Anda di halaman 1dari 22

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. HM
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 58 Tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Mangundikaran
No. RM : 08111773
Tanggal Masuk RS : 12/12/2017
Tanggal Pemeriksaan : 12/12/2017

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama : Mual & Muntah
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Nganjuk pada tanggal 12 desember 2017 dengan
keluhan mual muntah sejak 1 minggu yang lalu, pasien mual muntah jika diberi
makan atau minum. Selain mual muntah pasien juga mengeluhkan demam,
demam terutama saat malam hari. Pasien lemas dan terlihat pucat. Pasien juga
mengeluh sulit tidur , BAB (+) Normal, BAK sedikit, tidak ada kencing darah.
Sesak saat beraktivitas (+), kaki bengkak.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi (+) , DM(-)
4. Riwayat Pengobatan
Belum pernah berobat sebelumnya
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti ini
6. Riwayat Kebiasaan

1
Pasien mempunyai kebiasaan minum minuman berenergi sejak beberapa tahun
terakhir.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
Nadi : 80 x/menit
RR : 24 x/menit
Temperatur : 37.2 ºC
Tekanan darah :180/100mmhg
Berat Badan : 60 Kg
Status Generalis
Kepala : Bentuk normochepal, rambut hitam lurus
Mata : Konjungtiva palpebral pucat (+/+), sclera ikterik (-), pupil ishokor
3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), secret (-/-)
Telinga : Deformitas (-), secret (-/-), membrane timpani intact
Hidung : Deformitas (-), deviasi septum (-), secret (-/-), epistaksis (-)
Mulut : Biru pucat, kering, Sariawan (+), sianosis(+)
Tenggorokan : Uvula normal, faring simetris, tidak hiperemi
Leher : Bentuk simetris, trachea ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba
Thorax :
a. Pulmo
I : Dinding dada simetris, deviasi trakhea (-), vena jugularis (-
), retraksi (-), kontraksi otot bantu pernapasan (-)
P : Fremitus vocal simetris, fremitus raba simetris
P : Sonor pada kedua lapang paru
A: Suara nafas vesikuler, wheezing (-), rhonki (+)
b. Jantung
I : Iktus kordis dalam batas normal
P : Iktus kordis dalam batas normal
P : Batas jantung dalam batas normal
A : S1/S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :

I : Flat, soefl, jejas (-)

A: BU (+) Normal, meteorismus (-)

2
P : Nyeri tekan (+), Pembesaran Hepar (-), H/L tidak teraba

P : Timpani

Extremitas : Edema ekstremitas bawah, akral dingin (+)

Genitalia : Tidak dievaluasi

Anus : Tidak dievaluasi

Status Neurologis

GCS : 4/5/6

Refleks cahaya : +/+

Meningeal sign : Kaku kuduk (-), lasegue (-), Kernig (-), Brudzinski (-)

Refleks Fisiologis : dbn

Refleks patologis : Babinski -/- Chaddock -/-

Openheim -/-

Gordon -/-

3
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
HEMATOLOGI
Tanggal 14 Desember 2017

4
E. FOLLOW UP
Tanggal Follow Up

12/12/2017 S : Pasien datang ke IGD RSUD Nganjuk pada tanggal 12


desember 2017 dengan keluhan mual muntah sejak 1
minggu yang lalu, pasien mual muntah jika diberi makan
atau minum. Selain mual muntah pasien juga mengeluhkan
demam, demam terutama saat malam hari. Pasien lemas dan
terlihat pucat. Pasien juga mengeluh sulit tidur , BAB (+)
Normal, BAK sedikit, tidak ada kencing darah. Sesak saat
beraktivitas (+), kaki bengkak.
O : KU lemah
GCS : 456
RR: 24x/menit, N: 96x/menit, Suhu: 37.0ºC
BB : 60 kg , Usia: 58 tahun, Tensi: 200/100 mmhg,
GDA:150
K/L: a(+)/i(-)/c(-)/d(-)
Thorax: P: Ves +/+, Rhonki -/-, Whe -/-.
C: S1 S2 tunggal reguler ,murmur (-), Gallop (-)
Abdomen: BU (+), flat (+), met (-)
Ekstremitas: Akral dingin (+), edema (+)
A : CKD stage V + Anemia + HT grade II
P : Inf. PZ 7 tpm
Inj. Furosemide 2 x 1amp
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
Transfusi PRC 1 kolf per hari sampai HB>10
Episan syr 3 x C1
Ketocid 3 x 1
Candesartan 16 mg 0-0-1
Amlodipin 10mg 1-0-0

5
13/12/2017 S : Pasien mengelus lemas, mual (+), pusing(+), perut terasa
kembung, kaki bengkak, sesak (-)
O : KU lemah
GCS : 456
RR: 20x/menit, N: 96x/menit, Suhu: 36.7ºC
BB : 60 kg , Usia: 58 tahun, Tensi: 220/100 mmhg,
GDA:153
K/L: a(+)/i(-)/c(-)/d(-)
Thorax: P: Ves +/+, Rhonki -/-, Whe -/-.
C: S1 S2 tunggal reguler ,murmur (-), Gallop (-)
Abdomen: BU (+), flat (+), met (-)
Ekstremitas: Akral dingin (+), edema (+)
A : CKD stage V + Anemia + HT grade II
P : Inf. PZ 7 tpm
Inj. Furosemide 2 x 1amp
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
Transfusi PRC 1 kolf per hari sampai HB>10
Episan syr 3 x C1
Ketocid 3 x 1
Candesartan 16 mg 0-0-1
Amlodipin 10mg 1-0-0
Concor 2,5 mg 0-1-0

14/12/2017 S : Pasien mengelus nyeri perut (+),lemas, mual (+),


pusing(+), kaki bengkak, sesak (-), BAB dan BAK + normal
O : KU lemah
GCS : 456
RR: 20x/menit, N: 96x/menit, Suhu: 36.7ºC
BB : 60 kg , Usia: 58 tahun, Tensi: 170/100 mmhg,
GDA:130
K/L: a(+)/i(-)/c(-)/d(-)
Thorax: P: Ves +/+, Rhonki -/-, Whe -/-.
C: S1 S2 tunggal reguler ,murmur (-), Gallop (-)

6
Abdomen: BU (+), distended (+), met (-)
Ekstremitas: Akral hangat (+), edema (+)
A : CKD stage V + Anemia + HT grade II
P : Inf. PZ 7 tpm
Inj. Furosemide 2 x 1amp
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
Transfusi PRC 1 kolf per hari sampai HB>10
Episan syr 3 x C1
Ketocid 3 x 1
Candesartan 16 mg 0-0-1
Amlodipin 10mg 1-0-0
Concor 2,5 mg 0-1-0
Pro HD

7
BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata berbentuk mirip kacang, sebagai bagian
dari system urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran(terutama urea) dari darah dan
membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Progresivitas penurunan fungsi ginjal
berbeda-beda, yaitu dapat berkembang cepat atau lambat. Penyakit ginjal kronik adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan adanya kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa
kelainan structural atau fungsional dengan penurunan laju filtrasi glomerulus dengan etiologi
yang bermacam-macam, disertai kelainan komposisi darah atau urin dan kelainan dalam tes
pencitraan. Secara laboratorik dinyatakan penyakit ginjal kronik apabila hasil pemeriksaan
klirens kreatinin <15 mg/dl. (Prima Astiawati, 2008).
Penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar
10% setiap tahun. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan
prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100-150/ 1 juta penduduk dan 200-
225/ 1 juta penduduk. (Prima Astiawati, 2008). Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses
patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1,2
Frekuensi penyakit ginjal kronik cenderung terus meningkat setiap tahun di seluruh
dunia. Studi populasi di empat kota yakni Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Bali yang
melibatkan sekitar 10.000 pasien dengan metode Modification Diet in Renal Disease (MDRD)
menunjukkan bahwa prevalensi PGK sebesar 8,9 % penduduk Indonesia.3
Penyebab gagal ginjal kronik tersering dibagi menjadi 8 kelas : 1. infeksi
tubulointerstisial : pielonefritis kronik ; 2. peradangan : glomerulunefritis; 3.
hipertensi : nefrosklerosis, stenosis arteri renalis; 4. gangguan jaringan ikat : LSE, sklerosis
sistemik 5. kongenital : penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal 6. metabolik :
diabetes melitus, gout, dll 7. nefropati toksik : nefropati timah 8.nefropati obstruktif : batu
ginjal, hiperplasi prostat, tumor.4

8
Hipertensi merupakan faktor pemicu utama terjadi penyakit ginjal akut maupun
penyakit ginjal kronik. Bahkan, hipertensi merupakan penyebab kejadian gagal ginjal tahap
akhir, kedua terbanyak setelah diabetes mellitus. Penyakit ginjal yang disebabkan karena
hipertensi disebut nefropati hipertensi (HNS), terjadi karena kerusakan vaskularisasi di ginjal
oleh adanya peningkatan tekanan darah akut maupun kronik.5
Untuk memastikan diagnosa diperlukan biopsi ginjal yang sangat jarang menimbulkan
komplikasi. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya
dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal yang akan mengubah pengobatan atau prognosis. Pada
sebagian besar pasien, diagnosis ditegakkan berdasar pengkajian klinik yang lengkap dengan
memperlihatkan faktor etiologi.7
Terapi pada penyakit ginjal kronik terdiri dari terapi konservatif, simtomatik dan terapi
pengganti ginjal. Terapi konservatif bertujuan untuk memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit. Terapi simptomatik untuk menangani
keluhan sesuai dengan gejala yang dialami pasien. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada
penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

9
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Gagal Ginjal Kronik


A. Definisi
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the
National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal
kronis sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60
mL/min/1.73 m2 selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu
kerusakan massa ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke
arah suatu kemunduran nilai dari GFR.
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa

penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

 Kelainan patologik

 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan

pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh
nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal
kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal
yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang
ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal,
stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah
gagal ginjal
B. Klasifikasi
Menurut KDOQI, ada 5 tingkatan atau stage dari CKD seperti yang ditunjukkan
oleh table 6 dibawah ini :
(The Renal Association, 2010)

10
Tabel 6 KDOQI stages of kidney diseases

GFR Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal

(ml/min/1,73 m2) Dengan HT Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT

> 90 1 1 HT Normal

60 – 89 2 2 HT dengan Penurunan GFR

penurunan GFR

30 – 59 3 3 3 3

15 – 29 4 4 4 4

< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5

Suffixes:
p suffix:tambahan p pada tiap tingkatan (misal 3Ap, 4p) menunjukkan adanya
proteinuria

11
T - : tambahan T pada tiap tingkatan (misalnya 3AT) mengindikasikan bahwa
pasien telah menjalani transplantasi ginjal.
D -: tambahan D pada tingkatan/stage ke 5 (misalnya. 5D) mengindikasikan bahwa
pasien sedang menjalani Dialisis.

C. Etiologi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia.
Tabel 5. Penyebab gagal ginjal di Indonesia

D. Manifestasi Klinis
Ada beberapa manifestasi klinik gagal gagl ginjal kronik : ( Schrier RW, 2003)
1. Gangguan keseimbangan elektrolit : hipernatremia, hiperkalemia
2. Asidosis metabolic (ditemukan jika LFG<25%)
3. Gangguan metabolism karbohidrat dan lemak
4. Anemia normokrom mormositer
5. Hipertensi
6. Gangguan neurologi
7. Osteodistrofi ginjal
8. Gangguan pertumbuhan
9. Gangguan perdarahan
E. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional
sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang

12
diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif10.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal akan
memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut.
Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia1,3.
Pada stadium yang paling dini pada penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), dalam hal ini basal LFG masih normal atau malah
meningkat3. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi
keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan
tanda-tanda uremia seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya10. Sindrom uremia juga
bisa menyebabkan asidosis metabolik akibat ginjal tidak mampu mengekskresi asam
(H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam akibat tubulus ginjal tidak mampu
mengekskresi ammonia (NH3-) dan mengabsorbsi natriumbikarbonat (HCO3-)9.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.
Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya
meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui
glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan kadar serum kalsium
menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathhormon dari
kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun yang
menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang9,10.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
napas, maupun infeksi saluran cerna, akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti
hipovolemia atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium
dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
13
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.1
F. Diagnosis
a. Laboratorium
1. LED: meninggi, yang diperberat oleh adanya anemia, dan hipoalbuminemia.
Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosi yang rendah.
2. Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3. Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya terjadi
pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya dieresis.
4. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin
D3 pada GGK.
5. Phosphat alkaline meninggi akibat gangguan metabolism tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang
6. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan
metabolism dan diet rendah protein.
7. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal ginjal
(resitensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
8. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolism lemak, disebabkan peninggian
hormone insulin dan menurunnya lipoprotein lipase.
9. Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang menurun,
BE menurun, HCO3 menurun, PCO2 menurun, semuanya disebabkan retensi
asam-asam organic pada gagal ginjal.
b. Pemeriksaan lain
1. Foto polos abdomen: untuk menilai bentuk dan besar ginjal (adanya batu atau
adanya suatu obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab
itu penderita diharapkan tidak puasa.
2. IVP (Intra Vena pielografi): untuk menilai system pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu,
misalnya usia lanjut, diabetes mellitus, dan nefropati asam urat.

14
3. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginajl, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih,
dan prostat.
4. Renogram, untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
5. EKG, untuk melihat kemungkina hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

G. Penatalaksanaan
1. Stage 1 dan 2
Pada CKD stage 1 fungsi ginjal sebenarnya normal tapi terdapat beberapa tanda
adanya kelainan pada ginjal. CKD stage 2 ditandai dengan menurunnya sebagian
fungsi ginjal, GFR 60-89mls/min/1.73m2
Pengkajian Awal pada CKD stage 1+2:
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi resiko peningkatan kelainan
ginjal pada klien, dan untuk mengurangi resiko terkait. Yang perlu dikaji adalah
a. Hematuria
b. Proteinuria
Jika pengkajian pertama menemukan adanya peningkatan kreatinin maka
penting bagi kita untuk memastikan kestabilan nilainya. Ulangi test 14 hari
berikutnya.
Managemen CKD stage 1+2 :
Dalam 12 bulan pencapaian yang harus didapat adalah :
a. Kreatinin : perubahan signifikan pada eGFR telah ditentukan sebagai short-
term eGFR fall >15% atau [creatinine] meningkat >20%; atau yang terbaru
berdasar NICE guideline adnya kehilangan GFR 1y dari 5ml/min, atau
kehilangan dalam 5y dari 10ml/min.
b. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
c. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
d. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
2. Stage 3
15
Dalam CKD stage 3 ini nilai eGFR 30-60%: eGFR 45-59 (3A) atau 30-44 (3B).
Pengkajian awal CKD stage 3
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika
GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 3
Dalam 6 sampai 12 bulan targetnya adalah :
a. Creatinine and K :pertimbangkan turunnya nilai eGFR yang tib-tiba >25%
sebagai ARF. NICE menyarankan untuk meminta advis dari specialist ketika
GFR turun lebih 1y dari 5ml/min, atau 5y dari 10ml/min.
b. Hb – bila di bawah 10 g/l, terapi spesifik perlu dilakukan. Hb turun secara
progresif mengindikasikan turunnya GFR.
c. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekana darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
d. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
e. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
f. Immunization - influenza dan pneumococcal
g. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan
untuk mencegah nephrotoxic drugs
3. Stage 4+5
Tanda CKD stage4 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang parah, 15-30% (eGFR
15-29ml/min/1.73m2). Tanda CKD stage 5 adalah adanya penurunan fungsi ginjal yang
sangat parah (endstage atau ESRF/ESRD), <15% (eGFR kurang dari 15 ml/min).
Pengkajian awal CKD stage 4
a. Pengakajian klinis : khususnya untuk sepsis, gagl jantung, hipovolemi,
memeriksa adanya pembesaran kandung kemih

16
b. Review ulang medikasi: periksa apakah diperlukan perubahan dosis obat ketika
GFR terjadi penurunan, untuk mencegah nephrotoxic drug.
c. Tes Urin : adanya hematuria atau proteinuria menunjukkan adanya kelainan
ginjal yang progresif
d. Tes darah : Ca, PO4, Hb
e. Pencitraan: perlu dilakuakan bila klien diindikasikan adanya obstruksi pada
sistem ginjal
Manajemen CKD stage 4 dan 5
Dalam 3 bulan :
a. Kretainin dan K : waspadai hiperkalemia
b. Hb : Hb rendah, waspadai penyebab lain selain ginjal
c. Ca dan PO4 : obat oral phospat seringkali dibutuhkan
d. Urinary protein for ACR or PCR : pertahankan nilai ACR 30 atau PCR 50 bagi
klien dengan tekanan darah yang tinggi(dan suffix 'p' pada CKD stage)
e. Tekanan darah: maksimal 140/90 (130-139/90), atau maksimal 130/80 (120-
129/80) bagi pasien dengan proteinuria: urinary ACR>30 atau PCR>50.
f. Resiko Kardiovaskular : berikan eduksi dalam hal kebiasaan merokok, olahraga
teratur dan gaya hidup.
g. Immunization - influenza dan pneumococcal, dan imunisasi Hepatitis B jika
transplantasi ginjal akan dilakukan
h. Medication review – review teratur terhadap jenis-jenis obat yang diberikan untuk
mencegah nephrotoxic drugs
i. Jika klien osteoporosis: jangan menggunakan bisphosphonates karena bisa
mengarah ke renal osteodystrophy.

Gambar 2. CKD stages


Penatalaksanaan Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permiabel. Membran ini
dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis yaitu proses
berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permiabel. Terapi hemodialisa
merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,
hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel sebagai

17
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan
ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2001).
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap
akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita.
Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia
penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien
tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal
(Wijayakusuma, 2008).
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja
sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif
dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein
akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala
(Brunner & Suddarth, 2001).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif
serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet
untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat
diperbaiki meskipunbiasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan
protein, natrium, kalium dan cairan (Brunner & Suddarth, 2001).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan antihipertensi)
harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan
jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Brunner & Suddarth,
2001).
Indikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisa
Pada umumya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju
filtrasi glomerulus ( LFG ) sudah kurang dari 5 mL/menit, sehingga dialisis dianggap baru perlu
dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/Dl
d. pH darah < 7,1
e. Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
18
f. Fluid overloaded (Shardjono dkk, 2001).
Menurut Al-hilali (2009), walaupun hemodialisa sangat penting untuk menggantikan
fungsi ginjal yang rusak tetapi hemodialisa juga dapat menyebabkan komplikasi umum berupa
hipertensi (20-30% dari dialisis), kram otot (5-20% dari dialisis), mual dan muntah (5-15% dari
dialisis), sakit kepala (5% dari dialisis), nyeri dada (2-5% dialisis), sakit tulang belakang(2-5%
dialysis), 5% dari dialisis), rasa gatal (5% dari dialisis) dan demam pada anak-anak (<1% dari
dialisis). Sedangkan komplikasi serius yang paling sering terjadi adalah sindrom
disequilibrium, arrhythmia, tamponade jantung, perdarahan intrakaranial, hemolisis dan
emboli paru.
Analisa Anamnesa
Data Etiologi Masalah
TD 180/100 mmHg Sindrom uremik Penurunan curah jantung
- Nadi perifer teraba ↓
dan cepat Asidosis metabolic

Hipertensi sitemik

Beban kerja jantung ↑

Curah jantung ↓
- Ureum 50 mg/dl Aliran darah ginjal ↓ Gangguan keseimbangan
(normal: 8-18 mg/dl) ↓ cairan dan elektrolit
Destruksi struktur ginjal

GFR ↓

Penyerapan elektrolit di
tubulus terganggu

Penumpukan toksik uremia,
hiponatremia, dan
hiperkalemia
Pasien mengatakan mual, Sindrom uremik Perubahan nutrisi kurang
tidak nafsu makan muntah. ↓ dari kebutuhan tubuh
porsi makan sedikit dan tidak Ureum pada saluran cerna
pernah habis, hanya 3 sendok ↓
makan Peradangan mukosa saluran
cerna

Stomatitis, ulkus lambung
Mual, muntah

Anoreksia
DS: - pasien mengeluh nafas Sindrom uremik Gangguan pola nafas tidak
terasa seperti sesak ↓ efektif

19
DO:- RR 24 x/menit Asidosis metabolic

Hb↓

Distribusi O2 ↓

Sesak
-nadi teraba cepat RAAS ↑ Gangguan perfusi jaringan

- Ekstremitas pucat, Pelepasan Angiotensin II
basah, dan dingin ↓
Vasokonstriksi pembuluh
darah

nadi cepat-lemah , pucat,
akral dingin, basah
Px berbaring ditempat tidur Sindroma uremik Intoleransi aktivitas
- Kebutuhan pasien ↓
sebagian besar Ureum pada jaringan otot
dibantu oleh ↓
keluarga. Oksigenasi otot ↓

Restless leg sindrom

Letargi (kelemahan)

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1035-1040.
2. Brenner BM, Lazarus JM. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13.
Jakarta: EGC; 1435-1443.
3. Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
4. Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit
Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
5. Adamson JW (ed). 2005. Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias in
Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th edition vol 1. McGraw-Hill Companies;
586-92.
6. Basuki BP. 2011. Dasar-dasar Urologi Edisi 3. Jakarta: CV Sagung Seto; 21-40.
7. National Kidney Foundation. 2002. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kidney Dis; 39:1-266.
8. Prodjosudjadi W dan SuhardjonoEthn A. 2009. End-Stage Renal Disease In Indonesia:
Treatment Development. Ethnicity & Disease; 19: 33-36.
9. Andrew S, et al. 2008. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Adults.
American Academy of Family Physicians; Vol 70: 869-75.
10. National Kidney Foundation. 2007. K/DOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical
Practise Recommendations for Diabetes and Chronic Kidney Disease. American Journal of
Kidney Disease; Vol 49(2):1-180.
11. American Journal of Kidney Disease. 2006. Hemodialysis Guidelines. Diakses dari
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/pdf/12-50-0210_JAG_DCP_Guidelines
HD_Oct06_SectionA_ofC.pdf
12. Astiawanti, Prima. 2008. Perbedaan Pola Gangguan Hemostasis Antara Penyakit Ginjal
Kronik Prehemodialisis Dengan Diabetes Mellitus dan Non Diabetes Mellitus. Diakses
dari http://www.pernefri.org/1-kamus-ginjal.php
13. Bonventre, Joseph, MD, PhD. Pathophysiology of Acute Kidney Injury. Nephrology rounds
(2007), Volume 6 Issue 7.
14. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of internal medicine. Ed
16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
15. Effendi, Ferri. 2008. Asuhan Keperawatan Acute kidney injury.
http://indonesiannursing.com/2008/07/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-akut/
16. Hadi, Sjahfiri. 1996. Penatalaksaan Acute kidney injury. Dexa Media, No. 4, Vol.9,
Oktober-Desember 1996. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/94962734.pdf.
17. Hudak dan Gallo.1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume 2. Edisi 6.
Jakarta: EGC
18. J. M Lopez Novoa et al. Common Pathophysioogical Mechanism Of Chronic Kidney
Disease : Therapeutic Perspectives. Pharmacology & therapeutic 128 (2010) 61-81
19. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for
change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.
20. Mohani CI. Diuretika pada kasus dengan oligouria. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH,
editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium
on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.9-10.

21
21. Molitoris BA, Levin A, Warnock DG, et al; Acute Kidney Injury Network. Improving
outcomes from acute kidney injury. J Am Soc Nephrol. 2007;18(7): 1992-1994.
22. National Kidney Foundation. 2010. About CKD Guide. Diakses dari
http://www.kidney.org/atoz/atozcopy.cfm?pdflink=AboutCKDGuidePatFam.pdf
23. National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice guidelines for dyalisis adequaly.
Am J Kidney Dis. 1997:567-5136.
24. Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2012. Acute kidney injury .
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0
&pdf=&html=07110-jlqk257.htm
25. Roesli R. Kriteria “RIFLE” cara yang mudah dan terpercaya untuk menegakkan diagnosis
dan memprediksi prognosis gagal ginjal akut. Ginjal Hipertensi. 2007;7(1):18-24.
26. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest.2004;114:5-14.
27. Schrier RW. Renal and Electrolyte Disorders. 6th edition. Lippincolt Williams and
Willkins;2003
28. Scott, Eric. 2008. Identifying Acute Kidney Injury In High Risk Patients. AGE Health MR
Publication : Scotland
29. Sinto, Robert, Ginova Nainggolan. 2010. Acute Kidney Injury :Pendekatan Klinis dan Tata
Laksana. Majalah Kedokteran Indonesia Volume 6p Nomor : 2 Pebruari 2010
30. Sja’bani M. Penggunaan manitol: dampaknya pada ginjal. Dalam Dharmeizar, Marbun
MBH, editor. Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and
symposium on hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.21-22.
31. Sutarjo B. Poliuria pada gagal ginjal akut. Dalam Dharmeizar, Marbun MBH, editor.
Makalah lengkap the 8th Jakarta nephrology & hypertension course and symposium on
hypertension. Jakarta: PERNEFRI; 2008.p.53-9.

22

Anda mungkin juga menyukai