Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tubuh sebagian besar terdiri dari air. 60 % air, sementara 40 % sisanya merupakan zat
padat seperti protein, lemak, dan mineral. Proporsi cairan tubuh menurun dengan
pertambahan usia, dan pada wanita lebih rendah dibandingkan pria karena wanita memiliki
lebih banyak lemak disbanding pria, dan lemak mengandung sedikit air. Sementara neonatus
atau bayi sangat rentan terhadap kehilangan air karena memiliki kandungan air yang paling
tinggi dibandingkan dengan dewasa. Kandungan air pada bayi lahir sekitar 75 % berat badan,
usia 1 bulan 65 %, dewasa pria 60 %, dan wanita 50 %. Jumlah cairan tubuh berbeda-beda
tergantung dari usia, jenis kelamin, dan banyak atau sedikitnya lemak tubuh.
Air dan elektrolit yang masuk ke dalam tubuh akan dikeluarkan dalam waktu 24 jam
dengan jumlah yang kira-kira sama melalui urin, feses, keringat, dan pernafasan. Tubuh kita
memiliki kemampuan untuk mempertahankan atau memelihara keseimbangan ini yang
dikenal dengan homeostasis.
Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukka air, elektrolit serta zat-zat
makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus berpuasa lama, karena
pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual
muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air da elektrolit akan terpenuhi.
Selain itu terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara
rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.

1
BAB II
DISTRIBUSI, KOMPOSISI, DAN KEBUTUHAN CAIRAN TUBUH

2.1. Distribusi Cairan Tubuh dan Fungsinya


Cairan tubuh dipisahkan oleh membran sel sehingga ada yang terdapat di dalam sel
(intraseluler) yang berjumlah 40 % dan ada yang terdapat diluar sel (ekstraseluler) yang
berjumlah 20 %. Cairan ekstraseluler terdiri atas cairan interstitial yaitu cairan yang berada di
ruang antar sel berjumlah 15 % dan plasma darah yang hanya berjumlah 5 %. Selain itu juga
dikenal cairan antar sel khusus disebut cairan transeluler misalnya, cairan cerebrospinal,
cairan persendian, cairan peritoneum, cairan pleura, dan lain-lain.
Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat elektrolit dan non elektrolit seperti protein dan
glukosa yang mempunyai berat molekul yang berbeda. Air, elektrolit, dan asam amino bisa
melintasi membran sel dengan mudah karena berat molekulnya yang rendah, sementara
makromolekul seperti protein plasma tidak bisa melintasi dinding kapiler.
Baik cairan intraseluler maupun ekstraseluler memainkan peranan penting dalam
mendukung kehidupan. Cairan intraseluler terlibat dalam proses metabolik yang
menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien dalam cairan tubuh, sementara cairan
ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai nutrient ke dalam
sel, dan membuang zat sisa yang bersifat toksik.

2
Diagram 1. Jenis dan Jumlah Cairan Tubuh

2.2. Komposisi Cairan Intraseluler dan Ekstraseluler


Kadar elektrolit intrasel dan ekstrasel berbeda karena terdapat membran sel yang
mengatur transport elektrolit. Cairan intraseluler terutama mengandung elektrolit berupa ion-
ion kalium (K+), magnesium (Mg++), dan Fosfat (HPO4-2). Cairan ekstraseluler mengandung
terutama natrium (Na+) dan klorida (Cl-).
Cairan interstitial dan plasma keduanya merupakan cairan ekstraseluler, tetapi
mempunyai komposisi protein yang berbeda karena terdapat dinding kapiler yang tidak bisa
dilintasi oleh masing-masing protein.
Tiap organ didalam tubuh tidak memiliki kandungan air yang sama. Organ yang
paling banyak kandungan airnya adalah otak diikuti ginjal, otot lurik, kulit, hati, tulang, dan
lemak.

3
Tabel 1.Perbandingan Komposisi Cairan Intraseluler dan Ekstraseluler

Peran Natrium
Natrium merupakan kation terpenting dalam tubuh dan terutama terdapat pada cairan
ekstraseluler. Eksresi air hampir selalu disertai dengan eksresi natrium baik lewat urin, tinja,
atau keringat, karena itu terapi dehidrasi selalu diberikan cairan infus yang mengandung
natrium.
Natrium mempertahankan tekanan osmotik tubuh dan memelihara cairan ekstraseluler
dalam keadaan konstan. Kadar Na serum normal adalah 135-145 mEq/L.

Peran Kalium
Kalium merupakan elektrolit terpenting di cairan intraseluler. Kalium memainkan peranan
penting dalam saraf dan perangsangan otot serta penghantaran impuls listrik.
Kadar normal kalium dalam serum adalah 3-5 mEq/L. Hipokalemi menyebabkan keletihan
otot, lemas, ileus paralitik, kembung, gangguan irama jantung. Sedangkan hiperkalemi dapat
menyebabkan aritmia, tetani, dan kejang.

4
Kalium memiliki pengaruh kuat terhadap jantung dan ginjal, maka pemberiannya harus
hati-hati pada pasien dengan kelainan jantung dan ginjal.
2.3. Kebutuhan Cairan per Hari
Pada orang sehat asupan dan pengeluaran air seimbang. Bila terjadi gangguan
keseimbangan maka mungkin diperlukan koreksi dengan nutrisi parenteral.
Asupan air dan makanan rata-rata adalah sekitar 2000 ml, dan kira-kira 200 ml air
metabolik berasal dari metabolisme nutrien di dalam tubuh. Air dieksresikan dalam urin dan
melalui penguapan yang tidak disadari. Jumlah eksresi urin sekitar 1300 ml/hari, sedangkan
melalui penguapan yang tidak disadari (insensible evaporation) sekitar 900 ml/hari.
Maka pada pasien yang tidak dapat memperoleh makanan melalui oral memerlukan
volume infus per hari yang setara dengan kehilangan air dari tubuh per hari, yaitu :

Dengan perhitungan yang lebih akurat lagi dapat dicari :


 volume urin normal : 0,5-1 cc/kg/jam
 Air metabolisme : Dewasa : 5 cc/kg/hari, anak 12-14 th : 5-6 cc/kg/hari, 7-11 th : 6-7
cc/kg/hari, balita : 8 cc/kg/hari
 Insensible water loss IWL : Dewasa : 15 cc/kg/hari, Anak : 30-usia(th) cc/kg hari. Jika
ada kenaikan suhu : IWL + 200

Kebutuhan air dan elektrolit per hari


Pada orang dewasa :
Air : 25-40 ml/kg/hr
Kebutuhan homeostatis Kalium : 20-30 mEq/kg/hr2
Na : 2 mEq/kg/hr3
K : 1 mEq/kg/hr3
Pada anak dan bayi :
Air : 0-10 kg : 100 ml/kg/hr
10-20 kg : 1000 ml/kg + 50 ml/kg diatas 10 kg/hr
> 20 kg : 1500 ml/kg + 20 ml/kg diatas 20 kg/hr
Na : 3 Meq/kg/hr2
K : 2,5 Meq/kg/hr2

5
Faktor-faktor modifikasi kebutuhan cairan
Kebutuhan ekstra / meningkat pada :
 Demam ( 12% tiap kenaikan suhu 1C )
 Hiperventilasi
 Suhu lingkungan tinggi
 Aktivitas ekstrim
 Setiap kehilangan abnormal ( ex: diare, poliuri, dll )
Kebutuhan menurun pada :
 Hipotermi ( 12% tiap penurunan suhu 1C )
 Kelembaban sangat tinggi
 Oligouri atau anuria
 Aktivitas menurun / tidak beraktivitas
 Retensi cairan ( ex: gagal jantung, gagal ginjal, dll )

6
2.4. Pergerakan Cairan dalam Tubuh

Pergerakan air dalam tubuh diatur oleh tekanan osmotik. Tekanan osmotik mencegah
perembesan atau difusi cairan melalui membrane semipermeabel ke dalam cairan yang
memiliki konsentrasi lebih tinggi. Tekanan osmotik plasma ialah 280-290 mOsm/L. Larutan
isotonik, yaitu larutan yang memiliki tekanan osmotik sesuai plasma adalah NaCl 0,96 %,
Dextrosa 5 %, dan Ringer laktat, larutan hipotonik misalnya aquades, dan larutan dengan
tekanan osmotik yang lebih tinggi dari plasma disebut larutan hipertonik misalnya infus
dengan tekanan osmotik lebih tinggi dari plasma. Makin banyak partikel termasuk ion-ion
yang dikandung larutan, makin tinggi tekanan osmotiknya. Larutan infus memliki tekanan
osmotik karena mengandung zat-zat elektrolit. Air dari larutan infus tersebar diseluruh tubuh
sesuai dengan perbedaan tekanan osmotik dalam cairan tubuh.
Jika cairan ekstrasel mempunyai tekanan osmotik yang lebih tinggi dari intrasel maka
akan terjadi krenasi atau pengerutan sel karena air dari dalam sel keluar menuju ke tekanan
yang lebih tinggi sehingga dapat terjadi dehidrasi sel. Sebaliknya jika cairan ekstrasel tekanan
osmotiknya lebih rendah dari intrasel maka akan terjadi pembengkakan sel, dan jika
pembengkakan sel ini berlebihan dapat mengakibatkan sel menjadi lisis.

2.5. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit


2.5.1. Gangguan keseimbangan cairan
Kehilangan cairan dapat menyebabkan gangguan keseimbangan cairan yang
mengakibatkan dehidrasi, misalnya pada keadaan gastroenteritis, demam tinggi,
pembedahan, luka bakar, dan penyakit lain yang menyebabkan input dan output tidak
seimbang.
Dehidrasi
Adalah keadaan dimana kurangnya cairan tubuh dari jumlah normal akibat
kehilangan cairan, asupan yang tidak mencukupi atau kombinasi keduanya.
Dehidrasi dibedakan atas :
 Dehidrasi hipotonik
 Kadar Na < 130 mmol/L
 Osmolaritas < 275 mOsm/L

7
 Letargi, kadang-kadang kejang
 Dehidrasi isotonik
 Na dan osmolaritas serum normal
 Dehidrasi hipertonik
 Na > 150 mmol/L
 Osmolaritas > 295 mOsm/L
 Haus, iritabel, bila Na > 165 mmol/L dapat terjadi kejang

Kehilangan cairan melalui diare


 Kehilangan Na menyebabkan hipovolemia
 Kehilangan H20 menyebabkan dehidrasi
 Kehilangan HCO3 menyebabkan asidosis metabolik
 Kehilangan K menyebabkan hipokalemi

Kehilangan cairan melalui muntah


 Hipokloremi
 Hipokalemi
 Alkalosis metabolic
 Gangguan keseimbangan air dan Na

Keadaan lain yang mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit


Gastroenteritis, DHF, Difteri, Tifoid, Hiperemesis gravidarum, Sectio cesar,
Histerektomi, Kistektomi, Apendektomi, Splenektomi, Gastrektomi, Reseksi
usus, Perdarahan intraoperatif, Ketoasidosis Diabetikum.

2.6. Terapi Cairan


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander)
secara intravena.
Terapi cairan ini dilakukan pada pasien-pasien dengan keadaan-keadaan seperti yang
sudah djelaskan sebelumnya. Selain itu kuhususnya dalam pembedahan dengan anestesia
yang memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan, maka terapi cairan tersebut
berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan,

8
mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan
mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.

Cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam
tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan
kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.

Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:

1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan
cairan tubuh dan komponen darah)
4. “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi)
5. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)
6. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)
7. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan
komponen darah)

Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:

1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung
masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam
peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan
memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika
intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan
antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa
melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama
efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi
kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan.
2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan
melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai
obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya
“polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur

9
gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus
dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan
obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu
dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di
bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke
pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui
injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat
konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami
hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan
ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun
perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan
mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.

Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous
Cannulation)

1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).


2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi
besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika
terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi
(kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps
(tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah
Vena

1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

10
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan
untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci
darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran
darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:

1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh
darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat
memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.
2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh
darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus
yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.
4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat
masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.

2.6.1. Kelompok Besar Cairan Infus

1. Cairan Hipotonik:

Oosmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah
dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka
cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan
berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel
yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci
darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah
tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan
tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl
45% dan Dekstrosa 2,5%.

2. Cairan Isotonik:

11
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen
darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).
Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan). Cairan isotonik efektif dalam mengisi
sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang
singkat dan butuh penanganan segera, khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam
fisiologis (NaCl 0,9%).

3. Cairan Hipertonik:

Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran
kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik
cairan dari luar pembuluh darah.

Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit
dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif
dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose
5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin dan
steroid.

2.6.2. Jenis Cairan Infus

ASERING

Indikasi:

Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam
berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.

Komposisi:

Setiap liter asering mengandung:

 Na 130 mEq
 K 4 mEq

12
 Cl 109 mEq
 Ca 3 mEq
 Asetat (garam) 28 mEq

Keunggulan:

1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang
mengalami gangguan hati
2. Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih
baik dibanding RL pada neonatus
3. Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada
anestesi dengan isofluran
4. Mempunyai efek vasodilator
5. Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000
ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil
risiko memperburuk edema serebral

KA-EN 1B

Indikasi:

1. Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal pada kasus
emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)
2. < 24 jam pasca operasi
3. Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV. Kecepatan sebaiknya
300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak
4. Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam

KA-EN 3A & KA-EN 3B

Indikasi:

13
1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan
kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral
terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
3. Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A
4. Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B

KA-EN MG3

Indikasi :

1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan
kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral
terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
3. Mensuplai kalium 20 mEq/L
4. Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400 kcal/L

KA-EN 4A

Indikasi :

1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak


2. Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan berbagai
kadar konsentrasi kalium serum normal
3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik

Komposisi (per 1000 ml):

 Na 30 mEq/L
 K 0 mEq/L
 Cl 20 mEq/L
 Laktat 10 mEq/L

14
 Glukosa 40 gr/L

KA-EN 4B

Indikasi:

1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang 3 tahun
2. Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko hipokalemia
3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik

Komposisi:

o Na 30 mEq/L
o K 8 mEq/L
o Cl 28 mEq/L
o Laktat 10 mEq/L
o Glukosa 37,5 gr/L

Otsu-NS

Indikasi:

1. Untuk resusitasi
2. Kehilangan Na > Cl, misal diare
3. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum, insufisiensi
adrenokortikal, luka bakar)

Otsu-RL

15
Indikasi:

1. Resusitasi
2. Suplai ion bikarbonat
3. Asidosis metabolik

MARTOS-10

Indikasi:

1. Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada penderita diabetik


2. Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti tumor, infeksi berat,
stres berat dan defisiensi protein
3. Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam
4. Mengandung 400 kcal/L

AMIPAREN

Indikasi:

1. Stres metabolik berat


2. Luka bakar
3. Infeksi berat
4. Kwasiokor
5. Pasca operasi
6. Total Parenteral Nutrition
7. Dosis dewasa 100 ml selama 60 menit

AMINOVEL-600

Indikasi:

1. Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI

16
2. Penderita GI yang dipuasakan
3. Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar, trauma dan pasca operasi)
4. Stres metabolik sedang
5. Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)

PAN-AMIN G

Indikasi:

1. Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik ringan


2. Nitrisi dini pasca operasi
3. Tifoid

2.6.3. Terapi Cairan Resusitasi


Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh
atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya
pada keadaan syok dan luka bakar.
Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS),
Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada
syok hemoragik bisa diberikan 2-3 l dalam 10 menit.
Larutan plasma ekspander dapat diberikan pada luka bakar, peningkatan sirkulasi
kapiler seperti MCI, syok kardiogenik, hemoragik atau syok septik. Koloid dapat berupa
gelatin (hemaksel, gelafunin, gelafusin), polimer dextrose (dextran 40, dextran 70), atau
turunan kanji (haes, ekspafusin).

Jika syok terjadi :


 Berikan segera oksigen
 Berikan cairan infus isotonic RA/RL atau NS
 Jika respon tidak membaik, dosis dapat diulangi

17
Pada luka bakar :
24 jam pertama :
 2-4 ml RL/RA per kg tiap % luka bakar
 1/2 dosis diberikan 8 jam pertama, 1/2 dosis berikut 16 jam kemudian
 Sesuaikan dosis infus untuk menjaga urin 30-50 ml/jam pada dewasa
 Jika respon membaik, turunkan laju infus secara bertahap

Pertimbangan dalam resusitasi cairan :


1. Medikasi harus diberikan secara iv selama resusitasi
2. Perubahan Na dapat menyebabkan hiponatremi yang serius. Na serum harus
dimonitor, terutama pada pemberian infus dalam volume besar.
3. Transfusi diberikan bila hematokrit < 30
4. Insulin infus diberikan bila kadar gula darah > 200 mg%
5. Histamin H2-blocker dan antacid sebaiknya diberikan untuk menjaga pH lambung 7,0

2.6.4. Terapi Cairan Rumatan


Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.
Diberikan dengan kecepatan 80 ml/jam. Untuk anak gunakan rumus 4:2:1, yaitu :
 4 ml/kg/jam untuk 10 kg pertama
 2 ml/kg/jam untuk 10 kg kedua
 1 ml/kg/jam tambahan untuk sisa berat badan
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat
atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga
mengendung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose,
dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%.
Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga
dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti
sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang
berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.

18
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke
luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
 6-8 ml/kg untuk bedah besar
 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
 2-4 ml/kg untuk bedah kecil
.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh ini
didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam metabolisme sel,
sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan.
Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama pembedahan
ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Maka terapi cairan amat diperlukan untuk
pemeliharaan dan mencegah kehilangan cairan terlalu banyak yang bisa membahayakan.
Cairan tubuh terdistribusi dalam ekstrasel dan intrasel yang dibatasi membran sel. Adanya
tekanan osmotik yang isotonik menjaga difusi cairan keluar sel atau masuk ke dalam sel.
Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan pasien, serta
cairan infus itu sendiri. Pemberian infus yang tidak sesuai untuk keadaan tertentu akan sia-sia
dan tidak bisa menolong pasien.

19
DAFTAR PUSTAKA

Attygalle D, 1992, Fluid And Electrolyte Resuscitation. Dalam : A Handbook of Anaesthesia.


Sri Lanka : College of Anaesthesiologists of Sri Lanka. 1992. h.120-130
Dardjat MT. (editor). 2000, Cairan Maintenance Dalam Pembedahan. Dalam : Kumpulan
Kuliah Anestesiologi. Jakarta : Aksara Medisiana
Latief S, Kartini, Dachlan. (editor). 2002, Terapi Cairan Pada pembedahan. Dalam :
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI
Leksana, Ery, Dehidrasi dan Syok, 2015, Dehidrasi dan Syok, Cermin Dunia Kedokteran
228 Vol 42, no 5, Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi/Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Suntoro A. 2001, Terapi Cairan Perioperatif. Dalam : Anestesiologi. Jakarta : Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

20

Anda mungkin juga menyukai