Anda di halaman 1dari 41

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Typus Abdominalis

1. Definisi

Thypoid abdominalis dan parathypoid merupakan penyakit infeksi

akut usus halus. Sinonim dari keduanya adalah thyphoid dan parathypoid

faver, enteric fever. parathyfoid abdominalis. Thypoid abdominalis

menunjukkan manifestasi yang sama dengan Thypoid, namun lebih ringan

(Mansjoer, 2005).

Typus abdominalis adalah penyakit infeksi sistemik akut yang di

sebabkan Salmonella thypi (Sjamsuhidajat, 2005). Thypoid abdominalis

adalah suatu penyakit infeksi yang biasanya terjadi pada saluran pencernaan

dengan gejala demam lebih dari 1 minggu, gangguan saluran pencemaan dan

gangguan kesadaran. Thypoid abdominalis adalah infeksi yang sistemik akut

yang disebabkan oleh infeksi salmonella thypi. Organisme ini masuk

melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faces dan

urin dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Deden & Tutik, 2010).

Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang

disebabkan oleh kuman Salmonella thypi. Thypoid ahdominalis adalah

penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan

gejala demam 1 minggu atau lebih dari itu, gangguan kesadaran dan
7

pencemaan. Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi saluran usus halus

yang menimbulkan gejala-gejala klinis yang disebabkan oleh Salmonella

Thypi A, B dan C. Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus

yang lebih ringan dan menunjukkan menifestasi klinis yang sama atau

menyebabkan enteritis akut (Wijaya & Putri, 2013).

Sedangkan menurut Padila (2013), Typus abdominalis adalah suatu

penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Lain hal nya dengan Enria (2014) Typus

Abdominalis adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil yang

masih merupakan masalah utama kesehatan karena angka kematian yang

masih tinggi.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Typus

Abdominalis adalah infeksi akut yang menyerang pada saluran pencernaan

yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi, yang dapat menyebabkan

gangguan pencernaan dan terkadang disertai dengan gangguan kesadaran

pada klien.

2. Etiologi

Menurut Amin (2016), dan Sjamsuhidajat (2005) etiologi dari Typus

abdominalis adalah sebagai berikut:

a. Bisa juga karena penanganan yang kurang begitu hygienis ataupun juga

disebabkan dari sumber air yang sering digunakan untuk mencuci dan

yang dipakai untuk sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2005).


8

b. Penyebab demam Typus Abdominalis adalah Salmonella Typhi.

Salmonella bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella, dan

tidak membentuk spora. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57oC

selama beberapa menit. Kuman ini mempunyai tiga antigen yang penting

untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu antigen O (somatic), antigen H

(flagella), antigen K (selaput) (Amin, 2016).

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Thyposa/

Eberthella Thyposa yang merupakan kuman negative, motil dan tidak

menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh

manusia maupun lebih rendah serta mati pada suhu 70°C maupun antiseptic.

Diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia (Wijaya & Putri,

2013).

Menurut Deden & Tutik (2010), Salmonella Typi basil gram negative,

berbulu getar, tidak berspora. Masa tunas 14-20 hari. Mempunyai 3 antigen

yaitu:

a. Titer Antigen O : somatic, terdiri zat komplek

b. Titer Antigen H : flagella

c. Titer Antigen Vi : simpai kuman

3. Patofisiologi

Penularan Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara,

yang dikenal dengan 5F yaitu : Food(makanan), Fingers(jari

tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feces(kotoran).

Feses dan muntah pada penderita Thypoid abdominalis dapat menularkan


9

kurnan salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat

ditularkan melalui perantara lalat dimana lalat akan hinggap di makanan

yang akan dimakan oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang

memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci , tangan dan makanan

yang tercemar kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat

melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung,

sebagian masuk ke usus halus, jaringan limfoid dan berkembangbiak

menyerang vili usus halus. Kemudian kuman masuk ke peredaran darah

(bakteremia primer) dan mencapai sel-sel retikuloendoteleal. Proses ini

terjadi pada masa tunas dan berakhir saat sel-sel retukuloendoteleal

melepaskan-kuman kedalam peredaran darah dan menimbulkan

bakteremia untuk kedua kali. Kemudian kuman masuk ke beberapa

jaringan organ tubuh terutama limpa, usus dan kandung empedu.

Pada minggu I, terjadi hiperplasia plaks player pada kelenjar

limfoid, usus halus. Minggu II terjadi nekrosis. Minggu III terjadi ulserasi

plaks player. Minggu IV terjadi penyembuhan dengan menimbulkan

sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan sampai perforasi usus.

Hepar, kelenjar mesenterikal dan limpa membesar. Gejala demam

disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala saluran cerna karena

kelainan pada usus halus (Deden & Tutik, 2010).

Bakteri masuk melalui saluran cerna rnenyebabkan infeksi.

Sebagian besar bakteri rnati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap

hidup akan masuk ke ileum melalui mikrovili dan mencapai plak


10

Peyeri, selanjutnya masuk kedalam pembuluh darah (bakteremia

primer). Pada tahap berikutnya, Salmonella thypi menuju ke organ

sistem RES (bakteremia sekunder). Kandung empedu adalah organ yang

sensitive terhadap infeksi Salmonella Thypi (Mansjoer, 2005).


11

4. WOC
12

5. Manifestasi Klinik (Tanda dan gejala)

a. Tanda

1). Demam : Khas ( pelana kuda ) : demam 3 minggu, sifat febris

remitten dan suhu tidak seberapa tinggi.

(a). Minggu I : Suhu meningkat setiap hari, menurun pada pagi hari

dan meningkat kembali pada sore dan malam hari.

(b). Minggu II : Pasien terus berada dalam pase demam.

(c). Minggu III : Suhu tubuh berangsur menurun dan normal pada

akhir minggu ke tiga.

2). Gangguan saluran pencernaan : Mulut : Nafas berbau tidak sedap,

bibir kering dan pecah-pecah, lidah tertutup selaput putih kotor

(Coated tongue), ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor,

anoreksia, mual dan perasaan tidak enak di perut

3). Abdomen : Terasa kembung (meteorismus), hepatomegaly dan

splenomegaly disertai nyeri tekan. Biasa di ikuti konstipasi, normal

dan bias diare.

4). Gangguan kesadaran : Kesadaran menurun yaitu apatis sampai

somnolen. Jarang terjadi spontan, koma atau gelisah.

5). Nyeri otot dan kepala

6). Bintik merah pada kulit (roseola) akibat emboli basil dalam kapiler

kulit

7). Epistaksis
13

b. Gejala

Prodormal : tidak enak badan, lesu, nyeri di daerah kepala,

pusing, tidak bersemangat (Deden dan Tutik, 2010).

Masa inkubasi + 7-14 hari, gejala timbul tiba-tiba atau

berangsur-angsur. Penderita cepat lelah, malaise, anoreksia, sakit

kepala, rasa tidak enak di abdomen dan nyeri seluruh badan. Demam

pada umumnya berangsur meningkat selama minggu pertama, demam

teutama pada sore dan malam hari. Pada minggu kedua dan ketiga

demam terus tinggi (febris kontinue), kemudian turun secara lisis,

demam hilang dengan penggunaan Antipiretik, tidak ada menggigil dan

tidak berkeringat kadang-kadang disertai epitaksis, gangguan

Gastrointestinal, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berselaput

putih dan pinggirnya hiperemesis perut agak kembung dan mungkin

nyeri tekan, limpa membesar dan nyeri peranakan, pada awal penyakit

biasanya terjadi diare, kemudian menjadi Obstipasi (Wijaya dan Putri,

2013).

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa

demam, bradikardi relatip, lidah kotor, hepatomegali, splenomegali,

meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma,

sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia (Mansjoer,

2005).
14

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada penderita demam thypoid bisa didapatkan anemia, jumlah

leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan

trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit

bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis

relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan

mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap

darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal

yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita

demam thypoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan

limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam thypoid.

b. Identifikasi kuman melalui isolasi / biakan

Diagnosis pasti demam thypoid dapat ditegakkan bila

ditemukan bakteri Salmonella. typhi dalam biakan dari darah, urine,

feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.

Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih

mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal

penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam thypoid akan

tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam thypoid, karena

hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang


15

mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil;

(2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu

pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan

pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum

tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri

dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh

antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan

teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang

lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.

Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella typhi

adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini

dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella typhi

dan Salmonella paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat

pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan

biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu

pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.

Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah

mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah

dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu


16

ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah

minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku

emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif

didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan

penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini

terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir

ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.

Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen

empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang

cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya

risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak

menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan

duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh

keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,

jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen

yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak

tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur

mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa

lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak


17

tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan

penderita.

c. Identifikasi kuman melalui uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis demam thypoid dengan mendeteksi antibodi spesifik

terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun mendeteksi

antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis

ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada

demam thypoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX; (3)

metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan

mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam thypoid.

Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh

karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,

teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi

yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu

pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan

penyakit).
18

1). Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin

digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa

reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah

mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik

(O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama

sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih

menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji

hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat

dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan

sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi

dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan

sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer

O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan

nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada

kasus demam thypoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata

hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan

spesifisitas sebesar 76-83%.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan

beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium

penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi


19

yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran

imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-

endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan

spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi

penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam thypoid

akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan

pada penderita demam thypoid (penanda infeksi). Saat ini

walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya

masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum

ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk

mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar

(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah

endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer

antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh

Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998)

mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89%

penderita.

2). Tes tubex

Tes Tubex merupakan tes aglutinasi kompetitif semi

kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan

menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen


20

(O) yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan

tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes

Tubex ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa

tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik

daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan

hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain

mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar

89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat

digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah

dan sederhana, terutama di negara berkembang.

3). Metode Enzyme Immunoassay (EIA) Dot

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak

antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD

Salmonella typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal

infeksi pada demam thypoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM

dan IgG menunjukkan demam thypoid pada fase pertengahan

infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi

demam thypoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG

spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut,

konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang


21

merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan

inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan

kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207

kasus demam thypoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74%

dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar

85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan

penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam

thypoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas

sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain

mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar

89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan

salmonellosis non-thypoid bila dibandingkan dengan Widal.

Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas

uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna

tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa

Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan

bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam

thypoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan


22

untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah

(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),

tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan

secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan

lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa

yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan

bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam

waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

4). Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen

LPS O, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi

terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering

dipakai untuk mendeteksi adanya antigen Salmonella typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.

Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada

sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan

Salmonella typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine

didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.


23

Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine

penderita demam thypoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada

deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen

Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi

tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada

minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu

diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan

Brucellosis.

d. Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di

Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap

antigen LPS Salmonella typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai pita

pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen

kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah

distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan

di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji

ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan

86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas

sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain

oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam thypoid


24

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar

96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas

sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang

menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam thypoid. Uji

ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan

mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan

gambaran klinis thypoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat

dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas.

e. Identifikasi Kuman Secara Molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella typhi yang

akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri

Salmonella typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat

atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)

melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk Salmonella typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR

sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada

penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL

darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas

sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji

Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR

ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu


25

yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat,

adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin

dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi

dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari

spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan

sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium

penelitian (Prasetyo & Ismoedijanto, 2005).

7. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih di anut trilogy penatalaksanaan thypoid

abdominal, yaitu:

a. Pemberian antibiotic: untuk menghentikan dan memusnahkan

penyebaran kuman.

Antibiotik yang dapat digunakan:

1) Kloramfenikol: dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x

500 mg, diberikan selama demam, di lanjutkan sampai 2 hari

bebas demam, kemudian dosis di turunkan menjadi 4 x 250

mg selama 5 hari kemudian. Penelitian terakhir, penggunaan

kloramfenikol masih memperlihatkan hasil penurunan suhu 4

hari, sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.

2) Ampisilin/amoksisilin: dosis 50-150 mg/kg BB, di berikan

selama 2 minggu.
26

3) Kontrimoksazol: 2x2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg

sulfametoksazol dan 80 mg trimethoprim), di berikan selama

2 minggu pula.

4) Sefalosporingenerasi II dan III. Di sebagian penyakit

Tropikal dan infeksi FKUI-RSCM, pemberian sefalospori

berhasil mengatasi demam thypoid dengan baik. Demam

pada umumnya mengalami mereda pada hari ke-3 atau

menjelang hari ke-4. Regimen yang dipakai adalah:

a) Seftiakson 4 g/hari selama 3 hari.

b) Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.

c) Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.

d) Ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari.

e) Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari.

f) Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari.

b. Istirahat dan perawatan professional

Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal

7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilitas

dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Dalam perawatan perlu sekali di jaga hygiene perseorongan,

kebersihan tempat tidur, pakaian, danp eralatan yang dipakai oleh

pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu di

ubah-ubah untuk mencegah decubitus dan pneumonia hipostatik.


27

Defeksasi dan buang air kecil perlu di perhatikan, karena kadang-

kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.

c. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)

Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur

kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien.

Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian

makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa

(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat di berikan dengan

aman. Juga di perlukan pemberian vitamin dan mineral yang

cukupu ntuk mendukung keadaan umump asien. Di harapkan

dengan menjaga keseimbangan dan homeostatis, sistem imun

akan tetap berfungsi dengan optimal (Mansjoer, 2005).

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Thypoid Abdominalis

1. Pengkajian

Menurut Padila (2013), andra (2013) dan Hidayat (2006) pengkajian

yang dapat dilakukan pada pasien dengan typhoid abdominalis sebagai

berikut:

a. Pengkajian focus

1) Identitas .

Beberapa komponen yang ada dalam identitas meliputi nama,

jenis kelamin, umur, alamat, suku bangsa, agama, No.registrasi,


28

pekerjaan, pendidikan, berat badan, tinggi badan, tanggal dan jam

masuk Rurnah Sakit.

2) Keluhan utama

Keluhan utama yang dirasakan oleh klien typhoid

abdominalis biasanya mengeluh adanya demam yang khas yang

berlangsung selama kurang lebih 3 minggu dan menurun pada

pagi hari serta meningkat pada sore hari dan malam hari,

konstipasi, mual muntah, malaise, mialgia (nyeri otot), sakit

kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan

koagulasi.

3) Riwayat penyakit sekarang

Umumnya yang dirasakan pada klien dengan typhoid

abdominalis adalah demam, perut terasa mual, adanya anoreksia,

diare atau konstipasi, dan bahkan menurunnya kesadaran.

4) Riwayat penyakit dahulu

Perlu ditanyakan apakah klien sebelumnya pernah mengalami

typhoid abdominalis atau penyakit menular lain.

5) Riwayat penyakit keluarga

Ditanyakan apakah keluarga pernah menderita penyakit yang

sama atau penyakit yang lainnya.

6) Riwayat psikososial

a) Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih).

b) Interpersonal : hubungan dengan orang lain.


29

b. Pola-Pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Adanya tindakan penatalaksanaan kesehatan di RS akan

menimbulkan perubahan terhadap pemeliharaan kesehatan.

2) Pola nutrisi dan metabolic

Adanya nausea dan vomitus serta anoreksia akan

mempengamhi status gizi. Pengukuran TB dan BB jika

memungkinkan akan memperlihatkan adanya penurunan atau

peningkatan status gizi klien.

3) Pola aktivitas clan latihan

Aktivitas klien akan terganggu akibat adanya malaise serta

keterbatasan latihan yang mewajibkan klien untuk bedrest.

4) Pola istirahat dan tidur

Frekuensi dan kebiasaan tidur klien akan terganggu karena

adanya proses peningkatan suhu tubuh.

5) Pola eliminasi

Klien dengan typhoid abdominalis menyebabkan masalah

pada pola eliminasi karena kurangnya intake asupan nutrisi dan

kondisi yang mewajibkan untuk bedrest, maka klien akan

beresiko besar untuk terkena konstipasi.


30

6) Pola hubungan

Akibat dari proses infeksi tersebut secara langsung akan

mempengaruhi hubungan baik interpersonal dan

intrapersonal.

7) Pola persepsi dan konsep diri

Akan terjadi perubahan jika klien tidak memahami cara

yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatannya dan konsep

diri yang meliputi (identitas diri , Body Image, peran diri, ideal

diri, dan harga diri).

8) Pola reproduksi dan seksual

Pada pola reproduksi dan seksual pada klien yang sudah

menikah akan mengalami perubahan.

9) Pola mekanisrne koping

Masalah akan timbul jika klien tidak efektif dalam

mengatasi masalah kesehatannya.

10) Pola nilai dan kepercayaan

Adanya kecemasan dalam sisi spiritual yang akan

menyebabkan masalah yang baru serta menimbulkan akibat

dari ketakutan akan kematian dan akan mengganggu kebiasaan

ibadahnya.

c. Pemeriksaan fisik

1) B1 (Breathing) : biasanya tidak ada masalah, tetapi pada kasus

berat bisa didapatkan komplikasi yaitu adanya pneumonia.


31

2) B2 (Blood) : Tekanan Darah menurun, diaforesis terjadi pada

minggu pertama, kulit pucat, akral dingin, penurunan curah

jantung dengan adanya bradikardi, kadang terjadi anemia,

leukopeni pada minggu awal, nyeri dada, dan kelemahan fisik.

3) B3 (Brain) : Pada klien dengan typhoid abdominalis biasanya

terjadi delirium dan diikuti penurunan kesadaran dari compos

mentis keapatis, somnolen hingga koma pada pemeriksaan GCS.

4) B4 (Bladder) : pada kondisi berat akan terjadi penurunan output

respon dari curah jantung.

5) B5 (Bowel)

a) Inspeksi : lidah kotor, terdapat selaput puth, lidah

hiperemis, stomatitis, muntah, kembung, adanya distensi

abdomen dan nyeri abdomen, diare atau konstipasi.

b) Auskultasi : penurunan bising usus kurang dari 5x/menit

pada minggu pertama dan selanjutnya meningkat akibat

adanya diare.

c) Perkusi : didapatkan suara tympani abdomen akibat adanya

kembung.

d) Palpasi : adanya hepatomegali, splenomegali,

mengidentifikasi adanya infeksi pada minggu kedua.

Adanya nyeari tekan pada abdomen.

6) B6 (Bone) : adanya respon sistemik yang menyebabkan malaise

dan kelemahan umum. Integumen : timbulnya roseola (emboli


32

dari kuman dimana didalamnya mengandung kuman Salmonella

Typhosa, yang timbul diperut, dada, dan bagian bokong), turgor

kulit menurun, kulit kering.

d. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan feces

Pengambilan biakan feces dan urine dilakukan karena

penyebaran Salmonella sampai ke empedu, pemeriksaan ini

positif biasanya pada minggu kedua dan ketiga.

2) Pemeriksaan darah lengkap

Biakan darah biasanya positif pada minggu pertama pada

perjalanan penyakit. Kadang terjadi anemia akibat proses

inflamasi.

3) Kolonoskopi

Mengidentifikasi adanya perubahan lumen dinding

(menyempit/tidak teratur), menunjukkan obstruksi usus.

4) Pemeriksaan serologi

Merupakan reaksi serologis yang didasarkan antara reaksi

aglutinasi antara antigen Salmonella dan antibodi yang terdapat

pada serum penderita. Titer O : 1/200. Titer H : 1/400 atau

kenaikan titer 4 kali 1 (satu) minggu berikutnya.

2. Diagnosa

Menurut Wilkinson (2014) diagnosa keperawatan yang dapat

diangkat dari kasus Thypoid Abdominalis yaitu :


33

a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi


b. Perubahan pola nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia
c. Gangguan aman nyaman nyeri berhubungan dengan efek
peradangan pada usus
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik/bead
rest
e. Defisit volume cairan dan elektrololit berhubungan dengan
output berlebih
f. Diare berhubungan dengan proses infeksi
g. Konstipasi berhubungan dengan proses peradangan usus halus
h. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi

Menurut Nugroho (2011) diagnosa keperawatan yang dapat

diangkat pada kasus Thypoid abdominalis yaitu :

a. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi


b. Resiko pemenuhan nutrisi dan cairan kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penurunan penyerapan nutrisi
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan peningkatan
kebutuhan energi
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya motivasi
mencari informasi
f. Cemas berhubungan dengan penurunan status kesehatan.

Menurut Wijaya dan Putri (2013) diagnosa keperawatan yang

dapat ditegakkan pada kasus Thypoid abdominalis yaitu :

a. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari endotoksin


pada hipotalamus
34

b. Perubahan pola nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan anoreksia
c. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan peningkatan
suhu tubuh
d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kesadaran
e. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan istirahat total
f. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
peningkatan output
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44

4. Implementasi

Menurut Nursalam, (2001). Implementasi keperawatan atau

pelaksanan keperawatan merupakan intisari dari rencana tindakan untuk

mencapai tujuan yang spesifik. Tujuan dari pelaksanaan keperawatan yaitu

membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang

mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan

kesehatan dan memfasilitasi koping.

Pelaksanaan (Implementasi) adalah berkesinambungan dan

interaktif dengan komponen lain dari proses keperawatan. Sesuai dengan

kebutuhan dan prioritas klien, perawat melakukan intervensi keperawatan

spesifik, yang mencakup tindakan perawat dan tindakan dokter (Potter dan

Perry, 2005).

5. Evaluasi

Menurut Nursalam (2001) evaluasi adalah tindakan intelektual

untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh

diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan tindakannya sudah berhasil

dicapai. Evaluasi di letakan pada tahap akhir keperawatan, evaluasi

merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan.

Sedangkan menurut Potter dan Perry (2005) evaluasi adalah suatu proses

keperawatan mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan

kemajuan klien kearah pencapaian tujuan. Dalam menentukan masalah

teratasi atau tidak teratasi cara membandingkannya yaitu dengan


45

menggunakan SOAP dan SOAPIER dengan tujuan dan kriteria hasil yang

ditetapkan.

a. Subjective, Objektive, Analysis,dan Planning (SOAP) meliputi:

1) S (Subjective) : Adalah informasi berupa ungkapan yang didapat

dari klien setelah tindakan diberikan.

2) O (Objective) : Adalah informasi yang didapat berupa hasil peng-

amatan format penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat

setelah tindakan dilakukan.

3) A (Analysis) : Adalah membandingkan antara informasi subjek-

tive dan objektive dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian

diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi sebagian.

4) P (Planning) : Adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan

dilakukan berdasarkan hasil analisa.

b. Subjective, Objektive, Analysis, Planning, Intervensi, Evaluasi, dan

Revisi (SOAPIER), meliputi:

1) S (Subjective) : Adalah masalah yang di utarakan pasien dan pan-

dangannya terhadap masalah.

2) O (Objektive) : Meliputi tanda-tanda klinik dan fakta yang berhu-

bungan dengan diagnosa keperawatan meliputi data fisiologi dan

informasi dari pemeriksaan.

3) A (Analysis) : Analisa dari data sabjektif dan objektif dalam me-

nentukan pasien.
46

Anda mungkin juga menyukai