Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Masa Dewasa Menengah


2.1.1 Pengertian
Sebagian besar psikiatri dipusatkan masa dewasa yaitu suatu periode
kehidupan di mana seseorang dianggap telah berkembang dan matang secara utuh
dan suatu waktu di mana kemungkinan untuk pemenuhan personal berada pada
puncaknya.Masa ini adalah bagian terpanjang dari siklus kehidupanyang biasanya
dibagi menjadi tiga periode utama: masa dewasa muda atau awal (young or early
adulthood) (mulai usia 20 sampai 40 tahun), masa dewasa pertengahan (middle
adulthood) (dari usia 40 sampai 65 tahun), dan masa dewasa akhir atau usia yang
lanjut (late adulthood atau old age) (Kaplan, Sadock, & Grebb,. 2010: 100)

Kozier, Erb, Berman dan Snyder (2010: 537) menyatakan bahwa masa
dewasa dewasa menengah disebut juga dengan masa paruh baya, dari usia 40-65
tahun, disebut sebagai masa stabilitas dan konsolidasi. Sedangkan Kaplan,
Sadock, dan Grebb (2010: 106) menyatakan bahwa usia yang digunakan untuk
mendefenisikan masa dewasa pertengahan adalah bervariasi di antara ahli-ahli
teori. Biasanya, periode terentang dari 40 sampai 65 tahun. Jung menamakan usia
40 tahun sebagai tengah hari kehidupan. Tugas untuk menyelesaikan masa dewasa
awal adalah termasuk proses meninjau kembali masa lalu, mengingat bagaimana
kehidupan seseorang telah berlalu dan memutuskan masa depan apa yang akan
dihadapi. Dengan memperhatikan pekerjaan, banyak orang mulai mengalami
kesenjangan antara cita-cita awal dengan yang tercapai saat itu. Mereka dapat
bertanya apakah gaya hidup dan komitmen yang mereka ambil pada masa dewasa
awal berharga untuk diteruskan. Mereka mungkin merasa bahwa mereka ingin
menjalani kehidupan sisanya dengan cara yang berbeda dan lebih memuaskan,
tanpa mengetahui secara tepat bagaimana. Saat anak-anak semakin tumbuh dan
meninggalkan rumah, peran orangtua berubah, pada saat itu, orang juga
menegaskan kembali peranannya sebagai suami dan istri.

9
10

Konsep dewasa menengah sering kali disebut “generasi sandwich”. Mereka


mengasuh anak serta cucu dan pada saat bersamaan, sering kali merawat orang tua
yang usianya semakin lanjut. Ketika aktivitas tersebut menghabiskan banyak
waktu dan energi, sering kali mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengurus
diri mereka sendiri (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010: 540). Levinson
menggambarkan suatu periode peralihan antara usia 50 dan 55, selama mana suatu
krisis perkembangan dapat terjadi jika orang merasa tidak mampu mengubah
struktur hidup yang tidak dapat ditoleransi. Walaupun tidak ada peristiwa tunggal
yang menandai masa peralihan, perubahan fisiologis yang mulai tampak mungkin
mempunyai efek yang dramatis pada rasa diri seseorang. Sebagai contoh, orang
mungkin mengalami penurunan efisiensi kardiovaskular yang menyertai proses
ketuaan, tetapi usia kronologis dan kelemahan fisik adalah tidak bersama-sama.
Mereka yang berlatih dengan teratur, yang tidak merokok, dan yang makan dan
minum tidak berlebihan adalah mampu untuk mempertahankan kesehatan fisik dn
kesejahteraan emosionalnya (Kaplan, Sadock,& Grebb, 2010: 110)

2.1.2 Perubahan Fisik Individu


Beberapa perubahan yang terjadi selama periode paruh baya/dewasa
menengah.pada usia 40-an, kebanyakan individu dapat berfungsi efektif
sebagaimana ketika mereka berusia 20-an. Namun, selama periode usia 40-65
tahun, banyak perubahan fisik yang terjadi. Lihat tabel 2.1 untuk rangkuman
mengenai perubahan tersebut.

Tabel 2.1 Perubahan Fisik Individu

No Kategori Deskripsi
1. Penampilan Rambut mulai tipis dan beruban. Turgor dan
kelembapan kulit berkurang, dan muncul kerutan pada
kulit, jaringan lemak diretribusikan kembali,
menyebabkan deposit lemak di area abdomen.

2. Sistem Massa otot skeletal berkurang sekitar usia 60-an.


muskuloskeletal Penipisan diskus intervetebral menyebabkan
penurunan tinggi badan sekitar 1 inci.
11

3. Sistem Pembuluh darah kehilangan elastisitasnya dan menjadi


kardiovaskular lebih tebal.

4. Persepsi sensori Ketajaman visual menurun, sering kali terjadi di usia


40-an, khususnya untuk penglihatan dekat. Ketajaman
untuk suara frekuensi tinggi juga menurun. Sensasi
perasa juga berkurang

5. Metabolisme Metabolisme lambat menyebabkan kenaikan berat


badan

6. Sistem Penurunan tonus otot usus besar secara bertahap dapat


pencernaan menyebabkan kecendrungan terjadinya konstipasi pada
individu

7. Sistem Unit nefron berkurang selama periode ini, dan laju


perkemihan filtrasi glomerulus menurun

8. Seksualitas Perubahan hormonal terjadi pada pria maupun wanita.

Sumber: Kozier, Erb, Berman & Snyder (2010: 538)

2.1.3 Masalah Kesehatan


Banyak individu paruh baya/dewasa pertengahan yang tetap sehat; namun
risiko munculnya masalah kesehatan pada kelompok usia ini lebih besar daripada
kelompok usia dewasa muda. Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu
penyebab utama kematian pada kelompok usia ini. Pola gaya hidup individu yang
berkombinasi dengan penuaan, riwayat keluarga, dan stressor perkembangan serta
stressor situasional sering kali berkaitan dengan masalah kesehatan yang muncu.
Sebagai contoh, merokok dan mengonsumsi alkohol secara berlebihan
menyebabkan individu beresiko lebih tinggi mengalami masalah pernapasan
kronis, kanker paru, dan penyakit hati. Pola makan berlebih dapat dapat
menyebabkan obesitas, diabetes melitus, aterosklerosis, dan risiko hipertensi serta
penyakit arteri koroner yang berkaitan dengan kondisi tersebut (Kozier, Erb,
Berman, Snyder, 2011: 541).
12

2.2 Konsep Hipertensi


2.2.1 Pengertian
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang melebihi tekanan
darah normal seperti apa yang telah disepakati oleh para ahli yaitu lebih dari atau
sama dengan 140/90 mmHg (JNC-7) (Sudoyo, Setiyohadi, Simandibrata &
Setiati, 2010: 1094). Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu
keadaan kronis yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah pada dinding
pembuluh darah arteri. Keadaan tersebut mengakibatkan jantung bekerja lebih
keras untuk mengedarkan darah ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Hal ini
dapat mengganggu aliran darah, merusak pembuluh darah, bahkan menyebabkan
penyakit degeneratif, hingga kematian (Tim Bumi Medika, 2017: 1-2) .

Perubahan tekanan darah yang paling umum terjadi adalah hipertensi.


Penyakit ini biasanya tidak disertai gejala (asimtomatik). Diagnosis prehipertensi
pada dewasa ditegakkan jika rata-rata hasil pemeriksaan darah pada dua
kunjungan berturutan berada pada nilai antara 80 dan 89 mmHg; atau rerata
tekanan darah sistolik pada dua kunjungan berada pada nilai antara 120 dan 139
mmHg. Diastolik yang bernilai lebih dari 90 mmHg dan sistolik di atas 140
mmHg didiagnosis sebagai hipertensi (NHBPEP, 2003, dalam Potter & Perry,
2010: 207-208). Peningkatan tekanan diastolik melebihi 95 mmHg menunjukkan
hipertensi yang sebenarnya sehingga memerlukan penelitian dan pengontrolan
(Smeltzer & Bare, 2015: 731). Untuk mendiagnosis hipertensi, perlu dua kali
pengukuran tekanan darah dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang (Kemenkes RI, 2014: 1).

Jadi, hipertensi merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami


peningkatan tekanan darah di atas normal dengan tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg dalam keadaan cukup
istirahat/tenang

2.2.2 Etiologi
Untuk menyimpulkan penyebab hipertensi masih sulit dilakukan hingga saat
ini. Bahkan, para ahli beranggapan hipertensi lebih tepat disebut sebagai
13

“heterogenus group of diseases” daripada “single diseases” karena kompleksnya


faktor-faktor yang menyebabkannya (Dalimartha, Purnama, Sutarina, Mahendra,
& Darmawan, 2008: 10). Penyebab hipertensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu
yang tidak jelas penyebabnya atau disebut hipertensi primer (hipertensi esensial),
dan yang diketahui penyebabnya atau disebut hipertensi sekunder (Kabo, 2008:
39).

Etiologi yang pasti dari hipertensi esensial belum diketahui, merupakan


90% dari seluruh kasus hipertensi. Namun, sejumlah interaksi beberapa energi
homeostatik saling terkait. Defek awal diperkirakan pada mekanisme pengaturan
cairan tubuh dan tekanan oleh ginjal. Faktor hereditas berperan penting bilamana
ketidakmampuan genetik dalam mengelola kadar natrium normal (Udjianti, 2011:
107). Beberapa faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial
seperti berikut ini.
a. Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,
berisiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini.
b. Jenis kelamin dan usia: laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca
menopause berisiko tinggi untuk mengalami hipertensi
c. Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan
dengan berkembangnya hipertensi.
d. Berat badan: obesitas (> 25% di atas BB ideal) dikaitkan dengan
berkembangnya hipertensi
e. Gaya hidup: merokok dan konsumsi alcohol dapat meningkatkan tekanan
darah, bila gaya hidup menetap (Udjianti, 2011: 102).

Etiologi hipertensi sekunder pada umunya diketahui. Jika penyebabnya


diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita
hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya
adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB)
(Russel, 2011: 132).

2.2.3 Klasifikasi
14

Klasifikasi hipertensi menurut The Seventh Report of Joint National


Committee on Prevention, Detection, Evaluation and The Treatment of High
Blood Pressure.

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-7


Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Optimal 115 atau kurang 75 atau kurang
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Tahap 1 140-159 90-99
Hipertensi Tahap 2 ≥ 160 ≥ 100
Sumber : Kowalski, Robert E., 2010: 43

WHO (World Health Organization) dan ISH (International Society of


Hypertension) mengelompokkan hipertensi sebagai berikut:

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO-ISH


Kategori Tekanan darah Tekanan darah
sistol (mmHg) diastole (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal-tinggi 130-139 85-89
Grade 1 (hipertensi ringan) 140-159 90-99
Sub-group: perbatasan 140-149 90-94
Grade 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Grade 3 (hipertensi berat) > 180 > 110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 < 90
Sub-group perbatasan 140-149 < 90
Sumber: Artiyaningrum, 2014: 16

2.2.4 Manifestasi Klinis


Hipertensi tidak memiliki gejala spesifik. Secara fisik, penderita hipertensi
juga tidak menunjukkan kelainan apa pun. Gejala hipertensi cenderung
menyerupai gejala atau keluhan kesehatan pada umumnya sehingga sebagian
orang tidak menyadari bahwa dirinya terkena hipertensi. Gejala umum yang
terjadi pada penderita hipertensi antara lain jantung berdebar , penglihatan kabur,
sakit kepala / pusing disertai rasa berat pada tengkuk (gejala umum yang biasa
15

dialami penderita hipertensi), kadang disertai dengan mual dan muntah, telinga
berdenging, gelisah, rasa sakit di dada, mudah lelah, muka memerah, serta
mimisan.

Hipertensi berat biasanya juga disertai dengan komplikasi dengan


beberapa gejala antara lain gangguan penglihatan, gangguan saraf, gangguan
jantung, gangguan fungsi ginjal, gangguan serebral (otak). Gangguan serebral ini
dapat mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak, kelumpuhan,
gangguan kesadaran, bahkan koma.Kumpulan gejala tersebut tergantung pada
seberapa tinggi tekanan darah dan seberapa lama tekanan darah tinggi tersebut
tidak terkontrol dan tidak mendapatkan penanganan. Selain itu, gejala-gejala
tersebut juga menunjukkan adanya komplikasi akibat hipertensi yang mengarah
pada penyakit lain seperti penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal dan gangguan
penglihatan (Tim Bumi Medika, 2017: 5-7)

2.2.5 Patofisiologi
Perubahan volume cairan memengaruhi tekanan arteri sistemik.Bila tubuh
mengalami kelebihan garam dan air, tekanan darah meningkat melalui mekanisme
fisiologi kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan
mengakibatkan peningkatan curah jantung.Bila ginjal berfungsi secara adekuat,
peningkatan tekanan arteri mengakibatkan diuresis dan penurunan tekanan darah.
Kondisi patologis yang mengubah ambang tekanan pada ginjal dalam
mengekskresikan garam dan air akan meningkatkan tekanan arteri sistemik.

Renin dan angiotensin memegang peranan dalam pengaturan tekanan


darah.Ginjal memproduksi renin yaitu suatu enzim yang bertindak pada substrat
protein plasma untuk memisahkan angiotensin I, yang kemudian diubah oleh
converting enzym dalam paru menjadi bentuk angiotensin II kemudian menjadi
angiotensin III.Angiotensin II dan III mempunyai aksi vasokontstriktor yang kuat
pada pembuluh darah dan merupakan mekanisme kontrol terhadap pelepasan
aldosteron.Aldosteron sangat bermakna dalam hipertensi terutama pada
aldoteronisme primer.Melalui peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis,
16

angiotensin II dan III juga mempunyai efek inhibiting atau penghambatan pada
eksresi garam (Natrium) dengan akibat peningkatan tekanan darah.

Sekresi renin yang tidak tepat diduga sebagai penyebab meningkatnya


tahanan perifer vaskular pada hipertensi esensial. Pada tekanan darah tinggi, kadar
renin harus diturunkan karena peningkatan tekanan arteriolar renal mungkin
menghambat sekresi renin. Namun demikian, sebagian besar orang dengan
hipertensi esensial mempunyai kadar renin normal.

Peningkatan tekanan darah terus-menerus pada klien hipertensi esensial


akan mengakibatkan kerusakan pembuluh darah pada organ-organ vital.
Hipertensi esensial mengakibatkan hyperplasia medial (penebalan) arteriole-
arteriole.Karena pembuluh darah menebal, maka perfusi jaringan menurun dan
mengakibatkan kerusakan organ tubuh.Hal ini menyebabkan infark miokard,
stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal.

Autoregulasi vaskular merupakan mekanisme lain yang terlibat dalam


hipertensi. Autoregulasi vaskular adalah suatu proses yang mempertahankan
perfusi jaringan dalam tubuh relatif konstan. Jika aliran berubah, proses-proses
autoregulasi akan menurunkan tahanan vaskular sebagai akibat dari peningkatan
aliran. Autoregulasi vaskular nampak menjadi mekanisme penting dalam
menimbulkan hipertensi berkaitan dengan overload garam dan air (Udjianti,2011:
103-106).

Skema 2.1 Patofisologi Hipertensi

PENGARUH GENETIK FAKTOR LINGKUNGAN


+

Defek dalam Defek dalam pertumbuhan


hemostasis natrium Vasokonstriksi dan struktur otot polos
ginjal fungsional pembuluh
17

Hormon
Ketebalan
natriuretik
dinding
pembuluh

Resistensi perifer
total

Sumber: Kumar, Cotran, & Robbins, 2013: 381

2.2.6 Komplikasi dan Penyakit Penyerta


Seperti penyakit kronis lainnya, pada hipertensi pun berbagai penyakit dapat
menyertai (penyakit penyerta) dan timbul bersamaan sehingga berpotensi
memperburuk kerusakan organ.
a. Komplikasi
18

Penderita hipertensi berisiko terserang penyakit lain yang timbul


kemudian. Beberapa penyakit yang timbul sebagai akibat hipertensi di
antaranya sebagai berikut.
1) Penyakit jantung koroner
Penyakit ini sering dialami penderita hipertensi sebagai akibat terjadinya
pengapuran pada dinding pembuluh darah jantung. Penyempitan lubang
pembuluh darah jantung menyebabkan berkurangnya aliran darah pada
beberapa bagian otot jantung. Hal ini menyebabkan rasa nyeri di dada dan
dapat berakibat gangguan pada otot jantung. Bahkan, dapat menyebabkan
timbulnya serangan jantung.
2) Gagal jantung
Tekanan darah yang tinggi memaksa otot jantung bekerja lebih berat untuk
memompa darah. Kondisi itu berakibat otot jantung akan menebal dan
meregang sehingga daya pompa otot menurun. Pada akhirnya, dapat terjadi
kegagalan kerja jantung secara umum. Tanda-tanda adanya komplikasi yaitu
sesak napas, napas putus-putus (pendek), dan terjadi pembengkakan pada
tungkai bawah serta kaki.
3) Kerusakan pembuluh darah otak
Beberapa penelitian di luar negeri mengungkapkan bahwa hipertensi menjadi
penyebab utama pada kerusakan pembuluh darah otak. Ada dua jenis
kerusakan yang ditimbulkan yaitu pecahnya pembuluh darah dan rusaknya
didinding pembuluh darah. Dampak akhirnya, seseorang bisa mengalami stroke
dan kematian.
4) Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan peristiwa di mana ginjal tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.Ada dua jenis kelainan ginjal akibat hipertensi, yaitu
nefrosklerosis benigna dan nefrosklerosis maligna. Nefrosklerosis benigna
terjadi pada hipertensi yang berlangsung lama sehingga terjadi pengendapan
fraksi-fraksi plasma pada pembuluh darah akibat proses menua. Hal itu akan
menyebabkan daya permeabilitas dinding pembuluh darah berkurang. Adapun
nefrosklerosis maligna merupakan kelainan ginjal yang ditandai dengan
19

naiknya tekanan diastole di atas 130 mmHg yang disebabkan terganggunya


fungsi ginjal.

b. Penyakit penyerta
Hipertensi merupakan salah satu jenis penyakit kronis yang juga sering
diikuti penyakit lain yang menyertai dan memperburuk kondisi organ
penderita. Penyakit yang seringkali menjadi penyerta dari penyakit hipertensi
antara lain sebagai berikut.
1) Kencing manis (diabetes mellitus)
Penyakit ini perlu segera ditangani sehingga kadar gula darah penderita
terkontrol. Hal itu dapat menjauhkan penderita dari komplikasi sehingga tidak
memperberat kerusakan organ yang ditimbulkan hipertensi selain kerusakan
akibat diabetes itu sendiri.
2) Resistensi insulin (R-I)
Resistensi insulin adalah penyakit yang timbul karena sel tubuh tidak dapat
memanfaatkan maksimal insulin yang tersedia dalam darah sehingga glukosa
darah tidak dapat seluruhnya masuk ke jaringan tubuh.Keadaan ini banyak
terjadi pada penderita obesitas (kegemukan). Resistensi insulin itu dapat
menjadi penyebab timbulnya penyakit diabetes, gangguan kadar lemak darah
(dislipidemia), ataupun hipertensi yaang pada akhirnya dapat merusak lapisan
pembuluh darah (endotelium) dengan berbagai efek medisnya.
3) Hiperfungsi kelenjar tiroid (hipertiroid)
Gangguan hiperfungsi kelenjar tiroid merupakan penyakit endokrin yang
meningkatkan metabolisme normal di dalam tubuh dan menyebakan naiknya
tekanan darah.Oleh karena itu, metabolisme dalam tubuh yang terganggu dan
naiknya tekanan darah perlu segera ditangani.

4) Rematik
Jenis penyakit rematik sangat beragam, bahkan mencapai lebih 100 jenis, dari
yang ringan sampai yang berat. Ada jenis yang merusak berbagai macam organ
20

tubuh sehingga akibat yang ditimbulkannya akan semakin memperberat


kondisi penderita hipertensi.
5) Gout/hiperuricemid/asam urat
Gout dapat menyebabkan penyakit rematik, gout dipengaruhi oleh makanan
yang banyak mengandung purin, seperti hati, limpa, ginjak, jeroan, otak,
sardane, jantung, kerang, kacang tanah, kedelai, bayam, buncis, dan kembang
kol. Purin dalam bahan bahan makanan oleh tubuh akan dimetabolisme
menjadi asam urat. Serangan rematik gout terjadi akibat konsentrasi asam urat
di dalam darah meninggi atau disebut juga hiperuricemia. Gout dapat merusak
organ tubuh misalnya penurunan fungsi ginjal, memicu perlekatan trombosit
pada pembuluh darah, dan mengendap pada klep jantung.
6) Kadar lemak darah tinggi (hiperlipidemia)
Hiperlipidemia menyebkan terjadinya penimbunan lemak pada dinding
pembuluh darah, termasuk pembuluh darah jantung. Komplikasi hipertensi
akan bertambah parah dengan tingginya kadar lemak (Dalimartha, Purnama,
Sutarina, Mahendra, & Darmawan, 2008: 13-15).

2.2.7 Diagnosis Hipertensi


Seperti lazimnya penyakit lain, hipertensi esensial ditegakkan berdasarkan
anamnesis (konsultasi dokter), pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium,
maupun pemeriksaan penunjang. Pada saat konsultasi dengan dokter, pasien perlu
memberitahukan hal-hal berikut.
a. Riwayat hipertensi orang tuanya. Hal itu penting mengingat 70-80% kasus
hipertensi esensial diturunkan dari orangtuanya.
b. Pengobatan yang sedang dijalaniya pada saat itu. Ada beberapa obat-obatan
yang dapat menimbulkan menimbulkan hipertensi, seperti golongan obat
kortikosteroid.
c. Pada perempuan, keterangan mengenai hipertensi pada kehamilan, riwayat
ekslampsia (keracunan kehamilan), riwayat persalinan, dan penggunaan pil
kontrasepsi diperlukan pada saat konsultasi.
d. Data mengenai penyakit yang diderita, seperti diabetes mellitus (kencing
manis), penyakit ginjal, serta faktor risiko terjadinya hipertensi, misalnya
rokok, alkohol, stres, data berat badan juga perlu diberitahukan ke dokter.
21

Peningkatan tekanan darah seringkali merupakan satu-satunya tanda klinis


hipertensi esensial sehingga diperlukan pengukuran tekanan darah secara akurat.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingginya tekanan darah adalah faktor
pasien, faktor alat, dan tempat pengukuran. Agar akurat, sebaiknya pengukuran
dilakukan setelah pasien beristirahat dengan cukup, minimal setelah 5 menit
berbaring. Pengukuran dilakukan pada posisi berbaring, duduk, dan berdiri
sebanyak 3-4 kali pemeriksaan dengan interval waktu antara 5-10 menit.

Selain hasil diagnosis di atas, seseorang juga perlu memperhatikan pola


makan.Faktor ini penting karena selain penyebab di atas, justru pada prinsipnya
semua kembali pada bagaimana seseorang memperhatikan pola makan untuk
kesehatan pribadinya, khususnya makanan yang berhubungan dengan hipertensi.
Menerapkan keseimbangan zat gizi pada menu makan sehari-hari kemungkinan
akan dapat memperkecil timbulnya berbagai penyakit, termasuk hipertensi. Hal
ini disebabkan munculnya berbagai penyakit tersebut tidak jarang terjadi akibat
pola makan yang salah (Dalimartha, Purnama, Sutarina, Mahendra, & Darmawan,
2008: 20-21).

2.2.8 Pengobatan
Secara garis besar pengobatan hipertensi dibagi menjadi dua jenis, yaitu
pengobatan non obat (non-farmakologis) dan pengobatan dengan obat medis.Pada
awalnya pengobatan hipertensi hanya ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
menuju tingkat normal.Dalam perkembangnya, pengobatan diarahkan pada
berbagai macam aspek.Secara garis besar pengobatan hipertensi dibagi menjadi
dua, yaitu pengobatan non-obat (non-farmakologis) dan pengobatan dengan obat
medis.
a. Pengobatan non-farmakologis (non-obat)
Pengobatan non-farmakologis di antaranya dengan melakukan hal-hal berikut.
1) Mengatasi obesitas atau menurunkan kelebihan berat badan.
2) Mengurangi asupan garam ke dalam tubuh. Cara pengobatan itu akan lebih
baik jika digunakan sebagai pelengkap pada pengobatan farmakologis.
22

3) Ciptakan keadaan rileks. Berbagai cara relaksasi, seperti meditasi, yoga, atau
hipnosis dapat dilakukan untuk mengontrol system syaraf yang akhirnya dapat
menurunkan tekanan darah.
4) Melakukan olahraga, seperti aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
sebanyak 3-4 kali seminggu.
5) Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alcohol yang berlebihan.

b. Pengobatan farmakologis (obat medis)


Pengobatan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip sebagai berikut:
1) Pengobatan hipertensi sekunder yang lebih mendahulukan pengobatan
penyebab hipertensi.
2) Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3) Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti-
hipertensi
4) Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
kemungkinan seumur hidup . (Dalimartha, Purnama, Sutarina, Mahendra, &
Darmawan, 2008: 25-28).

2.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi


Hipertensi (tekanan darah tinggi) meningkatkan risiko penyakit jantung
koroner dalam beberapa cara. Pertama, hipertensi meningkatkan beban kerja
jantung, sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen dan aliran darah
koroner.Peningkatan beban jantung juga menyebabkan hipertrofi. Seiring dengan
waktu, keadaan tersebut akan menyebabkan gagal jantung. Kedua, hipertensi
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah, yang menstimulasi
pembentukan aterosklerosis (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011: 963).

Seseorang yang menderita hipertensi akan memiliki penderitaan yang lebih


berat lagi jika semakin banyak faktor risiko yang menyertai. Hampir 90%
penderita hipertensi tidak diketahui penyebabnya dengan pasti (Dalimartha,
Purnama, Sutarina, Mahendra, & Darmawan, 2008: 21). Hipertensi dapat dipicu
oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang memiliki potensi menimbulkan masalah
23

atau kerugian kesehatan biasa disebut dengan faktor risiko. Berikut ini beberapa
faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian hipertensi.

2.3.1 Riwayat Keturunan (Genetik)


Keturunan atau genetik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
hipertensi yang tidak dapat diubah. Risiko terkena hipertensi akan lebih tinggi
pada orang dengan keluarga dekat yang meimiliki riwayat hipertensi. Selain itu,
faktor keturunan juga dapat berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam
(NaCl) dan renin membran sel (Tim Bumi Medika, 2017: 12-13).

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan


ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot
(satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang
mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara
alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan
hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda
dan gejala hipertensi dengan kemungkinan komplikasinya (Russel, 2011: 133).
Asosiasi Manajemen Indonesia (AMA) juga menjelaskan bahwa hipertensi dasar
lebih umum terjadi pada orang dengan riwayat keluarga tekanan darah tinggi. Jika
salah seorang orangtua memiliki penyakit ini, maka kita atau saudara kandung
memiliki 50% peluang akan mengalaminya (biasanya antara usia 40 dan 60
tahun). Jika kedua orangtua memiliki hipertensi dasar, maka peluang seorang anak
mengalaminya meningkat hingga 90% (Wade, 2016:41).

2.3.2 Merokok
Merokok juga dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya
hipertensi. Merokok dapat menyebabkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen
untuk disuplai ke otot jantung mengalami peningkatan. Bagi penderita yang
memiliki aterosklerosis atau penumpukan lemak pada pembuluh darah, merokok
dapat memperparah kejadian hipertensi dan berpotensi pada penyakit degeneratif
lain seperti stroke dan penyakit jantung.
24

Pada umumnya rokok mengandung berbagai zat kimia berbahaya seperti


nikotin dan karbon monoksida. Zat tersebut akan terisap melalui rokok sehingga
masuk ke aliran darah dan menyebabkan kerusakan lapisan endotel pembuluh
darah arteri, serta mempercepat terjadinya aterosklerosis. Nikotin misalnya, zat ini
dapat diserap oleh pembuluh darah kemudian diedarkan melalui aliran darah ke
seluruh tubuh, termasuk otak. Akibatnya, otak akan bereaksi dengan memberikan
sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin). Hormon
inilah yang akan membuat pembuluh darah mengalami penyempitan.
Penyempitan pembuluh darah otak tersebut memaksa jantung untuk bekerja lebih
berat. Keadaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan pecahnya
pembuluh darah di otak sehingga terjadi stroke. Selain itu, karbonmonoksida yang
terdapat dalam rokok diketahui dapat mengikat hemoglobin dalam darah dan
mengentalkan darah. Hemoglobin sendiri merupakan protein yang mengandung
zat besi dalam sel darah merah sehingga memaksa jantung memompa untuk
memasukkan oksigen yang cukup dalam organ dan jaringan tubuh.Hal inilah yang
dapat meningkatkan tekanan darah (Tim Bumi Medika, 2017: 18-19).

Seorang ahli polusi udara dari London bernama Ivan Vince mengatakan
bahwa rokok mengeluarkan lebih banyak partikel dibanding mesin diesel. Apabila
kita merokok, iritan yang ada dalam asap rokok selain berpengaruh langsung pada
paru-paru yang akan menyebabkan batuk-batuk, sesak dan kanker paru juga
masuk ke dalam darah yang mengakibatkan antara lain: denyut jantung lebih
cepat, pembuluh darah cepat kaku dan mudah spasme, sel-sel darah lebih
gampang menggumpal, ditambah lagi oksigen di dalam darah berkurang karena
tempatnya diambil alih oleh karbon monoksida. Dengan demikian, dapat
dimengerti bahwa perokok memiliki risiko 2 kali lebih mudah mendapat serangan
jantung dibanding orang yang tidak merokok. Apabila seorang perokok juga
memiliki hipertensi, risiko mendapat serangan jantung 2 x 2 atau 4 kali lebih besar
dibanding orang yang tidak merokok. Apabila di perokok ini menderita hipertensi
dan juga kencing manis, risiko mendapat serangan jantung dilipatgandakan lagi
menjadi 8 kali dan begitu seterusnya (Kabo, 2008: 43).

2.3.3 Kebiasaan Aktivitas Olahraga


25

Aktivitas fisik adalah vasodilator; itu berarti olahraga dapat


mengembangkan pembuluh darah. Kombinasi gaya hidup pasif dan kegemukan
akan melipatgandakan tingkat keparahan kondisi ini (Kowalski, 2010: 41).
Olahraga dihubungkan dengan pengelolaan tekanan darah. Olahraga yang teratur
dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Kurang
olahraga akan meningkatkan kemungkinan obesitas dan asupan garam dalam
tubuh. Kurang olahraga memiliki risiko 30-50% lebih besar mengalami hipertensi
(Artiyaningrum, 2014: 40).

Olahraga yang teratur rata-rata selama 30 menit per hari. Dan akan lebih
baik apabila dilakukan rutin setiap hari. Diperkirakan sebanyak 17% kelompok
usia produktif memiliki aktivitas fisik yang kurang. Dari angka prevalensi
tersebut, antara 31% sampai dengan 51% hanya melakukan aktivitas fisik < 2
jam/minggu. Aktivitas olahraga dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Baik, jika dilakukan ≥30 menit, ≥3 kali per minggu.
b. Cukup, jika dilakukan ≥30 menit, <3 kali per minggu.
c. Kurang, jika dilakukan <30 menit, <3 kali per minggu (Artiyaningrum, 2014: 41).

Salah satu olahraga yang dapat dilakukan adah latihan aerobik. Latihan
aerobik adalah tipe yang bergerak kelompok otot besar dan menyebabkan
bernapas lebih dalam dan hati untuk bekerja lebih keras dalam memompa darah.
Ini juga disebut latihan kardiovaskular. Hal ini dapat meningkatkan kesehatan
jantung dan paru-paru. Contohnya: berjalan, joging, berlari, menari aerobik,
bersepeda, mendayung, dan renang (Russel, 2011: 143). Dosis optimum olahraga
adalah 30 menit aktivitas aerobik, yang menyebabkan meningkatnya denyut
jantung dari 55-70% dari maksimum sesering mungkin dalam satu minggu
(Divine, 2012: 13).

2.3.4 Stres
Stres adalah subjek kontroversial di kalangan komunitas para medis,
meskipun dokter rumah sakit sering melihat bahwa stres sangat memengaruhi
kondisi pasien mereka. Stres mempercepat produksi senyawa berbahaya,
meningkatkan kecepatan jantung dan kebutuhan akan suplasi darah, dan tidak
26

lama kemudian, meningkatkan tekanan darah, serta menimbulkan serangan


jantung dan stroke (Kowalski, 2010: 43). Stres yang dapat memacu terjadinya
PJK adalah stres kronis. Beberapa hal yang dapat menimbulkan stres jenis ini
misalnya tekanan dalam pekerjaan (tugas yang terlalu berat), masalah dalam usaha
(masalah keuangan dan utang piutang), masalah dalam rumah tangga (kehilangan
orang yang dicintai, tekanan ekonomi dan ketidakharmonisan dalam rumah
tangga), mendapat ancaman secara fisik dan sebagainya (Kabo, 2008:132).

Stres merupakan suatu keadaan non spesifik yang dialami penderita akibat
tuntutan emosi, fisik atau lingkungan yang melebihi daya dan kemampuan untuk
mengatasi dengan efektif. Stres diduga melalui aktivitas syaraf simpatis (syaraf
yang bekerja saat beraktivitas). Peningkatan aktivitas syaraf simpatis
mengakibatkan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Gangguan
kepribadian yang bersifat sementara dapat terjadi pada orang yang menghadapi
keadaan yang menimbulkan stres. Apabila stres berlangsung lama dapat
mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Tingkatan stres dapat
diketahui menggunakan kriteria HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale), yang
terdiri dari 14 pertanyaan, dinilai menggunakan scoring berkisar antara 0-56.
Kategori skornya, yaitu:
a. Tidak ada gejala dari pilihan yang ada: skor 0
b. 1 gejala dari pilihan yang ada: skor 1
c. < separuh gejala dari pilihan yang ada: skor 2
d. ≥ separuh dari pilihan yang ada: skor 3
e. Semua gejala ada: skor 4

Kategori tingkatan stres, sebagai berikut:


a. Tidak stres: skor <14
b. Stres (stres ringan, sedang, berat dan berat sekali): skor ≥14
Dengan keterangan stres ringan (skor 14-20), sedang (skor 21-27), berat
(28-41), dan berat sekali (skor 42-56) (Koronkoe, K.,et al, 2001, dalam
Artiyaningrum, 2014:38)
27

Kejadian hipertensi lebih besar terjadi pada individu yang memiliki


kecenderungan stres emosional. Keadaan seperti tertekan, murung, dendam, takut,
dan rasa bersalah dapat merangsang timbulnya hormon adrenalin yang memicu
jantung berdetak lebih kencang sehingga memicu peningkatan tekanan darah.
(Tim Bumi Medika, 2017: 20)

Anda mungkin juga menyukai