Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL TENTANG SEJARAH TARI GANDRUNG DI BANYUWANGI DAN

PENAMPILAN TARI GANDRUNG

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Multikultural dengan


Dosen Pengampu Dra. Yayuk Mardiati, M.A.

Disususun oleh :
Kelompok 2

Septi Nur Cahyani (150210204004)


Fara Himmatur R (150210204007)
Rohil Bayyinah (150210204011)
Tri Ayu Wulansari (150210204012)
Umi Kulsum (150210204042)

KELAS B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
SEJARAH TARI GANDRUNG

Gandrung Banyuwangi adalah salah satu jenis tarian yang berasal dari
Banyuwangi. Kata ""Gandrung"" diartikan sebagai terpesonanya masyarakat
Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang membawa
kesejahteraan bagi masyarakat.
Kesenian gandrung Banyuwangi muncul bersamaan dengan dibabadnya
hutan “Tirtagondo” (Tirta arum) untuk membangun ibu kota Balambangan
pengganti Pangpang (Ulu Pangpang) atas prakarsa Mas Alit yang dilantik sebagai
bupati pada tanggal 2 Februari 1774 di Ulupangpang Demikian antara lain yang
diceritakan oleh para sesepuh Banyuwangi tempo dulu. Mengenai asalnya
kesenian gandrung Joh Scholte dalam makalahnya antara lain menulis sebagai
berikut: Asalnya lelaki jejaka itu keliling ke desa-desa bersama pemain musik
yang memainkan kendang dan terbang dan sebagai penghargaan mereka diberi
hadiah berupa beras yang mereka membawanya di dalam sebuah kantong.
(Gandroeng Van Banyuwangi 1926, Bab “Gandrung Lelaki”). Apa yang ditulis
oleh Joh Scholte tersebut, tak jauh berbeda dengan cerita tutur yang disampaikan
secara turun-temurun, bahwa gandrung semula dilakukan oleh kaum lelaki yang
membawa peralatan musik perkusi berupa kendang dan beberapa rebana
(terbang). Mereka setiap hari berkeliling mendatangi tempat-tempat yang dihuni
oleh sisa-sisa rakyat Balambangan sebelah timur (dewasa ini meliputi Kab.
Banyuwangi) yang jumlahnya konon tinggal sekitar lima ribu jiwa, akibat
peperangan yaitu penyerbuan Kompeni yang dibantu oleh Mataram dan Madura
pada tahun 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasaan Mangwi, hingga
berakirnya perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dimenangkan oleh Kompeni
pada tanggal 11 Oktober 1772. Konon jumlah rakyat yang tewas, melarikan diri,
tertawan, hilang tak tentu rimbanya atau di selong (di buang) oleh Kompeni lebih
dari enam puluh ribu jiwa. Sedang sisanya yang tinggal sekitar lima ribu jiwa
hidup telantar dengan keadaannya yang sangat memprihatinkan terpencar cerai-
berai di desa-desa, di pedalaman, bahkan banyak yang belindung di hutan-hutan,
terdiri dari para orang tua, para janda serta anak-anak yang tak lagi punya orang
tua.(telah yatim piyatu) dan selain itu ada juga yang melarikan diri menyingkir ke
negeri lain. Seperti ke Bali, Mataram, Madura dan lain sebagainya. Setelah usai
pertunjukan gandrung menerima semacam imbalan dari penduduk yang mampu
berupa beras atau hasil bumi lainnya dan sebagainya. Dan sebenarnya yang
tampaknya sebagai imbalan tersebut, merupakan sumbangan yang nantinya
dibagi-bagikan kepada mereka yang keadaannya sangat memprihatinkan
dipengungsian dan sangat memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di
pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup dihutan-hutan dengan segala
penderitaannya walau peperang telah usai. Mengenai mereka yang bersikeras
hidup di hutan dengan keadaannya yang memprihatinkan tersebut, disinggung
oleh C. Lekerkerker yang menulis beberapa kejadian setelah Bayu dapat
dihancurkan oleh gempuran Kompeni pada tanggal 11 Oktober 1772, antara lain
sebagai berikut; Pada tanggal 7 Nopember 1772, sebanyak 2505 orang lelaki dan
perempuan telah menyerahkan diri ke Kompeni, Van Wikkerman mengatakan
bahwa Schophoff telah menyuruh menenggelamkan tawanan laki-laki yang
dituduh mengobarkan amuk dan yang telah memakan dagingnya dari mayatnya
Van Schaar. Juga dikatakan bahwa orang-orang Madura telah merebut para wanita
dan anak-anak sebagai hasil perang. Sebagian dari mereka yang berhasil
melarikan diri kedalam hutan telah meninggal karena kesengsaraan yang dialami
mereka. Sehingga udara yang disebabkan mayat-mayat yang membusuk sampai
jarak yang jauh. Yang lainnya menetap dihutan-hutan seperti; Pucang Kerep, Kali
Agung, Petang dan sebagainya. Dan mereka bersikap keras tetap tinggal dalam
hutan dengan segala penderitaannya.
Berkat munculnya gandrung yang dimanfaatkan sebagai alat perjuang dan
yang setiap saat acap kali mengadakan pagelaran dengan mendatangi tempat-
tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat yang hidup bercerai-berai di pedesaan, di
pedalaman dan bahkan sampai yang masih menetap di hutan-hutan dengan
keadaannya yang memprihatinkan, kemudian mereka mau kembali kekampung
halamannya semula untuk memulai membentuk kehidupan baru atau sebagaian
dari mereka ikut membabat hutan Tirta Arum yang kemudian tinggal di ibukota
yang baru di bangun atas prakarsa Mas Alit. Setelah selesai ibu kota yang baru
dibangun dikenal dengan nama Banyuwangi sesuai dengan konotasi dari nama
hutan yang dibabad (Tirta-arum). Dari keterangan tersebut terlihat jelas bahwa
tujuan kelahiran kesenian ini ialah menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah
dibantai habis-habisan oleh Kompeni dan membangun kembali bumi
Belambangan sebelah timur yang telah hancur porak-poranda akibat serbuan
Kompeni (yaitu yang dewasa ini meliputi Daerah Kabupaten Banyuwangi).
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung
Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun
1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang
cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga
kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung
sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh,
saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi
sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya
gandrung oleh wanita.
Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para
lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927),
instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang.
Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun, gandrung laki-laki ini lambat laun
lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam
melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun,
tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian
penari terakhirnya, yakni Marsan. Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung
ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta
selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik
perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama
panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi
dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan
oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an
mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang
mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di
samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-
20
Kesenian gandrung Banyuwangi masih tegar dalam menghadapi gempuran
arus globalisasi, yang dipopulerkan melalui media elektronik dan media cetak.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap
siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian
Banyuwangi. Salah satu di antaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang
merupakan sempalan dari pertunjukan gandrung Banyuwangi. Itu merupakan
salah satu wujud perhatian pemerintah setempat terhadap seni budaya lokal yang
sebenarnya sudah mulai terdesak oleh pentas-pentas populer lain seperti dangdut
dan campursari.
Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan Kesenian
Blambangan meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah
kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Using yang terus-
menerus tertekan secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung
adalah bentuk perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Using.
Di sisi lain, penari gandrung tidak pernah lepas dari prasangka atau citra
negatif di tengah masyarakat luas. Beberapa kelompok sosial tertentu, terutama
kaum santri menilai bahwa penari Gandrung adalah perempuan yang berprofesi
amat negatif dan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, tersudut,
terpinggirkan dan bahkan terdiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari
Sejak Desember 200, Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata
Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung terpajang di berbagai sudut kota
dan desa. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi
gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat seperti Surabaya , Jakarta ,
Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat.

Anda mungkin juga menyukai