Anda di halaman 1dari 6

REFRAT

SACRAL TRAUMA

Oleh :

M.M Afif G99162121

Sekar K G99141125

Pembimbing :

dr. Igin Ginting, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN BEDAH ORTHOPAEDI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
20158

1
BAB I

PENDAHULUAN

Sacrum merupakan bagian penting dari kolumna spinalis dan pelvis.


Sacrum melindungi fungsi neurologis dari lumbosacral dan menjaga kesegarisan
dari pelvis dan vertebra. Cedera pada sacrum dapat menyebabkan deformitas,
nyeri kronik, dan hilangnya fungsi ekstremitas bawah, defekasi, miksi, dan
seksual. Maka dari itu, tatalaksana dari fraktur sacral membutuhkan hasil yang
baik dari struktural dan neurologis serta pemahaman yang mendetail tentang
dekompresi saraf serta teknik rekonstruksi tulang. Derajat dari fraktur sacral
bervariasi dari insufiensi pada pasien osteopenia hingga fraktur kompleks yang
terlihat pada high-injury mechanism seperti pada kecelakaan kendaraan bermotor
atau jatuh dari ketinggian yang signifikan. Perawatan dari pasien ini harus
menyetrtakan cedera penyerta dan penyakit yang mendasari pada pasien
osteopeni. Kordinasi dari diagnostik dan perawatan antara ahli bedah tulang
belakang, ahli bedah trauma, ahli penyakit dalam, dan ahli rehabilitas medik untuk
mencapai hasil yang optimal.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN BIOMEKANIK

Sacrum merupakan bagian fungsional terendah dari vertebrae dan


memberikan tumpuan pada mobilisasi vertebra lumbar. Pergerakan
lumbosacralterjadi melalui discus intervertebralis dan facet joint. disamping
fungsinya sebagai struktur stabilisasi, persendian lumbosacral juga distabilisasi
oleh ligamen tiliolumbal yang menghubungkan prosesus transcersus pada segmen
L5 dengan krista iliaca dan ligamen sacrolumbar yang memiliki origo yang
menyambung dengan ligamen iliolumbar dan insersio pada aspek anterosuperior
pada sacrum dan persendian sacroiliaca. Struktur ini menjadikan pergerakan pada
L5–S1 lebih stabil dibandingkan pergerakan segmen lumbar diatasnya.

Sacrum memiliki penanjakan yang diseimbangkan oleh lordosis dari


lumbar, kifosis dari thorax, dan lordosis dari servikal. Sudut penanjakan sacral,
yang didefinisikan oleh sudut antara tangensial dari permukaan dorsal sacrum
dengan garis vertikal rujukan, bervariasi diantara 10 dan 90 derajat, yang biasanya
terdapat diantara 45–60 derajat. Pelvis diukur berasarkan orientasi dari
persendian lumbosacral dengan pelvis dengan nilai rata-rata 50 derajat pada
populasi umumnya. Sudut ini bermaksud sebagai penanda adanya
ketidaksegarisan dari potongan sagital dari spondilolistesis lumbar, namun juga
bernilai untuk menentukan kesegarisan dalam perawatan fraktur sacrum.

Sacrum membentuk segmen posterior dari pelvis melalui persendian


sacroiliaca. Gaya yang ditransimisikan melalui sendi lumbosacral menuju sacrum
bagian atas menyebar secara lateral dari sendi sacroiliaca hingga ke pelvis. Karena
mekanisme perpindahan beban inilah, sacrum merupakan bagian penting dari
pelvis. Secara spesifik, sacrum berfungsi sebagai bagian terpenting pada apertura

3
inferior dari pelvis, dimana orientasi sacrum terhadap ilium menjadi pengunci
pada gaya axial pada pelvis dan menstabilisasi persendian sacroiliaca. Apertura
pelvis superior berbentuk seperti pasak terbalik dengan posisinya terhadap bidang
aksial secara alami tidak stabil, dan dengan mudah terjadi pergerakan pelvis.

Sacrum sendiri teriri dari lima vertebra yang tersusun pada garis kifotik.
Dua segmen sacrum bagian atas memiliki ukuran yang sama dengan vertebra
lumbal, dan ketiga segmen bawah mengalami penyusutan ukuran yang signifikan.
Fusi intersegmen dimulai diantara dua segmen pada usia 15 tahun dan berjalan
kearah cephal hingga sacrum terfusi penuh pada usia 25 hingga 30 tahun. Variasi
anatomis dari sacrum bagian atas dapat muncul pada jenis vertebra transisional
dan displasia sacral. Bentuk dari transisional adalah sacralisasi segmen lumbar;
Sacralisasi segmen lumbar dapat berakibat pada dipslasia sacral.

Badan sacrum bagian atas yang disebut basis sacrum, memiliki densitas
tertinggi dengan segmen S1 yang berhubungan pada endplate memiliki densitas
tertinggi dari semuanya. Aspek ventral dari badan S1 yang terproyeksi anterior
dan superior disebut sebagai promontorium. Ala sacrum, bagian lateral dari
sacrum yang bersendi dengan ilium melalu artikulasi sacroiliaca, memiliki banyak
trabekulasi

SEJARAH DAN KLASIFIKASI

Terdapat banyak klasifikasi dalam pembagian CTEV, tetapi belum


terdapat satu klasifikasi yang digunakan secara universal. Pembagian yang sering
digunakan adalah postural atau posisional, serta fixed rigid. Clubfeet postural
atau posisional bukan merupakan clubfeet yang sebenarnya. Sedangkan clubfeet
jenis fixed atau rigid dapat digolongkan menjadi jenis yang fleksibel (dapat
dikoreksi tanpa operasi) dan resisten (membutuhkan terapi operatif, walaupun hal
ini tidak sepenuhnya benar menurut pengalaman dr. Ponseti). Pirani menyatakan
dua bagian: kontraktur hindfoot score untuk melihat kosongnya tapak kaki, lipatan
tumit dan score pada kontraktur tengah kaki terkait curvature dari batas lateral
kaki, lipatan medial, dan penonjolan kepala talus.

4
EVALUASI

Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. Berbagai
terori dikembangkan, termasuk vaskular, genetic virus, anatomical, mengikuti
sindrom kompartemen, faktor lingkungan, dan e faktor mekanik intra uteri.
Penelitian menunjukkan hilangnya Chromosome 2 (2q31-33)terkait dengan
clubfoot, yang merupakan gen pengkode protein sebagai regulator apoptosis.
Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu dikarenakan adanya defek
neuromuskular, tetapi banyak penelitian menyebutkan bahwa tidak ditemukan
adanya kelainan histologis. Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya
faktor poligenik mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksterna (infeksi
Rubella, penggunaan Talidomide). Atlas dkk (1980), menemukan adanya
abnormalitas pada vaskulatur kasus-kasus CTEV. Didapatkan adanya bloking
vaskular setinggi sinus tarsalis. Pada bayi dengan CTEV didapatkan adanya
muscle wasting pada bagian ipsilateral, dimana hal ini kemungkinan dikarenakan
berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa perkembangan.

KESIMPULAN

Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara lain:

a. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular


b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. faktor neurogenik
telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot
peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya
perubahan inervasi intrauterine karena penyakit neurologis, seperti stroke.
Teori ini didukung dengan adanya insiden CTEV pada 35% bayi dengan
spina bifida.
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan
ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen
yang sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur
tendon (kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringan
kolagen yang sangat padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk,

5
menemukan adanya mioblast pada fasia medialis menggunakan mikroskop
elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang
menyebaban kontraktur medial.
e. Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali
pada insersi tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal
ini dikarenakan adanya distorsi pada posisi anatomis CTEV yang membuat
tampak terlihat adanya kelainan pada insersi tendon.
f. Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan
insiden epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya
variasi yang serupa pada insiden kasus poliomielitis di komunitas. CTEV
dikatakan merupakan keadaan sequele dari prenatal poliolike condition.
Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord
anterior bayi-bayi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carlo B, Thomas A, Jens R (2011). Sacral Fractures, dalam Rothman-


Simeone: The Spine. Elsevier: 1405–1421

Anda mungkin juga menyukai