Anda di halaman 1dari 13

Indikasi:

udem karena penyakit jantung, hati, dan ginjal. Terapi tambahan pada udem
pulmonari akut dan udem otak yang diharapkan mendapat onset diuresis yang kuat dan
cepat.

Peringatan:
hipotensi, pasien dengan risiko penurunan tekanan darah, diabetes melitus, gout,
sindrom hepatorenal, hipoproteinemia, bayi prematur.

Interaksi:
glukokortikoid, karbenoksolon, atau laksatif: meningkatkan deplesi kalium dengan
risiko hipokalemia. Antiinflamasi non-steroid (AINS), probenesid, metotreksat, fenitoin,
sukralfat: mengurangi efek dari furosemid. Glikosida jantung: meningkatkan sensitivitas
miokardium. Obat yang dapat memperpanjang interval QT: meningkatkan risiko aritmia
ventrikular. Salisilat: meningkatkan risiko toksisitas salisilat. Antibiotik aminoglikosida,
sefalosporin, dan polimiksin: meningkatkan efek nefrotoksik dan ototoksik. Sisplastin:
memungkinkan adanya risiko kerusakan pendengaran. Litium: meningkatkan efek litium
pada jantung dan neurotoksik karena furosemid mengurangi eksresi litium.
Antihipertensi: berpotensi menurunkan tekanan darah secara drastis dan penurunan
fungsi ginjal. Probenesid, metotreksat: menurunkan eliminasi probenesid dan
metotreksat. Teofilin: meningkatkan efek teofilin atau agen relaksan otot. Antidiabetik
dan antihipertensi simpatomimetik: menurunkan efek obat antidiabetes dan
antihipertensi simpatomimetik. Risperidon: hati-hati penggunaan bersamaan.
Siklosporin: meningkatkan risiko gout. Media kontras: risiko pemburukan kerusakan
ginjal. Kloralhidrat: mungkin timbul panas, berkeringat, gelisah, mual, peningkatan
tekanan darah dan takikardia.
Kontraindikasi:
gagal ginjal dengan anuria, prekoma dan koma hepatik, defisiensi elektrolit,
hipovolemia, hipersensitivitas.

Efek Samping:
sangat umum: gangguan elektrolit, dehidrasi, hipovolemia, hipotensi,
peningkatan kreatinin darah. Umum:hemokonsentrasi, hiponatremia, hipokloremia,
hipokalemia, peningkatan kolesterol darah, peningkatan asam urat darah, gout,
enselopati hepatik pada pasien dengan penurunan fungsi hati, peningkatan volume
urin. Tidak umum:trombositopenia, reaksi alergi pada kulit dan membran mukus,
penurunan toleransi glukosa dan hiperglikemia, gangguan pendengaran, mual, pruritus,
urtikaria, ruam, dermatitis bulosa, eritema multiformis, pemfigoid, dermatitis eksfoliatif,
purpura, fotosensitivitas. Jarang: eosinofilia, leukositopenia, anafilaksis berat dan reaksi
anafilaktoid, parestesia, vakulitis, muntah, diare, nefritis tubulointerstisial,
demam. Sangat jarang: anemia hemolitik, anemia aplastik, agranulositosis, tinnitus,
pankreatitis akut, kolestasis intrahepatik, peningkatan transaminase. Tidak diketahui
frekuensinya: hipokalsemia, hipomagnesemia, alkalosis metabolik, trombosis,
sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, pustulosis eksantema
generalisata akut (Acute Generalized Exanthematous Pustulosis/AGEP), reaksi obat
dengan eosinofilia dan gejala sistemik (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptom/DRESS), peningkatan natrium urin, peningkatan klorida urin, peningkatan
urea darah, gejala gangguan fungsi mikturisi, nefrokalsinosis dan/atau nefrolitiasis pada
bayi prematur, gagal ginjal, peningkatan risiko persistent ductus arteriosus pada bayi
prematur usia seminggu, nyeri lokal pada area injeksi.
Dosis:
Oral: Udem. Dewasa, dosis awal 40 mg pada pagi hari, penunjang 20-40 mg
sehari, tingkatkan sampai 80 mg sehari pada udem yang resistensi. Anak, 1-3 mg/kg BB
sehari, maksimal 40 mg sehari. Oliguria. Dosis awal 250 mg sehari. Jika diperlukan
dosis lebih besar, tingkatkan bertahap dengan 250 mg, dapat diberikan setiap 4-6 jam
sampai maksimal dosis tunggal 2 g (jarang digunakan).
Injeksi intravena atau intramuskular: Udem. Dewasa >15 tahun, dosis awal 20-40
mg, dosis dapat ditingkatkan sebesar 20 mg tiap interval 2 jam hingga efek tercapai.
Dosis individual diberikan 1-2 kali sehari. Pemberian injeksi intravena harus perlahan
dengan kecepatan tidak melebihi 4 mg/menit. Pemberian secara intramuskular hanya
dilakukan bila pemberian oral dan intravena tidak memungkinkan. Intramuskular tidak
untuk kondisi akut seperti udem pulmonari. Udem pulmonari akut. Dosis awal 40 mg
secara intravena. Jika tidak mendapatkan respons yang diharapkan selama 1 jam, dosis
dapat ditingkatkan hingga 80 mg secara intravena lambat. Udem otak. Injeksi intravena
20-40 mg 3 kali sehari. Diuresis mendesak.Dosis 20-40 mg diberikan bersama infus
cairan elektrolit. Bayi dan anak <15 tahun, pemberian secara parenteral hanya dilakukan
bila keadaan mendesak atau mengancam jiwa (1 mg/kg BB hingga maksimum 20
mg/hari).
Ceftazidime adalah golongan obat antibiotik yang digunakan untuk mengobati
infeksi akibat bakteri dengan cara menghentikan pertumbuhan dari bakteri
tersebut atau langsung membunuhnya. Obat ini termasuk ke dalam golongan
cephalosporin generasi ketiga.

Ceftazidime digunakan untuk mengobati infeksi pada saluran pernapasan


bawah, darah, kulit, sendi, infeksi pada area perut, dan saluran kemih.
Ceftazidime juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit meningitis,
pneumonia nosokomial, infeksi pleura, osteomyelitis dan indikasi lainnya.

Tentang Ceftazidime
Golongan Antibiotik

Kategori Obat resep

Manfaat Mengobati infeksi bakteri ringan dan berat

Dikonsumsi oleh Dewasa, anak, dan bayi.

Bentuk Bubuk injeksi


Peringatan:
1. Penggunaan ceftazidime pada wanita yang sedang hamil, menyusui,
bayi, dan anak-anak akan disesuaikan dengan petunjuk dokter.

2. Penderita yang sensitif atau memiliki alergi terhadap ceftazidime atau


antibiotik lain yang masih satu golongan dengan cephalosporin.

3. Penderita yang sensitif atau memiliki alergi terhadap obat-obatan atau


makanan tertentu, bahan pengawet, bahan pewarna, dan hewan.

4. Penderita gangguan pada ginjal atau otak.

5. Penderita diare akut, kolitis, mioklonus, dan kejang-kejang.

6. Penderita yang sedang menjalani perawatan lain pada waktu yang


sama, termasuk terapi suplemen, pengobatan herba, atau pengobatan
pelengkap lainnya.

7. Segera temui dokter jika terjadi reaksi alergi atau overdosis saat
menggunakan ceftazidime.

Dosis Ceftazidime
Cefatizidime umumnya diberikan tiap 8-12 jam sebanyak 1-6 gram per hari
atau 2-3 kali per hari dengan dosis yang berbeda-beda mengikuti jenis infeksi,
tingkat keparahan, dan kondisi fisik pasien. Pasien yang memiliki gangguan
pada ginjal cenderung mendapatkan frekuensi minum obat yang lebih jarang.

Dosis ceftazidime berdasarkan penyakit yang diderita dapat diberikan seperti


di tabel ini.

Kondisi Dosis awal

Dewasa 1 – 6 g/hari tiap 8-12 jam

Infeksi saluran kencing dan infeksi


ringan pada dewasa 500 mg atau 1 g tiap 12 jam.

Infeksi berat pada dewasa 2 g tiap 8 jam atau 12 jam.

Fibrosis sistik (cystic fibrosis) pada


dewasa dengan fungsi ginjal normal 100-150 mg/kg BB/hari terbagi ke dalam
dengan infeksi pseudomonal pada paru beberapa dosis
30-100 mg/kg BB/hari terbagi ke dalam 2-3
Anak > 2 bulan dosis

Fibrosis sistik (cystic fibrosis) dan


meningitis pada anak, penurunan
sistem imun yang terinfeksi dan
meningitis > 2 bulan Maksimal 150 mg/kg BB/hari atau 6 g per hari

Bayi baru lahir dan anak < 2 bulan 25-60 mg/kg BB/hari terbagi ke dalam 2 dosis

Mengonsumsi Ceftazidime dengan Benar


Ceftazidime diberikan dengan cara disuntikkan ke dalam pembuluh darah
atau otot dalam bentuk bubuk yang dilarutkan. Ceftazidime dapat diberikan
kepada orang dewasa, anak-anak, maupun bayi yang baru lahir. Namun perlu
diperhatikan bahwa ceftazidime tidak disarankan dikonsumsi bersamaan
dengan obat-obatan lain, terutama warfarin dan chloramphenicol.

Kenali Efek Samping dan Bahaya Ceftazidime


Sama seperti obat-obat lain, ceftazidime juga berisiko menyebabkan efek
samping yang umumnya terjadi pada area bekas suntikan berupa
pembengkakan atau rasa sakit. Selain itu, beberapa reaksi alergi atau efek
samping yang dapat terjadi:

1. Warna kemerahan pada kulit bekas suntikan

2. Ruam

3. Gatal

4. Demam

5. Mual

6. Sakit perut

7. Muntah

8. Diare

9. Rasa kantuk yang berat

10. Linglung

11. Hilang kesadaran


12. Berhalusinasi

13. Kejang

14. Otot yang berkedut

Pada kasus yang langka, ceftazidime dapat menyebabkan sindrom Steven-


Johnson. Segera beri tahu dokter jika Anda merasakan gejala-gejala di atas
maupun gejala-gejala lain yang dicurigai berhubungan dengan ceftazidime.
Fluimucil adalah obat yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit pada saluran
pernafasan yang ditandai dengan hipersekresi dahak/mukus, misalnya, bronkitis akut atau
kronis, emfisema paru, mucoviscidosis dan bronchieactasis. Fluimucil mengandung
Acetylcysteine, obat yang termasuk agen mukolitik, yaitu obat yang berfungsi mengencerkan
dahak.
Berikut ini adalah informasi lengkap obat Fluimucil yang disertai tautan merk-merk
obat lain dengan nama generik yang sama.

Fluimucil hanya bisa diperoleh dengan resep dokter

KEMASAN

Fluimucil dipasarkan dengan kemasan sebagai berikut :

1. 60 capsul 200 mg
2. 20 effervescent tablet 600 mg
3. 75 ml dan 150 mL dry syrup (sirup kering)
4. 30 sachet granules for oral solution 200 mg
5. 5 ampul 300 mg/3 mL
6. 30 Pediatric powder for oral liquid 100 mg
KANDUNGAN

Setiap kemasan obat Fluimucil mengandung zat aktif (nama generik) sebagai berikut

1. Acetylcysteine 200 mg/ capsul


2. Acetylcysteine 100 mg/ 5 mL syrup
3. Acetylcysteine 600 mg/ effervescent tablet
4. Acetylcysteine 200 mg /sachet granules
5. Acetylcysteine 300 mg/3 mL ampul
6. Acetylcysteine 100 mg/sachet pediatric powder
PENYAKIT DAN KONDISI TERKAIT :

 Batuk
 Batuk kronis
 Asma
 Bronchitis
KONTRA INDIKASI

1. Jangan menggunakan obat ini untuk pasien yang memiliki riwayat alergi /
hipersensitivitas.
2. Untuk sediaan granules : intoleransi fruktosa, sindrom malabsorpsi glukosa-
galaktosa dan defisiensi sukrosa.
EFEK SAMPING FLUIMUCIL

Berikut adalah beberapa efek samping Fluimucil (Acetylcysteine) yang umum terjadi :

1. Efek samping Fluimucil (Acetylcysteine) yang relatif ringan yaitu gangguan pada
saluran pencernaan misalnya mual, dan muntah.
2. Efek samping yang lebih serius tetapi kejadiannya jarang misalnya
bronkospasme, angioedema, ruam, pruritus, hipotensi, kulit kemerahan, bengkak
pada wajah, dispnea, sesak nafas, sinkop, berkeringat, arthralgia, penglihatan
kabur, gangguan fungsi hati, asidosis, kejang dan kadang-kadang demam.
3. Pada sediaan inhalasi efek samping yang bisa terjadi misalnya hemoptisis,
rhinorrhoea, dan stomatitis.
Methylprednisolone adalah salah satu jenis obat kortikosteroid yang dapat menekan
sistem kekebalan tubuh dan mengurangi reaksi peradangan serta gejalanya, seperti
pembengkakan, nyeri, atau ruam. Obat ini biasanya digunakan untuk mengatasi
peradangan (inflamasi) dalam berbagai penyakit, misalnya penyakit Crohn, kolitis ulseratif,
alergi, arthritis rheumatoid, asma, multiple sclerosis, serta jenis-jenis kanker tertentu. Di
samping itu, methylprednisolone juga dapat digunakan sebagai terapi pengganti hormon
bagi orang-orang yang tubuhnya tidak bisa memproduksi steroid secara memadai.

Tentang Methylprednisolone

Golongan Kortikosteroid

Jenis obat Obat resep

Manfaat Meredakan inflamasi dan gejala alergi

Dikonsumsi oleh Dewasa dan anak-anak

Kategori C: Studi terhadap binatang percobaan memperlihatkan adanya efek


samping pada janin, namun belum ada studi terkontrol terhadap wanita hamil.
Kategori kehamilan Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi
dan menyusui besarnya risiko terhadap janin.

Bentuk obat Tablet, suntik dan topikal (dioleskan pada kulit)

Peringatan:
Beri tahu dokter jika Anda akan menjalani perawatan tertentu saat menggunakan
methylprednisolone.

Harap berhati-hati bagi penderita hipertensi, penyakit jantung, gangguan ginjal, gangguan
hati, diabetes, glaukoma, osteoporosis, hipotiroidisme, epilepsi, infeksi, myastenia
gravis,dan infeksi seperti tuberkulosis, cacar air, campak, atau herpes zoster.

Harap waspada bagi yang pernah mengalami serangan jantung, gangguan psikis, tukak
lambung, peradangan pada usus, penggumpalan darah, baru saja menerima vaksin, serta
bagi yang mengalami kontak langsung dengan penderita cacar air, campak, atau herpes
zoster.

Methylprednisolone dapat menyebabkan pusing. Disarankan untuk tidak mengendarai


kendaraan atau mengoperasikan mesin berat untuk menghindari kecelakaan.

Hentikan atau kurangi konsumsi alkohol selama menjalani pengobatan dengan


methylprednisolone untuk menghindari risiko perdarahan pada perut.

Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis setelah menggunakan methylprednisolone, segera
hubungi dokter.

Dosis Methylprednisolone

Dosis methylprednisolone berbeda-beda pada tiap pasien. Faktor-faktor yang menentukan


dosis adalah jenis penyakit yang diobati, tingkat keparahannya, dan respons tubuh pasien
terhadap pengobatan ini. Terutama pada pasien anak-anak, berat badan juga
diperhitungkan.

Takaran methylprednisolone dalam bentuk oral umumnya berkisar antara 2-60 mg per hari.
Dosis obat ini biasanya akan direvisi ulang oleh dokter setelah beberapa waktu sesuai
dengan respons tubuh terhadap methylprednisolone.

Untuk methylprednisolone dalam bentuk topikal atau oles, dosis yang umumnya disarankan
adalah satu kali pemakaian per hari selama 12 minggu atau sesuai jangka waktu yang
ditentukan dokter.

Sedangkan untuk methylprednisolone dalam bentuk suntikan, dosis akan disesuaikan dokter
dengan kondisi pasien di rumah sakit

Peningkatan dan pengurangan dosis obat ini akan dilakukan secara bertahap guna
mengurangi efek samping dan mencegah munculnya gejala putus obat.
Mengonsumsi Methylprednisolone dengan Benar

Methylprednisolone sebaiknya dikonsumsi dengan makanan atau setelah makan. Usahakan


untuk mengonsumsi obat ini pada waktu yang sama setiap hari untuk memaksimalkan efek
obat.

Bagi yang lupa menggunakan methylprednisolone, disarankan untuk segera melakukannya


jika jeda dengan jadwal penggunaan berikutnya tidak terlalu dekat. Jika sudah dekat, jangan
menggandakan dosis.

Obat ini dapat menurunkan kekebalan tubuh, karena itu tingkatkan kewaspadaan serta
kebersihan Anda. Segera temui dokter jika Anda sakit atau terjadi kontak dengan orang
yang menderita infeksi, selama penggunaan methylprednisolone.

Jika membutuhkan vaksinasi atau konsumsi obat lain selama menggunakan obat ini,
lakukanlah setelah berkonsultasi dengan dokter.

Interaksi Obat

Berikut ini adalah beberapa risiko yang mungkin terjadi jika menggunakan
methylprednisolone bersamaan dengan obat-obatan tertentu, di antaranya:

Berpotensi melemahkan respons vaksin hidup (live attenuated vaccine) dalam tubuh. Lebih
baik hindari melakukan vaksinasi ketika menjalani pengobatan dengan methylprednisolone.

Aminoglutethimide dapat menghilangkan efek penekanan adrenal oleh kortikosteroid.

Dapat menyebabkan hipokalemia jika digunakan bersamaan dengan obat yang


mengandung K-depleting agents, seperti amphotericin B dan diuretik.

Antibiotik makrolid dapat menekan pembuangan methylprednisolone dari dalam tubuh,


namun sebaliknya pembuangan akan meningkat dengan cholestyramine.

Metabolisme methylprednisolon meningkat jika digunakan bersama dengan estrogen,


termasuk kontrasepsi oral, dan menurun jika digunakan bersama dengan CYP3A4 inducers,
seperti rifampicin dan obat-obatan golongan barbiturate.

Berisiko menurunkan kadar serum isoniazid.

Meningkatkan risiko kejang jika digunakan bersamaan dengan ciclosporin.

Berpotensi mengakibatkan aritmia jika digunakan dengan glikosida digitalis,


seperti digoxin dan digitoxin.
Dapat meningkatkan konsentrasi methylprednisolone dalam darah jika digunakan
bersamaan dengan CYP3A4 inhibitors, seperti ketoconazole dan erythromycin.

Berpotensi menekan efek terapi dari obat antidiabetik.

Berisiko mengakibatkan efek gastrointestinal (pencernaan) jika digunakan bersamaan


dengan aspirin atau obat NSAIDs lainnya.

Dapat meningkatkan efek pengencer darah (antikoagulan) dari warfarin.

Kenali Efek Samping dan Bahaya Methylprednisolone

Sama seperti obat lain, methylprednisolone juga berpotensi menyebabkan efek samping.
Beberapa efek samping yang umumnya terjadi adalah:

1. Mual dan muntah.


2. Nyeri ulu hati.
3. Sakit perut.
4. Gangguan pencernaan.
5. Lemas dan lelah.
6. Mengeluarkan banyak keringat.
7. Uring-uringan.
8. Kecemasan dan depresi.
9. Sulit tidur.
10. Linglung.
11. Pusing.
12. Hipertensi.
13. Pembengkakan di tangan, tungkai, dan kaki.
14. Menstruasi tidak teratur.
15. Kenaikan berat badan.
16. Kadar glukosa meningkat.

Penggunaan methylprednisolone secara jangka panjang atau melebihi dosis dapat


meningkatkan risiko terjadinya gangguan kelenjar adrenal. Ikutilah dosis yang telah
ditentukan oleh dokter untuk menghindari terjadinya hal ini.

Anda mungkin juga menyukai