Anda di halaman 1dari 11

Tugas Kecil – Individu

Mata Kuliah Teori Perencanaan

Literature Review
Smartmentality: The Smart City as Disciplinary Strategy
Alberto Vanolo
Urban Stud 2014 51: 883 originally published online 11 July 2013
DOI: 10.1177/0042098013494427

Oleh:
MARTEIN ADIGANA (21040117410027)

MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
Literature Review

Smartmentality: The Smart City as Disciplinary Strategy


Alberto Vanolo
Urban Stud 2014 51: 883 originally published online 11 July 2013

Pendahuluan

Ungkapan “Kota Pintar” merupakan gagasan utama dalam diskusi tentang


kota dan model pembangunan perkotaan di Italia dan Negara-negara eropa yang
lain. Dalam makalah ini juga mengomentari karya dari Osborne dan Rose
(1999) karena Kota Pintar pada dewasa ini merupakan sebuah konsep yang
masih terbilang ambigu. Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah
menyelidiki mekanisme yang digunakan oleh pemerintah yang dipicu oleh
kemunculannya dalam lanskap kebijakan perkotaan. Visi dari “Kota Pintar”
adalah sebagai kota yang efisien, berteknologi maju, berwawasan lingkungan
dan sosial inklusif.
Isu penelitian yang mendasari makalah ini adalah yang berkaitan dengan
dampak dari adanya wacana “Kota Pintar” atau Smart City. Di antara banyak
efek yang terjadi, apakah terdapat redefinisi peran dan makna kota untuk
menjadi landasan dari rasionalitas Hiper Teknologi dan Geometri kekuasaan
baru. Sehingga dapat dianalisa kemungkinan wacana “Kota Pintar” ini bisa
menjadi alat untuk mengurangi potensi konflik yang akan terjadi dalam
kehidupan perkotaan modern, yang berbeda dari kota kontenporer.
Pembahasan yang ada dalam makalah ini sebagian besar berlandakan dari
gambaran teoritis namun juga diperkuat dengan analisis penyebaran konsep
“Kota Pintar” di Italia, sebuah Negara yang secara penuh berkomitmen terhadap
kebijakan Kota Pintar. Oleh karena itu dalam makalah ini juga disajikan
pembahasan singkat tentang cara konsep “Kota Pintar” berpindah dari Amerika
ke Eropa dan dari Brussels ke Italia.

1
Dalam Makalah ini akan dibagi menjadi beberapa topik bahasan antara
lain :
1. Cities and Governmentalities atau Kota dan Pemerintahan yang
membahas tentang teori berkaitan tentang Pemerintahan Kota;
2. Smart City: Origins and Mobility of Urban Imaginary atau Kota Pintar :
Asal Usul dan Mobilitas Imajiner Perkotaan yang membahas tentang asal
usul dari Kota Pintar dan strategi penerepannya.
3. The Production of Smartmentalities atau Produksi Mentalitas Pintar yang
membahas tentang produksi mentalitas pintar sebagai entitas politik dan
mekanisme disiplin yang terdapat dalam wacana perkotaan di Italia.
4. Kesimpulan akan membahas mengenai hasil analisis dan permasalahan
konseptual selanjutnya.

Isi

Di dalam pembahasan mengenai Cities and Govermentalities ini


dijelaskan bahwa teori dan metode yang diambil dalam analisis ini berkaitan
dengan studi perkotaan kritis dan khususnya konsep perkotaan. Analisis kritis
ini muncul dan berkembang sejak tahun 1990an yang diinspirasi oleh Michel
Foucault untuk menyelidiki dampak sub permukaan yang diakibatkan oleh
adanya perbedaan pengetahuan yang berkembang dan berjalan di masyarakat
sebagai wacana moral, praktik, kebijakan, opini publik, dan pengetahuan ilmiah
yang dipisahkan antara kategori yang berbeda yang biasanya tidak stabil
(Burchellet al., 1991; Rose, 1999; Crampton and Elden, 2007).
Konsep dari Pemerintahan atau Govermentality mengacu kepada banyak
pengertian tentang Pemerintahan yang dikemukakan oleh para filsafat dan
dalam debat ilmiah (Burchellet al., 1991) menuju kepada praktek dari premis
minor pengetahuan dalam mekanisme pemerintahan, di dalam praktek-praktek
dari tingkah laku dalam produksi sistem kebijakan (umumnya dipahami sebagai
sistem disiplin) dan mekanisme budaya yang memberikan identitas yang
spesifik kepada penguasa dan yang diperintah (Rose,1999). Kekuasaan
digunakan untuk menormalisasi perilaku sosial dengan menekan dan
mengintervensi menggunakan teknik pengawasan ilmiah. Pemerintahan
menetapkan acuan atau batasan dengan melakukan intervensi sehingga perilaku
dapat dikategorikan sebagai perilaku yang dapat diterima atau tidak.

2
Konsep Kota Pintar sangatlah ideal dalam imajinasi sejarah perkotaan.
Dalam imajinasi ini Konsep Kota Pintar berada di balik munculnya cerita
tentang kota yang berkelanjutan atau dewasa ini menjadi kota yang tangguh
(Newman et al, 2009) juga kota informasi dan teknologi yang pintar. Kedua
konsep atau imajinasi dari kota yang berkelanjutan dan kota berbasis teknologi
telah dan masih menjadi alat yang kuat untuk membenarkan arahan kebijakan
dan memicu paradigma ekonomi baru yang menghasilkan bisnis baru dan
kemungkinan akumulasi modal (While et al., 2010; Jonas et al., 2011; Weller,
2012). Secara khusus semangat dari adanya Kota Berkelanjutan secara kultural
dan politis terkait dengan potensi permasalahan dampak lingkungan adalah
menumbuhkan gerakan sosial dalam rangka kesadaran lingkungan hidup.
Namun di sisi lain Wacana Kota Pintar juga banyak berhubungan dengan
kebijakan pembangunan kota yang neoliberal. Selain digunakan oleh
pemerintah dan elit politik serta ekonomi perkotaan yang menggunakan
pendekatan Kota Pintar ini untuk mewujudkan kebijakan pembangunan yang
spesifik, Konsep Kota Pintar yang berhubungan dengan Konsep Kebijakan
pembangunan yang neoliberal adalah keinginan agar terwujudnya pembangunan
yang bersih, hijau. Pembangunan dengan visi Kota Pintar tersebut berguna
untuk menarik investasi, sektor pekerja profesional dan wisatawan (Brand,
2007; Jonas and While, 2007; Hollands, 2008)

Di dalam tema Smart City: Origins and Mobility of Urban Imaginary


seperti disebutkan sebelumnya adalah konsep generik dan optimis untuk kota
masa depan dan faktanya tidak ada definisi secara luas yang cocok seperti yang
diuraikan dan ditekankan oleh Hollands (2008) dalam kritikannya terhadap
konsep tersebut. Dalam literature, sumber definisi Kota Pintar yang paling
banyak dirujuk adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh sekelompok peneliti
yang berbasis di Vienna, Ljubljana and Delft (Giffinger et al., 2007) yang
berjudul “Smart Cities”. Mereka membandingkan 70 kota di Eropa, di dalamnya
mereka juga memiliki bagian khusus yang berjudul “Defining smart city”.
Setelah mengonfirmasikan bahwa tidak ada definisi yang disepakati dan
menegaskan kebutuhan akan perspektif holistik, penelitian mereka menjelaskan
istilah Kota Pintar dengan membedakannya menjadi enam karakteristik yang
secara konsep berbeda. 6 konsep Kota Pintar yang berbeda karakteristiknya
tersebut antara lain :

3
1. Smart Economy adalah sebuah aspek yang terkait pada semangat
inovasi, kewiraswastaan, fleksibilitas pasar tenaga kerja, integrasi di
pasar internasional dan kemampuan untuk berubah.
2. Smart Mobility mengacu pada akses lokal dan supra-lokal,
ketersediaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), sistem
transportasi modern, berkelanjutan dan aman.
3. Smart Governance terkait dengan partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, transparansi sistem pemerintahan,
ketersediaan layanan publik dan kualitas strategi politik.
4. Smart Environment dipahami dalam hal daya tarik kondisi alam,
kurangnya polusi dan pengelolaan sumber daya yang lestari dan
berkelanjutan.
5. Smart Living melibatkan kualitas hidup, imajinasi yang diukur dari
segi ketersediaan layanan budaya dan pendidikan, tempat wisata,
kohesi sosial, lingkungan sehat, keamanan pribadi dan perumahan.
6. Smart People terkait dengan tingkat kualifikasi modal kapital manusia
dan sosial, fleksibilitas, kreativitas, toleransi, kosmopolitanisme dan
partisipasi dalam kehidupan public.

Kota Pintar juga berhutang budi kepada kebijakan dan ide perencanaan
yang bermigrasi dari Amerika, khususnya konsep “Smart Growth” yang
dikembangkan dalam kerangka Urbanisme Baru yang berasal dari Amerika
Serikat pada 1980-an dan kemudian pindah ke Eropa (Falconer Al Hindi dan
sampai tahun 2001; Hollands, 2008). Singkatnya, Urbanisme Baru dalam
perencanaan ditujukan untuk memperbaiki lingkungan perkotaan dan kualitas
kehidupan di kota-kota dengan mempromosikan gagasan komunitarian dan
membatasi urban sprawl, konsumsi lahan dan perkembangan bentuk-bentuk
pembangunan yang terinspirasi oleh logika mobil dan mobilitas pribadi. Salah
satu hasil intelektual utama Urbanisme Baru justru adalah terkait ide “Smart
Growth”, strategi perencanaan yang bertujuan membuat kota lebih kompak,
tidak serakah dan mengurangi penggunaan tanah yang tidak efisien.
Selanjutnya, “Smart Growth” adalah gagasan politik gerakan akar rumput,
terutama dalam gerakan sosial perkotaan di tahun 1990an (Beatley dan Collins,
2000).

4
Dalam pembahasan bagian The Production of Smartmentalities ini akan
berfokus pada tiga mekanisme yang mengatur berfungsinya perangkat pintar ini
antara lain : peran praktik komputasi dalam produksi grafik perkotaan dan
analisis “Benchmark Smart City”; wacana kemitraan publik-swasta dalam
produksi dan pengelolaan “Smart Cities”; dan “responsibilisation” kota dalam
kaitannya dengan perlindungan lingkungan, pengembangan teknologi dan
kualitas hidup.
Urban Charts and Benchmarking Analysis menjelaskan wacana Kota
Pintar membantu mewujudkan konsep kota sebagai aktor kolektif: kota-kota
direpresentasikan sebagai aktor tunggal, homogen dan kesatuan yang menang
atau kalah dalam tantangan Kota Pintar. Logika ini secara khusus terbentuk
melalui penggunaan teknik klasifikasi, juga disebut benchmarking atau analisis
rating. Perbandingan kuantitatif dalam hal kepintaran perkotaan antara kota-kota
yang berbeda telah dikembangkan, misalnya di laporan kota-kota pintar yang
disebutkan di atas. Peringkat kota-kota menengah Eropa (Giffinger et al., 2007)
dan, di Italia, dalam dua studi peringkat baru-baru ini yang berjudul iCity Rate
(Forum PA, 2012) dan infrastruktur Citta` per la crescita (Cittalia dan Siemens,
2012). Dalam semua kasus ini, penggunaan seperangkat beberapa indikator
statistik telah mengurangi masalah pembangunan perkotaan yang pintar ke satu
nomor yang dapat diatur secara linier misalnya, dengan menetapkan posisi
relatif kota Bari (ke-69, di iCity Rate) dibandingkan dengan Pisa (ke-10).
Meskipun analisis indikator yang mengukur kinerja kota niscaya dapat menjadi
latihan yang berguna bagi ilmuwan sosial dan pembuat kebijakan, membuat
bagan memperkenalkan dua elemen pemerintahan yang relevan.
Merging Public and Private in the Pursuit of the Smart City adalah
Wacana Kota Pintar yang membuka cakrawala baru dalam hubungan
bermasalah antara sektor publik dan swasta dalam pengelolaan kota (lihat
Deakin dan Al Waer, 2011). Di kota-kota Italia, seperti Turin (Fondazione
Torino Smart City), Genoa (Associazione Genova Smart City), Milan (Agenzia
Smart Milano), Naples (Associazione Napoli Smart City) dan Bari
(Associazione Bari Smart City), kota pintar baru 'asosiasi dan yayasan telah
diciptakan oleh koalisi aktor publik dan swasta yang muncul dengan tujuan
bersama; cukup sering koalisi ini, yang tidak dipilih secara demokratis, fokus
secara eksplisit pada investasi. Perhatikan, misalnya, judul surat kabar utama ''
Genoa mengumpulkan dana Eropa ''. Artikel tersebut menceritakan tentang
bagaimana kota Genoa 'berbudi luhur' dan akibatnya 'dipilih' sebagai salah satu
dari tiga kota pintar Uni Eropa yang ikut tender. Namun, dengan melihat lebih

5
dekat, jelas bahwa dana tidak 'dimenangkan' hanya oleh Kotamadya, namun
oleh sebuah kemitraan dengan keterlibatan besar-besaran oleh aktor supralokal
swasta, termasuk ENEL, raksasa energi Italia. Contoh lain adalah strategi Milan
Smart City yang baru dikembangkan yang mencakup partisipasi kuat Cisco
yang telah disebutkan di atas; last but not least, sangat umum untuk
menemukan berita utama koran seperti '' Siemens: siap untuk bekerja sama di
Turin Smart City ''. Memang, media tampaknya memuji kemitraan publik-
swasta sebagai aset tersendiri; Lihat saja tajuk utama: '' Kota pintar, Italia
tertinggal. Di Eropa, campuran publik-swasta sekarang bekerja ''. Tujuan dari
pertimbangan ini adalah untuk tidak mendukung visi kritis sebuah apriori
tentang peran sektor swasta dalam pengelolaan pembangunan perkotaan, namun
untuk menganalisis prasangka dan hubungan kekuasaan di balik pembangunan
sebuah pemikiran kota yang pintar. Dalam hal ini, jelas bahwa, jika modal
pribadi diperlukan, ini tidak berarti itu adalah hal yang baik, atau peraturan itu
tidak diperlukan untuk mencegah banyak aspek bermasalah dari kemitraan
publik-swasta, termasuk risiko bahwa swasta condong mendominasi arena dan
sektor publik hanya terkooptasi dalam posisi marjinal, atau risiko sektor publik
hanya mensubsidi swasta. Selain itu, seperti yang dibahas oleh Graham dan
Marvin (2001), penyediaan infrastruktur teknologi oleh pelaku swasta yang
mengejar keuntungan dapat meningkatkan fragmentasi perkotaan, seperti dalam
banyak kasus, hal itu telah menyebabkan pemisahan fungsional antara enclosure
teknologi tertutup dan ruang terpinggirkan marginal (lihat juga Minton, 2009).
The Responsibilisation of the City and the Smart Citizen membahas
wacana kota yang pintar menghasilkan tanggung jawab kota yang baru karena
menyangkut perlindungan lingkungan, peningkatan teknologi dan kualitas
hidup. Secara khusus, masalah lingkungan direklasifikasi sebagai masalah
perkotaan: ini tentu saja logis sampai tingkat tertentu, namun tidak begitu tepat
bila Anda menganggap bahwa hampir setengah populasi dunia tinggal di
lingkungan non perkotaan. Selain itu, kota dibayangkan sebagai entitas yang
bertanggung jawab secara moral terhadap masalah lingkungan (lihat Raco dan
Imrie, 2000; Laurie, 2006; Brand, 2007). Meskipun menangani masalah-
masalah ini dalam kerangka kota ini tentu bisa menawarkan wawasan asli
(Bagaimana kita bisa merancang kota yang lebih baik? Kota pintar apa yang
ingin kita tinggali?), Ini menutupi perspektif lain (seperti kemungkinan untuk
memikirkan kembali sistem kapitalis dengan cara yang sama sekali berbeda,
atau menciptakan solusi terhadap krisis kewarganegaraan yang efektif). Di
Italia, di mana sistem nasional secara jelas mengalami krisis ekonomi, salah

6
satu dampak buruk dari wacana kota pintar adalah persaingan sengit dan kejam,
bukan dalam hal solusi kreatif untuk masalah masyarakat, namun dengan
berusaha mendapatkan dana nasional dan Eropa , dengan kata lain, bagaimana
menciptakan kondisi terbaik sehingga perusahaan swasta dapat berpartisipasi
dalam proyek kota yang pintar. Selanjutnya, inilah cara dana penelitian
akademik telah diatur, karena dana semakin banyak terkait dengan proyek kota
pintar.

Penutup

Visi kota pintar telah diperkenalkan secara paksa ke dalam kebijakan


perkotaan di Italia. Makalah ini memberikan kontribusi pada literatur studi
perkotaan dengan menganalisis secara kritis konsep politik kota pintar dan
memberikan studi kasus mengenai pemerintahan perkotaan. Seperti yang
dibahas di koran, kota pintar adalah contoh dari 'kumpulan politik' (McFarlane,
2011) yang melibatkan mobilitas gagasan kebijakan di rangkaian pengetahuan
global (Cook and Ward, 2011; McCann, 2011; Peck, 2011). Kota pintar adalah
imajiner urban yang menggabungkan konsep 'kota hijau' dengan futurisme
teknologi dan memberi nama pada visi tekno-sentris kota besok. Pada saat yang
sama, kota pintar adalah kerangka kerja untuk kebijakan yang mendukung
transisi perkotaan teknologi dan ekologi, sebuah teknologi politik yang saat ini
menyebar di seluruh Eropa dan memupuk agenda politik nasional dan lokal.
Alasan mengapa kota pintar begitu populer di Eropa terutama berbasis
pada campuran berbagai kekuatan, termasuk: tersedianya sumber keuangan
Eropa yang substansial untuk mendanai restrukturisasi lingkungan kota;
kecenderungan perusahaan swasta besar untuk berinvestasi dalam proyek
digitalisasi perkotaan; pembangunan retorika yang kuat termasuk visi
penyelamatan teknologi; dan citra kota-kota yang bersih, dapat ditinggali,
berteknologi maju yang jauh dari krisis ekonomi. Alasan yang dikembangkan di
koran ini adalah bahwa wacana kota pintar mau tidak mau melibatkan geometri
baru hubungan kekuasaan yang membutuhkan produksi dan sirkulasi
pengetahuan, rasionalitas, subjektivitas dan moralitas yang sesuai dengan
pengelolaan proyek kota yang pintar. Wacana kota sebagai protagonis
pembangunan sosial, teknologi dan lingkungan (bukan negara atau masyarakat
global, seperti dalam kebanyakan wacana sebelumnya), pembangunan sebuah
sistem untuk mengukur kinerja kota-kota, promosi public- kemitraan swasta dan
pemberdayaan masyarakat lokal dan warga negara, adalah semua aspek
7
'teknologi pemerintahan di kejauhan' atau 'smartmentalisation'. Sangat
membantu untuk menunjukkan bahwa ada dua bahaya yang melekat dalam
proses ini. Yang pertama adalah bahwa, bersama dengan tipe ideal dari kota
pintar, tujuan, strategi, ideologi dan pilihan politik yang spesifik dapat disajikan
sebagai pendekatan 'alami' dan 'tidak inovatif'. Bahaya kedua adalah bahwa
penglihatan perkotaan semakin berkurang menjadi teknologi tunggal. visi
sentris tentang kota masa depan, dan ini entah bagaimana membatasi cakrawala
dari setiap pendekatan perencanaan imajinatif yang mungkin, sekaligus
membatasi penciptaan solusi alternatif untuk masalah hari ini dan besok
(mengenai kemungkinan imajinasi dan utopia, lihat Harvey, 2000; Davis, 2010).

Penerapan Smart City Di Indonesia

Penerapan Smart City di Indonesia seiring berkembangnya Teknologi


Informasi dan Komunikasi (TIK) berkembang cukup pesat, hal itu ditandai
dengan bertambahnya Pemerintah Daerah yang menggunakan Smart City
sebagai alat yang digunakan dalam kegiatan pemerintahannya sebagai
penghubung antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Hubungan yang terjadi
adalah saling bertukar informasi dan saling memberikan masukan terkait
kebijakan ataupun masalah yang terjadi di daerahnya masing-masing.
Ada beberapa daerah di Indonesia yang sudah menggunakan Smart City
dalam kegiatannya antara lain Kota Bandung, Kota Makassar, Kota Tangerang,
Kota Yogyakarta dan lain sebagainya. Masing – masing kota rata-rata
menggunakan konsep pembangunan sistem Smart City yang hampir sama, akan
tetapi perbedaan terletak pada ciri khas masing – masing daerah terutama pada
kearifan lokal masyarakat serta letak geografisnya. Perbedaan antar konsep
Smart City yang ada di Indonesia dapat dilihat dari beberapa contoh
pembahasan dari visi kota tersebut. Seperti contoh di Kota Tangerang yang
memiliki konsep Live City yang lebih condong dalam hal pemenuhan
kenyamanan hidup bagi warganya, kemudian di Yogyakarta Hasil penelitian
mengenai kajian smart city Kota Yogyakarta yaitu (1) Hasil assessment
menggunakan Boyd Cohen Smart City Wheel menunjukkan dimensi Smart
City yang menonjol di Kota Yogyakarta adalah Smart People, Smart
Environment dan Smart Living. (2) Visi Kota Yogyakarta menjadi acuan
konsep pengembangan Smart City Kota Yogyakarta yaitu pengembangan
Smart Tourism, Smart Education, Smart Urban Services dan Smart Culture
sebagai payungnya. Kemudian di Bandung sebagai sebuah kota muda dan

8
bersemangat yang berusaha untuk memperkuat reputasi pertumbuhannya
sebagai kota teknologi di Indonesia - Teknopolis. Walikota Bandung, Ridwan
Kamil, memiliki visi Bandung sebagai Smart City yang memanfaatkan
konsentrasi lembaga pendidikan tinggi dan universitasnya dan usianya yang
relatif muda.

Kesimpulan

Terminologi dari Smart City dari banyak literatur dapat di kelompokkan


menjadi dua tema besar yaitu yang pertama adalah bagaimana membuat sebuah
kota menjadi pintar dan yang kedua adalah bagaimana meningkatkan tempat di
perkotaan dengan menggunakan semua alat yang ada (everyware). Dari
perspektif tersebutlah akhirnya muncul kota-kota pintar atau Smart City dengan
segala karakteristiknya yang kemungkinan berbeda antar satu daerah dengan
daerah lain. Perbedaan tersebut terjadi karena pemahaman terminologi dari
Smart City itu sendiri yang dijabarkan berbeda oleh tiap kota, juga perbedaan
faktor – faktor utama yang turut andil dalam menentukan ciri khas sebuah Smart
City.
Ciri khas yang menonjol dari sebuah Smart City dengan kota
konvensional adalah terletak pada tersedianya data base yang lengkap, besar
dan dipadukan dengan semua infrastruktur yang menyentuh langsung kehidupan
masyarakat perkotaan. Sehingga masyarakat secara dua arah dapat
berkomunikasi secara langsung kepada Pemerintah yang dibantu penyedia
layanan informasi dan komputerisasi sebagai jembatan penghubung dalam
komunikasi keduanya.

9
Daftar Pustaka

Banyumurti, I. (2015). Bandung Smart City Roadmap, (September). Retrieved from


https://www.slideshare.net/banyumurti/bandung-smart-city-roadmap-pemkot-bandung

Kurnaedi, D. (2017). Penerapan “ Live ” Smart City Kota Tangerang, 8(1), 18–28.

Mursalim, S. W. (2017). Implementasi Kebijakan Smart City di Kota Bandung Siti


Widharetno Mursalim, 14, 126–138.

Ugm, T. P. (2016). Working paper psppr 2016 1, (1), 1–27.

Vanolo, A. (2014). Smartmentality: The Smart City as Disciplinary Strategy. Urban Studies,
51(5), 883–898. https://doi.org/10.1177/0042098013494427

10

Anda mungkin juga menyukai