Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

EFUSI PLEURA
A. KONSEP MEDIS
1. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Dibagi atas dua yaitu saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan
dalam (C. Pearce, 1993).
a. Saluran Pernafasan Atas terdiri dari :
1) Hidung = Naso = Nasal
Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai
dua lubang (cavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi). Didalam terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring
udara, debu dan kotoran-kotoran yang masuk kedalam lubang
hidung.
2) Bagian luar dinding terdiri dari kulit
3) Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
4) Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang
dinamakan karang hidung (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah:
a) konka nasalis inferior (karang hidup bagian bawah)
b) konka nasalis media (karang hidung bagian tengah)
c) konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
Diantara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus
yaitu meatus superior (lekukan bagian atas), meatus
medialis(lekukan bagian tengah dan meatus inferior (lekukan
bagian bawah). Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara
pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan
dengan tekak, lubang ini disebut koana.
Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas,
keatas rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang
disebut sinus paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga
rahang atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus
sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmodialis pada
rongga tulang tapis.
Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung saraf penciuman
yang menuju ke konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel
penciuman, sel tersebut terutama terdapat di bagianb atas. Pada
hidung di bagian mukosa terdapat serabut-serabut syaraf atau
respektor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius.
Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah
atas dari langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang
menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran
tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yang
menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung
juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba
lakminaris.
Fungsi hidung, terdiri dari
a) bekerja sebagai saluran udara pernafasan
b) sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan
oleh bulu-bulu hidung
c) dapat menghangatkan udara pernafasan oleh
mukosa
d) membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-
sama udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat
dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.
5) Tekak-Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan
dan jalan makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang
rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
Hubungan faring dengan organ-organ lain keatas berhubungan
dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama
koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat
hubungan ini bernama istmus fausium. Ke bawah terdapat dua
lubang, ke depan lubang laring, ke belakang lubang esofagus.
Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga
dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan
getah bening ini dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat 2
buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat
epiglotis( empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada
waktu menelan makanan.
Rongga tekak dibagi dalam 3 bagian:
1) bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana yang
disebut nasofaring.
2) Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium
disebut orofaring
3) Bagian bawah sekali dinamakan laringgofaring.
6) Pangkal Tenggorokan(Laring)
Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea
dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah
empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-
tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan
menutupi laring.
Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain:
1) Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada
pria.
2) Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker
3) Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin
4) Kartilago epiglotis (1 buah).
Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan
bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epiteliumnberlapis. Proses
pembentukan suara merupakan hasil kerjasama antara rongga
mulut, rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Perbedaan suara
seseorang tergsantung pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita
suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara wanita.
7) Batang Tenggorokan (Trakea)
Merupakan lanjutan dari laring yang terbentuk oleh 16-20
cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk
seperti kuku kuda. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang
berbulu getar yang disebut sel bersilia,hanya bergerak kearah luar.
Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan
ikat yang dilapisi oleh otot polos. Sel-sel bersilia gunanya untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama-sama
dengan udara pernafasan. Yang memisahkan trakea menjadi
bronkus kiri dan kanan disebut karina.
b. Saluran Pernafasan bawah terdiri dari :
a. Cabang Tenggorokan ( Bronkus)
Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus
lobaris kanan ( 3 lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2
bronkus).bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus
segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus
segmental. Bronkus segmentalisini kemudian terbagi lagi menjadi
bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang
memiliki: arteri, limfatik dan saraf.
1) Bronkus segmental
Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi
bronkiolus. Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang
memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus
untuk melapisi bagian dalam jalan nafas.
2) Bronkiolus terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi
bronkiolus terminalis( yang mempunyai kelenjar lendir dan
silia).
b. Bronkiolus respiratori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus
respirstori. Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran
transisional antara lain jalan nafas konduksi dan jalan udara
pertukaran gas.Duktus alveolar dan sakus alveolar Bronkiolus
respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan
sakus alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli.
c. Alveoli
Merupakan tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu
lembar akan seluas 70 m2. Terdiri atas 3 tipe: Sel-sel alveolar tipe
I : sel epitel yang membentuk dinding alveoli. Sel-sel alveolar tipe
II: sel yang aktif secara metabolik dan nensekresikan surfaktan (
suatu fosfolifid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah
alveolar agar tidak kolaps) ahanan Sel-sel alveolar tipe III:
makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan bekerja sebagai
mekanisme pertahanan.
d. Paru – paru
Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut. Terletak
dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru dipisahkan oleh
mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pebuluh
dareah besar. Setiap paru mempunyai apeks dan basis, paru kanan
lebih besar dan terbagi menjadi 3 lobus dan fisura interlobaris.
Paru kiri lebih kecil dan terbagi menjadi 2 lobus. Lobus-lobus
tersebut terbagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen
bronkusnya.
e. Pleura
Merupakan lapisan tipis yang mengandung kolagen dan
jaringan elastis. Terbagi menjadi 2 yaitu:
1) Pleura perietalis yaitu yang melapisi rongga dada
2) Pleura viseralis yaitu yang menyelubungi setiap paru-paru.
Diantara pleura terdapat rongga pleura yang berisi cairan tipis
pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu
bergerak selama pernafsan. Juga untuk mencegah pemisahan toraks
dengan paru-paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari
tekanan atmosfir, hal ini untuk mencegah kolap paru-paru.

B. PENGERTIAN
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana penumpukan cairan
dalam pleura berupa transudat dan eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura
viseralis. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan
hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu penyakit (Muttaqin,
2008).
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural,
proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder
akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin
merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus
(Baughman C Diane, 2000).
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang
terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer
jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil
cairan (10 sampai 20ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan
permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Brunner &
Suddarth, 2002).

C. KLASIFIKASI
a. Efusi pleura transudat
Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan
menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme
terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF),
penurunan onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negative intra pleura yang
meningkat (atelektaksis akut).
Ciri-ciri cairan:
1) Serosa jernih
2) Berat jenis rendah (dibawah 1.012)
3) Terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil
4) Protein < 3%
Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan
hydrothorax, penyebabnya:
1) Payah jantung
2) Penyakit ginjal (SN)
3) Penyakit hati (SH)
4) Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi)
b. Efusi pleura eksudat
Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri
yang berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler (missal
pneumonia) atau drainase limfatik yang berkurang (missal obstruksi aliran
limfa karena karsinoma). Ciri cairan eksudat:
1) Berat jenis > 1.015 %
2) Kadar protein > 3% atau 30 g/dl
3) Ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6
4) LDH cairan pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum
normal
5) Warna cairan keruh
Penyebab dari efusi eksudat ini adalah:
1) Kanker : karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau penyakit
metastatic ke paru atau permukaan pleura.
2) Infark paru
3) Pneumonia
4) Pleuritis virus
c. Efusi hemoragi
Dapat disebabkan adanya tumor, trauma, infark paru dan tuberkulosis.

D. ETIOLOGI
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi lagi
menjadi transudat, eksudat, dan hemoragi.
a. Transudat
Dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung
kiri), sindrom nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindrom vena
kava superior dan tumor.
Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan
menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah, mekanisme
terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF)
penurunan onkotik (hipoaolbumin) dan tekanan negative intra pleura yang
meningkat (atelektasis akut).
b. Eksudat
Disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru,
radiasi dan penyakit kolagen.
Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri
yang berkaitan dengan peningkatan permeabiitas (misal pneumonia) atau
drainase limfatik yang berkurang (misal obstruksi aliran limfa karena
karsinoma).
c. Efusi hemoragi
Dapat disebabkan adanya tumor, trauma, infark paru dan tuberkulosis.

E. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura
parietalis dan pleura vicelaris, karena diantara pleura tersebut terdapat cairan
antara 1– 20cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak
teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura,
sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain . Di ketahui bahwa
cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbs. Karena
adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid
pada pleura viceralis . Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan
hanya sebagin kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal.Hal yang
memudahkan penyerapan cairan pada pleura viscelaris adalah terdapatnya
banyak mikrovili disekitar sel-sel mesofelial jumlah cairan dalam rongga
pleura tetap. Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi .
Keadaan ini bias terjadi karena adanya tekanan hydrostatic sebesar 9 cm H2o
dan tekanan osmotic koloid sebesar 10cm H2o. Kesimbangan tersebut dapat
terganggu oleh beberapa hal salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru .
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil mikrobakterium
tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli terjadilah infeksi
primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis local) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limphadinitis regional). Peradangan pada saluran getah
bening akan mempengaruhi permeabilitas membrane. Permeabilitas
membrane akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi
cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya infeksi efusi pleura akibat
dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran
getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya pengkejuan kearah saluran
getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vertebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkulosa paru adalah eksudat
yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan
aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang-kadang bias
juga hemoragik. Dalam setiap ml cairan pleura bisa mengandung leukosit
antara 500-2000. Mula-mula yang dominan adalah sel-sel polimorfonuklear,
tapi kemudian sel limfosit, cairan effusi sangat sedikit mengandung kuman
tuberkulosa. Timbulnya cairan effusi pleura dapat menimbulkan beberapa
perubahan fisik antara lain: irama pernapasan tidak teratur, frekuensi
pernapasan meningkat, pergerakan dada asimetris, dada yang lebih cembung,
fremitus raba melemah, perkusio redup. Selain hal-hal diatas ada perubahan
lain yang ditimbulkan oleh effusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkulosa
paru yaitu peningkatan suhu tubuh, batuk dan berat badan menurun.

F. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala pada efusi pleura (Kusuma, 2015) :
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan,
setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak,
penderita akan sesak napas
2. Adanya gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri
dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis),
banyak keringat, batuk, banyak riak
3. Deviasi trackea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan
4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dean vokal), pada
perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan
membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu)
5. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas Ellis Domiseu. Segitiga Gracco-Rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum ke sisi lain, pada auskultasi
daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki
6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura (nurarif,
amin huda.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium (Analisa cairan pleura)
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi
lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura
sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA
paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto
thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang
tidak tajam. Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus
diketahui, kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, tindakan ini
disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan
pemeriksaan seperti:
1) Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH),
albumin, amylase, pH, dan glucose
2) Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui
kemungkinan terjadi infeksi bakteri
3) Pemeriksaan hitung sel
b. Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada)
Pada permulaan didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila
cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung.
Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
c. CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan ciran dan
bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor.
d. Ultrasonografi
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan
yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
e. Thorakosentesis / pungsi pleura
Untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi,
berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior,
pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serothorak),
berdarah (hemothoraks), pus (piothoraks) atau kilus (kilothoraks). Bila
cairan serosa mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat
(hasil radang).
f. Biopsi pleura
berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura melalui biopsi
jalur perkutaneus. Biopsi ini dilakukan untuk mengetahui adanya sel-sel
ganaa atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy
tuberculoca dan tumor pleura).
g. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan
sumber cairan yang terkumpul.
h. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk
membedakan apakan cairan tersebut merupakan cairan transudat atau
eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang
mengubah keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan
pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli paru, sirosis
hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor lokal
yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi
pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia
bakteri, infeksi virus, dan keganasan.

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis
Sasaran terapi adalah untuk menentukan penyebab utamanya agar cairan
tidak kembali terakumulasi, dan untuk meredakan ketidaknyamanan,
dispnea, dan gangguan pernapasan. Terapi khusus diarahkan pada
penyebab utama (Brunner & Suddart, 2011) :
a) Terasentesis dilakukan untuk mengeluarkan cairan, mengumpulkan
spesimen untuk analisis, dan mengatasi dispnea
b) Slang dada dan drainase sekat air mungkin diperlukan untuk tindakan
drainase dan reekspansi paru
c) Pleurodesis kimia : pembentukan adhesi meningkat ketika obat-
obatan dimasukkan ke dalam efusi pleura untuk menghilangkan
rongga dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut
d) Modalitas terapi yang lain mencakup pleurektomi bedah (insersi
kateter kecil yang terhubung ke slang drainase) atau implantasi pintas
pleuroperitoneal

2. Penatalaksanaan keperawatan
a) Implementasikan regimen medis : persiapan dan posisikan pasien
untuk menjalani torasentesis dan diberikan dukungan selama prosedur
b) Pantau slang drainase dada dan sistem sekat air, catat jumlah drainase
pada interval yang telah diprogramkan
c) Berikan asuhan keperawatan yang berhubungan dengan penyebab
utama efusi pleura
Lihat “Pelatalaksanaan Keperawatan” pada gangguan menjelaskan
kondisi yang menyebabkan efusi
d) Bantu pasien mengatasi nyeri. Bantu pasien untuk mengambilkan
posisi yang paling tidak menimbulkan nyeri. Berikan obat pereda
nyeri sesuai program dan sesuai kebutuhan agar pasien dapat terus
membalik badan dan bergerak (ambulasi) secara sering
Jika pasien akan ditangani sebagai pasien rawat jalan dengan kateter pleura untuk
drainase, berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai
penatalaksanaan dan perawatan kateter dan sistem drainase
I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Identitas pasien
Pada aha ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, pendidikan
dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan utama
Biasanya didapatkan keluhan berupa: sesak napas, rasa berat pada
dada, nyeri peuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokalisir
terutama pada saat batuk dan bernapas serta batuk non produktif.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan efusi pleura biasanya diawali dengan adanya tanda-
tanda seperti batuk, sesak napas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada,
berat badan menurun.
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti
TBC paru, pneumonia, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal
ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya factor predisposisi.
e. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit yang sinyalir sebagai penyebab efusi pleura seperti ca paru, asma,
TB paru dan lain sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian pola fungsi
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Kemungkinan adanya riwayat merokok, minum alcohol dan
penggunaan obat-obatan bisa menjadi factor predisposisi timbulnya
penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
a) Dalam pengkajian poa nutrisi dan metabolism, kita perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk
mengetahui status nutrisi pasien.
b) Peru ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
masuk rumah sakit pasien dengan efusi pleura akan mengalami
penurunan nafsu makan akibat dari sesak napas dan penekanan
pada struktur abdomen
c) Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit,
pasien dengan efusi pleura keadaan umumnya lemah.
3) Pola eliminasi
a) Dalam pengkajian poa eliminasi perlu ditanyakan mengenai
kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah masuk rumah sakit.
b) Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih
banyak bed rest sehingga akan menimbukan konstipasi, selain
akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan
peristaltik otot=otottractus degestivus.
4) Pola aktivitas dan latihan
a) Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
b) Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal
c) Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat
adanya nyeri dada
d) Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya, sebagian kebutuhan pasien
dibantu oleh perawat dan keluarganya.
5) Pola tidur dan istrahat
a) Adanya nyeri dada, sesak napas dan peningatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istrahat.
b) Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan, dari lingkungan
rumah yang tenang ke ingkungan rumah sakit, dimana banyak
orang yang mondarmandir, berisi dan ain sebagainya.
h. Pemeriksaan fisik
1) Status kesehatan umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan
pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan
anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana
mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan
pasien.
2) System respirasi
a) Inspeksi pada pasien effuse pleura, bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun, pendorongan mediastinum kea rah
hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakea dan
iktus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya
dyspneu.
b) Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi peura yang jumah
cairannya > 250cc. disamping itu pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
c) Suara perkusi redup sampai pekak tergantung jumlah cairannya,
bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan
terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung
lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini
disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas dibagian
depan dada, kurang jelas dipunggung.
d) Auskultasi suara napas menurun sampai hilang. Pada posisi dudu
cairan makin keatas makin tipis, dan sebaiknya ada kompresi
atelektasis dari parenkim paru, mungkin saja akan ditemukan
tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi disekitar batas atas
cairan.
3) System kardiovaskuler
a) Pada inspeksi perlu diperhatian letak ictus cordis, normal berada
pada ICS-5 pada linea mediaclavikularis kiri selebar 1 cm.
pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran jantung.
b) Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (heart rate) dan harus
diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu
juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus cordis.
c) Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung
terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah
pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
d) Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau
gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah
jantung serta adakah murmur yang menunjukkan adanya
peningkatan arus turbulensi darah.
4) System pencernaan
a) Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau
tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-
benjolan atau massa.
b) Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltic usus dimana nilai
normalnya 5-35x/menit.
c) Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen,
adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui
derajat hidrasi pasien, adakah hepar teraba.
d) Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan
akan menimbulkan suara pekak (hepar, asietes, vesikaurinaria,
tumor).
5) System neurologis
a) Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji. Disamping itu juga
diperlukan pemeriksaan GCS, adakah compocmentis atau
somnolen atau comma.
b) Pemeriksaan reflex patologis dan reflex fisiologisnya
c) Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti
pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
6) System musculoskeletal
a) Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial
b) Palpasi pada kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi
perifer serta dengan pemeriksaan capillary refiltime.
c) Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot
kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7) System integument
a) Inspeksi mengenai keadaaan umum kulit, higiene, warna, ada
tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan
tampak sianosis akibat adanya kegagalan transport O2
b) Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin,
hangat, demam), kemudian tekstur kulit (halus-lunak-kasar) serta
turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Masalah yang sering muncul pada efusi pleura (NANDA NIC NOC, 2015) :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura
2. Gangguan pertukaran gas b.d penurunan kemampuan ekspansi paru,
kerusakan membrane alveolar-kapiler
3. Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan
metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder
terhadap penekanan struktur abdomen
5. Nyeri akut b.d proses tindakan drainase
6. Resiko infeksi b.d tindakan drainase (luka pemasangan WSD)
7. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan
kebutuhan, dyspneu setelah beraktivitas
8. Deficit perawatan diri b.d kelemahan fisik
RENCANA KEPERAWATAN

No. Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1. Ketidakefektifan  Respiratory status : ventilation Suction jalan napas:
bersihan jalan napas b.d  Respiratory status : airway patency  Pastikan kebutuhan oral/ trackeal suction
menurunnya ekspansi Kriteria hasil:  Auskultasi suara napas sebelum dan sesedah suction
paru sekunder terhadap  Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas  Informasikan pada pasien dan keluarga tentang
penumpukkan cairan yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu suctioning
dalam rongga pleura (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas  Minta pasien nafas dalam sebelum suction dilakukan
dengan mudah, tidak ada pursed lips)  Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
 Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak memfasilitasi suksion nasotrakeal
merasa tercekik, irama napas, frekuensi napas  Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan
dalam rentang normal, tidak ada suara nafas  Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
abnormal) setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
 Mampu mengidentifikasikan dan mencegah  Monitor status oksigen pasien
faktor yang dapat menghambat jalan napas  Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction
 Hentikan suction dan berikan oksigen apabila pasien
menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2,
dll.
Airway Manajemen:
 Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw
trust bila perlu
 Posisi pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
napas buatan
 Pasang mayo
 Lakukan fisioterapi dada
 Keluarkan secret dengan batuk atau suction
 Auskultasi suara napas, catat adanya suara napas
tambahan
 Lakukan suction pada mayo
 Berikan bronkodilator
 Berikan pelembab udara kasa basa NaCl lembab
 Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan
 Monitor respirasi dan status O2
2. Gangguan pertukaran  Respiratory status: gas exchange Manajemen jalan napas:
gas b.d penurunan  Respiratory status: ventilation  Buka jalan napas, gunakan tehnik chin lift atau jaw
kemampuan ekspansi  Vital status status thrust
paru, kerusakan Kriteria hasil:  Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
membrane alveolar-  Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan  Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
kapiler oksigenasi yang adekuat napas buatan
 Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari  Pasang mayo
tanda-tanda distress pernapasan  Lakukan fisiologi dada
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas  Keluarkan secret dengan batuk atau suction
yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu  Auskultasi suara napas, catat adanya suara napas
(mampu mengeluarkan sputum, mampu dengan tambahan
mudah, tidak ada pursed lips)  Lakukan suction pada mayo
 Tanda-tanda vital dalam rentang normal  Berikan bronkodilator
 Berikan pelembab udara, kasa basa NaCl lembab
 Atur intake untuk cairan mengoptimalkalkan
keseimbangan
 Monitor respirator dan status O2
Monitor pernapsan:
 Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha
respirasi
 Catat pergerakan dada, amati kesimetrisan,
penggunaan otot tambahan, retraksi otot
superclavikular dan interkostal
 Monitor suara napas, seperti dengkur
 Monitor pola napas: bradipnes, takipnea, kussmaul,
ventilasi, dan suara napas tambahan
 Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi
cracles dan ronkhi pada jalan napas utama
 Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
3. Ketidakefektifan pola  Respiratory status: ventilation Manajemen jalan napas:
napas b.d penurunan  Respiratory status: airway patency  Buka jalan napas, gunakan tehnik chin lift atau jaw
ekspansi paru sekunder  Vital sign status thrust
terhadap penumpukan Kriteria hasil:  Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
cairan dalam rongga  Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas  Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan
pleura yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu napas buatan
(mampu mnegluarkan sputum, mampu bernapas  Pasang mayo
dengan mudah, tidak ada pursed lips)  Lakukan fisiologi dada
 Menunjukkan jalan napas yang paten (pasien  Keluarkan secret dengan batuk atau suction
tidak merasa tercekik, irama napas, frekuensi  Auskultasi suara napas, catat adanya suara napas
pernapasan dalam batas normal, tidak ada suara tambahan
abnormal)  Lakukan suction pada mayo
 Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan  Berikan bronkodilator
darah, nadi, pernapasan)  Berikan pelembab udara, kasa basa NaCl lembab
 Atur intake untuk cairan mengoptimalkalkan
keseimbangan
 Monitor respirator dan status O2
Terapi oksigen:
 Bersihkan mulut, hidung, dan secret trakea
 Pertahankan jalan napas yang paten
 Atur peralatan oksigenasi
 Pertahankan posisi pasien
 Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor adanya kecemasan pasien terhadap
oksigenasi
Monitor tanda-tanda vital:
 Monitor TD, nadi, RR, dan suhu
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor V5 saat berbaring, duduk, atau berdiri
 Auskultasi TD pada pada kedua lengan dan
bandingkan
 Monitor TD, nadi, RR sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
 Monitor kualitas dari nadi
 Monitor frekuensi dan irama pernapasan
 Monitor pola pernapasan abnormal
 Monitor suhu, warna, dan kelembapan kulit
 Monitor sianosis perifer
 Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
 Identifikasi penyebab dari perubahan tanda-tanda
vital
4. Ketidakseimbangan  Nutrition status : Manajemen nutrisi:
nutrisi kurang dari  Nutrition status: makanan dan intake cairan  Kaji adanya alergi makanan
kebutuhan tubuh b.d  Nutritional status:  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
peningkatan  Intake nutrisi jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
metabolisme tubuh,  Control berat badan  Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
penurunan nafsu makan Criteria hasil:  Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan
akibat sesak napas  Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan vitamin C
sekunder terhadap tujuan  Berikan substansi gula
penekanan struktur   Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi
Barat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
abdomen
 Mampu mengidentifikasikan kebutuhan nutrisi serat untuk mencegah konstipasi
 Tidak ada tanda-tanda malnutrisi  Berikan makan yang terpilih (sudah dikonsultasikan
 Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dengan ahli gizi)
dari menelan  Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan
 Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti harian
 Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
 Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
 Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Monitor nutrisi :
 Berat badan pasien dalam batas normal
 Monitor adanya penurunan berat badan
 Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa
dilakukan
 Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan
 Monitor lingku8ngan selama makan
 Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam
makan
 Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
 Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah
 Monitor mual dan muntah
 Monitor kadar albumin, total protein, Hb dan kadar
Ht
 Monitor pertumbuhan dan perkembangan
 Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan
konjungtiva
 Monitor kalori dan intake nutrisi
 Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papilla
lidah dan cavitas oral
 Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet.
5.. Nyeri akut b.d proses  Pain level Manajemen nyeri:
tindakan drainase  Pain control  Lakukan pengkajian nyeri secara konfrehensif
 Comfort level termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Kriteria hasil: kualitas dan factor presipitasi.
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyei,  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi  Gunakan tehnik komunikasi terapeutik untuk
untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) mengetahui pengalaman nyeri pasien.
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan  Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
menggunakan manajemen nyeri.  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
 Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas,  Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
frekuensi dan tanda nyeri). tentang ketidakefektifan control nyeri masa lampau.
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
berkurang. menemukan dukungan.
 Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
 Kurangi factor presipitasi nyeri .
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi.
 Ajarkan tentang tehnik non farmakologi.
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
 Evaluasi ketidakefektifan control nyeri.
 Tinngkatkan istirahat.
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhail
 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri.
Analgesic Administration:
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat
nyeri sebelum pamberian obat.
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan
frekuensi.
 Cek riwayat alergi.
 Pilih analgesic yang diperlukan atau kombinasi dari
analgesic ketika pemberian lebih dari satu.
 Tentukan pilihan analgesic tergantung tipe dan
beratnya nyeri.
 Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian, dan dosis
optimal.
 Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara terattur.
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesic pertama kali.
 Berikan analgesic tepat waktu terutama saat nyeri
hebat.
 Evaluasi efektifitas analgesic, tanda dan gejala.
6. Resiko infeksi b.d  Immune status Infection Control
tindakan drainase (luka  Knowledge: infection control  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
pemasangan WSD)  Risk control  Pertahankan tehnik isolasi.
Kriteria Hasil  Batasi pengunjung bila perlu.
 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi.  Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan
 Mendeskripsikan proses penularan penyakiit, saat berkunjung dan setelah berkunjung
factor yang mempengaruhi penularan serta meninggalkan pasien..
penatalaksanaannya.  Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan.
 Menunjukkan kemamppuan untuk mencegah  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
timbulnya infeksi. keperawatan.
 Jumlah leukoosit dalam atas normal  Gunakan baju, sarung tangan sebagai pelindung.
 Menunjukkan perilaku hidup sehat.  Pertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan
alat.
 Ganti letak IV periffer dan line central dan dressing
sesuai dengan petunjjuk umum.
 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing.
 Tingkatkan intake nutrisi.
 Berikan terapi antibiotic bila perlu Infection
Protection (proteksi terhadap infeksi)
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local.
 Monitor hitung granulosit, WBC
 Monitor kerentanan terhadap infeksi.
 Batasi pengunjung
 Pertahankan tehnik aspesis pada pasien yang
beresiko.
 Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase.
 Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah.
 Dorong masukan nutrisi yang cukup.
 Instruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai
resep.
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi.
 Ajarkan cara menghindari infeksi.
 Laporkan kultur positif.
7. Intoleransi aktivitas b.d  Energi conservation Terapi aktivitas
ketidakseimbangan  Activity tolerance  Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
antara suplai oksigen  Self care : ADLs dalam merencanakan program terapi yang tepat.
dengan kebutuhan, Kriteria hasil  Bantu kllien untuk mengiidentifikasi aktivitas yang
dyspneu setelah  Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai mampu dilakukan.
beraktivitas peningkatan tekanan darah, nadi dan RR  Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai
 Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) dengan kemampuan fisik, psikologi dan social.
secaraa mandiri  Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
 Tanda-tanda vital normal suumber yang diperlukan untuk akktivitas yang
 Energy psikomotor. diperlukan.
 Level kelemahan  Bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas
 Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan seperti kursi roda, krek,.
alat.  Bantu untuk mengidentifikasi aktiivitas yang disukai.
 Status kardiopulmonari adekuat  Bantu klien untuk membuat jadwal latihan di waktu
 Sirkulasi status baik. luang.

 Status respirasi: pertukaran gas dan ventilasi  Bantu pasien atau keluarga untuk mengidentifikasi
adekuat. kekurangan dalam beraktiifitas.
 Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
beraktifitas.
 Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diiri
dan penguatan.
 Monitor respon fisik, emosi, social dan spriritual.
8. Deficit perawatan diri  Self care status Self care assistance: dressing/ grooming
b.d kelemahan fisik  Self care dressing  Pantau tingkat kekuatan dan toleransi aktiviitas.
Defisit perawatan diri  Activity telorance  Pantau peningkatan dan penurunan kemaapuan untuk
berpakaian.  Fatigue level berpakaian dan melakukan perawatan rambut.
Kriteria hasil:  Pertimbangkan budaya pasien ketika
 Mampu melakukan tugas fisik yang mendasar mempromosikan aktifitas perawataan diri.
dan aktivvitas perawatan pribadi secara mandiri  Pertimbangkan usia pasien ketika mempromosikan
dengan atau tanpa alat bantu. aktivitas perrawatan diri
 Mampu untuk mengenakan pakaian dan berhiias  Bantu ppasien memiliih pakaiann yang mudah
sendiri secaara mandiri atau tanpa alat bantu. dipakai dan dilepas
 Mampu memppetahankan kebersihan pribadi dan  Sediakan pakaian pasienn pada tempat yang mudah
penmpillan yang rappi secara mandiri dengan dijangkau ( disamping tempat tidur )
atauu tanpa alat bantu.  Fasilitasi pasien untuk menyisir rambut, jika
 Mengungkapkan kepuasan dalam berpakaian dan memungkinkan
menata rambut  Dukung kemandirian dalam berpakaian,
 Menggunnakan alat banntu untuk memuddahkan berhias,bantu pasien juka diperlukan.
dalam berpakaian  Pertahankan privasi pasien saat berpakaian
 Dapat memilih pakaian dan mengambilnya dari  Bantu pasien untuk menaikkan, mengancingkan, dan
lemari atau laci baju meresleting pakaian, jika diperlukan.
 Mampu meresleting dan mengancing pakaian  Gunakan alat bantu tambahan ( misalnya sendok,
 Menggunakan pakaian secara api dan bersih pengait kancing dan penarik resleting) untuk
 Mampu melepas pakaian, kaos kaki, dan sepatu mennarrik pakaian jika diperlukan
 Menunjukkan rambut yang rapi dan bersih  Beri pujian atas usahha berpakaian sendiri.
 Menggunakan tata rias.  Gunakan terapi fisik dan okupasi sebagai sumbber
dalam perenncanaan tinndakan pasien dalam
perawatan pasien dengan alat bantu.
9. Defisit perawatan diri  Activity inltolerance Self Care assistance : toileting
eliminasi  Mobility: physical impaired  Pertimbangkan budaya pasien ketika mempromosikan
 Fatique level aktivitas perawatan diri
 Anxiety self control  Pertimbangkan usia pasien ketika mempromosikan
 Ambulation perawtan diri

 Self care defisit toileting  Lepaskan pakaian yang penting untuk memungkinkan

 Self care deficit hyigine penghapusan

 Urinary continence: functional  Membantu pasien ke toilet/commode/ bedpan/fraktur

Kriteria hasil : pan/ urinoir pada selang waktu tertentu

 Pengetahuan perawatan ostomy: tingkat  Pertimbangkan respon pasien terhadap kurangnya

pemahaman yang ditunjjukan tentang privasi

pemeliharaan ostomi dan eliminasi  Menyediakan privasi selama eliminasi


 Perawtan diri: ostomy : tindakan p-ribadi untuk  Ganti pakaian pasien setelah eliminasi
mempertahankan ostomy untuk eliminasi  Menyiram toilet/ membersihkan penghapusan
 Perawatan diri: aktivitas kehidupan sehari- alat(commode, pispot)
hari(ADL) mampu untuk melakukan aktivitas  Memulai jadwal ke toilet, sesuai
perawatn fisik dan pribadi secara mandiri atau  Memulai mengelilingi kamar mandi, sesuai dan
dengan alat bantu. dibutuhkan
 Perawtan diri hygiene: nmampu untuk  Menyediakan alat bantu (misalnya kateter eksternal
mempertahankan kebersihan dan penampilan atau urinal) sesuai
yang rapi secara mandiri atau tanpa alat bantu  Memantau integritas kulit pasien.
 Perawatan diri eliminasi: mampu untuk
melakukan aktivitas eliminasi secara mandiri atau
tanpa alat bantu
 Mampu duduk dan turun dari kloset
 Membersihkan diri setelah eliminasi
 Mengenali dan mengetahui kebutuhan bantuan
untuk eliminasi.
10. Defisit perawatan diri  Activity intolerance Self Care assistance: bathing/hyigiene
mandi  Mobility : physical impaired  Pertimbangkan budaya pasien ketika
 Self care defisit hygiene mempromosikan aktivitas perawatan diri
 Sensory perception, auditory  Pertimbangkan usia pasien ketika mempromosikan
Criteria hasil : perawtan diri
 Perawatan diri ostomy: tindakan pribadi  Menentukan jumlah dan jenis bantuan yang
mempertahankan ostomy untuk elimnasi dibutuhkan
 Perawatan diri : aktivitas kehidupan sehari-  Menyediakan lingkungan yang terapeutik dengan
hari(ADL) mampu untuk melakukan aktivitas memastikan hangat, santai, pengalaman pribadi dan
perawatan fisik dan pribadi secara mandiri atau personal.
dengan alat bantu  Memfasilitasi pasien menyikat gigi
 Perawatan diri amndi: mampu untuk  Memfasilitasi pasien mandi
membersihkan tubuh sendiri secara mandiri atau  Memantau integritas kulit pasien
tanpa alat bantu  Memberikan bantuan sampai pasien sepenuhnya
 Perawatan diri hygiene : mampu untuk dapat mengasumsikan perawatan diri.
mempertahankan kebersihan dan penampilan
yang rapi secara mandiri atau tanpa alat bantu
 Perawatan hygiene oral : mampu untuk merawat
mulut dan gigi secara mandiri atau tanpa alat
bantu
 Mampu mempertahankan mobilitas yang
diperlukan untuk ke kamar mandi dan
menyediakan perlengkapan mandi
 Memebersihkan dan mengeringkan tubuh
 Mengungkapakan secara verbal kepuasan tentang
kebersihan oral dan hygiene oral
11. Deficit perawatan diri  Intoleransi aktivitas Self-Care asisistance: feeding
makan  Mobilisasi : physical impaired  Memonitor pasien kemampuan untuk menelan
 Self care deficit hygiene  Identifikasi diet yang diresepkan
 Self care dficit feeding  Mengantur nampan makanan dan meja menarik
Criteria hasil :  Ciptakan lingkungan yang mnyenangkan selama
 Status nutrisi: ketersediaan zat gizi untuk waktu makan
memenuhi kebutuhan metabolic  Makan misalnya, pispot menempatkan, urinal, dan
 Status nutrisi: asupan makanan dan cairan: peralatan penyedotan dari pandangan
kuantitas makanan dan cairan yang diasup  Pastikan posisi pasien yang tepat untuk memfasilitasi
kedalam tubuh selama periode 24 jam menunyan dan menelan
 Perawatan diri: aktivitas kehidupan sehari-hari  Memberikan bantuan fisik sesuai kebutuhan
(ADL) mampu melakukan aktivitas perawatan  Menyediakan untuk menghilangkan rasa sakit yang
fisik dan periode secara mandiri atau dengan alat memadai sebelum makan
bantu  Menyediakan kesehatan mulut sebelum makan
 Perawatan diri: makan: kemampuan untuk  Perbaiki makanan di nampan yang diperlukan, seperti
menyiapkan dan memakan makanan dan cairan memotong daging dan mengupas telur
secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu  Buka makanan kemasan
 Status menelan: perjalanan makanan padat dan  Hindari menempatkan makanan di sisi seseorang
cairan secara aman dari mulut ke lambung yang buta
 Mampu makan secara mandiri  Jelaskan lokasi makanan di atas nampan untuk orang
 Mengungkapkan kepuasaan makanan dan dengan gangguan penglihatan
terhadap kemampuan untuk makan sendiri  Tempatkan pasien dalam posisi nyaman makan
 Menerima suapan dari pemberi asuhan  Tempatkan pasien dan posisi makan
 Lindungi denga bib/ kain alas dada
 Menyediakan sedotan sesuai kebutuhan atau yang
diinginkan
 Menyediakan makanan pada suhu yang paling selera
 Menyedikan makanan dan minuman yang disukai
sesuai
 Memantau berat badan pasien
 Monitor status hidrasi pasien
 Monitor berat badan pasien
 Dorong pasien untuk makan diruang makan
 Menyediakan interaksi sosial
 Menyediakan perangkat adaptif untuk memfasilitasi
diri makan pasien (misalnya menangani dengan
lingkar yang besar atau tali kecil pada peralatan)
 Menggunakan cangkir dengan pegangangan yang
besar
 Gunakan piring dipecahkan dan berbobot dan
kacamata
 Memberikan isyarat sering dan pengawasan yang
ketat.
DAFTAR PUSTAKA

C. Pearce, Evelyn. 1993. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia.
Brunner&Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, edisi:Volume
1. Jakarta: EGC.
Baughman C Diane,.2000. Keperawatan medical bedah. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, edisi: 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
Craft Martha, Smith Kelly. 2012. Nanda Diagnose
Keperawatan. Yogyakarta:Digna Pustaka.
Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi: 3. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai