CG Sap 4 Orang

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 21

Corporate Governance

GCG di Dunia, GCG di Asia, GCG di Indonesia

Oleh Kelompok 4

Gusti Ayu Rai Surya Saraswati (1306305029)


Ni Made Arum Sucahyani (1306305034)
Ida Bagus Gede Putra Pradnyana (1306305036)
I Wayan Nico Setiawan (1306305038)
Rio Surya Wijaya Theda (1306305187)

Program Reguler
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
Denpasar

1
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-
Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah dengan judul “GCG di dunia, Asia, dan
Indonesia".

Pembuatan makalah ini bukan semata-mata atas usaha penulis saja, melainkan karena
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang membantu dalam kelancaran penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari saudara pembaca sekalian untuk
kemajuan makalah ini di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, Oktober 2015

Penulis

2
Daftar Isi

Halaman Judul

Kata Pengantar ................................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 GCG di Dunia ......................................................................................................... 3


2.1.1 GCG di Amerika Serikat ............................................................................. 6
2.1.2 GCG di Inggris ............................................................................................ 7
2.1.3 GCG di Jerman............................................................................................ 8
2.1.4 GCG di Perancis.......................................................................................... 8
2.2 GCG Asia ...................................................................................................................... 9

2.3 GCG di Indonesia ......................................................................................................... 13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 16

3.2 Saran ............................................................................................................................. 17

Daftar Pustaka

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good Corporate
Governance (GCG) kian populer. Tak hanya populer, istilah tersebut juga ditempatkan di
posisi terhormat. Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk
tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan
bisnis global. Kedua, krisis ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini
muncul karena kegagalan penerapan GCG (Daniri, 2005). Pada tahun 1999, kita melihat
negara-negara di Asia Timur yang sama-sama terkena krisis mulai mengalami pemulihan,
kecuali Indonesia. Harus dipahami bahwa kompetisi global bukan kompetisi antarnegara,
melainkan antarkorporat di negara- negara tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau
terpuruk, pulih atau tetap terpuruknya perekonomian satu negara bergantung pada korporat
masing-masing (Moeljono, 2005). Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa
korporat kita belum dikelola secara benar. Dalam bahasa khusus, korporat kita belum
menjalankan governansi (Moeljono). Survey dari Booz-Allen di Asia Timur pada tahun
1998 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks corporate governance paling rendah
dengan skor 2,88 jauh di bawah Singa- pura (8,93), Malaysia (7,72) dan Thailand (4,89).
Rendahnya kualitas GCG korporasi-korporasi di Indonesia ditengarai menjadi kejatuhan
perusahaan- perusahaan tersebut. Konsultan manajemen McKinsey & Co, melalui
penelitian pada tahun yang sama, menemukan bahwa sebagian besar nilai pasar
perusahaan-perusahaan Indonesia yang tercatat di pasar modal (sebelum krisis) ternyata
overvalued. Dikemukakan bahwa sekitar 90% nilai pasar perusahaan publik ditentukan
oleh growth expectation dan sisanya 10% baru ditentukan oleh current earning stream.
Sebagai pembanding, nilai dari perusahaan publik yang sehat di negara maju ditentukan
dengan komposisi 30% dari growth expectation dan 70% dari current earning stream, yang
merupakan kinerja sebenarnya dari korporasi. Jadi, sebenarnya terdapat ”ketidakjujuran”
dalam permainan di pasar modal yang kemungkinan dilakukan atau diatur oleh pihak yang
sangat diuntungkan oleh kondisi tersebut. Perhatian terhadap corporate governance ter-

4
utama juga dipicu oleh skandal spektakuler seperti, Enron, Worldcom, Tyco, London &
Commonwealth, Poly Peck, Maxwell, dan lain-lain. Keruntuhan perusahaan-perusahaan
publik tersebut dikarenakan oleh kegagalan strategi maupun praktek curang dari
manajemen puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang cukup lama
karena lemahnya pengawasan yang independen oleh corporate boards.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana perkembangan GCG di dunia?
1.2.2 Bagaimana perkembangan GCG di Asia?
1.2.3 Bagaimana perkembangan GCG di Indonesia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui perkembangan GCG di dunia.
1.3.2 Untuk mengetahui perkembangan GCG di Asia.
1.3.3 Untuk mengetahui perkembangan GCG di Indonesia.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 GCG di Dunia


Pembahasan konsep corporate governance dari perspektif keuangan dengan
menggunakan pendekatan agency theory. Agency theory membahas bagaimana mekanisme
corporate governance, seperti komite audit, kompensasi manajemen, dan sebagainya,
dipergunakan untuk menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajemen
perusahaan. Konsep ini berkembang terus mengikuti perkembangan pengelolaan perusahaan.
Tahun-tahun terakhir memperlihatkan adanya perhatian yang meningkat terhadap issue
tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility atau sering disingkat
sebagai CSR). Ketakutan yang meningkat atas dampak-dampak lingkungan dari pemanasan
global, terorisme dan bahaya nuklir telah meningkatkan perhatian publik pada issue sosial dan
lingkungan.
Kebijakan dan inisiatif-inisiatif lembaga internasional terhadap corporate governance
menekankan pentingnya memperluas cakupan corporate governance. Pendekatan ini tidak
lagi memfokuskan pada kepentingan pemegang saham saja, tetapi juga kepentingan dari
seluruh pemangku (stakeholders) perusahaan. Stakeholder theory semakin menarik perhatian
dunia bisnis dan kepentingan pemangku perusahaan diperhatikan secara lebih serius lagi oleh
dunia bisnis. Disamping itu, persepsi yang timbul bahwa baik shareholder maupun
stakeholder theory bertentangan, seperti diperkirakan semula, semakin mengerucut, bahwa
kedua teori tersebut sesungguhnya memiliki banyak kesamaan.
Kesadaran mengenai tanggung jawab sosial perusahaan semakin tumbuh semenjak
industrialisasi di Inggris dan menyebar ke seluruh dunia. Kondisi kehidupan dan lingkungan
kerja yang mengenaskan dari pekerja industry menggerakkan hati dan kesadaran para
pemerhati yang berasal dari kelas yang lebih tinggi untuk menulis dan menyebarluaskan
kondisi tersebut kepada masyarakat luas (Solomon dan Solomon, 2004). Corporate social
responsibility sebagai suatu disiplin ilmu, menurut Boatright (1999) bermula pada tahun
1950an. Hal itu didasarkan pada satu pendapat bahwa semakin besar suatu perusahaan,
semakin besar potensi dampaknya terhadap masyarakat, dan karenanya semakin besar

6
kebutuhan bagi perusahaan tersebut untuk melakukan usahanya secara lebih bertanggung
jawab.
Pada tahun-tahun terakhir, issue lingkungan telah menarik perhatian banyak pihak di
dunia. Istilah pelaporan lingkungan perusahaan (corporate environmental reporting, dikenal
dengan nama CER) diperkenalkan oleh organisasi Coallition for Environmentally Responsible
Economics (CERES) yang memberikan panduan awal mengenai prinsip-prinsip bagi
perusahaan yang ingin melaksanakan akuntabilitasnya terhadap lingkungan (Solomon dan
Solomon, 2004). Agenda dari CERES untuk mempromosikan peningkatan kesadaran
manajemen perusahaan terhadap lingkungan usahanya didorong oleh berbagai masalah
lingkungan yang ditimbulkan perusahaan. Yang pertama, kasus yang ditimbulkan oleh Exxon
Valdez, dimana sebuah tanker minyak menumpahkan ribuan gallon minyak mentah ke lautan
yang membunuh habitat dan makluk hidup di lautan. Yang kedua, kasus meledaknya pabrik
Union Carbide di Bhopal (India) yang menyebabkan terlepasnya gas beracun dan
menimbulkan kerusakan yang besar pada komunitas setempat (Solomon dan Solomon, 2004).
Kedua kasus tersebut menyadarkan banyak pihak mengenai aktivitas perusahaan yang
berkaitan dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Perusahaanpun mulai menyadari
bahwa reputasi mereka sangat tergantung pada bagaimana cara mereka mengelola dampak
lingkungan dan pemangku kepentingannya.
Perhatian terhadap konsep keberlanjutan (sustainability) mendorong perusahaan untuk
memfokuskan keterbukaan informasinya pada tujuan keberlanjutan (Solomon dan Solomon,
2004). Organisasi seperti Global Reporting Initiative (GRI) memproduksi pedoman pelaporan
keberlanjutan, yang memfokuskan keterbukaan pada 3 hal pokok (triple bottom line) yaitu
kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial. Berbagai inisiatif telah dilakukan untuk mendorong
perkembangan laporan berkelanjutan (sustainability reporting), salah satunya adalah yang
dilakukan oleh Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) United of Kingdom
(UK). Pada tahun 1991, ACCA UK mulai mengadakan kontes sustainability reporting award;
yang pada awalnya memfokuskan diri pada pelaporan lingkungan (environmental). Pada
tahun 2001, untuk lebih mencerminkan perubahan dalam praktik keterbukaan perusahaan di
Inggris, award diberikan kepada sustainability reporting. Pemberian penghargaan diberikan
kepada 3 kelompok yaitu: pelaporan lingkungan, pelaporan sosial, dan pelaporan
keberlanjutan.

7
Keterbukaan informasi, bukanlah satu-satunya cara bagi perusahaan memenuhi
akuntabilitasnya kepada para pemangku kepentingannya. Perusahaan juga dapat melibatkan
usahanya secara langsung dengan grup pemangku kepentingan melalui proses dialog. Dalam
hal ini, keterlibatan investor institusi dan perusahaan dimana mereka berinvestasi memiliki
peran penting dalam keterbukaan di bidang sosial, etika, dan lingkungan. CalPERS
(California Public Employees' Retirement System), yaitu lembaga investasi terbesar dan
paling berpengaruh di AS, menerapkan kriteria sosial dalam semua pengambilan keputusan
investasinya. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa investasi pada perusahaan
yang memiliki catatan yang buruk di bidang sosial dan etika mencerminkan risiko fiduciary
yang besar karena kemungkinan tuntutan hukum, boikot, dan masalah perburuhan (Monks,
2001). Investor institusi besar lainnya, Friends Provident di UK, juga memilih untuk
mengutamakan investasi yang memiliki tanggung jawab social (socially responsible
investment, yang sering disebut dengan SRI). Friends Provident percaya bahwa investasi
semacam itu akan meningkatkan return kepada para pemegang saham.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran banyak investor institusi untuk melakukan
investasi yang memiliki tanggung jawab sosial (socially responsible investment) pada
perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial (corporate social responsibilty), maka
perusahaan akan memiliki insentif yang besar untuk melakukan usahanya dengan cara yang
lebih bisa dipertanggungjawabkan secara sosial. Hal ini menunjukkan investor institusi dapat
mempengaruhi perilaku perusahaan agar melakukan usahanya secara lebih bertanggung jawab
sosial melalui pilihan investasinya. Dari sudut yang berbeda, hal tersebut juga menunjukkan
bahwa investor institusi dapat bertindak selaku pemilik perusahaan yang bertanggung jawab.
Istilah 'socially responsible investment' sendiri di Inggris lebih dikenal sebagai 'ethical
investment', yang diartikan sebagai suatu pendekatan berinvestasi yang mengintegrasikan
nilai-nilai perorangan dan masalah sosial ke dalam proses pengambilan keputusan investasi
(Scheuth, 2002). Konsep socially responsible investment, yang telah berkembang ke seluruh
dunia, didorong oleh banyak faktor. Secara garis besar, ada 2 faktor pendorong utama dari
socially responsible investment, yaitu: eksternal dan internal (Solomon dan Solomon, 2004).
Faktor eksternal pendorong socially responsible investment meliputi pemerintah, grup
pelobi, perhatian masyarakat terhadap corporate social responsibilty, insentif bagi perusahaan
untuk meningkatkan reputasi, dan asosiasi perdagangan. Faktor internal pendorong socially

8
responsible investment mencakup manajer investasi dari investor institusi tersebut, dewan
pengawas dana pensiun, perhatian manajer investasi terhadap corporate social responsibilty,
dan persyaratan keterbukaan SRI. Selanjutnya, faktor eksternal dan internal tersebut memberi
tekanan pada investor institusi untuk melaksanakan socially responsible investment. Socially
responsible investment yang dilaksanakan investor institusi tersebut, pada gilirannya, akan
mendorong perusahaan-perusahaan untuk melaksanakan corporate social responsibilty.
Tema lanjutan yang berkembang dari penerapan socially responsible investment oleh
investor institusi adalah apakah dana yang diinvestasikan secara socially responsible
investment memberikan keuntungan yang setidaknya sama dengan dana yang diinvestasikan
tanpa karakter socially responsible investment. Terdapat bukti yang kuat mengenai
peningkatan persepsi diantara komunitas investor institusi bahwa socially responsible
investment, sebagai bagian dari strategi investasi utama, meningkatkan hasil keuangan dalam
jangka panjang (Solomon dan Solomon, 2002). Namun demikian, tidak terdapat bukti empiris
yang dapat menunjukkan adanya perbedaan signifikan secara statistik dari returns yang
dihasilkan dana yang diinvestasikan secara socially responsible investment (e.g. Mallin et al,
1995).
Penjelasan di atas memperlihatkan adanya perubahan sikap dari institusi keuangan dan
bisnis untuk lebih memperhatikan tanggung jawab sosial. Hal tersebut menunjukkan
pengakuan terhadap perluasan konsep corporate governance, yang lebih mengutamakan
hubungan pemegang saham dan manajemen perusahaan, sebagaimana diusung oleh konsep
agency theory. Agenda yang lebih luas dari corporate governance, yang didasarkan pada
konsep stakeholder theory, tidak lagi dipandang sebagai suatu konsep yang tidak sejalan
dengan peningkatan nilai perusahaan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, perbedaan
diantara pendekatan shareholder theory dan stakeholder theory, pada saat ini, tidak lagi
dipandang sebesar perbedaan di masa lalu.

2.1.1 GCG di Amerika Serikat


Tipikal perusahaan di Amerika Serikat kebanyakan bisnis dikelola atas arahan
direksi. Dalam praktiknya, sebagian besar direksi, yaitu direksi yang berasal dari luar
perusahaan, tidak dapat secara langsung mengelola bisnis perusahaan. Sebagai akibatnya,
maka manajerlah yang mengelola bisnis perusahaan dan peran direksi terbatas hanya untuk

9
memberikan pengawasan dalam urusan perusahaan. Sistem pengelolaan perusahaan di
Amerika Serikat menggunakan outsider atau arm’s length yang berarti investor ataupun
pemegang saham menyerahkan pengelolaan perusahaan sepenuhnya kepada pengurus
perusahaan dan mereka sangat jarang mencampuri dan ikut serta dalam pelaksanaan bisnis.
Pergerakan reformasi corporate governance dimulai dengan adanya SEC. SEC
melakukan evaluasi tentang bagaimana perusahaan yang dimiliki public dikelola. SEC
mewajibkan perusahaan untuk melakukan investigasi internal dan secara sukarela
menyerahkan laporan tersebut kepada SEC. Di samping itu, peranan SEC dalam corporate
governance yaitu memberikan saran dan nasihat kepada CEO untuk memonitor kinerja
perusahaan, SEC juga menyarankan untuk membentuk suatu komite audit dalam
perusahaan public.
Selain SEC, The American Law Institute (ALI) juga mengintroduksikan aturan yang
berisi rekomendasi tentang prinsip-prinsip corporate governance.
Reformasi corporate governance pertama kali berawal dari sebuah pidato Arthur
Levitt pada tahun 1998. Levitt memaparkan berbagai permasalahan yang ada dalam suatu
perusahaan pada saat itu, yang mengakibatkan kinerja dan akuntabilitas perusahaan
terhadapt pemegang saham atau stakeholders menjadi buruk.
Reformasi kedua corporate governance kedua terjadi pada tahun 2002 yaitu
disahkannya undang-undang yang mengatur keberadaan komite audit dalam perusahaan di
Amerika Serikat.

2.1.2 GCG di Inggris


Mulai Mei 1991, upaya perbaikan corporate governance di Inggris dilakukan dengan
membentuk Cadbury Committee yang bertugas untuk membuat rekomendasi untuk
memperbaiki mekanisme corporate governance bukan hanya untuk bank saja melainkan
juga untuk semua perusahaan-perusahaan di Inggris. Rekomendasi ini tertuang dalam
Cadbury Report.
Selain Cadbury Committee, Hampell Committee juga merupakan komite yang
berperan dalam penegakan corporate governance di Inggris, yang diharapkan
memfokuskan rekomendasi pada tiga bidang yaitu pembentukan prinsip keterbukaan pada
pembayaran bagi eksekutif, klarifikasi lebih lanjut dalam peranan eksekutif direksi dan non

10
eksekutif direksi, dan metode untuk meningkatkan kepentingan institusional investor di
Inggris. Dalam perkembangan berikutnya, Hampel Committee mengharuskan agar komite-
komite yang akan dibentuk pada masa mendatang dalam mereview corporate governance
haruslah memperhatikan prinsip-prinsip corporate governance yang dibuat oleh American
Law Institute (ALI).

2.1.3 GCG di Jerman


Saat ini praktik governance di Jerman masih dianggap menjadi hambatan yang
signifikan bagi masuknya investor institusional internasional. Hal ini dikarenakan masih
kurangnya disclosure dalam praktik governance di negara tersebut. Di sisi lain,
perusahaan-perusahaan besar di Jerman semakin memerlukan kucuran dana investasi dari
para investor global. Oleh karena itu pada 29 Mei 2000, German Chancellor membentuk
sebuah Government Commission on Corporate Governance Management-Corporate
Supervision-Modernization of the stock Corporation Law (First Commision).
First commision ini membuat suatu final report yang berisi tentang rekomendasi
perubahan legislasi, selain itu komisi ini juga menyarankan agar dibentuk suatu komisi
baru untuk menyusun code of corporate governance bagi perusahaan terbuka. Kemudian
pada september 2001 dibentuklah second commision yang kemudian komisi ini
mengeluarkan German Corporate Governance code. Rekomendasi German Corporate
Governance code yang sudah secara luas dipraktikkan adalah pemberdayaan komisaris
yang bekerja secara profesional dan bertanggung jawab kepada para pemegang saham.
Corporate Governance Code di Jerman juga mengatur bahwa dalam setiap rapat
tahunan, Vorstand wajib memberikan laporan mengenai ketaatan dan keterbukaannya
kepada the Handelseregister atau commercial register. Jika perusahaan gagal menaati
peraturan tertentu dalam German Corporate Governance Code, maka perusahaan tersebut
harus secara khusus menjelaskan beberapa ketentuan yang gagal mereka penuhi.

2.1.4 GCG di Perancis


Manajemen pada perusahaan di Perancis berkuasa secara ekstrim. President
directeur-general (PDG) bebas melakukan pengendalian atas perusahaan. Satu orang
menentukan strategi perusahaan, menjalankannya dan mengendalikannya, tanpa adanya

11
counter power dari dewan direksi. Dalam pembentukan board system, terdapat aturan
hukum yang kompleks yang mempengaruhi struktur dan komposisi board. Perusahaan
perancis bisa memilih diantara 2 metode board governance yaitu bisa mengambil suatu
unitary boardroom structure (seperti model anglo saxon-one tier board system) atau two
tier board system seperti pada perusahaan di Jerman. Dalam praktiknya, kebanyakan
perusahaan di Perancis memilih one-tier board sytem dalam sistem pengelolaannya.
Perancis melakukan reformasi corporate governance melalui Code of Best Practices,
yang dikeluarkan pada 1995 (Vienot I) dan 1999 (Vienot II), yang diketuai oleh Marc
Vienot. Di bawah undang-undang Perancis, perusahaan dapat memilih one-tier board
system dengan mengkombinasikan chair & Chief Executive Officier, atau two-tier
structure – yang memiliki managemen dan supervisory board terpisah – dan juga
memisahkan antara chairman dan CEO.
2.2 GCG Asia
Krisis ekonomi yang melanda Asia Timur pada akhir tahun 1997 telah memicu
terjadinya diskusi tentang pentingnya sistem tata kelola dalam suatu negara. Secara umum ada
tiga persoalan utama di Asia yang menyebabkan pelaksanaan good corporate governance
masih begitu lemah. Tiga persoalan ini antara lain:
1. Banyak perusahaan yang masih terbelakang atau belum didisain untuk
memainkan peran penting di pasar.
2. Pasarnya sendiri tidak bekerja secara optimal dan lingkungan bisnisnya tidak
kompetitif.
3. Sistem hukum yang lemah dan lembaga-lembaga yang menangani dan
menjalankan aturan main itu sendiri maupun keseluruhan penegakan peraturan
administratif masih lemah termasuk didalamnya penegakan peraturan di bursa
saham atau standarisasi laporan akutansi.

Hal ini berarti bahwa GCG tidak saja berakibat positif bagi pemegang saham, namun
juga bagi masyarakat yang lebih luas yang berupa pertumbuhan ekonomi nasional. Karena
itulah berbagai lembaga – lembaga ekonomi dan keuangan dunia seperti World Bank dan
International Monetary Fund sangat berkepentingan terhadap penegakan corporate

12
governance (CG) di negara-negara penerima dana, karena mereka menganggap bahwa
corporate governance (CG) merupakan bagian penting sistem pasar yang efisien.
Bank Dunia sejak dini menyebutkan bahwa krisis finansial Asia disebabkan kegagalan
sistematis (systematic failures) dalam pelaksanaan corporate governance yang ditandai oleh
lemahnya sistem hukum, inkonsistensi dalam setandar akutansi dan auditing, penyelenggaraan
praktek perbankan yang buruk, supervisi dewan komisaris yang tidak efektif, dan pelindungan
yang kurang terhadap pemegang saham minoritas. Asian Development bank (ADB)
menyatakan secara tegas bahwa krisis yang terjadi di Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina,
dan Korea Selatan disebabkan kegagalan dalam melaksanakan good corporate governance.
Hal ini diindikasikan dari konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi (mencapai 57-65
persen), supervisi Dewan Komisaris yang tidak efektif, prosedur pengawasan perusahaan
yang tidak transparan dan tidak efisien, peranan sumber pembiayaan eksternal yang sangat
dominan yaitu utang dari bank, dan pengawasan yang minim dari pemberi dana eksternal
tersebut.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa pelaksanaan good
corporate governance di Indonesia tergolong yang terburuk di Asia. Riset McKensey and Co.
mengenai pelaksanaan corporate governance di tujuh negara Asia yaitu Jepang, Korea
Selatan, Malaysia, Taiwan, Thailand, dan Indonesia, juga menempatkan Indonesia pada posisi
terbawah dengan skor 1,1 di mana dalam penelitian ini makna skor adalah yang terburuk dan
6 adalah yang terbaik. Berdasarkan penelitian tersebut terdapat tujuh kesimpulan yang
diperoleh yaitu:
1. Pelaksanaan good corporate governance di Indonesia masih sekedar menuruti
aturan baru sehingga serba ala kadarnya dan tidak sungguh-sungguh.
2. Aturan-aturan pelaksanaan good corporate governance itu sendiri belum tegas
dan menyeluruh.
3. Pemenuhan hak-hak pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas
masih rendah.
4. Dewan komisaris belum efektif menjalankan fungsinya.
5. Pengawasan kinerja direksi lemah.

13
6. Laporan tahunan belum memberikan informasi yang memadai bagi para
stakeholders untuk mengetahui lebih jauh tentang kegiatan perusahaan, laporan
keuangan, dan informasi lain untuk mengambil suatu keputusan.
7. Perhatian terhadap stakeholders yaitu investor, otoritas bursa, karyawan, dan
masyarakat sudah cukup baik dilihat dari bentuknya corporate secretary dan
pelaksanaan community development program.

Contoh Good Corporate Governance (GCG) di Asia


1. GCG di Jepang
Konsep inti corporate governance yang diterapkan oleh jepang adalah company
community. Pandangan ini menganggap bahwa para pegawai tidak dipekerjakan oleh
perusahaan tetapi mereka termasuk dalam “ comapny community”. Company community itu
sendiri terdiri dari manajemen, dewan direksi, dan para pegawai inti yang membagi identitas
mereka sebagai “ company community”. Dewan direksi yang dipilih oleh pemegang saham
menentukan semua arah dan kebijakan korporasi dan menunjuk eksekutif perusahaan yang
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Pada praktiknya yang berlaku umum
saat ini, corporate board di jepang mewakili kepentingan perusahaan dan karyawannya secara
kolektif, bukan hanya kepentingan pemegang saham semata.

Dua hal yang muncul dari praktik governance tersebut adalah :


a. Hampir semua direktur merupakan senior manajer atau mantan karyawan
perusahaan. Hampir 80% korporasi di jepang tidak mempunyai anggota dewan
direksi dari luar. Jikapun ada, tidak lebih dari 2 orang.
b. Pemegang saham merupakan pemilik pasif. Komposisi pemegang saham
biasanya didominasi business partner dan investor institusi dengan membentuk
block of friendly serta stable shareholders (60-80%), sedangkan individual
hanya sebagai pemegang saham minoritas.

Upaya pembaharuan corporate governance di jepang dilakukan oleh Corporate


Governance Forum Of Japan dengan mengeluarkan corporate governance code pada Mei
1998. Forum ini terdiri dari para eksekutif, akademis, pengacara, dan perwakilan

14
shareholders. Shareholder sebagai penyedia modal penyertaan, diberi posisi yang istimewa.
Forum ini membuat beberapa rekomendasi yang memberi perubahan penting bagi corporate
governance di jepang. Rekomendasi – rekomendasi tersebut antara lain :
a. Mengharuskan lebih banyak outside directors dalam keanggotaan dewan.
b. Mengharuskan dibentuknya Komite Audit, Komite Remunerasi, dan Komite Nominasi
yang independen.

Dalam pelaksanaannya, Corporate Governance Forum Of Japan sendiri yang memonitor


kemajuan dan mendesak Tokyo Stock Exchange untuk menyertakan the code dalam daftar
aturan pencatatan (listing rules). Kemudian pada 22 Mei 2002, jepang mengeluarkan revisi
Japan’s Commercial Code. Revisi ini berlaku ppada 1 Februari 2003, yang didalamnya
termasuk sejumlah perubahan yang berakibat pada pengoperasian dewan direksi di jepang.
Sistem yang baru ini mengharuskan untuk membentuk 3 komite dalam dewan direksi :
nomination committee, komite audit dan komite pemberian kompensasi.

2. GCG di China
Di China, persahaan terbuka menggunakan system two-tiered board. Walaupunn China
menggunakan two-tiered board, namun dalam penerapannya ada perbedaannya dengan yang
ditetapkan di Amerika Serikat dan Inggris. Two-triered board di China terdiri dari dewan
direksi dan dewan pengawas, yang merupakan transplantasi dari system di Jerman. Fungsi
dewan pengawas di China berbeda dengan dewan pengawas di Jerman. Dewan pengawas di
China tidak memiliki kewenangan dalam membuat keputusan perusahaan dan juga tidak
memiliki kewenangan untuk mengangkat atau membubarkan anggota-anggota dewn direksi.
Dalam praktiknya peran monitoring dewan komisaris lebih dekoratif daripada fungsinya.
Pada Agustus 2001, China securities regulatory commission (CSRC) diberikan
kewenangan oleh Negara, untuk mengundangkan Guielines for introducing independent
directors to the board of directors of listed companies (Guidelines). Agar direksi independen
dapat berperan secara aktif, Guilines ini mewajibkan agar direksi independen harus dapat
mengungkapkan pendapat yang independen dalam setiap peristiwa yang penting dalam
perusahaan terbuka dan juga memiliki kewenangan khusus lainnya seperti yang terdapat
dalam hukum perusahaan dan hukum dan regulasi yang relevan lainnya.

15
Pada Januari 2002, CSRC dan state Ecconomic and trade commission secara bersama-
sama mengeluarkan Code of Corporate Governanceof listed Companies in China (the Code).
Code ini terdiri atas seperangkat aturan ang komprehensif yang mencngkup prinsip-orinsip
dasar corporate governance bagi peruahaan terbuka. Secara khusus, dapat dikatakan Code di
China ini menegaskan bahwa semua perusahaan terbuka di China dalam menjalankan
usahanya harus menggunakan semangat yang ada pada Code untuk mengembangkan
corporate governance.
Code dibuat berdasarkan OECD principles, meliputi 5 prinsip GCG yaitu, hak-hak
pemegang saham, transparansi, akuntabilitas, keadilan, dan pertangguangjawaban. Selain itu,
China Securities Regulatory Commission (CSRC) segera serius berkomitmen untuk
memajukan dan menerapkan corporate governance di China dan mensejajarkan dengan
perkembangan internasional seperti inisiatif-inisiatif yang dikeluarkan oleh OECD.
Model corporate governance yng ditetapkan di China merupakan hal yang relatif baru di
Negara tersebut. Model tersebut pada dasarnya memberikan 5 karakteristik dasar bentuk
korporasi ang ada pada saat ini hadir di China yaitu :
a. Adanya pemisahan dan personalitas hukumm yang berbeda
b. Pertanggungjawaban bagi pemilik dan manajer

2.3 GCG di Indonesia


Istilah Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee
tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report (Tjager dkk., 2003).
Definisi Good Corporate Governance dari Cadbury Committee yang berdasar pada teori
stakeholder adalah sebagai berikut : “A set of rules that define the relationship between
shareholders, managers, creditors, the government, employees and internal and external
stakeholders in respect to their rights and responsibilities”. (Seperangkat aturan yang
mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan,
dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka). Pengertian lain menurut Surat Keputusan
Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. 23/M
PM/BUMN/2000 tentang Pengembangan Praktik GCG dalam Perusahaan Perseroan
(PERSERO), Good Corporate Governance adalah prinsip korporasi yang sehat yang perlu

16
diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga
kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.
Good Corporate Governance di Indonesia mulai ramai dikenal pada tahun 1997, saat
krisis ekonomi menerpa Indonesia. Terdapat banyak akibat buruk dari krisis tersebut, salah
satunya ialah banyaknya perusahaan yang berjatuhan karena tidak mampu bertahan, corporate
governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi politik
Indonesia yang dimulai tahun 1997 yang efeknya masih terasa hingga saat ini.. Menyadari
situasi dan kondisi demikian, pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN mulai
memperkenalkan konsep Good Corporate Governance ini di lingkungan BUMN, Melalui
Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang
Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara,
menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan Good Corporate Governance secara
konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance sebagai landasan
operasionalnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dan berlandaskan peraturan
perundang-undangan dan nilai-nilai etika.
Pemerintah memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap implementasi GCG di
Indonesia. Bukti dari kepedulian pemerintah dapat dilihat dari dibuatnya berbagai regulasi
yang mengatur tentang GCG. Berawal dari Dibentuknya Komite Nasional tentang Kebijakan
Corporate Governance (KNKCG) melalui Keputusan Menko Ekuin Nomor:
KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG . Menerbitkan Pedoman GCG
Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) sebagai pengganti KNKCG melalui Surat Keputusan Menko Bidang
Perekonomian Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004. Terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-
Komite Korporasi. Kemudian juga dikeluarkan SE Ketua Bapepam Nomor Se-03/PM/2000
tentang Komite Audit yang berisi himbauan perlunya Komite Audit dimiliki oleh setiap
Emiten, dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBI/2006 tentang GCG yang dirubah
dengan PBI No. 8/14/GCG/2006.
Implementasi GCG di BUMN dapat dilihat dengan adanya peraturan-peraturan yang
mendukungnya seperti :

17
1. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-133/M-PBUMN/1999
tentang Pembentukan Komite Audit bagi BUMN.
2. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 Tentang Pedoman umum
pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.
3. Keputusan Menteri BUMN No. 09A/MBU/2005 Tentang Proses Penilaian Fit & Proper
Test Calon Anggota Direksi BUMN.
4. SE Menteri BUMN No. 106 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri BUMN No. 23 Tahun
2000 – mengatur dan merumuskan pengembangan praktik good corporate governance
dalam perusahaan perseroan.
5. Disempurnakan dengan KEP-117/M-MBU/2002 tentang Keputusan Menteri BUMN
Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance
Pada BUMN.
Komitmen GCG juga diberlakukan pada sektor swasta non-BUMN. Pada tahun 2000,
Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) memberlakukan Keputusan Direksi PT
Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-315/BEJ/062000 perihal Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-
A yang antara lain mengatur tentang kewajiban mempunyai Komisaris Independen, Komite
Audit, memberikan peran aktif Sekretaris Perusahaan di dalam memenuhi kewajiban
keterbukaan informasi serta mewajibkan perusahaan tercatat untuk menyampaikan informasi
yang material dan relevan. Selain itu juga dibentuknya berbagai organisasi dan perkumpulan
yang mendukung pelaksanaan dari GCG itu sendiri seperti. Lahirnya Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI), Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG),
Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD), Indonesia Corporate Secretary
Association (ICSA), Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI), Asosiasi Auditor Internal (AAI),
Klinik GCG Kadin, dan lahirnya Lembaga Komisaris dan Direksi Indonesia (LKDI) yang
kegiatannya antara lain mengadakan Forum LKDI untuk membahas berbagai hal seperti
tanggung jawab hukum bagi Komisaris dan Direksi, undang-undang pencucian uang dsb.
Masih banyak yang harus dibenahi dan terus dikembangkan pelaksaanaan GCG di
Indonesia. Karena KKN yang merajalela mengartikan GCG masih belum dapat terlaksana
dengan baik. Pelaksanaan GCG di Indonesia tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri. Tapi
memerlukan Integrasi dari seluruh komponen bisnis. Agar dapat dicapai suatu perusahaan
bersih yang dapat disebut Good Corporate Governance.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Kesadaran mengenai tanggung jawab sosial perusahaan semakin tumbuh semenjak
industrialisasi di Inggris dan menyebar ke seluruh dunia. Kondisi kehidupan dan
lingkungan kerja yang mengenaskan dari pekerja industry menggerakkan hati dan
kesadaran para pemerhati yang berasal dari kelas yang lebih tinggi untuk menulis dan
menyebarluaskan kondisi tersebut kepada masyarakat luas. Pada tahun-tahun terakhir,
issue lingkungan telah menarik perhatian banyak pihak di dunia. Perhatian terhadap
konsep keberlanjutan (sustainability) mendorong perusahaan untuk memfokuskan
keterbukaan informasinya pada tujuan keberlanjutan. Keterbukaan informasi, bukanlah
satu-satunya cara bagi perusahaan memenuhi akuntabilitasnya kepada para pemangku
kepentingannya.
3.1.2 Krisis ekonomi yang melanda Asia Timur pada akhir tahun 1997 telah memicu terjadinya diskusi
tentang pentingnya sistem tata kelola dalam suatu negara. Secara umum ada tiga persoalan
utama di Asia yang menyebabkan pelaksanaan good corporate governance masih begitu
lemah. Hal ini berarti bahwa GCG tidak saja berakibat positif bagi pemegang saham, namun
juga bagi masyarakat yang lebih luas yang berupa pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itulah
berbagai lembaga – lembaga ekonomi dan keuangan dunia seperti World Bank dan
International Monetary Fund sangat berkepentingan terhadap penegakan corporate
governance (CG) di negara-negara penerima dana, karena mereka menganggap bahwa corporate
governance (CG) merupakan bagian penting sistem pasar yang efisien.
3.1.3 Good Corporate Governance di Indonesia mulai ramai dikenal pada tahun 1997, saat
krisis ekonomi menerpa Indonesia. Terdapat banyak akibat buruk dari krisis tersebut,
salah satunya ialah banyaknya perusahaan yang berjatuhan karena tidak mampu bertahan,
corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis
ekonomi politik Indonesia yang dimulai tahun 1997 yang efeknya masih terasa hingga
saat ini.. Menyadari situasi dan kondisi demikian, pemerintah melalui Kementerian
Negara BUMN mulai memperkenalkan konsep Good Corporate Governance ini di

19
lingkungan BUMN. Banyak regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur
pelaksanaan good corporate governance.
3.2 Saran
Untuk dapat memperoleh tata kelola perusahaan yang baik, Setiap perusahaan yang ada di
dunia ini perlu memahami lebih dalam tentang Good Corporate Governance yang mana dapat
membentuk perusahaan yang baik sesuai dengan tujuan yang ditentukan oleh perusahaan
sebelumnya.

20
Daftar Pustaka

Effendi, Muh. Arief. 2008. The Power of Good Corporate Governance: Teori dan
Implementasi. Jakarta: Salemba Empat.

Khairandy, Ridwan dan Camelia Malik. 2007. Good Corporate Governance: Perkembangan
Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum. Yogyakarta:
Penerbit Kreasi Total Media.

Moeljono, Djokosantoso. 2005. Good Corporate Culture sebagai Inti Good Corporate
Governance. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Kaihatu, Thomas S. 2006. Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia.


http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/1957.pdf (diakses tanggal 20 September
2015)

https://alamsyahprasetio.wordpress.com/2010/10/28/pelaksanaan-good-corporate-governance-di-
indonesia/ (diakses 1 Oktober 2015)

21

Anda mungkin juga menyukai