yang diskordan (memotong tubuh batuan yang ada disekelilingnya) yang
pada umumnya ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan panjang dan
kedalamannya. Kebanyak urat-urat terbentuk pada zona-zona patahan atau
mengisi rongga- rongga pada batuan atau pada daerah gerusan. Banyak
endapan endapan yang bernilai eknomis tinggi seperti emas, tembaga,
perak, logam dasar (Pb-Zn-Cu) dan arsenik, mercuri, dan mineral mineral
logam ekonomis lainnya yang berasosiasi dengan mineral-mineral pengotor
(gangue mineral) seperti kuarsa dan kalsit pada batuan sampingnya (country
rocks) dalam bentuk struktur urat.

Vein Kuarsa

Idrus dkk. (2011) menjelaskan bahwa terdapat 2 jenis vein pada


daerah Langkowa yaitu vein generasi pertama dimana veinnya sejajar
dengan foliasi batuan yang dijumpai pada sekis mika, sedangkan vein
generasi kedua adalah vein yang memotong foliasi.

Fadlin dan Asy’ari (2012) dalam penelitiannya membagi 3 jenis vein


yang terdapat pada daerah Wumbubangka. Urat kuarsa yang sejajar
dengan foliasi memiliki geometri yang relatif lebih besar dibanding
dengan urat kuarsa yang memotong foliasi, urat kuarsa tipe ini merupakan
urat generasi pertama, berwarna putih transparan sampai putih susu,
memiliki kandungan mineral sulfida yang sangat sedikit,
sedangkan urat yang memotong foliasi merupakan urat generasi kedua
dan biasanya berukuran lebih kecil dari urat yang sejajar foliasi, warna putih
sampai abu-abu buram serta memiliki kandungan mineral sulfida yang lebih
domina dibanding dengan urat kuarsa yang sejajar foliasi. Sedangkan urat
kuarsa-kalsit merupakan urat generasi ke-3 bertekstur laminasi.

Menurut Pasomba (2015) bahwa vein yang dijumpai pada daerah studi
memiliki tekstur saccoroidal (Gambar 6) dan Karakteristik tertentu ( Tabel 1).
Berdasarkan klasifikasi vein menurut Guilbert & Park (1986) maka
Pasomba (2015) mengklasifikasikan vein yang dijumpai pada daerah ini
menjadi dua jenis vein yaitu jenis vein simple dan jenis vein irregular
(Gambar 7). Adapun ciri lapangan dari vein jenis simple yaitu bentuknya
relatif lurus, kuarsanya telah mengalami oksidasi fluida sedangkan jenis
irregular di lapangan dicirikan dengan kenampakan rekahan yang diisi oleh
fluida dengan arah yang tidak beraturan serta ketebalan vein yang bervariasi.

Menurut Pasomba (2015) terdapat 3 fase dalam mekanisme


pembentukan vein kuarsa pada daerah Bombana. Fase pertama terjadi
deformasi berupa sesar naik yang memiliki arah umum Timur – Barat dengan
bagian Selatan merupakan hanging wall yang memisahkan satuan morfologi
perbukitan di Bukit Tangkeno sampai pegunungan terjal Rumbia dengan
daerah Wumbubangka yang merupakan morfologi perbukitan rendah dan
pedataran Langkowala di sebelah Utara.

Fase kedua merupakan pengisian rekahan pada batuan oleh


larutan hydrothermal bersifat asam yang melewati batuan metamorf melalui
rekahan pada zona-zona lemah sebagai media tempat larutan tersebut
mengalir kemudian mengalami pembekuan dan pengkristalan. Pengisian
larutan hidrotermal umumnya dijumpai dalam bentuk vein disebabkan oleh
berkurangnya intensitas larutan maupun tekanan larutan tersebut untuk
mengintervensi batuan, sehingga pergerakan larutan hanya melewati rekahan
yang ada pada batuan.

Fase ketiga atau fase terakhir merupakan hasil dari pengaruh larutan
hidrotermal terhadap batuan samping yang telah membentuk alterasi. Adapun
mineral hasil alterasi yang dijumpai pada daerah penelitian yaitu klorit,
muskovit, epidot dan kuarsa
Mineralisasi

Fadlin (2012) dalam penelitiannya menunjukan keterdapatan


mineral pirit, kalkopirit, astenopirit, cinnabar, stibnite, dan ashenopirit.
Mineral-mineral tersebut tidak hanya hadir dalam urat namun seringkali
ditemukan pada batuan samping wallrock dan tersilisifikasi. Cinabar
memiliki ciri fisik berwarna merah jambu dan melimpah pada
keterdapatan emas primer maupun emas sekunder atau endapan emas placer.
Mineral- mineral ini terdapat pada daerah Wumbubangka, Kabupaten
Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Menurut Idrus dkk (2011) bahwa secara pengamatan megaskopis


ditemukannya mineral pirit, kalkopirit, cinnabar, stibnite, dan asenopyrit
dengan konsentarsi yang sedikit berada pada urat kuarsa dan tersilisifikasi
pada batuan samping. Mineral-mineral ini terdapat pada daerah Longkowala,
Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Alterasi Hidrotermal

Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya


(wall rocks) akan menyebabkan terubahnya mineral primer menjadi mineral
sekunder yang kemudian disebut dengan mineral yang teralterasi (alteration
minerals). Proses terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder akibat
interaksi batuan dengan larutan hidrotermal disebut dengan proses alterasi
hidrotermal.

Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, karena meliputi


perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi
larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya pada kondisi fisika–
kimia tertentu (Pirajno, 1992). Beberapa faktor yang berpengaruh pada proses
alterasi hidrotermal adalah temperatur, kimia, fluida, konsentrasi dan
komposisi batuan samping, durasi aktifitas hidrotermal, dan permeabilitas.
Namun faktor kimia dan temperatur fluida merupakan faktor yang paling
berpengaruh (Browne, 1994 dalam Corbett dan Leach,1995).

Proses hidrotermal pada kondisi tertentu akan menghasilkan kumpulan


mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral atau mineral
assemblage (Guilbert dan Park, 1986). Hal ini menyebabkan kehadiran
himpunan mineral tertentu dalam suatu ubahan batuan akan mencerminkan
komposisi pH larutan dan temperature fluida tipe alterasi tertentu. Morrison
(1995) menjabarkan mineral mineral hidrotermal yang menjadi penunjuk
pembentukan mineral yang terbentuk dari alterasi batuan pada kondisi pH
asam netral.

Idrus dkk, (2011) dan Fadlin (2012) membagi 4 tipe alterasi


hydrothermal yang terdapat pada daerah Wumbubangka yaitu Silisisikasi
(silicification), Alterasi argilik / clay±silica (argillic), Klorit-karbonat
(chlorite-carbonate alteration), dan Karbonisasi (carbonization).

a. Silisisikasi (silicification)
Alterasi ini ditandai dengan terubahnya mineral primer pada
batuan samping terutama yang digantikan dengan mineral
silika yang sangat dominan.
b. Alterasi argilik /clay±silica (argillic)
Alterasi ini ditandai dengan hadirnya mineral lempung (clay) yang
dominan dengan mineral mineral silika, berada di sepanjang zona
urat kuarsa.
c. Klorit-karbonat (chlorite-carbonate alteration)
Dicirikan dengan hadirnya mineral klorit bersamaan dengan
mineral karbonat dalam bentuk uratan kalsit, berada tidak terlalu
jauh dari pusat urat kuarsa
d. Karbonisasi (carbonization)
Dicirikan oleh hadirnya lapisan mineral grafit yang umumnya
berwarna hitam dan yang relatif sejajar foliasi.

Berdasarkan hasil penelitian endapan emas orogenik yang


terdapat di daerah penelitian merupakan sumber daripada endapan
emas sekunder (placer/paleoplacer) yang ada di daerah penelitian.
Endapan emas orogenik ini terbentuk pada zona transisi antara
epizonal- mesozonal yaitu pada fasies green schist di kedalaman lebih
kurang 5-6 kilometer.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh yaitu sebagai berikut :

- Mineralisasi yang terdapat dan berkembang pada daerah studi ini adalah
cinnabar, stibnit, pirit, kalkopirit, dan emas.
- Terdapat 4 tipe alterasi hydrothermal yang terdapat pada daerah studi yaitu
Silisisikasi (silicification), Alterasi argilik / clay±silica (argillic), Klorit-karbonat
(chlorite-carbonate alteration) dan Karbonisasi (carbonization).
- Terdapat tiga generasi urat pada daerah Bombana, Sulawesi Tenggara yaitu
generasi pertama adalah urat yang sejajar foliasi. Sedangkan urat generasi kedua
adalah urat kuarsa yang memotong foliasi, memiliki kandungan mineral sulfida
yang cukup dominan serta memiliki kadar emas yang cukup potensi dibandingkan
dengan urat generasi pertama. Urat generasi ketiga yaitu urat kalsit-kuarsa.
DAFTAR PUSTAKA
A. Idrus., Irzal. Nur., I W. Warmada., Fadlin.,2011.Metamorphic Rock-Hosted Orogenic
Gold Deposit

Type as a Source of Langkowala Placer Gold, Bombana, Southeast Sulawesi.Jurnal


Geologi Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret 2011 : 43-49

Arifudin Idrus., Akira Imai., Andi Makkawaru., Kamrullah., I Wayan Warmada.,Irzal


Nur,. Rohaya Langkoke.,2009.Preliminary Study on Orogenic Deposit Type as a
Source of Placergold at Bombana, Southeast Sulawesi, Indonesia.Symposium
Paper KyushU

Fadlin.,2012.Karakteristik Endapan Emas Orogenik Sebagai Sumber Emas


Placer di Daerah Wumbubangka, Bombana, Sulawesi
Tenggara.JurusanTeknikGeologiFT-UGM.Yogakarta

Iqbal.E Putra, 2015, Emas Batuan Metamorfosis Bombana, Sebuah Anomali, Artikel
Geologi Indonesi diterbitkan online.

Kisman.,2011.Keterdapatan Mineralisasi Emas Yang Berasosiasi Dengan Sinabar di


Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi
Tenggara.Pusat Sumber Daya Geologi.Buletin Sumber Daya Geologi Volume 6
Nomor 2 – 2011. Bandung

Anda mungkin juga menyukai