Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar

1. Pengertian

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak

kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau

semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan

fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).

Pendapat lain mengatakan bahwa BPH adalah pembesaran

progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua

dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral

dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).

Dari kedua pengertian tersebut maka penulis menyimpulkan

bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat,

bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua

komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan prostatika dan

umumnya terjadi pada pria dewasa lebih dari 50 tahun.

Reseksi Transuretra pada Prostat ( TURP ) adalah

pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat melalui

9
sistoskop atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra (Susan,

M.T, 1998: 607).

Sedangkan tokoh lain mengatakan bahwa TURP adalah

prostat obstruksi dari lobus medial sekitar uretra diangkat

dengan sistoskop atau resektoskop dimasukkan melalui uretra

( Marilynn, E.D, 2000 : 679 ).

Maka pengertian TURP menurut kesimpulan penulis adalah

pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat yang telah

menyebabkan obstruksi uretra dengan sistoskop atau resektoskop

yang dimasukkan melalui uretra.

2. Faktor - faktor yang mempengaruhi

a. Anatomi fisiologi

Kelenjar prostat terletak tepat dibawah buli – buli dan

mengitari uretra. Bagian bawah kelenjar prostat menempal pada

diafragma urogenital atau sering disebut otot dasar panggul.

Kelenjar ini pada laki - laki dewasa kurang lebih

sebesar buah kemiri, dengan panjang sekitar 3 cm, lebar

4 cm dan tebal kurang lebih 2,5 cm. Beratnya sekitar 20 gram.

Prostat terdiri dari jaringan kelenjar, jaringan stroma

( penyangga ) dan kapsul. Cairan yang dihasilkan kelenjar

prostat bersama cairan dari vesikula seminalis dan kelenjar

cowper merupakan komponen terbesar dari seluruh cairan

semen. Bahan – bahan yang terdapat dalam cairan semen sangat

10
penting dalam menunjang fertilitas, memberikan lingkungan

yang nyaman dan nutrisi bagi spermatozoa serta proteksi

terhadap invasi mikroba.

Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses

reproduksi adalah keradangan ( prostatitis ). Kelainan yang lain

seperti pertumbuhan yang abnormal ( tumor ) baik jinak

maupun ganas tidak memegang peranan penting pada proses

reproduksi tetapi lebih berperan pada terjadinya gangguan

aliran urin. Kelainan yang disebut belakangan ini

manifestasinya biasanya pada laki - laki usia lanjut

( FK UNAIR / RSUD dr. Soetomo : 19 ).

b. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen

uretra prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan

ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai

kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot

detrusor dari buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat

memompa urin keluar. Kontraksi yang terus - menerus

menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa :

hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula

dan difertikel buli - buli.

11
Perubahan struktur pada buli - buli dirasakan klien

sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower

Urinary Tract Symptom / LUTS (Basuki, 2000 : 76).

Puncak dari kegagalan kompensasi adalah

ketidakmampuan otot detrusor memompa urine dan terjadi

retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan

kemunduran fungsi ginjal ( Sunaryo, H, 1999 : 11 ).

c. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai

sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat

sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat

kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan

beberapa hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat

antara lain :

1). Dihydrotestosteron

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen

menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat

mengalami hiperplasi .

2). Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron

12
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon

estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan

hiperplasi stroma.

3). Interaksi stroma - epitel

Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth

factor dan penurunan transforming growth factor beta

menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.

4). Berkurangnya sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama

hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

5). Teori sel stem

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel

transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).

d. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara

antara lain :

1). Anamnesa

Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower

Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran

urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa

setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif

13
berupa urgensi, frekuensi serta disuria. IPSS (International

Prostate Symptoms Score) adalah kumpulan pertanyaan

yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya

LUTS. Keadaan klien BPH dapat ditentukan berdasarkan

skor yang diperoleh :

a). Skor 0 - 7 = gejala ringan.

b). Skor 8 - 19 = gejala sedang.

c). Skor 20 – 35 = gejala berat.

2). Pemeriksaan Fisik

Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan

suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada

retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin

serta urosepsis sampai syok - septik. Pemeriksaan abdomen

dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui

adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra

simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi

terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.

Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual

urin. Penis dan uretra juga diperiksa untuk mendeteksi

kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,

karsinoma maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk

menentukan adanya epididimitis. Rectal touch /

pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan

14
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan

besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui

derajat dari BPH, yaitu :

a). Derajat I = beratnya  20 gram.

b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

c). Derajat III = beratnya  40 gram.

3). Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan

kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan

umum klien. Pemeriksaan urin lengkap dan kulturnya juga

diperlukan. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting

diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.

4). Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran

urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan

uroflowmeter dengan penilaian :

a). Flow rate maksimal  15 ml / dtk = non obstruktif.

b). Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.

c). Flow rate maksimal  10 ml / dtk = obstruktif.

5). Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

a). BOF (Buik Overzich

Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.

b). USG (Ultrasonografi)

15
Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan

besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual

urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,

transuretral dan supra pubik.

c). IVP (Pyelografi Intravena)

Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan

adanya hidronefrosis. Dengan IVP, buli – buli dilihat

sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan.

Sebelum, untuk melihat adanya intravesikal tumor dan

divertikel. Sementara (voiding cystografi), untuk melihat

adanya reflux urin. Sesudah (post evacuation), untuk

melihat residual urin.

6). Pemeriksaan Panendoskop

Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli

(Sunaryo, H, 1999 : 11-21).

e. Penatalaksanaan

Modalitas terapi BPH adalah :

1). Watchful (observasi)

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan

kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien

16
2). Medikamentosa

Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan,

sedang, dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi terapi

pembedahan tetapi masih terdapat kontraindikasi atau belum

“well motivated” Obat yang digunakan berasal dari:

phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),

gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.

3). Pembedahan

Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

a). Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah

retensi urin akut.

b). Klien dengan residual urin  100 ml.

c). Klien dengan penyulit.

d). Terapi medikamentosa tidak berhasil.

e). Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :

a). Pembedahan biasa / open prostatektomi.

b). TURP.

TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut

resektoskop dengan suatu lengkung diathermi. Jaringan

kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan

dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan

dirawat dengan memakai diathermi, biasanya

17
dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit,

tergantung besarnya prostat. Selama operasi dipakai

irigan akuades atau cairan isotonik tanpa elektrolit.

Prosedur ini dilakukan dengan anastesi regional

( Blok Subarakhnoidal / SAB / Peridural ). Setelah itu

dipasang kateter nomer Ch. 24 untuk beberapa hari.

Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran

untuk spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh

pembekuan darah. Balon dikembangkan dengan

mengisi cairan garam fisiologis atau akuades

sebanyak 30 – 50 ml yang digunakan sebagai

tamponade daerah prostat dengan cara traksi selama

6 – 24 jam.Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan

ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5 kg)

pada kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh

lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan

penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga

mengakibatkan stenosis buli – buli karena ischemi.

Setelah traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan

pada paha bagian proximal atau abdomen bawah.

Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam atau

24 – 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar

jernih kateter dapat dilepas .Kateter biasanya dilepas

18
pada hari ke 3 – 5. Untuk pelepasan kateter, diberikan

antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis.

Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik, satu

atau dua hari setelah kateter dilepas (Doddy, M.S,

2000 : 6 ).

4). Alternatif lain (misalnya: TUIP, TUBD, Kriyoterapi,

Hipertermia, Termoterapi, TUNA, Terapi Ultrasonik dan

TULIP.

3. Dampak Masalah

Setiap perubahan yang terjadi selalu menimbulkan dampak. Begitu

juga dengan individu yang telah dilakukan tindakan TURP akan

mengalami perubahan baik yang mempengaruhi individu, keluarga

maupun masyarakat.

a. Dampak bagi individu

Dampak yang sering muncul pada klien pasca TURP antara

lain :

1). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena

tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya

keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan

penggunaan antispasmodik sesuai terapi dokter ( Marilynn,

E.D, 2000 : 683).

19
2). Pola nutrisi dan metabolisme

Klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak boleh makan

dan minum sebelum flatus.

3). Pola eliminasi

Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP.

Retensi urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada

kateter. Sedangkan inkontinensia dapat tejadi setelah kateter

dilepas ( Sunaryo, H, 1999: 235 ).

4). Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang

lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada

paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi

selama traksi masih diperlukan.

5). Pola tidur dan istirahat

Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat

mempengaruhi pola tidur dan istirahat.

6). Pola kognitif perseptual

Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan

Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.

7). Pola persepsi dan konsep diri

Klien dapat mengalami cemas karena kurang pengetahuan

tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP.

20
8). Pola hubungan dan peran

Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit,

maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik

dalam keluarga, tempat kerja, dan masyarakat.

9). Pola reproduksi seksual

Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi

retrograd ( Sunaryo, H, 1999 : 36 ).

10). Pola penanggulangan stres

Cemas dapat dialami klien karena kurang pengetahuan

tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali

adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien

terhadap stres tersebut.

11). Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam

menjalankan ibadahnya.

b. Dampak bagi keluarga

Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang dirawat di

rumah sakit apalagi sampai tindakan operasi akan menimbulkan

beban keluarga dalam pembiayaan, terutama bila yang sakit

adalah kepala keluarga, karena akan mempengaruhi sumber

pendapatan keluarga. Dalam keluarga dapat timbul rasa cemas

21
atau faktor psikologis lain serta terjadi perubahan peran baik

dalam pengambilan keputusan, mencari nafkah maupun

pelindung keluarga.

c. Dampak bagi masyarakat

Masyarakat disekitarnya mungkin merasa kehilangan karena

klien mengurangi interaksi sosial dengan masyarakat dimana

klien bertempat tinggal karena harus beradaptasi dengan

lingkungan baru. Apalagi kalau klien adalah orang yang

berkedudukan atau berpengaruh dalam lingkungannya.

B. Asuhan Keperawatan

Proses keperawatan merupakan proses pemecahan masalah yang

dinamis dengan menggunakan metode ilmiah secara sistematik untuk

mengenal masalah klien dan mencarikan alternatif pemecahannya dalam

rangka memenuhi kebutuhan klien guna memperbaiki dan meningkatkan

derajat kesehatan hingga tahap maksimal. Adapun tahapan dari proses

keperawatan meliputi : pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi

(Nasrul, E, 1995 : 3, 4 ).

1. Pengkajian

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang

bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar

dapat mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan

22
keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul,

E,1995 : 18 ).

a. Pengumpulan data

Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :

1). Identitas klien

Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis

kelamin, agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang

dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin

dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50

tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian

(Donna, D.I, 1991 : 1743 ).

2). Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca

TURP adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli -

buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan

faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri

( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan

(quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan,

lama, kekerapan (time).

3). Riwayat penyakit sekarang

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan

Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain :

hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal dribbling,

23
terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan

disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).

Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-

hal yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa

munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang.

4). Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan

dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes

Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi

Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko

terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11,

12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing

dan pembedahan terdahulu.

5). Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya

menurun seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu

digali .

6). Riwayat psikososial

Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya

serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP.

7). Pola – pola fungsi kesehatan

a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

24
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena

tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya

keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan

penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter

(Marilynn. E.D, 2000 : 683).

b). Pola nutrisi dan metabolisme

Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh

makan dan minum sebelum flatus .

c). Pola eliminasi

Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan

TURP. Retensi urin dapat terjadi bila terdapat bekuan

darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat

terjadi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)

d). Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien

yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24

jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak

boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.

e). Pola tidur dan istirahat

Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi

dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.

f). Pola kognitif perseptual

25
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan

Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.

g). Pola persepsi dan konsep diri

Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan

tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP.

h). Pola hubungan dan peran

Karena klien harus menjalani perawatan di rumah

sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran

klien baik dalam keluarga tempat kerja dan

masyarakat.

i). Pola reproduksi seksual

Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan

ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999 : 36

j). Pola penanggulangan stress

Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan

tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali

adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien

terhadap stres tersebut.

k). Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien

dalam menjalankan ibadahnya .

8). Pemeriksaan fisik

26
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara

lain :

a). Keadaan umum

Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran

baik, kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran

pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap

jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval

monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali

(Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).

b). Sistem pernafasan

Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami

kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi

tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari,

1989 : 40).

c). Sistem sirkulasi

Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP.

Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan

dan observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk

mengetahui masukan dan haluaran.

d). Sistem neurologi

Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi

otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB

(Oswari , 1989 : 40).

27
e). Sistem gastrointestinal

Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan

muntah (Oswari, 1989 : 40) . Kaji bising usus dan adanya

massa pada abdomen .

f). Sistem urogenital

Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami

hematuri . Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat

bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra

sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen

jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo,

H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan

cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 - 24 jam

(Doddy, 2001 : 6).

g). Sistem muskuloskaletal

Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha

yang direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi

masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo,

1997 : 21).

9). Pemeriksaan penunjang

a). Laboratorik

28
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar

hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila urin

tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi penurunan

tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin

juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum

operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum

harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila

terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin dan

kultur darah ( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997

: 21 ).

b). Uroflowmetri

Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin.

Dilakukan setelah kateter dilepas ( Lab / UPF Ilmu bedah

RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).

b. Analisa dan sintesa data

Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian

data tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun

masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara

lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan

cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi

kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko

tinggi disfungsi seksual .

c. Diagnosa keperawatan

29
Berdasarkan analisa data yang diperoleh maka dapat dirumuskan

diagnosa keperawatan pada klien BPH pasca TURP sebagai berikut

1). Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli –

buli : reflek spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah

dan / atau tekanan dari traksi.

( Marilynn, E.D, 2000 : 683 )

2). Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan

kehilangan darah berlebihan .

3). Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi

cairan irigasi (TURP).

4). Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di

buli – buli.

5). Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang

berhubungan anastesi .

6). Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang

informasi tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk

dilaporkan, perawatan di rumah dan intruksi evaluasi .

( Susan, M . T, 1998 : 609,610 )

7). Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari

TURP .

8). Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan kateter

pasca TURP .

30
9). Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan TURP.

(Barbara, C.L, 1996: 339,341)

2. Perencanaan

Rencana asuhan keperawatan adalah petujuk tertulis yang

menggambarkan secara tepat mengenai rencana tindakan yang dilakukan

terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa

keperawatan. Penyusunan rencana melibatkan klien secara optimal agar

dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terjalin suatu kerjasama dalam

rangka proses pencapaian tujuan keperawatan.

Langkah awal perencanaan adalah menetapkan prioritas diagnosa

keperawatan. Penentuan skala prioritas diagnosa keperawatan adalah

dengan menilai klien sebagai mahluk bio-psiko-sosial-spiritual

berdasarkan tingkat kebutuhan menurut Maslow dengan kategori: keadaan

yang mengancam kehidupan, mengancam kesehatan, dan persepsi tentang

kesehatan dan keperawatan (Nasrul, E.F, 1995:34-36).

a. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan

anastesi.

1). Tujuan

Pola napas tetap efektif

2). Kriteria hasil

Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas

dalam batas normal, melakukan batuk dan napas dalam tanpa

kesulitan.

31
3). Rencana tindakan dan rasional

a). Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.

Rasional: memaksimalkan ekspansi paru.

b). Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas

dalam tiap 2 jam.

Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.

c). Kaji bunyi napas tiap 4 jam.

d). Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas pada

tim medis.

e). Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis.

f). Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau.

Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola

napas.

g). Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat

untuk mengurangi nyeri.

Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu

klien melakukan latihan batuk dan napas

dalam secara efektif.

b. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan

kehilangan darah berlebihan.

1). Tujuan

32
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.

2). Kriteria hasil

Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda

-tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik,

membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.

Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan

perdarahan atau pembentukan bekuan darah

dan pembenaman kateter pada distensi buli-

buli.

b). Pantau masukan dan haluaran cairan.

Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan

penggantian.

c). Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan

atau berlanjut.

Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama

tetapi perlu pendekatan perineal. Perdarahan

kontinu / berat atau berulangnya perdarahan

aktif memerlukan intervensi / evaluasi medik.

d). Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh :

33
Merah terang dengan bekuan darah

Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan

memerlukan terapi cepat.

Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan

gelap.

Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya

berkurang sendiri.

e). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan

pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,

pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.

f). Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.

Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi

serebral.

g). Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali

kontraindikasi.

Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan

debris. Awasi dengan ketat karena dapat

mengakibatkan intoksikasi cairan.

h). Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang

rektal / enema.

Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi

terhadap dasar prostat dan peningkatan

kapsul prostat dengan resiko perdarahan.

34
i). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium

sesuai indikasi, contoh:

Hb / Ht, jumlah sel darah merah.

Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan

darah/kebutuhan penggantian.

Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi

Rasional : dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi

misalnya penurunan faktor pembekuan

darah, KID.

j). Pertahankan traksi kateter menetap, plester kateter di bagian

paha dalam.

Rasional : traksi kan membuat tekanan pada aliran

darah di kapsul prostat untuk membantu

mencegah / mengontrol perdarahan.

k). Kendorkan traksi dalam 6 - 24 jam. Catat periode

pemasangan dan pengendoran traksi, bila diperlukan.

Rasional : traksi lama dapat menyebabkan trauma /

masalah permanen dalan mengotrol urin.

l). Berikan pelunak feses, laksatif sesuai indikasi.

Rasional : pencegahan konstipasi / mengejan untuk

defekasi menurunkan resiko perdarahan

rektal-perineal.

35
c. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan

absorbsi cairan irigasi (TURP).

1). Tujuan

Keseimbangan cairan tetap terpelihara.

2). Kriteria hasil

Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total,

sadar penuh, berorientasi, dan menunjukkan tak ada

abnormalitas fungsi motorik.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi

hiponatremia.

Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.

b). Pantau masukan dan haluaran tiap 4 - 8 jam.

Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan

penggantian.

c). Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi

dan laporkan tim medis.

Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.

d). Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan

darah jika diinstruksikan.

Rasional: mencegah terjadinya retensi

d. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.

1). Tujuan

36
Retensi urin teratasi.

2). Kriteria hasil

Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku

peningkatan kontrol buli-buli.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya.

Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin.

b). Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara

konstan selama 24 jam pertama.

Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan

debris untuk mempertahankan patensi

kateter / aliran urin.

c). Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi.

Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan

perfusi ginjal untuk aliran urin.

d). Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala

retensi.

Rasional: deteksi dini terjadinya retensi.

e. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di

buli - buli.

1). Tujuan

37
Infeksi dicegah.

2). Kriteria hasil

Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda

infeksi.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan

kateter reguler dengan sabun dan air, berikan salep

antibiotik disekitar sisi kateter.

Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi /

sepsis lanjut.

b). Ambulasi dengan kantung drainase dependen.

Rasional: menghindari reflek balik urin dapat

memasukkan bakteri ke dalam buli - buli.

c). Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.

Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini.

d). Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik

berhubungan dengan peningkatan resiko

pada prostatektomi.

f. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa buli-buli: reflek

spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau

tekanan dari traksi.

38
1). Tujuan

Nyeri hilang / terkontrol.

2). Kriteria hasil

Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan

ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi

untuk situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat

dengan tepat.

3). Rencana tindakan dan rasional

a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).

Rasional: nyeri tajam, intermitten dengan dorongan

berkemih / masase urin sekitar kateter

menunjukkan spasme buli-buli, yang

cenderung lebih berat pada pendekatan

TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).

4). Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase.

Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.

Rasional: mempertahankan fungsi kateter dan drainase

sistem, menurunkan resiko distensi / spasme

buli - buli.

5). Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai

toleransi.

Rasional: menurunkan iritasi dengan mempertahankan

aliran cairan konstan mukosa buli - buli.

39
6). Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik,

pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas

terapeutik. Dorong tehnik relaksasi termasuk latihan

napas dalam, visualisasi dan pedoman imajinasi.

Rasional: menurunkan tegangan otot, memfokusksn

kembali perhatian dan dapat meningkatkan

kemampuan koping.

7). Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila

diindikasikan.

Rasional: meningkatkan perfusi jaringan dan

perbaikan edema serta meningkatkan

penyembuhan ( pendekatan perineal ).

8). Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik, contoh:

Oksibutinin klorida ( Ditropan ), B dan O supositoria.

Rasional: relaksasi otot, untuk menurunkan spasme

dan nyeri.

Propanteli bromida ( Pro-Bantanin ).

Rasional: menghilangkan spasme buli-buli oleh kerja

antikolinergik. Biasanya dihentikan 24-48

jam sebelum perkiraan pengangkatan kateter

untuk meningkatkan kontrol kontraksi buli-

buli.

40
g. Inkontinensia urin berhubungan dengan pengangkatan kateter pasca

TURP.

1). Tujuan

Inkontinensia dapat teratasi

2). Kriteria hasil

Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku

meningkatkan kontrol berkemih.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Kaji terjadinya tetesan urin setelah kateter diangkat.

Rasional: mendeteksi inkontinensia.

b). Bila terjadi tetesan :

(1). Katakan pada klien bahwa hal tersebut biasa

dan kontinen akan pulih.

Rasional : klien harus dibesarkan harapannya

bahwa itu normal.

(2).Penyuluhan latihan perineal.

Rasional : bantuan uantuk pengendalian

kandung kemih.

h. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan TURP.

1). Tujuan

Fungsi seksual dapat dipertahankan

2). Kriteria hasil

41
Klien tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun

sampai tingkat dapat diatasi

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Berikan keterbukaan pada klien/orang dekat untuk

membicarakan tentang masalah fungsi seksual.

Rasional : klien dapat mengalami cemas karena efek

bedah yang dapat mempengaruhi

kemampuan untuk menerima informasi.

b). Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi

seksual.

Rasional : impotensi fisiologis terjadi bila saraf

perineal dipotong selama prosedur

radikal : pada pendekatan lain, aktivitas

seksual dapat dilakukan seperti biasanya

selama 6 - 8 minggu.

c). Diskusikan dasar anatomi dan jujur dalam menjawab

pertanyaan klien

Rasional : saraf pleksus mengontrol aliran secara

posterior ke prostat melalui kapsul. Pada

prosedur yang tidak melibatkan kapsul

prostat, imponten dan sterilitas biasanya

tidak menjadi kosekuensi. Prosedur

bedah bukan merupakan pengobatan

42
permanen, sehingga hipertropi dapat

berulang.

d). Diskusikan tentang ejakulasi retrograd.

Rasional : ejakulai retrograd tidak mempengaruhi

fungsi seksual, tetapi akan menurunkan

kesuburan dan menyebabkan urin keruh.

e). Instruksikan latihan perineal dan interupsi / kontinu

aliran urin.

Rasional : meningkatkan kontrol otot kontinensia

urinaria dan fungsi seksual.

f). Rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi.

Rasional : masalah menetap / tidak teratasi memerlukan

intervensi profesional.

i. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi

tentang rutinitas pasca operasi, gejala untuk dilaporkan, perawatan

di rumah dan intruksi evaluasi.

1). Tujuan

Meningkatkan pengetahuan klien.

2). Kriteria hasil

Klien dan / atau keluarga mengungkapkan mengerti tentang

rutinitas pasca operasi, gejala yang harus dilaporkan,

43
perawatan di rumah, intruksi evaluasi serta demonstrasi

ulang perawatan kateter dan latihan perineal.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Pertegas perlunya asupan cairan oral yang adekuat

3000 ml / hari kecuali kontra indikasi.

Rasional: hidrasi yang optimal membantu menegakkan

kembali tonus otot buli – buli setelah

pencabutan kateter dengan merngsang miksi,

pengenceran urin dan menurunkan

kerentanan infeksi saluran kemih dan

pewmbentukan bekuan darah.

b). Ajarkan perawatan kateter :

(a). Cuci meatus urinarius dengan sabun dan air

2x / hari.

(b). Tingkatkan frekuensi pembilasan jika tampak

jelas drainase di sekitar tempat pemasangan

kateter.

Rasional: membantu mengurangi resiko infeksi saluran

kencing.

c). Pertegas pembatasan aktivitas antara lain:

(1). Hindari mengedan saat BAB, tingkatkan asupan

diit tinggi serat atau gunakan pencahar jika ada

indikasi.

44
(2).Jangan gunakan supositoria atau enema.

(3).Hindari duduk dengan kaki tergantung.

(4). Hindari mengangkat benda berat dan aktivitas

yang berat.

(5). Hindari hubungan seksual hingga

diperbolehkan ( biasanya 6 - 8 minggu setelah

pembedahan ).

Rasional: mengurangi resiko perdarahan internal.

d). Anjurkan klien melakukan hal berikut:

(1).Berjalan lama.

(2).Menggunakan tangga.

Rasional: aktivitas ini tidak menghalangi penyembuhan

tempat pembedahan.

e). Jelaskan harapan untuk mengontrol urin ketika

dicabut:

(1). Tetesan, frekuensi, urgensi mungkin terjadi pada

awal tetapi secara bertahap.

(2). Latihan perineal ( bokong tegang, tahan dan

lepaskan selama 10 - 20 menit tiap jam ) dapat

membantu mempercepat memulihkan kontrol

urin.

45
(3). Lakukan latihan sesuai toleransi, hindari latihan

yang membutuhkan kekuatan otot dan

rencanakan waktu istirahat sering.

(4). Berkemih sesegera mungkin, mencegah retensi

urin.

(5). Menghindari kafein dan alkohol dapat membantu

mencegah masalah.

(6). Hematuri transien adalah normal dan seharusnya

menurun dengan peningkatan asupan cairan.

Rasional: Kesukaran untu melanjutkan pola miksi

normal dapat berhubungan dengan

trauma leher buli-buli, ISK, atau iritasi

kateter. Drainase akan menurunkan

kontrol otot. Kafein sebagai diuretik

ringan membuatnya lebih sukar

mengontrol urin. Alkohol meningkatkan

sensasi terbakar.

f). Diskusikan nama obat, dosis, jadwal penggunaan,

tujuan dan efek samping.

Rasional: klien mengetahui nama, dosis, jadwal, tujuan

dan efek samping obat yang diresepkan.

g). Tinjau tanda dan gejala komplikasi:

(1).Ketidakmampuan berkemih lebih dari 6 jam.

46
(2).Menggigil, nyeri punggung dan demam.

(3).Peningkatan hematuri.

Rasional: deteksi awal memungkinkan intervensi cepat

untuk meminimalkan keparahan komplikasi.

(a). Ketidakmampuan berkemih menunjukkan

ISK.

(b).Merupakan gejala ISK.

(c). Adanya perdarahan.

3. Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana

keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan dengan

tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pada tahap

ini perawat menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan

hubungan antar manusia (komunikasi) dan kemampuan tehnis

keperawatan dengan berfokus pada pertahanan daya tahan tubuh,

pencegahan komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh

pemantapan hubunngan klien dengan lingkungan, implementasi pesan

tim medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan

klien.

Tindakan keperawatan dapat diberikan secara mandiri oleh

perawat, kolaborasi dengan sesama tim perawatan atau tim

47
kesehatan lainnya maupun atas dasar rujukan dari profesi lain

(Nasrul, E, 1995: 40 - 44).

Adapun tindakan yang dilakukan pada klien BPH pasca TURP

disesuaikan dengan rencana tindakan yang telah ditetapkan pada

perencanaan.

4. Evaluasi

Evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan

terencana mengenai kesehatan klien dengan tujuan yang telah

ditetapkan dan dilakukan secara berkesinambungan dengan

melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Penilaian dalam

keperawatan bertujuan untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan

klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan

(Nasrul, E, 1995: 46).

Perawatan spesifik pada klien BPH pasca TURP dievaluasi atas

dasar hasil yang diharapkan dari klien, antara lain :

a. Menunjukkan pola napas efektif, tidak terjadi perdarahan yang

berlebihan serta sindroma TURP.

b. Pola berkemih normal tanpa disertai infeksi atau komplikasi

permanen.

c. Tidak ada pengalaman nyeri atau tekanan yang berkepanjangan.

d. Mampu menjelaskan kembali penjelasan perawat tentang

pembatasan aktivitas, diit serta tanda dan gejala komplikasi.

48
Dan memperagakan perawatan kateter serta latihan kontrol

berkemih.

e. Menunjukkan penyesuaian psikososial yang disebabkan karena

disfungsi seksual.

DAFTAR PUSTAKA

Alif, S., 1995. Benigne Prostate Hiperplasia, Makalah. Surabaya.

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Data Urologi Impatient, 1999. SMF Urologi RSUD. dr. Soetomo. Surabaya.

Effendi, N., 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Hardjowidjoto, S.
1993. Anatomi Fisiologi Traktus Urogenital. Surabaya, Program Studi
Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD. dr.
Soetomo.
1999. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya, Airlangga University
Press.

Ignatavicus, D.D and Marilyn, F.B., 1991. Medical Surgical Nursing : A


Nursing Procces Approach. International Edition. Philadelpia, W.B
Saunders Company.

Kirby, R, John F.P, Michael, K, Andrew, F.P and Louis, J.D., 1994. Shared
Care For Prostatic Disease. Oxford, ISIS Medical Media.

Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya,
Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.

Lismidar, H., 1989. Proses keperawatan. Jakarta, Universitas Indonesia.

49
Ndraha Taliziduhu, Dr., 1985. Research : Teori, Metodologi, Administrasi.
Jakarta, PT. Bina Aksara. Anggota IKAPI.

Oswari, Dr. 1989. Bedah Dan Perawatannya. Jakarta, PT. Gramedia. Anggota
IKAPI.

Soebandi, D.M., 2001. Benign Prostate Hyperplasia : Permasalahan,


Perawatan Dan Pembedahan. Seminar Keperawatan. Surabaya, SMF
Urologi Lab. Ilmu Bedah RSUD. dr. Soetomo.

Surabaya Post. Tanggal 7 Juni 2001. Hal. 20. Kolom 2, BPH, Pembesaran
Prostat Yang Tak Terelakkan.

Tucker, S.M., Marry, M.C, Eleanor, V, Paquette, M and Fyfe, W., 1998.
Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosis Dan
Evaluasi. Volume III. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997. Standar Asuhan Keperawatan


Penyakit Bedah. Surabaya, Bidang Perawatan RSUD. Dr. Soetomo.

50
51

Anda mungkin juga menyukai