Anda di halaman 1dari 33

Psoriasis memberikan gambaran histopatologi, yaitu perpanjangan (akantosis) reteridges dengan

bentuk clubike, perpanjangan papila dermis, lapisan sel granuler menghilang, parakeratosis, mikro
abses munro (kumpulan netrofil leukosit polimorfonuklear yang menyerupai pustul spongiform
kecil) dalam stratum korneum, penebalan suprapapiler epidermis (menyebabkan tanda Auspitz),
dilatasi kapiler papila dermis dan pembuluh darah berkelok-kelok, infiltrat inflamasi limfohistiositik
ringan sampai sedang dalam papila dermis atas.

PSORIASIS

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi
Psoriasis terdapat di seluruh dunia. Prevalensinya berbeda pada setiap populasi, bervariasi
dari 0,8-11,8% tergantung dari laporan yang dipublikasikan. Dilaporkan ada insiden tertinggi
di Eropa, yaitu di Denmark (2,9%), dan Kepulauan Faroe (2,8%), dengan rata-rata sekitar 2%
di Eropa Utara. Di Amerika prevalensi bervariasi dari 2,2-2,6%, kira-kira 150.000 kasus baru
didiagnosa setiap tahunnya. Prevalensi psoriasis di Afrika bagian Timur lebih tinggi dari
Afrika bagian Barat menjelaskan rendahnya prevalensi psoriasis pada ras AfroAmerika (1,3%
melawan 2,5% dibanding ras kulit putih). Isiden psoriasis juga rendah di Asia (0,4%), dan
tidak terdapat satu kasus pun pada pemeriksaan 26.000 orang India di Amerika Utara.

Onset Usia
Psoriasis dapat muncul pada usia berapa pun, tapi jarang terjadi pada usia di bawah 10 tahun.
Lebih sering terjadi pada usia 15-30 tahun. Adanya keterlibatan antigen HLA kelas I terutama
HLACw6, berhubungan dengan onset usia muda, dan keterlibatan riwayat dalam keluarga.
Penemuan ini membuat Henseler dan Christopher membagi psoriasis menjadi 2 bentuk: tipe
I, usia di bawah 40 tahun dan berhubungan dengan HLA, tipe II, usia di atas 40 tahun dan
kurang berhubungan dengan HLA, walaupun banyak pasien yang tidak cocok dengan
klasifikasi ini. Tidak ada eviden yang menyatakan bahwa psoriasis tipe I dan tipe II berespon
berbeda pada terapi yang berbeda.

• Mengenai kira-kira 2% penduduk Amerika, prevalensi psoriasis bervariasi dari 0,1-3% dari
tiap-tiap populasi.
• Psoriasis merupakan penyakit poligenik dengan predisposisi bermacam-macam disertai
faktor pencetus dari lingkungan, seperti trauma, infeksi, dan obat-obatan.
• Manifestasi papul eritema bersisik dan plak, pustular, dan eritrodermi.
• Predileksi tempat pada scalp, siku dan lutut, tangan dan kaki, batang tubuh, serta kuku.
• Psoriatik artritis dapat timbul pada 10-20% pasien psoriasis, pada bentuk pustular dan
eritrodermi dapat muncul demam.
• Patologi psoriasis berupa elongasi rete ridge, dilatasi pembuluh darah, penebalan lempeng
suprapapiler, dan parakeratosis. Infiltrasi limfosit di epidermal dan dermal, dengan agregasi
neutrfil di epidermis.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Psoriasis merupakan sebuah penyakit kulit inflamasi kronis yang memiliki hubungan kuat
dengan faktor genetik, ditandai dengan perubahan kompleks pada pertumbuhan dan
diferensiasi epidermal dan berbagai abnormalitas biokimiawi, imunologi, dan vaskular, serta
hubungannya dengan fungsi sistem saraf pusat belum dipahami dengan baik. Penyebab
pokoknya masih belum jelas. Secara historis, psoriasis dianggap sebagai gangguan utama
pada keratinosit. Dengan penemuan bahwa imunosupresan yang spesifik sel-T, yakni
siklosporin A (CsA), sangat aktif terhadap psoriasis, maka kebanyakan peneliti berfokus pada
sistem imun dalam menyelidiki penyakit ini.

Genetika Psoriasis
Dasar genetik psoriasis telah disebutkan selama hampir 100 tahun. Akan tetapi, seperti yang
disebutkan Gunnar Lomholt di tahun 1963 dalam penelitian klasiknya terhadap psoriasis di
Kepulauan Faeroe, “bahwa psoriasis ditimbulkan secara genetik masih mengandung banyak
keraguan, tetapi karena proses pewarisan banyak ditunjukkan pada penyakit ini, maka faktor
genetik tetap dipertimbangkan.” Dari tahun ke tahun, berdasarkan beberapa survei yang
dilakukan terhadap populasi dan silsilah keluarga yang sangat besar, telah diusulkan beberapa
model tentang dasar genetika psoriasis yang mencakup model resesif gen-tunggal, resesif
dua-gen, dominan dengan rasuk genetik yang berkurang, dan model poligenik. Analisis
penelitian berbasis populasi yang dilakukan oleh Lomholt dan Hellgren dengan analisis risiko
rekurensi menunjukkan bahwa nilai λr – 1 (risiko rekurensi lebih untuk kerabat dari
keturunan r) berkurang dengan faktor 6 sampai 7 pada saat r meningkat dari 1 menjadi 2,
yang berlawanan dengan pengurangan faktor 2 yang diperkirakan pada penyakit-penyakit
monogenik. Analisis ini lebih mendukung model poligenik dibanding model lainnya untuk
dasar genetika psoriasis. Berdasarkan penelitian-penelitian berbasis populasi, resiko psoriasis
pada sebuah keturunan diperkirakan sebesar 41% jika kedua orang tuanya terkena, 14% jika
salah satu orang tua terkena, dan 6% jika salah satu saudara kandung terkena, dan hanya 2%
jika tidak ada orang tua atau saudara kandung yang terkena.
Resiko psoriasis pada kembar monozigot berkisar antara 35 sampai 73% pada beberapa
penelitian. Ketidaksamaan ini, dan fakta bahwa risiko tersebut tidak mendekati 100%,
mendukung adanya peranan faktor lingkungan. Menariknya, kesamaan resiko psoriasis pada
kembar monozigot dan dizigot berkurang semakin ke daerah garis katulistiwa (daerah tropis
dan subtropis). Dengan ditemukannya efek terapeutik yang sangat kuat dari sinar ultraviolet
(UV) terhadap psoriasis, diduga keterpaparan sinar UV bisa menjadi faktor lingkungan utama
yang berinteraksi dengan faktor-faktor genetik pada psoriasis.
Penelitian untuk mencari keterlibatan gen-gen spesifik dalam psoriasis telah mulai dilakukan
sejak sekitar 10 tahun yang lalu dengan penelitian rangkai genetik (genetik linkage) (yakni
pewarisan alel penanda dan alel penyakit dalam keluarga).
Akan tetapi, meskipun telah ada penelitian-penelitian rangkai genome-wide yang dilakukan,
namun hanya satu lokus, disebut PSORS1 (psoriasis susceptibility 1), yang secara konsisten
ditemukan. PSORS1 terletak dalam kompleks histokompatibilitas utama (MHC, kromosom
6p21.3, tempat tinggal gen HLA). Banyak alel HLA yang ditemukan terkait dengan psoriasis,
khususnya HLA-B13, HLA-B37, HLA-B46, HLA-B57, HLA-Cw1, HLA-Cw6, HLA-DR7,
dan HLA-DQ9. Banyak dari alel ini yang memiliki rangkaian (linkage) tidak seimbang
dengan HLA-Cw6 (yakni ditemukan pada kromosom yang sama lebih sering dibanding yang
diprediksikan terjadi secara kebetulan). HLA-Cw6 secara konsisten menunjukkan risiko
paling tinggi untuk psoriasis pada populasi Kaukasoid (ras kulit putih di Eropa).
HLA-Cw6 juga terkait dengan artritis psoriatik, dengan kecenderungan onset lesi kulit pada
tahap awal. HLA-B27, HLA-B38, dan HLA B-39 juga terkait dengan artritis psoriatik,
dimana HLA-B27 paling kuat korelasinya dengan yang terjadi pada bagian kepala dan
trunkus.
HLA-Cw6 tetap erat kaitannya dengan psoriasis apabila ditemukan bersama dengan beberapa
alel HLA-B berbeda, sehingga menunjukkan bahwa gen PSORS1 harus terdapat pada bagian
telomer (segmen ujung) HLA-B (Gbr. 18-1).

Gambar (18.1) Merupakan peta MHC dan psoriasis susceptibility (PSORS1). Panel bagian
atas memperlihatkan keseluruhan MHC; hanya beberapa dari 200 gen terdapat pada gambar
ini. Panel bagian bawah meliputi gen PSORS1 yang ditemukan oleh beberapa peneliti. 10 gen
tersebut terbentang dari HLA-C sampai STG pada ikatan genome yang kuat, dan setiap gen
ini berhubungan dengan psoriasis. Dari semua ini, hanya HLA-C dan CDSN yang
mempunyai varian protein (missense) terhadap halotipe psoriasis (HLA-Cw6 dan
CDSN*TTC), dan pada sample dari 76 halotipe alele yang terpisah satu sama lain, hanya
haplotipe HLA-Cw6 yang membawa resiko psoriasis.
Hanya sekitar 10% karier HLA-Cw6 yang mengalami psoriasis, dan telah diperkirakan
bahwa PSORS1 mewakili hanya sepertiga sampai seperdua dari variasi liabilitas genetik
terhadap psoriasis. Dengan demikian, sangat mungkin bahwa gen non-MHC lain juga terlibat.
Disamping PSORS1, penelitian rangkai genetik (genetic linkage) telah mengidentifikasi 18
lokus kerentanan yang potensial. Akan tetapi, banyak dari lokus ini yang terbukti sulit
bereplikasi. Setelah PSORS1, lokus kerentanan psoriasis kedua yang mampu bereplikasi
adalah PSORS2 (17q24-q25), dengan empat penelitian independen yang memberikan bukti
mendukung (p<0,01). Telah dilaporkan baru-baru ini bahwa lokus ini berkontribusi bagi
psoriasis dengan mempengaruhi ekspresi gen SLC9A3R1, NAT1, dan/atau RAPTCR yang
terlibat dalam regulasi imunologi, namun ada beberapa penelitian yang tidak dapat
membuktikan temuan ini. Lokus-lokus lain yang menunjukkan bukti replikasi mencakup
PSORS4 (1c21.3), PSORS5 (3q21), PSORS8 (16q21-q13)a, dan PSORS9 (4q28-q31), dan
PSORS9 (4q28-q31). PSORS4 menetap dalam kompleks diferensiasi epidermal, yang
merupakan lokasi dari sekurang-kurangnya 58 gen yang terlibat dalam diferensiasi epidermal,
termasuk loricrin, involucrin, filagirin, daerah yang kaya prolin kecil, S100, dan gen-gen
penutup. Lokus PSORS5 pertama kali ditemukan terkait dengan psoriasis pada keluarga-
keluarga di Swedia; bukti untuk replikasi didasarkan pada dua penelitian korelasi. Lokus
PSORS8 timpang tindih dengan gen kerentanan untuk penyakit Chron (NOD2/CARD15) dan
berdampak pada artriris psoriatik. Lokus PSORS9 pertama kali diidentifikasi pada sebuah
populasi Cina, tetapi juga memberikan bukti untuk rangkai (linkage) pada empat rangkai
genome-wide lainnya yang melibatkan sebagian besar populasi Kaukasoid (ras kulit putih di
Eropa).

Patogenesis Psoriasis
Perkembangan lesi
Hubungan sebab akibat berbagai peristiwa seluler pada sebuah lesi psoriasis dapat diteliti
dengan menggunakan mikroskop elektron cahaya, imunohistokimia, dan studi-studi
molekuler terhadap kulit yang terlibat dan tidak terlibat, baik yang baru muncul maupun lesi
psoriasis lama. Peristiwa-peristiwa seluler ini ditunjukkan pada Gambar 18-2 dan dengan
fotomikrograf ril pada Gbr. 18-3.

Gambar 18-2. Perkembangan lesi psoriasis. Gambar ini melukiskan keadaan transisi dari kulit
normal menjadi lesi lengkap. Kulit normal dari seorang individu yang sehat (Bagian A)
mengandung sel-sel Langerhans, sel-sel dendritik imatur yang terpencar (D), dan sel T
memori yang menempati kulit (T) dalam dermis. Kulit yang tampak normal dari seorang
individu psoriatik (Bagian B) menunjukkan sedikit pembesaran dan kurvatur (pelengkungan)
kapiler, sedikit peningkatan jumlah sel mononuklear dermal dan sel mast (M). Biasanya
ditemukan sedikit peningkatan ketebalan epidermal. Pada psoriasis plak kronis, intensitas
perubahan ini tergantung pada jarak dari sebuah lesi yang telah terbentuk. Zona transisi
sebuah lesi yang sedang berkembang (Bagian C) ditandai dengan peningkatan pembesaran
dan kurvatur kapiler yang progresif, demikian juga jumlah sel mast, makrofage (MP), dan sel
T, dan degranulasi sel mast (lengkungan hitam di tengah gambar). Dalam epidermis, terjadi
peningkatan ketebalan disertai penambahan rete pegs, pelebaran ruang ekstraseluler,
diskeratosis sementara, pelepasan lapisan granular yang menyisakan bintik, dan
parakeratosis. Sel-sel langerhans (L) mulai keluar dari epidermis, dan sel-sel epidermal
dendritik (I) dan sel T CD8+ (8) mulai memasuki epidermis. Lesi yang telah berkembang
sempurna (Bagian D) ditandai dengan pembesaran dan kelengkungan kapiler secara lengkap
disertai: peningkatan aliran darah 10 kali lipat, berbagai makrofag terdapat dalam membran
dasar, dan peningkatan jumlah sel T dermal (terutama CD4+) yang bersentuhan dengan sel
dendiritik dermal yang sedang matang (D). Epidermis lesi yang telah matang
memanifestasikan hiperproliferasi keratinosit yang meningkat pesat (sekitar 10 kali lipat)
meluas sampai ke lapisan suprabasal bawah, pelepasan lapisan granular yang jelas tetapi
tidak seragam disertai pemadatan stratum korneum dan parakeratosis, jumlah sel T CD8+
yang meningkat, dan akumulasi neutrofil dalam stratum korneum (mikroabses Munro).

Gambar 18-3. Histopatologi psoriasis. A. Papula psoriasis yang sederhana. Pada keadaan
transisi dari pinggir ke pusat lesi, perhatikan penebalan epidermis yang progresif dengan
pemanjangan rete pegs, pembesaran dan lekukan pembuluh darah yang meningkat, dan
infiltrat sel mononuklear yang meningkat. Perhatikan pula keadaan transisi dari basket-weave
ke stratum korneum yang rapat dengan kehilangan lapisan granular pada pusat lesi. (Biopsi
jarum 4 mm, hematoksilin dan eosin, skala = 100 μM). B. Perbandingan kulit yang terlibat
dan yang tidak terlibat. Biopsi 4 mm diambil dari individu sama yang disampelkan pada
bagian A di hari yang sama. Kulit “tidak terlibat yang jauh dari lesi” diambil 0,5 cm dari
punggung atas dengan jarak 30 cm dari lesi psoriasis terdekat yang dapat dilihat. Kulit “tidak
terlibat di dekat pinggir lesi” diambil 0,5 cm dari pinggir sebuah plak 20-cm, yang telah ada
selama beberapa tahun, berdasarkan keterangan pasien. Kulit “plak pusat” diambil dari
daerah yang relatif tidak aktif (kurang memerah dan kurang bersisik) pada pusat plak ini.
Kulit “terlibat” diambil dari sebuah daerah aktif (lebih memerah dan lebih bersisik) sekitar 1
cm di dalam pinggir plak yang sama. Dalam membandingkan antara kulit “tidak terlibat yang
jauh dari lesi” dan kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” perhatikan bahwa kulit tidak
terlibat di dekat pinggir lesi memiliki ketebalan yang meningkat dan pemanjangan rete pegs
yang lebih cepat, pembesaran dan lekukan pembuluh darah, dan jumlah sel mononuklear
yang meningkat pada dermis atas, banyak diantaranya yang berada pada lokasi perivaskular.
Pada pasien ini, kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” juga menunjukkan frekuensi
keratinosit diskeratotik yang meningkat, sebuah temuan yang sebelumnya telah diamati pada
perifer lesi psoriatik. Dalam membandingkan daerah plak yang kurang aktif dengan yang
lebih aktif, perhatikan bahwa daerah yang lebih aktif menunjukkan infiltrat mononuklear
dermal yang meningkat, hiperkeratotis dan parakeratosis yang meningkat, dan mikroabses
Munro. (biopsi jarum 4 mm, hematoksilin dan eosin, skala = 100 μM).
Lesi awal. Pada tahap awal lesi makular seukuran kepala pin, terdapat edema, dan infiltrat-
infiltrat sel mononuklear pada dermis atas. Temuan ini biasanya terbatas pada daerah salah
satu atau kedua papila. Epidermis yang bersangkutan menjadi spongiotik (karakteristik mirip
busa), dan lapisan granular hilang pada titik tertentu. Venula pada dermis atas membesar dan
dikelilingi oleh infiltrat sel mononuklear. Temuan yang serupa ditemukan pada makula-
makula dini dan papula-papula psoriasis serta kulit yang tampak normal secara klinis 2
sampai 4 cm dari lesi aktif pada pasien yang mengalami kemerahan pada psoriasis gutata.
Temuan-temuan ini merupakan tanda dari “status pra-psoriasis”, yang terkait dengan faktor-
faktor genetik tertentu.

Lesi yang berkembang. Studi batas-batas klinis dari lesi yang sedikit lebih besar (0,5-1,0 cm)
menunjukkan sekitar 50% peningkatan penebalan epidermal pada kulit yang “tampak
normal” yang berdekatan langsung dengan lesi. Terjadi peningkatan aktivitas metabolik sel-
sel epidermal, yang mencakup stratum korneum, sintesis DNA yang meningkat, jumlah sel
mast dan makrofag dermal meningkat, dan degranulasi sel mast berkurang. Studi selanjutnya
menunjukkan peningkatan jumlah sel T dermal dan sel dendritik (DC) baik pada kulit
psoriatik yang terlibat maupun yang tidak terlibat relatif terhadap kulit normal. Di sekitar
pusat lesi terdapat “zona marginal”, dengan peningkatan ketebalan epidermal, peningkatan
parakeratosis dan pemanjangan kapiler, dan infiltrasi perivaskular dari limfosit dan
makrofage, tanpa eksudasi ke dalam epidermis. Baru-baru ini dilaporkan rete ridges mulai
berkembang dalam zona marginal, sebelum transisi akhir menjadi plak psoriasis penuh. Sel-
sel skuamosa memanifestasikan ruang-ruang ekstraseluler yang meluas dengan hanya sedikit
koneksi desmosomal. Parakeratosis biasanya membulat atau berintik.

Lesi matang. Lesi psoriasis yang sudah matang ditandai dengan pemanjangan rete ridges
yang merata, dengan penipisan epidermis di atas papila dermal. Massa epidermal bertambah
3-5 kali lipat, dan ada lebih banyak sel kanker (mitosa) yang sering diamati di atas lapisan
basal. Sekitar 10% keratinosit basal bersiklus pada kulit normal, dan meningkat menjadi
100% pada kulit psoriatik berlesi. Pelebaran ruang ekstraseluler di antara keratinosit tetap
berlangsung tetapi kurang dominan dibanding lesi yang sedang berkembang dan lebih
seragam dibanding spongiosis tipikal dari lesi-lesi kulit eczematous. Ujung-ujung rete ridges
sering berkelompok atau bergabung dengan ujung di dekatnya, disertai dengan papila
edematosa yang tipis dan memanjang serta mengandung kapiler-kapiler berlekuk dan
membesar. Parakeratosis, disertai hilangnya lapisan granula, sering menyusup secara
horizontal tetapi bisa berseberangan disertai ortokeratosis, dan hiperkeratosis lebih ekstensif
dibanding pada zona transisi. Infiltrat inflamasi di sekitar pembuluh darah dermis papiler
menjadi lebih intens tetapi masih terdiri dari limfosit, makrofag, DC, dan sel mast. Berbeda
dengan lesi awal dan zona transisi, limfosit berada dalam epidermis lesi matang. Neutrofil
keluar dari ujung sub-bagian kapiler dermal, yang berujung pada akumulasi dalam stratum
korneum parakeratotik (mikroabses Munro) dan terkadang akumulasi dalam lapisan spinalis
(pustula spongiformis Kogoj). Kumpulan serum juga bisa diamati dalam epidermis dan
stratum korneum.

Komponen-komponen seluler dalam sel-sel T psoriasis


Pada tahun 1984, ditunjukkan bahwa erupsi lesi kulit psoriatik disertai influks dan aktivasi
sel-sel T, tidak lama berselang ditemukan bahwa resolusi psoriasis selama fototerapi
didahului pengurangan jumlah sel T, terutama pada epidermis. Siklosporin A sangat efektif
dalam mengobati psoriasis, dan efek ini ditunjukkan melalui penghambatan sel T bukan
keratinosit. Lebih lanjut, psoriasis dapat dipicu atau disembuhkan dengan transplantasi
sumsum tulang, tergantung apakah donor atau host mengalami psoriasis. Peranan sel T dalam
psoriasis ditunjukkan secara fungsional pada tahun 1996 ketika diketahui bahwa proses
psoriasis bisa ditimbulkan dengan menginjeksikan sel-sel T autolog teraktivasi ke dalam kulit
psoriatik tidak-terlibat yang ditransplantasi pada mencit imunodefisiensi.
Sel T yang paling dikenal adalah kelompok CD4+ dan CD8+. Sebagian besar dari fenotip
memori (CD45RO+), sel-sel ini mengekspresikan antigen limfosit kutaneous (CLA), sebuah
ligan untuk E-selectin, yang secara selektif diekspresikan pada kapiler-kapiler kulit sehingga
memberikannya akses ke dalam kulit. Sel-sel T CD8+ sebagian besar terdapat dalam
epidermis, sedangkan sel-sel T CD4+ sebagian besar terdapat pada dermis atas. Profil sitokin
dari lesi-lesi psoriasis kaya akan interferon (IFN)-λ, yang merupakan tanda polarisasi T
helper 1 (Th1) dari sel-sel CD4+, dan polarisasi T sitotoksik 1 (Tc1) dari sel-sel CD8+. Akan
tetapi, sebuah kelompok sel T CD4+ baru, yang distimulasi dengan interleukin (IL)-23 dan
ditandai dengan produksi IL-17, baru-baru ini ditemukan dan bisa memegang peranan
penting dalam menjaga inflamasi kronis pada psoriasis dan kondisi-kondisi auto-inflamasi
lainnya.

Sel-sel T regulator. Ada beberapa populasi sel T regulator (Tregs) yang terlibat, tetapi yang
paling dikenal adalah sub-kelompok CD4+CD25. Sebuah penelitian terbaru terhadap sel T ini
pada psoriasis menunjukkan terganggunya fungsi inhibitori dan kegagalan untuk menekan
proliferasi sel-T efektor.

Sel NK dan sel T NK. Sel pembunuh alami (NK) merupakan penghasil IFN-γ yang utama
dan berfungsi sebagai jembatan antara imunitas alami dan imunitas yang didapat (acquired).
Sel-sel NK sebagian diregulasi oleh reseptor mirip imunoglobulin (KIR), yang mengenali
HLA-C dan molekul MHC klas I lainnya. KIR adalah famili dari sekitar 15 gen terkait dekat
yang terdapat pada kromosom 19q13.4, beberapa diantaranya menstimulasi dan yang lainnya
menghambat aktivasi sel NK. Baru-baru ini, gen-gen KIR ditemukan terkait dengan psoriasis
dan artritis psoriatik.

Sel-sel dendritik. Pengobatan yang utama diarahkan untuk molekul ko-stimulator yang
diekspresikan oleh DC penampil-antigen “profesional” dapat memulihkan psoriasis. Ini
menunjukkan bahwa sel-sel T dalam lesi psoriatik berhubungan konstan dengan DC, yang
mana memiliki peranan dalam pembangkitan respon imun adaptif dan induksi toleransi
sendiri (self-tolerance). Beberapa sub-kelompok DC telah ditemukan, dan banyak
diantaranya yang ditemukan pada keadaan matang dalam lesi-lesi psoriasis. Walaupun sel-sel
ini diyakini memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis, namun peranan spesifik
dari masing-masing sub-kelompok ini masih belum jelas.

Sel-sel Langerhans
Sel-sel Langerhans (LC) dianggap sebagai DC yang belum matang (iDC). LC memiliki
peranan yang jelas sebagai sel penampil antigen (APC) pada dermatitis kontak, tetapi
peranannya dalam psoriasis, dimana jumlahnya berkurang drastis, masih belum jelas. DC
yang kekurangan karakteristik granula Birbeck tetapi positif untuk molekul pematangan DC-
LAMP ditemukan dalam dermis lesi psoriasis, sehingga menunjukkan bahwa sel-sel ini
menjadi matang dan keluar dari epidermis selama perjalanan pembentukan lesi. Menariknya,
migrasi LC sebagai respon terhadap sitokin inflammatori sangat terganggu pada epidermis
psoriatik yang tidak terlibat.

Sel-sel epidermal dendritik inflamator


Meskipun merupakan iDC yang berasal dari monosit, sel-sel epidermal dendritik
inflammatory (IDEC) berbeda dengan LC berdasarkan kurangnya granula Birbeck dan
ekspresi CD1a yang lebih rendah. Berbeda dengan LC, IDEC hampir tidak ada pada kulit
normal, dan jumlahnya meningkat tajam pada epidermis dari lesi psoriasis aktif, serta pada
berbagai dermatosa inflammator lainnya.

Sel-Sel Dendritik Dermal


Sel dendritik dermal diidentifikasi dengan ekspresi MHC kelas II atau faktor XIIIa yang kuat.
Sel dendritik dermal tidak mengekspresikan penanda-penanda aktivasi pada kulit normal dan
bisa dianggap sebagai tipe lain dari iDC yang mirip dengan iDC mieloid yang ditemukan
pada jaringan-jaringan lain. Lesi-lesi psoriasis menunjukkan peningkatan jumlah keadaan
pematangan yang signifikan dari sel-sel ini.

Sel-Sel Dendiritik Plasmasitoid


DC plasmasitoid (pDC) tidak efisien dalam menampilkan antigen pada sel T. Akan tetapi,
sel-sel ini meregulasi inflamasi dan menghubungkan imunitas alami dengan imunitas adaptif,
menghasilkan jumlah IFN-α yang banyak saat teraktivasi. Dengan tidak terdapat pada kulit
normal, PDC meningkat signifikan pada kulit psoriatik yang terlibat dan yang tidak terlibat.
Tetapi hanya teraktivasi pada kulit yang terlibat. Menariknya, inhibisi pDC terbukti
mencegah perkembangan psoriasis pada model xenograf mencit. Sebaliknya, imiquimod,
yang telah dilaporkan memperburuk psoriasis, kemungkinan bekerja melalui sistem IFN tipe
I ini dengan mengikat reseptor Toll-like (TLR) 7 pada pDC.

Sel mast dan makrofag. Sel mast dan makrofag dominan pada lesi psoriasis tahap awal dan
tahap berkembang (lihat Gambar. 18-2). Banyak dari makrofag yang tersebar tepat di bawah
membran dasar, berdekatan dengan proliferasi keratinosit yang mengekspresikan kemokin
makrofag MCP-1. Sel-sel yang aktif secara fagosit ini terlibat dalam menghasilkan fenestrasi
(lubang) dalam membran dasar epidermal. Penelitian terbaru tentang dua model psoriasis
yang berbeda pada mencit, yang satu tergantung pada sel T dan yang lainnya tidak,
menunjukkan bahwa eliminasi makrofag secara selektif berujung pada perbaikan lesi.
Temuan-temuan baru ini menunjukkan bahwa makrofag memegang peranan penting dalam
patogenesis psoriasis, sekurang-kurangnya melalui produksi TNF-α.

Neutrofil. Walaupun secara umum ditemukan lesi psoriasis pada epidermis atas, neutrofil
muncul lambat selama perkembangan lesi, jumlahnya sedikit bervariasi, dan peranannya
dalam patogenesis psoriasis masih belum jelas. Penelitian-penelitian terbaru pada salah satu
model mencit menunjukkan bahwa neutrofil kemungkinan tidak diperlukan untuk terjadinya
lesi.

Keratinosit. Keratinosit adalah penghasil utama sitokin pro-inflammator, kemokin, dan


faktor-faktor pertumbuhan, serta mediator-mediator inflamasi lainya seperti eikosanoid dan
mediator imunitas alami seperti katelisidin, defensin, dan protein S100. Keratinosit psoriatik
terlibat dalam sebuah jalur alternatif dar diferensiasi keratinosit yang disebut pematangan
regeneratif. Pematangan regeneratif diaktivasi sebagai respon terhadap stimulasi imunologi
pada psoriasis, tetapi mekanisme pastinya belum diketahui sampai sekarang.

Tipe sel lain. Tipe-tipe sel lain, seperti endotelial dan fibroblast, kemungkinan berpartisipasi
dalam proses patogenik. Sel endotelial sangat teraktivasi pada lesi psoriasis yang sedang
berkembang atau lesi matang dan disamping menyebabkan peningkatan aliran darah 10 kali
lipat ke lesi, sel-sel endothelial juga memegang peranan utama dalam mengendalikan fluks
leukosit dan protein serum ke dalam jaringan psoriatik. Fibroblast mendukung proliferasi
keratinosit dengan cara parakrin, dan proses ini meningkat pada psoriasis. Fibroblast
menghasilkan banyak faktor kemotaksis dan mendukung migrasi sel T keluar dari lesi
psoriasis. Sehingga, fibroblast juga bisa terlibat dalam psoriasis dengan mengarahkan
lokalisasi sel T.

Molekule-Molekul Isyarat (Signalling) pada Psoriasis


Sitokin dan chemokin. Rangkaian sitokin pada psoriasis sangat kompleks, dengan melibatkan
aksi dan interaksi berbagai sitokin, kemokin, dan faktor-faktor pertumbuhan serta reseptor-
reseptornya di samping mediator-mediator lain yang dihasilkan oleh berbagai tipe sel.
Kombinasi sitokin dan faktor pertumbuhan bisa menghasilkan efek yang tidak ditemukan
apabila faktor-faktor ini diteliti secara tersendiri. Sebagai contoh, klon-klon sel T yang
diisolasi dari lesi kulit psoriasis mampu mempromosikan proliferasi keratinosit dengan cara
yang tergantung IFN-γ, tetapi dengan sendirinya, IFN-γ memiliki efek antiproliferatif
terhadap keratinosit-keratinosit yang dikulturkan.
Selain IFN-γ, beragam sitokin dan kemokin meningkat sensitifitasannya (upragulated) pada
psoriasis, termasuk sitokin TNF-α, IL-2, IL-6, IL-8, IL-15, IL-17, IL-18, IL-19, IL-20, dan
IL-22 dan kemokin MIG/CXCL9, IP-10/CXCL10, I TAC/CXCL11 dan MIP3α/CCL20.
Abnormalitas yang lebih kompleks ditemukan untuk sitokin-sitokin imunomodulasi dan
reseptornya, yang mencakup IL1 dan TGF-β. Plak psoriatik ditandai dengan dominasi sitokin
yang dihasilkan oleh sel-sel Th1 (IFN-γ, IL2, dan TNF-α) di antara yang dihasilkan oleh sel-
sel Th2 (IL-4, IL-5, dan IL-10). DC juga mengkontribusikan sitokin yang mencakup IL-18,
IL-20, IL-23, dan TNF-α. IL-18 dan IL-23 menstimulasi produksi IFN-γ dan sekarang ini
telah jelas bahwa IL-23 dan bukan IL-12 (yang memiliki subunit p40 sama dengan IL-23)
yang merupakan sumber utama dari ekspresi p40 yang meningkat pada lesi-lesi psoriatik.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, IL-23 mendukung inflamasi kronis dengan
mempertahankan sub-kelompok sel T CD4+ terpisah yang ditandai dengan produksi IL-17.
Baru-baru ini, sub-kelompok Th17 ini telah ditunjukkan memperluas IL-22, yang memediasi
inflamasi dermal terinduksi IL 23 dan hiperplasia epidermal pada mencit. Sitokin terpenting
yang saat ini dianggap terlibat dalam patogenesis psoriasis dirangkum pada Gambar. 18-4.

Gambar 18-4. Kunci interaksi sitokin pada lesi psoriasis. Hubungan sitkon pada psoriasis
sangatlah komplek, melalui berbagai interaksi sitokin, kemokin, dan faktor-faktor
pertumbuhan yang meliputi berbagai siklus positif dan umpan balik negatif. Hanya sitokin
yang dijelaskan pada gambar ini. Sitokin Th1 seperti interferon (IFN-γ) dan TNF-ά
merupakan sitokin spesifik, sedangkan IL-23 hanya sedikit implikasinya dalam patogenesis.
IL-2 diperkirakan untuk memelihara dan mempeluas sel T CD4+, yang dinamakan Th17,
yang dikarakteristikkan dengan produksi IL-17 dan IL-22. Sitokin-sitokin lainnya adalah sel
dendritik (DCs)CD4+ dan sel T CD8+, dan keratinosit (KCs). IFN-γ dan TNF-ά menginduksi
KCs untuk memproduksi IL-7, IL-8, IL-12, IL-15, IL-18, dan TNF-ά di samping sitokin-
sitkoin, ekmokin, dan faktor-faktor pertumbuhan. IL-18 bertindak dalam DCs secara sinergis
dengan Il-12 untuk meningkatkan produksi IFN-γ. IL-7 dan IL-15 penting untuk proliferasi
dan homeostasis sel T CD8+. IL-17 bekerja sama dengan IFN-γ untuk mengelisitasi sitkon
pro-inflamator dan kemokin oleh KCs, TGFά = trasforming growth factor- ά.

Mediator imun alami. Di samping sitokin dan chemokin, beberapa mediator imunitas alami
diekspresikan secara abnormal pada psoriasis. Yang paling utama adalah HBD-2 dan LL-37,
keduanya meningkat pada psoriasis tetapi tidak pada dermatitis atopik. Khususnya, ekspresi
HBD-2 dan LL-37 meningkat pada saat merespon sitokin pro-inflamasi dan sitokin tipe I
(TNF-α, IL1, dan IFN-γ) dan ditekan oleh sitokin tipe II (IL-4, IL-10, dan IL-13). Perbedaan
ekspresi peptida antimikroba membantu menjelaskan mengapa sekitar 30% pasien yang
mengalami dermatitis atopik memiliki infeksi bakteri atau virus, sedangkan hanya 7% dari
pasien psoriasis yang mengalami dermatitis atopik. Perbedaan ini juga menjelaskan mengapa
pasien psoriasis, meskipun sering terinfeksi Staphylococcus aureus, tidak dapat dibantu
banyak dengan pengobatan antibiotik, sedangkan pasien dermatitis atopik sering dapat
dibantu dengan terapi antibiotik. Protein S100 adalah famili protein berberat molekul rendah
dimerik yang mengikat kalsium dan kation divalen lainnya. Heterodimer S100A2, S100A7
(psoriasin), dan S100A3/A9 diekspresikan secara berlebih pada lesi-lesi psoriasis. Protein-
protein ini menghasilkan aktivitas kemotaksis dan antimikroba, melalui sekuestrasi ion-ion
zink. Oksida nitrat dihasilkan dalam jumlah besar oleh DC pada psoriasis melalui oksida
nitrat sintase yang dapat dihasilkan oleh sel, dimana oksida nitrat memicu berbagai proses
transduksi sinyal. Terakhir, komponen komplemen C5a merupakan sebuah kemotraktan
potensial untuk neutrofil dan bisa berkontribusi bagi akumulasi neutrofil dalam stratum
korneum psoriasis. Menariknya, komponen ini merupakan kemoatraktan yang paling
potensial untuk DC pada ekstrak pelepuhan psoriasis. Banyak dari mediator ini yang
diregulasi pada saat merespon terhadap reseptor TLR, sehingga menghasilkan sebuah
mekanisme dimana sistem imun alami bisa dengan cepat mengenali berbagai patogen
berdasarkan pola-pola molekuler nya yang terkait patogen.

Eikosanoid. Peranan eikosanoid dalam psoriasis masih belum jelas. Kadar asam arachidonat
bebas, leukotriena B4, asam 12-hidroksieikosatetraenoat, dan asam 15-
hidroksieikosatetraenoat meningkat pesat pada kulit berlesi, sedangkan kadar prostaglandin E
dan F2α meningkat kurang dari dua kali lipat.

Faktor-faktor pertumbuhan. Banyak faktor pertumbuhan yang memiliki ekspresi berlebihan


pada psoriasis. Anggota famili EGF (faktor pertumbuhan epidermal) menginduksi produksi
keratinositnya sendiri, yang mencakup TGF-α, ARE6, dan faktor pertumbuhan mirip EGF
pengikat heparin. Penelitian-penelitian terbaru pada xenograf mencit menemukan
pengurangan hiperplasia epidermal setelah netralisasi ARE6 yang diperantarai antibodi.
Aktivasi reseptor EGF menstimulasi produksi keratinosit dari VEGF (faktor pertumbuhan
endotelial vaskular), kemungkinan mewakili temuan bahwa sifat angiogenik dari kulit normal
dan kulit psoriasis terkait dengan epidermis. Polimorfisme dalam gen VEGF juga telah
dilaporkan terkait dengan psoriasis. Faktor pertumbuhan saraf (NGF) juga diekspresikan
berlebih oleh keratinosit pada kulit psoriasis, dan reseptor NGF meningkat pada saraf perifer
kulit berlesi. Faktor-faktor pertumbuhan parakrin yang dihasilkan di luar batas epidermal juga
bisa memegang peranan penting dalam menstimulasi hiperplasia epidermal pada psoriasis,
termasuk IGF-1 dan faktor pertumbuhan keratinosit.

Protease dan inhibitornya. Lesi psoriasis ditandai dengan ekspresi berbagai proteinase yang
berlebihan oleh keratinosit dan leukosit. Metaloproteinase melepaskan TNF-α, faktor
pertumbuhan mirip EGF, dan banyak sitokin lain dan faktor pertumbuhan dari prekursor
dalam membran mereka. Elastase yang berasal dari leukosit juga berdampak dalam pelepasan
faktor pertumbuhan mirip EGF. Serin protease secara langsung mengaktivasi reseptor yang
teraktivasi-protease. Masing-masing dari mekanisme ini bisa berkontribusi bagi stimulasi
proliferasi keratinosit. Inhibitor protease seperti elafin, serpinB3, dan serpinB13 (hurpin)
adalah diantara gen yang paling tinggi ekspresinya pada lesi psoriasis, sehingga menunjukkan
bahwa mekanisme-mekanisme homeostatis terlibat dalam upaya untuk meregulasi
lingkungan proteolitik pada lesi psoriatik.

Integrin. Beberapa penelitian menyarankan adanya peranan dini integrin α5 dan fibronektin
ligannya dalam psoriasis. Fibronektin meningkat pada epidermis psoriatik, dan telah diduga
bahwa fibronektin menjangkau epidermis melalui fenestrasi dalam membran dasar epidermal.

Transduksi sinyal. Dengan banyaknya perubahan transduksi sinyal interseluler, banyak


mekanisme transduksi sinyal yang terdisregulasi dalam epidermis psoriatik, termasuk jalur
reseptor tirosin kinase, protein kinase yang terkativasi-mitogen, Akt, STAT, famili kinase
Sre, dan jalur NF-kB. Abnormalitas ini mempengaruhi aktivitas dan lalu-lintas imunosit serta
respon proliferasi, diferensiasi dan kelangsungan keratinosit.

Psoriasis sebagai Penyakit Autoimun: Perpaduan Genetika dan Imunologi


Sel-sel T CD8+ terdiri dari sekurang-kurangnya 80% sel T dalam epidermis lesi psoriatik,
dan invasinya ke dalam epidermis berkorelasi dengan perkembangan lesi. Karena sel ini
menampilkan antigen ke sel T CD8+, HLA-Cw6 merupakan kandidat yang sangat baik untuk
keterlibatan fungsional pada psoriasis. Gambar 18-5 merupakan sebuah model transisi dari
psoriasis gutata menjadi plak kronis dan model peranan HLA-Cw6 dalam patogenesis
psoriasis. Banyak aspek dari model ini yang masih perlu diverifikasi dengan eksperimen.

Gambar 18-5 A.Model yang dipikirkan untuk transisi dari gutata kepada plak kronis
psoriasis. Hanya menggambarkan sel –T spesifik Streptococcus bermigrasi dari tonsil ke kulit
yang mana pada kulit sel T mengenali derivat antigen reaktif-silang daripada keratinosit yang
mengakibatkan terjadinya aktivitas inflamator (lesi guttate). Jika presentasi -silang yang
efektif tidak terjadi, penyakit akan sembuh dengan sendirinya. Jika presentasi-silang yang
efektif terjadi dalam tisu limfoid kulit sekunder, terjadinya generasi dan pengambilan sel T
auto-reaktif, sehingga mengakibatkan proses yang kronis.B. Peran dari HLA-Cw6 yang
dipikirkan dalam patogenesis dari psoriasis. Antigen dalam kantung pengikat dari HLA-C
(dalam kasus ini HLA-Cw6) berinteraksi dengan reseptor sel-T (TCR). Regio dari TCR yang
berinteraksi secara langsung dengan antigen adalah complement- determining region 3
(CDR3). Oligoklonilitas dari regio CDR3 telah ditunjukkan untuk sel T CD8+ , sehingga bisa
dipikirkan bahwa psoriasis adalah merupakan proses yang dipicu antigen. Peran dari HLA-
Cw6 dalam psoriasis bisa jadi 2 kali lipat. HLA-Cw6 adalah aktif dalam presentasi-silang
peptide pada permukaan dari sel dendritik, sehingga membolehkan aktivasi dan ekspansi
klonal dari antigen-spesifik sel CD8+. Proses ini bersifat dependen terhadap bantuan sel
CD4+ dan kemungkinan terjadi pada kedua dermis (aktivasi dari memori sel T residen) dan
kelenjar limfe lokal (aktivasi dari sel T yang mentah). Berikutnya, sel T CD8+ bisa
bermigrasi ke dalam epidermis yang mana disini mereka akan menemukan HLA-Cw6 pada
permukaan keratinosit dan memberikan presentasi yang sama dengan peptide patogenik. Ini
mengakibatkan pelepasan mediator inflamator dari sel T CD8+ dan aktivasi dari keratinosit ,
menghasilkan perkembangan lesi psoriatik.mDc= sel dendritik matang.
GEJALA KLINIS
Gambar 18-6 merupakan algoritma yang menunjukkan gejala klinis dan pengobatan untuk
psoriasis

Gambar 18-6
Algoritme diagnosis dan pengobatan bagi psoriasis. Diagnosa bagi psoriasis biasanya
berdasarkan presentasi klinis. Dalam beberapa kasus yang mana riwayat klinis dan
pemeriksaan adalah tidak diagnostik, biopsi perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosa
yang betul. Mayoritas dari kasus psoriasis adalah dibagikan kepada 3 kategori utama; gutata,
eritrodermik/ pustular, dan plak kronik,yang mana plak kronik adalah kasus yang sering
didapatkan. Psoriasis gutata merupakan penyakit yang sering sembuh sendiri dengan resolusi
spontan dalam tempoh 6 sehingga 12 minggu. Dalam kasus psoriasis gutata yang ringan,
pengobatan tidak diperlukan, tetapi dengan penyebaran yang meluas fototerapi ultraviolet B
(UVB) dengan asosiasi terapi topikal adalah sangat efektif. Psoriasis pustular/eritrodermik
sering berhubungan dengan simptom sistemik dan memerlukan pengobatan dengan
pengobatan sistemik kerja cepat. Obat yang sering digunakan bagi pengobatan psoriasis tipe
ini adalah acitretin. Dalam beberapa kasus dengan psoriasis pustular penggunaan steroid
sistemik adalah perlu (**). Panah berbintik menunjukkan bahwa bentuk gutata, eritrodermik
dan pustular sering berubah menjadi bentuk plak kronis. Pilihan terapi untuk psoriasis bentuk
plak kronis secara ipikalnya bergantung kepada derajat keparahan penyakit tersebut. Di
antara regimen utama pengobatan (terapi topikal, fototerapi, pusat pengobatan harian, dan
terapi sistemik), modalitas lini pertama dan lini kedua adalah diindikasikan dari garis tegas
dan garis putus-putus. Individu dengan kondisi yang menghambat aktivitas mereka, termasuk
adanya nyeri palmoplantar dan psoriatik arthritis, memerlukan pengobatan yang lebih poten
tanpa melihat luas area permukaan tubuh yang terkena penyakit ini. Isu fisiologis dan dampak
terhadap kualitas hidup juga harus diambil kira. Dalam tiap regimen pengobatan, pilihan lini
pertama dan lini kedua dikelompokkan. Siklosporin A tidak dipertimbangkan sebagai lini
pertama, pengobatan sistemik jangka panjang oleh karena efek sampingnya, tetapi
pengobatan jangka pendek bisa membantu menginduksi remisi. Jika pasien mempunyai
respon yang tidak mencukupi atau tidak bisa mentolerir pengobatan sistemik lini pertama
individu, kombinasi regimen (tabel 18-5), pengobatan rotasional, atau penggunaan terapi
biologik sekiranya haruslah diambil.
Riwayat Penyakit
Maklumat tentang onset usia dan riwayat tentang adanya psoriasis dalam keluarga adalah
penting untuk diketahui, oleh karena onset penyakit pada usia muda dan adanya riwayat
psoriasis dalam keluarga mempunyai tingkat kemungkinan terjadinya rekurensi yang lebih
tinggi serta penyebaran penyakit yang lebih meluas. Selanjutnya, pemeriksa seharusnya
menanyakan tentang perjalanan penyakit yang terjadi sebelumnya, oleh karena adanya
perbedaan yang besar antara fase ‘akut’ dan fase’kronis’ dari penyakit ini. Pada fase kronis,
lesi bisa menetap sehingga berbulan-bulan atau tahunan, manakala pada fase akut dari
penyakit ini pembentukan lesi secara meluas terjadi secara tiba-tiba dalam tempoh beberapa
hari. Namun begitu, pasien mempunyai tingkat variabilitas yang pelbagai untuk kambuh
kembali. Sebagian dari pasien mempunyai relaps yang frekuen dan terjadi dari tempo
mingguan hingga bulanan, manakala sebagian lainnya mempunyai proses penyakit yang lebih
stabil dan dengan sesekali terjadi rekurensi. Bagi pasien yang sering terjadi relaps, mereka
lebih cenderung menjalani tingkat penyakit yang lebih parah dengan pembentukan lesi lebih
besar yang terjadi dengan cepat sehingga hampir memenuhi keseluruhan badan dan
memerlukan pengobatan terperinci berbanding dengan pasien yang proses penyakitnya lebih
stabil. Sebagian dari obat bisa memperbarat kondisi psoriasis. Pemeriksa juga hendaklah
menanyakan tentang keluhan pada persendian. Walaupun kejadian osteoarthritis sering
didapatkan dan bisa terjadi bersama-sama dengan psoriasis, riwayat onset terjadinya gejala
pada persendian sebelum dekade ke-4 dan atau riwayat terjadinya bengkak yang terasa panas
pada persendian bisa menimbulkan kecurigaan terjadinya psoriatik arthritis.

Lesi Kulit
Bentuk klasik dari lesi pada psoriasis adalah berbatas tegas, plak merah dengan permukaan
skuama berwarna putih (gambar 18-7). Lesi bisa bervariasi saiznya dari papula kecil sehingga
plak yang menutupi sebagian besar area badan. Pada bawah dari permukaan skuama, kulit
terlihat mempunyai eritema yang merata dan berkilat, dan bintik-bintik darah dapat dilihat
apabila permukaan skuama dilepas, yang mana ini mengakibatkan trauma pada kapiler yang
dilatasi dibawahnya (tanda Auspitz) (gambar 18-8). Erupsi pada psoriasis cenderung terjadi
simetris sehingga ini merupakan tanda yang membantu dalam penegakan diagnosa. Namun,
erupsi unilateral juga bisa terjadi. Fenotip psoriasis bisa memberikan spectrum yang berubah
dariekspresi penyakit walaupun pada pasien yang sama.
Fenomena Koebner (turut dikenal sebagai respon isomorfik) adalah induksi trauma dari
psoriasis pada kulit; lebih sering terjadi semasa perkembangan penyakit dan merupakan
fenomena semua- atau- tiada (contoh, jika psoriasis terjadi pada satu dari bagian yang kulit
yang terluka maka akan terjadi pada semua bagian lain yang terluka) (gambar 18-9). Reaksi
Koebner biasanya terjadi 7-14 hari setelah terjadinya luka, setidaknya 25% dari pasien
mempunyai riwayat trauma yang berhubung dengan fenomena Koebner pada suatu masa dari
hidup mereka. Anggaran prevalensi masa hidup meningkat sehingga 76 % manakala faktor
seperti infeksi, stress emosi dan reaksi obat turut dimasukkan. Fenomena Koebner adalah
tidak spesifik untuk psoriasis namun adanya fenomena ini bisa membantu untuk menegakkan
diagnosa psoriasis pada pasien.
Gambar 18-7
Psoriasis plak kronis pada lokasi tipikal. Perhatikan lesi simetris yang berbatas tegas.

Gambar 18-8. Tanda Auspitz. Perhatikan bintik darah setelah lapisan skuama dilepas.

Gambaran Klinis dari Lesi Kulit.


Psoriasis vulgaris, Psoriasis kronis stationair, Psoriasis tipe plak. Psoriasis vulgaris
merupakan tipe yang paling sering didapatkan dari bentuk psoriasis, dilihat pada hampir 90%
dari jumlah pasien. Plak merah, skuama, dan distribusi simetris didapatkan secara
karakteristik di aspek ekstensor dari ekstrimitas, terutamanya pada siku dan lutut, kulit
kepala, lumsakral bawah, punggung, dan juga keterlibatan pada alat genital (lihat gambar 18-
7). Lokasi lain dari predileksi penyakit ini adalah umbilikus dan celah intergluteal. Derajat
atau luas bagian tubuh yang terlibat adalah berbeda bagi setiap pasien. Terdapat produksi
skuama yang konstan dalam jumlah yang besar dengan alterasi yang kecil dari aspek bentuk
dan distribusi dari plak per individu. Lesi tunggal yang kecil bisa jadi konfluen, membentuk
plak dengan batas yang menyerupai peta (psoriasis geografika). Lesi bisa meluas secara
eksternal dan berbentuk bulat oleh karena konfluen dari beberapa plak (psoriasis girata).
Kadangkala, terdapat bagian sentral yang bebas secara partial sehingga membentuk lesi
berbentuk seperti cincin (psoriasis annular) (gambar 18-10). Ini selalunya berhubung dengan
kawasan lesi yang bebas dan menandakan prognosis yang bagus. Variasi klinikal lainnya dari
psoriasis bentuk plak dideskripsikan atas morfologi dari lesi , terutamanya yang terkait
dengan hioerkeratinosis yang berlebihan (lihat gambar 18-10). Psoriasis rupioid merujuk
kepada lesi yang berbentuk kon. Psoriasis ostraseus merupakan suatu istilah yang jarang
dipakai yang merujuk kepada lesi hiperkeratotik cekung yang berbentuk seperti cincin yang
menerupai cangkerang. Terakhir psoriasis elephantine adalah suatu bentuk psoriasis yang
jarang ditemukan, dengan karateristik seperti skuama yang tebal,plak besar terutama pada
ekstremitas bawah. Kadang bisa dilihat satu cincin hipopigmentasi (cincin Woronoff) yang
mengelilingi lesi psoriatik pada individu selalunya berhubungan dengan pengobatan
terutamanya radiasi UV atau penggunaan kortikosteroid topikal (lihat gambar 18-10).
Patogenesisnya masih belum diketahui sepenuhnya tapi bisa mengakibatkan inhibisi dari
produksi prostaglandin.
Gambar 18-9. Fenomena Koebner. A. Psoriasis terjadi pada lokasi biopsi keratome 4 minggu
setelah biopasi dilakukan.B. Psoriasis yang meluas setelah kejadian sengatan matahari.
Perhatikan kawasan yang dilindungi dari cahaya matahari tidak terjadi psoriasis.

Gambar 18-10. Psoriasis tipe plak yang tidak tipikal. A. Psoriasis anular pada sisi samping
badan. B. Psoriasis rupiod pada anak; perhatikan lesi berbentuk kon. C. Pasien dengan
psoriasis yang sedang menjalani proses terapi Goeckerman termodifikasi (cahaya ultraviolet
B, tar arang, steroid topikal ) menunjukkan adanya cincin Woronoff D. Psoriasis elephantine
pada ekstremitas bawah; perhatikan psoriasis turut mengenai kuku jari kaki.

Psoriasis (Eruptif) Gutata


Psoriasis gutata (dari kata Latin gutta yang berarti setitik) dikarakteristikan dengan erupsi
papul kecil (0.5 sehingga 1.5 cm pada diameternya) pada batang tubuh bagian atas dan
ekstremitas atas (gambar 18-11). Secara tipikal, ia sering bermanifestasi pada usia muda dan
sering ditemukan pada dewasa muda. Bentuk psoriasis ini mempunyai hubungan yang paling
kuat dengan HLA- Cw6, dan infeksi streptokokal pada tenggorokan sering mendahului atau
terjadi bersama-sama dengan onset dari psoriasis gutata. Tetapi terapi antibiotik telah dilihat
tidak memberikan fedah atau memendekkan perjalanan penyakit. Pasien dengan riwayat
psoriasis plak kronis bisa mendapatkan lesi gutata dengan atau tanpa memperparah kondisi
dari plak kronis mereka.

Gambar 18-11. Psoriasis gutata, yang melibatkan paha (A), tangan (B), dan punggung (C dan
D). Pasien pada gambar D, penyakitnya berkembang menjadi psoriasis plak kronis.

Psoriasis Plak Kecil


Psoriasis plak kecil menyerupai psoriasis gutata secara klinisnya, tetapi dapat dibedakan atas
onsetnya yang sering pada usia tua, derajat keparahannya, dan mempunyai lesi yang lebih
besar (tipikalnya 1-2 cm) yang lebih tebal dan berskuama dari bentuk gutata. Adanya
pemikiran bahwa bentuk ini sering ditemukan pada presentasi dengan onset usia tua dari
psoriasis pada orang Korea dan negara Asia lainnya.

Psoriasis Tipe Inverse


Lesi psoriasis bisa terdapat dilokasi pada lipatan kulit mayor seperi pada aksila, region
genital-kruria, dan pada leher. Skuama terutamanya minimal atau tiada sama sekali, dan lesi
menunjukkan eritema berbatas tegas yang mengkilat, terutamanya pada lokasi area kontak
kulit ke kulit (gambar 18-12).Proses berkeringat terganggu pada area yang terlibat.
Gambar 18-12. Psoriasis terbalik. Perhatikan bentuk plak yang mengkilat, bewarna merah
seperti daging dan berbatas tegas pada A. Pasien pada B mempunyai atropi dan purpura pada
bagian dalam atas dari lengan, terjadi sekunder akibat pengobatan kortikosteroid topikal
kronis.

Psoriasis Eritrodermik
Psoriasis eritroderma merujuk kepada bentuk penyakit yang meluas pada semua bagian
tubuh, termasuklah muka, tangan, kaki, kuku, trunkus, dan ekstremitas (gambar 18-13).
Walaupun semua simptom dari psoriasis ada, eritema merupakan tanda yang paling nyata,
dan skuama adalah berbeda berbanding dengan bentuk psoriasis stationair yang kronis. Pada
tipe ini yang didapatkan adalah skuama superfisial dan bukannya skuama tebal yang
berlekatan. Pasien dengan psoriasis eritrodermik mengalami kehilangan skuama yang
berlebihan oleh karena vasodilatasi yang meluas sehingga bisa mengakibatkan hipotermia.
Pasien bisa jadi menggigil untuk meningkatkan suhu tubuh mereka. Kulit psoriatik biasanya
dalam kondisi hipohidrotik oleh karena terjadinya oklusi pada duktus keringat, dan adanya
resiko hipertermia pada daerah yang panas. Edema pada ekstremitas bawah sering didapatkan
oleh karena terjadinya vasodilatasi dan kehilangan protein dari pembuluh darah ke dalam
tisu. Kegagalan cardiac output yang tinggi serta kegagalan pada fungsi hepar dan ginjal bisa
terjadi. Psoriatik eritroderma mempunyai pelbagai presentasi, tetapi hanya 2 bentuk yang
dipikirkan ada. Dalam bentuk yang pertama, psoriasis plak kronis bisa memburuk dan
melibatkan sebagian atau semua permukaan kulit, dan pasien berespons secara relatif
terhadap terapi. Dalam bentuk yang kedua, eritroderma yang meluas bisa didapatkan secara
tiba-tiba atau akibat tidak mentolerir pengobatan eksternal (contoh, UVB, Antralin) sehingga
memberikan presentasi suatu reaksi Koebner yang meluas. Psoriasis pustular yang meluas
[lihat Psoriasis Pustular yang Meluas (von Zumbusch)] bisa berbalik menjadi eritroderma
dengan pengurangan atau tiada formasi pustula. Kadangkala masalah diagnostic bisa terjadi
pada psoriatik eritroderma yang terjadi akibat kasusa yang berbeda.

Gambar 18-13. Psoriasis eritrodermik. Pasien pada A mempunyai psoriasis plak kronis yang
berkembang sehingga hampir menutupi keseluruhan area tersebut. Pasien pada B juga
mengalami perkembangan penyakit sehingga hampir keseluruhan badan dan memberikan
keluhan lemah dan malaise. Perhatikan area yang tidak terkena penyakit pada kedua
lengannya.

Psoriasis Pustular
Terdapat beberapa variasi klinis dari bentuk psoriasis pustulosa: psoriasis pustulosa yang
meluas (tipe von Zumbusch), psoriasis pustulosa annular, herpetiformis impetigo, dan 2
variasi dari psoriasis pustulosa yang terlokalisasi-palmaris pustulosis et. plantaris dan
arkodermatitis kontinua. Pada anak-anak, psoriasis pustulosa bisa dikomplikasikan dengan
lesi litik yang steril pada tulang dan bisa bermanifestasi sebagai sindroma SAPHO (sinovitis,
acne, pustulosis, hiperostosis, osteitis).

Psoriasis Pustulosa yang Meluas (von Zumbusch)


Psoriasis Pustular yang Meluas (von Zumbusch) merupakan bentuk psoriasis akut yang
berbeda dari variasi bentuk psoriasis. Bentuk ini biasanya didahului oleh bentuk penyakit
lainnya. Bentuk serangannya mempunyai karakteristik seperti demam yang berlanjut
sehingga beberapa hari dan erupsi dari pustula steril yang meluas dengan diameter 2-3 mm
(lihat gambar 18-4). Pustulanya tersebar ke seluruh batang tubuh dan ekstremitas termasuklah
kuku, telapak tangan dan telapak kaki. Pustula ini biasanya terjadi pada permukaan kulit yang
sangat eritromatous, pertamanya sebagai suatu bercak, (gambar 18-15) dan kemudiannya
menjadi konfluen seiring dengan memberatnya penyakit ini. Proses penyakit yang terus
berkelanjutan bisa menyebabkan jari-jari menjadi atropik. Eriterma ini mengeliling pustula
dan sering menyebar dan menjadi konfluens, sehingga menjadi eritroderma. Secara
karakteristiknya, penyakit ini terjadi dalam gelombang dari demam dan pustula. Etiologi dari
psoriasis bentuk ini tidak diketahui. Pelbagai agen provokasi termasuk infeksi, pencetus yang
menimbulkan iritasi (fenomena Koebner), dan penarikan dari penggunaan kortikosteroid oral.
Bentuk psoriasis ini selalunya berhubungan dengan tanda sistemik yang prominen dan
berpotensi menjadi komplikasi yang berakibat fatal seperti superinfeksi bakteri, sepsis, dan
dehidrasi. Psoriasis pustulosa yang berat sukar dikontrol dan memerlukan regimen
pengobatan dengan onset kerja cepat untuk mengelakkan terjadinya komplikasi yang
mengancam jiwa. Obat yang biasanya digunakan adalah termasuk etretinat, metrotreksat
(MTX), siklosporin; atau kortikosteroid oral. Kasus sindrom distres pernapasan akut yang
berhubungan dengan psoriasis pustulosa juga pernah dilaporkan.

Gambar 18-14. A-C. Generalisata, Von Zumbuch, psoriasis tipe pustular, diameter 1-2 mm
pada dasar kulit yang eritematosa.

Gambar 18-15. Psoriasis pustular. Panel B merupakan gambaran pustula dari jarak dekat
yang dibesarkan dari panel A.

Psoriasis Pustulosa Eksantematik


Psoriasis Pustulosa Eksantematik cenderung terjadi setelah infeksi virus dan terdiri dari
pustulosa yang meluas dengan psoriasis tipe plak pada hampir seluruh tubuh. Namun pada
tipe ini tidak ditemukan gejala konstitusional dan kelainan ini cenderung tidak kambuh
kembali, tidak seperti tipe von Zumbusch. Terdapat persamaan pada tipe ini dengan tipe
pustulosa eksantematous yang meluas secara akut, salah satu tipe dari erupsi obat.

Psoriasis Pustulosa Anular


Psoriasis pustulosa anular merupakan variasi yang jarang dari tipe psoriasis pustulosa. Pada
tipe ini selalu didapatkan bentuk cincin atau bulat. Lesi bisa didapatkan pada onset dari
psoriasis pustulosa, dengan kecenderungan meluas ke seluruh tubuh dan membentuk cincin
besar atau tipe ini bisa terjadi ketika proses perjalanan dari penyakit tipe psoriasis pustulosa
meluas. Bentuk karakteristik dari pustulosa adalah pustul di atas eritema yang berbentuk
cincin yang kadangkala menyerupai eritema anular sentrifugum. Lesi yang sama didapatkan
pada pasien dengan impetigo herpetiformis, satu entiti yang didefinisikan oleh sebagian
peneliti sebagai variasi dari tipe psoriasis pustulosa yang terjadi semasa tempoh kehamilan.
Onsetnya pada kehamilan adalah ketika trimester ketiga dan berlangsung terus sehingga
waktu melahirkan . Tipe ini cenderung terjadi lebih awal pada kehamilan yang berikutnya.
Impetigo herpetiformis juga sering dikaitkan dengan keadaan hipokalemia. Biasanya tidak
didapatkan sebarang riwayat psoriasis baik pada penderita maupun keluarga.

Variasi Psoriasis Pustulosa Terlokalisasi


Variasi psoriasis pustulosa terlokalisasi, termasuklah psoriasis pustulosa palmaris et. plantaris
dan akrodermatitis kontinua (dari Hallopeu).

Sebopsoriasis
Merupakan bentuk klinis yang sering didapatkan, sebopsoriasis memberikan presentasi plak
eritematous dengan skuama mengkilat yang terlokalisasi pada area seboroik (kulit kepala,
glabella, lipatan nasolabial, area perioral dan presternal, dan area intertriginous. Sukar untuk
membedakan tipe ini dengan dermatitis seboroika oleh karena sukar didapatkan temuan
tipikal dari psoriasis. Sebopsoriasis bisa menyerupai suatu modifikasi dari dermatitis
seboroika dari latar belakang genetik dan secara relatif resistan terhadap pengobatan.
Pengobatan dengan menggunakan agen antifungal adalah berguna walaupun diagnosa dengan
kausa Pityrosporum belum ditegakkan.

Psoriasis Napkin
Psoriasis Napkin biasanya bermula antara usia 3 sehingga 6 bulan dan pertamanya muncul
pada area pemakaian popok (napkin) sebagai area konfluen yang merah dan diikuti oleh
adanya papul merah kecil pada area trukus sehingga ekstremitas beberapa hari berikutnya.
Papul-papul ini juga mempunyai skuama putih tipikal seperti pada psoriasis. Area muka juga
bisa ikut terlibat dengan erupsi skuama merah. Tidak seperti tipe lain dari psoriasis, bercak
ini berespon terhadap pengobatan dan biasanya menghilang apabila anak telah berusia 1
tahun.

Psoriasis Linear
Psoriasis linear merupakan suatu bentuk psoriasis yang jarang ditenukan Lesi psoriatik
tampak sebagai lesi linear terutama pada ekstremitas tetapi bisa juga terlimitasi pada kulit
bagian trunkus. Ini bisa jadi nevus yang tertutupi, kemungkinan nevus epidermal verukous
linear (ILVEN), oleh karena lesi ini menyerupai psoriasis linear baik secara klinikal dan
histologi. Adanya bentuk linear dari psoriasis yang berbeda dari ILVEN adalah masih
kontroversi.

Penemuan Fisik yang Berkaitan


Perubahan kuku dalam Psoriasis
Perubahan kuku adalah sering dalam psoriasis, ditemukan sehingga hampir 40% dari pasien,
juga sering ditemukan pada penyakit kulit lainnya. Keterlibatan kuku meningkat dengan usia,
dengan durasi dan proses penyakit, dengan adanya psoriatic arthritis. Beberapa perubahan
nyata telah dideskripsikan dan bisa dikelompokkan mengikut porsi kuku yang terkena (tabel
18-1).

Tabel 18-1
Perubahan kuku pada Psoriasis
Segmen kuku yang terlibat Tanda Klinikal
Matriks proksimal Pit, onikoreksis, garis Beau’s
Matriks intermediat Leukonikia
Matriks distal Onikolisis fokal, penipisan kuku, eritema pada lunula
Permukaan kulit di bawah kuku Tanda ‘tetes minyak’ atau ‘bercak salmon’, hiperkeratosis
subungal, onikolisis, perdarahan splint.
Hiponikium hiperkeratosis subungal, onikolisis
Permukaan kuku Reput atau destruksi dengan perubahan sekunder lainnya pada lokasi
spesifik
Lipatan proksimal dan lateral kuku Psoriasis kutaneous
Pit pada kuku merupakan ciri yang paling sering ditemukan pada psoriasis, sering melibatkan
jari-jari tangan berbanding jari kaki (gambar 18-16). Ukuran pits bisa bervariasi dari 0.5
sehingga 2.0 mm dan bisa jadi tunggal atau multipel. Matriks kuku proksimal membentuk
porsi dorsal (superfisial) dari permukaan kuku, dan keterlibatan psoriatik pada region ini
mengakibatkan terjadinya pits oleh karena keratinisasi defektif. Alterasi lain pada matriks
kuku mengakibatkan deformitas pada kuku (onikodistrofi) termasuklah leukonikia, kuku
reput, dan bintik merah pada lunula. Onikodistrofi mempunyai hubungan yang kuat dengan
psoriatic arthritis berbanding dengan perubahan lainnya pada kuku. Bintik minyak dan bercak
salmon adalah tranlusen, diskolorasi bewarna kuning-merah diperhatikan dibawah dari
permukaan kuku sering meluas dari distal ke hiponikium, oleh karena hiperplasia
psoriasiform, parakeratosis, perubahan mikrovaskular, dan terperangkapnya neutrofil
dibawah permukaan kuku. Berbeda dengan pits, yang juga bisa dilihat pada alopecia areata
dan diskolorasi lainnya, bintik minyak dipikirkan merupakan cirri yang hamper spesifik
untuk psoriasis. Perdarahan splint diakibatkan oleh perdarahan kapiler dibawah permukaan
suprapapiler yang tipis pada permukaan kuku yang psoriatik. Hiperkeratosis subungual
adalah karena hiperkeratosis pada permukaan kuku dan sering bersamaan dengan onikolisis
(kuku dari jari) terutamana melibatkan aspek distal dari kuku. Anonikia merupakan
pemisahan total kuku jari. Walaupun perubahan kuku jarang ditemukan pada variasi dari
pustulosis palmaris et plantaris, anonikia bisa dilihat pada dalam bentuk psoriasis pustulosa
lainnya.
Gambar 18-16. Psoriasis kuku. Panel A menunjukkan onikolisis distal dan spot ‘tetes
minyak’. Panel B menunjukkan onikolisis distal, diskolorasi bercak salmon, dan pits.Panel C
menunjukkan perdarahan splint dan pits.Panel D menunjukkan

Lidah Geografis
Lidah Geografis, juga turut dikenal sebagai benign migratory glossitis atau glossitis area
migrans, merupakan kelainan inflamator yang idiopatik yang mengakibatkan hilangnya
papillae filiformis lokal. Kondisi ini biasanya memberikan presentasi sebagai bercak
eritematous yang asimptomatik dengan batas yang bergelombang, menyerupai sebuah peta.
Lesi ini mempunyai karakteristik sifat yang bermigrasi. Lidah geografis telah dipostulasikan
untuk menjadi salah satu variasi oral dari psoriasis, oleh karena lesi ini menunjukkan
beberapa ciri histologik dari psoriasis, termasuk akantosis, clubbing dari batas ridge,
parakeratosis fokal, dan infiltrasi neutrofilik. Tambahan terdapat prevalensi dari lidah
geografis yang meningkat pada pasien psoriatik. Tetapi, lidah geografis merupakan kondisi
yang sering didapatkan dan juga bisa dilihat pada individu tanpa psoriasis, maka
hubungannya dengan psoriasis harus diklarifikasikan lebih lanjut.

Psoriasis Arthritis
Arthritis merupakan manifestasi ekstra kutaneous yang sering didapatkan dari psoriasis dan
didapatkan pada hampir 40% pasien. Ia mempunyai komponen genetik yang kuat dan
terdapat beberapa subtipe yang sama.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Walaupun pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosa, namun
ini sangat membantu dalam kasus yang sukar.Temuan histologik dari psoriasis gutata dan
psoriasis plak kronis telah diterangkan (lihat perkembangan dari lesi). Pada awal
perkembangan lesi dari tipe psoriasis pustulosa, epidermis hanya mengalami sedikit
akantosis, manakala psoriasis membentuk hiperplasia yang bisa ditemukan pada lesi lama dan
persisten. Migrasi neutrofil dari pembuluh darah yang dilatasi pada dermis atas ke dalam
permukaan epidermis yang mana mereka beragregasi di bawah stratum korneum dan ke
lapisan Malphigian atas untuk membentuk pustulosa spongioform dari Kogoj.
Abnormalitas lainnya yang bisa ditemukan pada pemeriksaan laboratorium dari psoriasis
adalah tidak spesifik dan kadang tidak ditemukan pada semua pasien. Pada pasien dengan
psoriasis vulgaris berat, psoriasis pustulosa yang meluas, dan eritroderma, dan sisa nitrogen
negative bisa terdeteksi, bermanifestasi sebagai penurunan dari serum albumin.
Pasien dengan psoriasis mempunyai manifestasi perubahan profil lipid, walaupun ketika
onset dari penyakit kulit mereka. Pasien mempunyai peningkatan sehingga 15% kadar dari
lipoprotein densitas-tinggi,dan perbandingan kolesterol-trigliserida untuk partikel lipoprotein
densitas-rendah meningkat sehingga 19%. Selanjutnya, konsentrasi plasma apolipoprotein-
A1 adalah lebih tinggi sehingga 11% pada pasien psoriasis. Apakah perbedaan pada profil
lipid ini bisa menerangkan atau mengkontribusi kepada peningkatan kejadian kardiovaskuler
pada psoriasis masih dalam penelitian.
Serum asam urat meningkat sehingga 50% dari pasien dan terutamanya berhubung dengan
luasnya lesi dan aktivitas penyakit. Terdapat peningkatan resiko mendapat gout arthritis.
Serum asam urat biasanya kembali normal setelah terapi.
Marker dari inflamasi sistemik bisa meningkat termasuklah, protein C-reaktif, α2-
makroglobulin, dan kadar sedimen eritrosit. Tetapi peningkatan tersebut jarang didapatkan
pada psoriasis plak kronis tanpa komplikasi arthritis. Peningkatan kadar serum
immunoglobulin (Ig) A dan kompleks imun Ig A, juga amiloidosis sekunder telah
diperhatikan dalam psoriasis, dan yang terakhir mempunyai prognosis yang buruk.

Uji Laboratorium
Walaupun pemeriksaan histopatologi jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, namun
bisa membantu pada kasus-kasus yang sulit. Temuan histopatologi dari psoriasis guta dan
psoriasis plak kronis telah ditemukan (lihat Perkembangan Lesi). Pada awal-awal lesi
psoriasis pustular, epidermis biasanya hanya sedikit mengalami akantosis, sedangkan
hiperplasia psoriasiformis ditemukan pada lesi yang sudah lama dan persisten. Neutrofil
bermigrasi dari pembuluh-pembuluh yang membesar dalam dermis atas ke dalam epidermis
dimana mereka berkumpul di bawah stratum korneum dan dalam lapisan Malphigian atas
untuk membentuk pustula-pustula spongiformis Kogoj.
Kelainan-kelainan laboratorium lainnya pada psoriasis biasanya tidak spesifik dan mungkin
tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang parah, psoriasis pustular
menyeluruh, dan eritroderma, sebuah keseimbangan nitrogen negatif bisa dideteksi,
dimanifestasikan oleh penurunan albumin serum.
Pasien-pasien psoriasis memanifestasikan profil-profil lipid yang berubah, bahkan pada onset
penyakit kulitnya. Pasien memiliki kadar protein berkepadatan-tinggi yang 15% lebih tinggi,
dan rasio kolesterol-trigliserida untuk partikel-partikel lipoprotein berkepadatan rendah
adalah 19% lebih tinggi. Lebih lanjut, konsentrasi apolipoprotein-A1 plasma 11% lebih tinggi
pada pasien-pasien psoriasis. Apakah perbedaan-perbedaan profil lipid ini bisa menjelaskan
atau berkontribusi terhadap kejadian insiden kardiovaskular yang meningkat masih perlu
diteliti.
Asam urat serum meningkat pada hingga 50% pasien dan utamanya terkait dengan luasan lesi
dan aktivitas penyakit. Ada risiko yang meningkat untuk mengalami arhritis gouty. Kadar
asam urat serum biasanya kembali normal setelah terapi.
Penanda inflamasi sistemik bisa meningkat, termasuk protein C-reaktif, α2-makroglobulin,
dan laju pengendapan eritrosit. Akan tetapi, peningkatan-peningkatan seperti ini jarang pada
psoriasis plak kronis yang tidak diperparah oleh arthritis. Kadar imunoglobulin (Ig) A yang
meningkat dan kompleks imun IgA, serta amiloidosis sekunder, juga telah diamati pada
psoriasis, dan yang terakhir membawa prognosis buruk.

Uji-Uji Khusus
Teknik-teknik imunostaining, pemilahan sel teraktivasi fluoresensi untuk suspensi-suspensi
sel yang terdisosiasi, dan penilaian penataan ulang gen reseptor sel T memiliki peranan
penting dalam penyelidikan patogenesis psoriasis dan dalam menentukan respons terhadap
terapi-terapi anti-psoriatik, tetapi pada umumnya tidak diperlukan untuk diagnosis atau
penatalaksanaan.

DIAGNOSIS BANDING

Psoriasis Vulgaris
Sangat mirip
 Eczema diskoid/mummular
 Limfoma sel-T kutaneous (CTCL)
 Tinea corporis
Pertimbangkan
 Pityriasis rubra pilaris
 Dermatitis seboroik
 Lupus eritematous kutaneous subakut
 Eritrokeeratoderma (plak-plak keratoderma variabilis dan/atau eritrokeratoderma simetris
progresif)
 Nevus epidermal verukosa linear inflammatory
 Lichen planus hipertropi
 Dermatitis kontak
 Lupus eritematosus kronis/lupus eritematosus diskoid
 Penyakit Hailey-Hailey (fleksural)
 Intertrigo (fleksural)
 infeksi Candida (fleksural)
Selalu pastikan tidak terdapat:
 Penyakit bowen/karsinoma sel skuamus in situ
 penyakit Paget ekstrammary

Psoriasis Guta
Sangat mirip
 Pityriasis rosea
 Pityriasis lichenoides chronica
 Lichen planus
Pertimbangkan
 Parapsoriasis plak kecil
 PLEVA
 Lichen planus
 Erupsi akibat obat
Selalu pastikan tidak terdapat:
 Syphilis sekunder
Psoriasis Eritrodermi
Sangat mirip
 Eritoderma diakibatkan obat
 Eczema
 CTCL/sindrom Sezary
 Pityriasis rubra pilaris

Pustular
Sangat mirip
 Impetigo
 Candidiasis superfisial
 Sindrom arthritis reaktif
 Folikulitis superfisial
Pertimbangkan
 Pemfigus folaceous
 Pemfigus A imunoglobulin
 Penyakit Sneddon-Wilkison (dermatosis pustular sub-kornea)
 Eritema nekrolitik migratory
 Melanosis pustular neonatal sementara
 Akropustulosis bayi
 Pustulosis eksantematosa menyeluruh akut
KOMPLIKASI
Pasien-pasien yang mengalami psoriasis memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang
meningkat akibat insiden-insiden kardiovaskular, khususnya yang terjadi pada penyakit kulit
psoriasis yang parah dan berdurasi lama.
Pasien-pasien psoriasis juga telah dibuktikan memiliki resiko limfoma yang relatif
meningkat, khususnya pada pasien-pasien yang memiliki psoriasis parah.
Psoriasis memberikan gangguan emosional, dan menimbulkan gangguan-gangguan
psikologis yang signifikan. Kesulitan-kesulitan emosional muncul dari kekhawatiran terhadap
penampilan, yang menghasilkan berkurangnya kepercayaan diri, penolakan sosial, rasa
bersalah, merasa malu, merasa tidak berharga, masalah seksual, dan gangguan kemampuan
profesional. Keberadaan pruritus dan nyeri bisa memperburuk gejala-gejala ini. Aspek-aspek
psikologis bisa merubah perjalanan penyakit; khususnya, merasa ternoda bisa mengarah pada
tidak terpenuhinya perawatan dan memburuknya psoriasis. Demikian juga, tekanan
psikologis bisa menyebabkan depresi dan rasa cemas. Prevalensi hasrat hendak bunuh diri
dan depresi pada pasien psoriasis lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan pada kondisi-
kondisi medis lain dan populasi umum. Sehingga, walaupun penyakit ini tidak mengancam
nyawa dengan sendirinya, psoriasis bisa sangat mengganggu kualitas hidup. Sebuah
penelitian komparatif melaporkan pengurangan fungsi fisik dan mental yang sebanding
dengan yang terlihat pada kanker, arthritis, hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan
depresi. Menurut survei terbaru, 79 persen pasien yang mengalami psoriasis parah
melaporkan dampak negatif terhadap kehidupan mereka.

PROGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS


Riwayat Alami
Psoriasis gutata sering merupakan penyakit yang terbatas dengan sendirinya, berlangsung
mulai dari 12 hingga 16 pekan tanpa diperlukan pengobatan. Telah diperkirakan bahwa
sepertiga hingga dua per tiga dari pasien-pasien ini selanjutnya mengalami psoriasis tipe plak
kronis. Berbeda dengan itu, psoriasis plak kronis pada kebanyakan kasus merupakan penyakit
yang lama di derita, bermanifestasi pada interval-interval yang tidak dapat diprediksi. Remisi
spontan, yang berlangsung selama periode waktu yang bervariasi, bisa terjadi selama
perjalanan psoriasis pada hingga 50% pasien. Durasi remisi berkisar antara 1 tahun sampai
beberapa puluh tahun. Pada dua penelitian terpisah, remisi berkisar antara 17% sampai 55%.
Pada penelitian lain terhadap pasien selama 21 tahun, 71% memiliki lesi persisten, 13%
bebas dari penyakit, dan 16% memiliki lesi yang sesekali muncul. Penyebab remisi spontan
belum diketahui, tetapi bisa menunjukkan pembentukan toleransi sendiri yang berhasil pada
model reaktifitas-diri imunologik.
Psoriasis pustular eritrodermi dan menyeluruh memiliki prognosis yang lebih buruk, dengan
penyakit yang cenderung parah dan persisten.

Faktor-Faktor Pemodifikasi
Obesitas. Telah dibuktikan bahwa orang gemuk lebih besar kemungkinannya mengalami
psoriasis parah (ditentukan sebagai > 20% keterlibatan area permukaan tubuh). Akan tetapi,
obesitas tidak tampak memiliki peranan dalam menentukan onset psoriasis.
Merokok. Merokok (lebih dari 20 batang per hari) juga telah ditemukan terkait dengan lebih
dari 2 kali lipat peningkatan risiko psoriasis parah. Berbeda dengan obesitas, merokok
tampak memiliki peranan dalam onset psoriasis. Baru-baru ini, sebuah interaksi antara gen
dan lingkungan telah diidentifikasi antara aktivitas yang rendah dari gen sitokrom P450
CYP1A1 dan merokok pada psoriasis.
Infeksi. Sebuah hubungan antara infeksi kerongkongan akibat stafilokokus dengan psoriasis
guta telah dilaporkan. Infeksi kerongkongan akibat stafilokokus juga telah ditunjukkan
memperburuk psoriasis plak kronis yang telah ada sebelumnya.
Perburukan parah psoriasis bisa menjadi manifestasi infeksi HIV. Seperti halnya psoriasis
secara umum, psoriasis yang terkait HIV memiliki hubungan kuat dengan HLA-Cw6.
Menariknya, prevalensi psoriasis pada infeksi HIV tidak lebih tinggi dibanding pada populasi
umum (1% berbanding 2% pasien), sehingga menandakan bahwa infeksi ini bukan pemicu
untuk psoriasis tetapi justru sebuah agen pemodifikasi. Psoriasis semakin lebih parah dengan
perkembangan imunodefisiensi tetapi bisa pulih dalam fase terminal. Perburukan kembali
psoriasis ini bisa disebabkan oleh kehilangan sel-sel T regulatori dan aktivitas sub-set sel T
CD8 yang meningkat. Perburukan psoriasis pada penyakit HIV bisa diobati secara efektif
dengan terapi antiretrovital.
Obat. Obat yang memperburuk psoriasis mencakup antimalaria, penghambat β lithium, obat
AINS, IFN-α dan IFN-γ, imiquimoid, inhibitor enzim pengkonversi angiotensin, dan
gemfibrozil. Imiquimod bekerja pada pPDC dan menstimulasi produksi IFN-α, yang
selanjutnya memperkuat respons imun alami dan Th1. Lithium telah diusulkan menyebabkan
perburukan dengan mengganggu pelepasan kalsium dalam keratinosit, sedangkan
penghambat β dianggap mengganggu kadar adenosin monofosfat siklik intraseluler.
Mekanisme bagaimana obat ini memperburuk psoriasis sebagian besar belum diketahui.
Pasien-pasien yang mengalami psoriasis aktif atau psoriasis tidak stabil harus diberikan
anjuran-anjuran ketika akan bepergian ke negara-negara dimana profilaksis antimalaria
diperlukan.

PENGOBATAN
Pertimbangan-Pertimbangan Umum
Spektrum luas pengobatan anti-psoriatik, baik topikal maupun sistemik, tersedia untuk
penatalaksanaan psoriasis. Seperti ditunjukkan pada Tabel 18-2 sampai 18-6, bisa dilihat
bahwa kebanyakan atau semua pengobatan ini bersifat imunomodulator. Ketika memilih
sebuah resimen pengobatan (lihat Gbr. 18-6) penting untuk memadukan antara luasan dan
keparahan penyakit sesuai dengan persepsi pasien terhadap penyakitnya. Dalam konteks ini,
sebuah penelitian menemukan bahwa 40% pasien merasa frustrasi dengan ketidakefektifan
terapi yang sedang mereka gunakan, dan 32% melaporkan bahwa pengobatan tidak cukup
agresif. Karena psoriasis adalah sebuah kondisi kronis, penting untuk mengetahui keamanan
sebuah pengobatan selama penggunaan jangka panjang. Pada kebanyakan pengobatan, durasi
sebuah pengobatan terbatas karena potensi toksisitas kumulatif dari sebuah pengobatan, dan
pada beberapa kasus, efikasi pengobatan bisa berkurang seiring dengan waktu (takifilaksis).
Beberapa pengobatan, seperti kalsipotriol, MTX, dan acitretin, bisa dianggap cocok untuk
penggunaan secara kontinyu. Pengobatan ini mempertahankan efikasi dan memiliki potensi
toksisitas kumulatif yang rendah. Sebaliknya, kortikosteroid topikal, dithranol, tar,
foto(kemo)terapi, dan siklosporin tidak diindikasikan untuk penggunaan lama yang kontinyu,
dan pengobatan kombinasi atau rotasional dianjurkan. Akan tetapi, pasien-pasien yang
mengalami psoriasis plak kronis yang merespon baik terhadap pengobatan-pengobatan lokal
mungkin tidak memerlukan perubahan pengobatan. Pada psoriasis gatal/pruritus, pengobatan
dengan obat yang berpotensi menimbulkan iritasi, seperti dithranol, analog-analog vitamin
D3, dan foto(kemo)terapi, harus digunakan dengan hati-hati, sedangkan pengobatan dengan
efek anti-inflamasi pontesial seperti kortikosteroid topikal, lebih sesuai.
Pada pasien yang mengalami psoriasis eritrodermik dan psoriasis pustular, pengobatan
dengan obat yang berpotensi sebagai pengiritasi harus dihindari, dan asitretin, MTX atau
siklosporin perjalanan-singkat adalah pengobatan pilihan pertama.
Pengobatan Topikal
Kebanyakan kasus psoriasis diobati secara topikal. Karena pengobatan topikal sering tidak
sejalan dari segi kosmetik dan penggunaannya memerlukan banyak waktu, maka
ketidakpatuhan terhadap pengobatan biasa mencapai 40%. Pada kebanyakan kasus,
formulasi-formulasi salep lebih efektif dibanding krim tetapi kurang diterima secara
kosmetik. Bagi banyak pasien, meresepkan formulasi salep dan krim bisa membantu; krim
untuk digunakan di pagi hari dan salep untuk di malam hari.
Kortikosteroid. Glukokortikoid menimbulkan banyak atau semua efeknya dengan
menstabilkan dan menyebabkan translokasi nuklear reseptor-reseptor glukokortikoid, yang
merupakan anggota-anggota dari superfamili reseptor hormon nuklear. Glukokortikoid
topikal umumnya merupakan terapi utama pada psoriasis ringan sampai sedang dan pada
tempat-tempat seperti fleksur dan genitalia, dimana pengobatan-pengobatan topikal lainnya
bisa menimbulkan iritasi. Perbaikan biasanya dicapai dalam 2 hingga 4 minggu, dengan
perawatan penjaga yang terdiri dari aplikasi sesekali (sering dibatasi pada akhir-akhir pekan).
Takifilaksis terhadap pengobatan dengan kortikosteroid topikal merupakan sebuah fenomena
yang telah diketahui dalam psoriasis. Kortikosteroid jangka panjang bisa menyebabkan striae
(Gbr. 18-17) dan penekanan adrenal.

Gambar 18-7. Akibat positif dan negatif dari pengobatan psoriasis. Panel A menggambarkan
perbaikan psoriasis setelah 10 minggu diterapi dengan infliximab. Panel B menggambarkan
perbaikan setelah 28 hari pemakaian siklosporin A. Panel C menggambarkan berkurangnya
distrofi kuku setelah 16 minggu penggunaan siklosporin A sebagai terapi. Panel D
menggambarkan atrofi yang berat di samping striae setelah beberapa tahun penggunaan terapi
dengan topikal steroid krim.

Mekanisme kerja topikal kortikosteroid dengan cara mengikat reseptor glukokortikoid,


menghambar transkripsi gen Ap-1 dan NF-κB, termasuk Il-1 dan TNF-ά. Dosis pmberiannya
s kali dalam sehari selama 2-4 minggu. Terapi ini sangat efektif bila digunakan dalam waktu
singkat. Terapi ini akan mensupresi hipotalamik-pituitari-adrenal (resiko tinggi pada anak-
anak), membuat atrofi pidermis dan dermis, striae, dan takifilaksis. Kontraindikasi
pengobatan ini adalah hipersensiif terhadap steroid, infeksi kullit aktif. Pengobatan jangka
panjang meningkatkan efek simpang. Kategori kehamilan: C.
Vitamin D3 dan Analog-Analognya. Vitamin D menimbulkan aksinya dengan terikat ke
reseptor-reseptor vitamin D, anggota superfamili reseptor hormon nuklear. Vitamin D3
beraksi untuk meregulasi pertumbuhan sel, diferensiasi, dan fungsi imun, serta metabolisme
kalsium dan fosfor. Vitamin D telah terbukti menghambat proliferasi keratinosit pada kultur
dan memodulasi diferensiasi epidermal. Lebih lanjut, vitamin D menghambat produksi
beberapa sitokin pro-inflamator melalui klon-klon sel-T psoriatik, termasuk IL-2 dan IFN-γ.
Analog-analog vitamin D yang telah digunakan untuk pegobatan penyakit kulit adalah
kalsipotriena, (kalsipotriol), takalsitrol, dan maksakalsitol. Dalam penelitian-penelitian
jangka pendek, kortikosteroid topikal potensial ditemukan lebih baik dibanding kalsipotrien.
Ketika dibandingkan dengan anthralin kontak-singkat atau 15% coal tar, kalsipotrien
merupakan agen yang lebih efektif. Efikasi kalsipotrien berkurang seiring dengan pengobatan
jangka panjang. Kalsipotrien 0,005% yang diaplikasikan dua kali sehari lebih efektif
dibanding penggunaan sekali sehari. Hiperkalsemia merupakan satu-satunya pertimbangan
utama dengan penggunaan preparasi-preparasi vitamin D topikal. Ketika jumlah yang
digunakan tidak melebihi yang direkomendaiskan (100 g/minggu), kalsipotrien bisa
digunakan dengan batas keamanan yang besar. Analog-analog vitamin D sering digunakan
bersama dengan atau silih berganti dengan kortikosteroid topikal dalam upaya untuk
memaksimalkan efektifitas terapeutik disamping meminimalisir atropi kulit yang terkait
steroid (contoh, vitamin D digunakan hari-hari biasa, dan topikal kortikosteroid pada akhir
minggu). Efektifitas meningkat bila dikombinasi dengan topikal kortikosteroid. Bisa
dikombinasi dengan berbagai macam terapi. Bisa terjadi iritasi pada kulit yang diobati.
Terdapat laporan hiperkalsemia pada pasien dengan penggunaan kalsipotrien dalam jumlah
besar. Kontraindikasi penggunaan pengobatan ini pada yang hiperkalsemia dan vitamin D
toksisitas. Kalsipotrien ditoleransi dengan baik dan efektif bila digunakan untuk pengobatan
jangka panjang, serta efek simpangnya minimal. Kategori kehamilan: C.
Anthralin (Dithranol). Dithranol (1,8-dihidroksi-9-anthron) merupakan sebuah zat alami yang
ditemukan pada kulit batang pohon araboba di Amerika Selatan. Zat ini juga bisa disintesis
dari anthron. Dithranol terdapat dalam krim, salep, atau pasta. Dithranol disetujui untuk
pengobatan psoriasis plak kronis. Kegunaannya yang paling umum adalah dalam pengobatan
psoriasis, khususnya pada plak yang kebal terhadap terapi-terapi lain. Obat ini bisa
dikombinasikan fototerapi UVB dengan hasil yang baik (resimen dalam gram). Efek samping
yang paling umum adalah dermatitis kontak pengiritasi dan noda pada pakaian, kulit, rambut,
dan kuku. Anthralin memiliki aktivitas antiproliferatif pada keratinosit-keratinosit manusia
bersama dengan efek-efek antiinflammatory potensial. Terapi anthralin klasik dimulai dengan
konsentrasi rendah (0,05% sampai 0,1%) yang dimasukkan dalam petrolatum atau pasta zink
dan diberikan satu kali sehari. Untuk mencegah auto-oksidan, asam salisilat (1% sampai 2%)
harus ditambahkan. Konsentrasi ini ditingkatkan setiap pekan dengan peningkatan yang
disesuaikan individu masing-masing hingga sampai 4% sampai lesi sembuh. Psoriasis kulit
kepala harus diobati dengan sangat hati-hati karena karena anthralin bisa merubah warna
rambut menjadi ungu atau hijau.
Coal Tar. Penggunaan tar untuk mengobati penyakit-penyakit kulit telah ada hampir sekitar
2000 tahun. Pada tahun 1925, Coeckerman memperkenalkan penggunaan coal tar mentah dan
sinar UV untuk pengobatan psoriasis. Tar tampaknya menimbulkan aksinya melalui
penekanan sintesis DNA dan pengurangan aktivitas mitotik dalam lapisan basal epidermis,
dan beberapa komponen pada tar tampaknya memiliki aktivitas anti-inflamasi. Coal tar,
dengan konsentrasi hingga 20% (5% sampai 30%) bisa disenyawakan dengan krim, salep,
dan pasta. Coal tar juga sering dikombinasikan dengan asam salisilat (2% hingga 5%), yang
melalui aksi keratolitiknya menyebabkan absorpsi coal tar secara lebih baik. Terkadang,
pasien menjadi sensitif terhadap coal tar dan mengalami reaksi-reaksi alergi. Folikulitis bisa
terjadi setelah penggunaan coal tar. Terkadang, pasien menjadi sensitif terhadap coal tar dan
mengalami reaksi-reaksi alergi. Sebuah folikulitis bisa terjadi setelah penggunaan coal tar.
Lebih lanjut, obat ini memiliki bau yang kurang menyenangkan penampilan dan bisa
menodai pakaian dan item-item lain. Coal tar bersifat karsinogenik.
Tazaroten. Tazaroten merupakan sebuah retinoid generasi ketiga untuk penggunaan topikal
yang kerjanya mengurangi skuama dan ketebalan plak, dengan efektifitas yang terbatas pada
eritema. Obat ini dianggap bekerja dengan terikat ke reseptor-reseptor asam retinoat, tetapi
target-target molekulernya belum diketahui. Mekanisme obat ini dengan cara menormalkan
diferensiasi epidermal, efek antiproliferatif poten, dan menurunkan proliferasi epidermal.
Obat ini tersedia dalam bentuk gel 0,05% dan 0,1%, dan sebuah formulasi krim telah
dikembangkan. Aplikasikan setiap malam pada daerah lesi. Apabila obat ini digunakan
sebagai sebuah monoterapi, banyak pasien yang mengalami iritasi lokal. Dermatitis retinoid
ini lebih buruk dengan formulasi 0,1%. Efikasi obat ini bisa ditingkatkan dengan
mengkombinasikannya dengan glukokortikoid potensi sedang sampai tinggi atau fototerapi
UVB. Ketika digunakan bersama dengan fototerapi, obat ini mengurangi dosis eritema
minimal (MED) untuk UVB maupun UVA. Telah dianjurkan bahwa UV dikurangi sebesar
sekurang-kurangnya sepertiga jika tazaroten ditambahkan dalam pertengahan perjalanan
fototerapi. Kombinasi zaroten bisa mengurangi atrofi karena penggunaan kortikosteroid.
Kontraindikasinya pada kehamilan, dan hipersensitif terhadap tazaroten. Kategori kehamilan:
X
Inhibitor Kalsineurin Topikal. Takrolimus (FK-506) merupakan sebuah antibiotik
antimakrolida, yang didapatkan dari bakteri Streptomyces isukubaensis yang, dengan terikat
ke imunofilin (protein pengikat TK506). Membentuk sebuah kompleks yang berikatan
dengan protein FK-506 dan menghambat kalsineurin, menurunkan aktivasi faktor transkripsi,
NF-AT sehingga memblokir transduksi sinyal limfosit-T dan transkripsi IL-2. Pimecrolimus
juga merupakan sebuah inhibitor kalsineurin dan bekerja dengan mekanisme yang mirip
dengan takrolimus dan CsA.
Pada sebuah penelitian terhadap 70 pasien yang mengalami psoriasis plak kronis yang diobati
dengan takrolimus, tidak ada perbaikan yang ditemukan untuk plasebo. Akan tetapi, untuk
pengobatan psoriasis inverse dan psoriasis fasial, agen-agen ini tampaknya memberikan
pengobatan yang efektif. Aplikasikan trakolimus 2 kali sehari. Efek samping utama dari obat-
obat ini adalah sensasi luka bakar pada tempat pengaplikasian. Laporan-laporan tentang
adanya keganasan kulit atau kelenjar getah bening memerlukan evaluasi lebih lanjut dalam
penelitian-penelitian terkontrol, dan obat-obat ini telah diperingatkan penggunaannya oleh
FDA. Boleh digunakan pada anak-anak di bawah 2 tahun dengan pengawasan. Kategor
kehamilan: C.
Emolien Lunak. Diantara periode-periode pengobatan, perawatan kulit dengan emolien harus
dilakukan untuk menghindari kekeringan. Emolien mengurangi skuama, bisa membatasi
pembentuk fisur yang terasa nyeri, dan bisa membantu mengontrol pruritus. Emolien paling
baik diaplikasikan segera setelah mandi. Penambahan urea (hingga sampai 10%) cukup
membantu untuk memperbaiki hidrasi kulit dan menghilangkan scaling dari lesi-lesi awal.
Penggunaan emolien lunak liberal pada sebuah lapisan tipis pengobatan resep topikal dapat
memperbaiki hidrasi disamping meminimalkan biaya pengobatan.

Fototerapi
Mekanisme aksi fototerapi tampaknya melibatkan penipisan selektif sel-sel T, utamanya yang
tinggal dalam epidermis. Mekanisme penipisan tampak melibatkan apoptosis dan disertai
dengan pergeseran dari respons imun Th1 menuju respons Th2 pada kulit berlesi.
Sinar Ultraviolet B (290 – 320 nm). Dosis UVB terapeutik awal berkisar antara 50% hingga
75% MED. Pengobatan diberikan 2 sampai 5 kali per pekan. Lesi dilubrikasi terlebih dahulu
sebelum penyinaran. Ketika eritema UVB puncak muncul dalam waktu 24 jam setelah
keterpaparan, penambahan bisa dilakukan pada masing-masing pengobatan selanjutnya.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan dan eritema seminimal mungkin yang dapat dilihat
sebagai indikator klinis pemberian dosis optimal. Pengobatan-pengobatan diberikan sampai
penyembuhan total dicapai atau sampai tidak ada lagi perbaikan yang bisa didapatkan dengan
pengobatan kontinyu. Penyinaran ditujukan untuk mengurangi lesi setidaknya 10% dari
MED. Tipe kulit I-III 10%-15%, tipe kulit IV-VI 15%-20%).
Fototerapi berkas sempit (312 nm) UVB (NB-UVB) lebih baik dibanding UVB berkas-lebar
konvensional (290 sampai 320 nm) dalam hal pembersihan dan waktu penyembuhan.
Walaupun penelitian-penelitian awal menemukan NB-UVB sama efektifnya dengan psoralen
dan sinar UVA (PUVA), sebuah penelitian terkontrol terbaru menemukan bahwa PUVA
lebih efektif, meskipun kurang nyaman. Pada saat pembersihan, pengobatan dihentikan atau
pasien menjalani terapi penjagaan selama 1 hingga 2 bulan. Selama periode ini, frekuensi
pengobatan UVB dikurangi disamping mempertahankan dosis terakhir yang diberikan pada
saat pembersihan dicapai. NB-UVB dapat menimbulkan photodamage, polimorphic light
eruption, meningkatkan resiko penuaan dini dan resiko keganasan kulit walaupun
kejadiannya lebih rendah dari PUVA).
Kontraindikasi absolut pada kelainan fotosensitivitas. Kontraindikasi relatif adaah obata-
obatan fotosensitizer, melanoma, dan kanker non melanoma. Obat-obat sistemik, seperti
retinoid, meningkatkan efikasi sinar UVB, khususnya ada pasien yang mengalami psoriasis
tipe-plak hiperkeratosis dan kronis. Karena ini diketahui menghambat karsinogenesis pada
hewan-hewan eksperimental, maka retinoid kemungkinan bisa mengurangi potensi
karsinogenik dari fototerapi UVB. NB-UVB efektif sebagai monoterapi, tapi coal tar
(Goekermean regimen), anthralin (Ingram regimen), atau terapi sistemik dapat meningkatkan
efektivitas pada kasus yang resisten.
Psoralen dan Sinar Ultraviolet A. PUVA merupakan kombinasi antara psoralen (P) dan
radiasi ultraviolet A gelombang panjang (UVA). Kombinasi obat dan radiasi menghasilkan
efek terapeutik, yang dapat dicapai jika kedua komponen ini digunakan sendiri-sendiri.
Remisi ditimbulkan oleh reaksi fototoksik terkontrol yang berulang. Terapi PUVA dapat
dipakai 2 kali dalam seminggu. Dapat menimbulkan remisis pada 70-90% pasien. Lebih tidak
nyaman dibanding NB-UVB tapi diperkirakan PUVA lebih efektif. PUVA dapat
menimbulkan photodamage, penuaan dini, meningkatkan resiko kanker kulit seperti
melanoma dan non-melanoma, kerusakan mata. Diperlukan proteksi mata bila menggunakan
terapi oral psoralen. Kontraindikasi absolut: kelainan sensitisasi cahaya, laktasi, dan
melanoma. Kontraindikasi relatif: usia < 10 tahun, kehamilan, obat-obatan fotosensitisasi,
kanker kulit non-melanoma, disfungsi organ yang berat. Kombinasi dengan retinoid oral
dapat mengurangi efek kumulasi paparan UVA.
Laser Eksimer.. Energi radiasi supraeritemogenik dari UVB dan PUVA diketahui
menghasilkan pembersihan psoriasis yang lebih cepat, akan tetapi, faktor kendala untuk
penggunaan energi radiasi yang tinggi seperti ini adalah intoleransi kulit sekitar yang terlibat
karena lesi-lesi psoriasis sering bisa tidak mempan terhadap keterpaparan UV yang jauh lebih
tinggi. Laser eksimer monokromatis 308 nm bisa menyalurkan dosis-dosis cahaya supra-
eritemogenik seperti ini (hingga sampai 6 MED, biasanya dalam rentang 2 sampai 6 MED)
secara fokal ke kulit lesi. Pada sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 124 pasien, 72%
subjek penelitian mencapai sekurang-kurangnya 75% pembersihan dengan rata-rata 62
pengobatan yang diberikan 2 kali seminggu. Peranan pengobatan ini tampaknya harus
diindikasikan untuk pasien yang memiliki plak-plak membandel stabil khususnya pada
daerah siku dan daerah lutut. Dengan laser, terjadi 75% perbaikan pada daerah psoriasis dan
indeks keparahan dari 72% pasien. Dapat menimbuilkan eritema, bula, hiperpigmentasi, dan
erosi. Efek simpang jangka panjang beum diketahui tapi kemungkinan efek simpangnya
seperti NB-UVB.
Pengobatan Fotodinamik. Terapi fotodinamik telah dicoba untuk beberapa dermatosa
inflamatori, termasuk psoriasis. Pada sebuah penelitian acak tentang efek terapi fotodinamik
berbasis asam aminolevulinat, 29 pasien menunjukkan respons klinik yang tidak memuaskan
dan kejadian nyeri yang sering selama dan setelah pengobatan, sehingga para peneliti
menganggap pengobatan ini tidak cocok untuk psoriasis.
Terapi Klimatik. Telah diketahui bahwa beraktivitas di bawah cuaca panas bisa memulihkan
psoriasis, walaupun ada sedikit pasien yang justru semakin buruk kondisinya. Pasien harus
diperingatkan untuk tidak memaparkan diri mereka secara berlebihan pada beberapa hari
pertama, karena sunburn bisa berkembang menjadi psoriasis (fenomena Koebner). Efek-efek
yang telah diteliti dengan baik adalah di daerah Laut Mati, dan efek-efek terapeutik ini bisa
dikaitkan dengan lokasinya. Karena terletak 400 m di bawah permukaan laut, evaporasi laut
membentuk sebuah aerosol yang tinggal di atmosfir di atas laut dan pantai-pantai di
sekitarnya. Aerosol ini menyaring kebanyakan sinar UVB tetapi tidak UVA. Campuran sinar
UV ini tampaknya sudah cukup untuk membersihkan psoriasis tetapi tanpa sunburn.
Sehingga, pasien bisa tinggal di pantai-pantai Laut Mati selama periode waktu yang lama
dengan risiko sunburn yang sangat berkurang. Pengobatan ini dilakukan selama periode 3
hingga 4 pekan, dan perbaikan yang sebanding dengan pengobatan NB-UVB atau PUVA bisa
diperoleh. Kekurangan utamanya adalah waktu dan biaya.

Agen-Agen Oral Sistemik


Metotreksat. MTX sangat efektif untuk psoriasis plak kronis dan juga diindikasikan untuk
penanganan psoriasis yang parah dalam jangka panjang, seperti eritroderma psoriatik dan
psoriasis pustular. Ketika pertama kali digunakan untuk pengobatan psoriasis, MTX dianggap
bekerja secara langsung untuk menghambat hiperproliferasi epidermal melalui inhibisi
dihidrofolat reduktase (DHFR). Akan tetapi, obat ini telah ditemukan efektif pada dosis yang
jauh lebih rendah (0,1 sampai 0,3 mg/kg per pekan) dalam penatalaksanaan psoriasis, arthritis
psoriatik, dan kondisi-kondisi inflamasi lainnya seperti arthritis rheumatoid. Pada
konsentrasi-konsentrasi ini, MTX menghambat proliferasi limfosit-limfosit in vitro, tetapi
tidak menghambat proliferasi proliferasi keratinosit. Sekarang diduga bahwa penghambatan
DHFR bukan mekanisme utama dari aksi anti-inflammatory MTX, tetapi justru inhibisi
sebuah enzim yang terlibat dalam metabolisme purin [AICAR (5-aminoimidazol-4-
karbokamida ribonukleotida) transformylase]. Ini mengarah pada akumulasi adenosin
ekstraseluler, yang memiliki aktivitas anti-inflammatory potensial, khususnya untuk
neutrofil-neutrofil. Konsisten dengan mekanisme aksi yang tidak tergantung DHFR,
pemberian asam folat yang bersamaan (1 sampai 5 mg/hari mengurangi efek samping
tertentu, seperti nausea dan anemia megaloblastis, tanpa mengurangi efikasi pengobatan
antipsoriatik. Target-target seluler dari aksi MTX pada psoriasis masih sedang diteliti, tetapi
mekanisme aksinya bisa melibatkan modulasi molekul-molekul adhesi, seperti molekul
adhesi interseluler 1, dan bukan induksi apoptosis imfosit.
Waktu paruh sangat lama yang dimiliki MTX bisa mewakili efikasinya setelah pemberian
tiap pekan dan juga bisa membantu menjelaskan mengapa onset aksinya agak lambat (efek
terapeutik biasanya memerlukan waktu 4 sampai 8 pekan untuk bisa terlihat). MTX
diekskresikan lewat ginjal dan dengan demikian tidak boleh diberikan ke pada pasien pasien
yang mengalami gangguan fungsi ginjal, karena efek samping MTX pada umumnya terkait
dengan dosis. Dosis awal 2,5 mg dan dapat ditingkatkan samapai dicapai level terapeutik
(peningkatan 10-15 mg setiap minggunya, maksimal 25-30 mg setiap minggunya).
Pada kebanyakan panduan-panduan terbaru, pasien-pasien yang memiliki uji fungsi hati
normal dan tidak memiliki riwayat penyakit hati atau alkoholisme, tidak diminta untuk
menjalani biopsi hati sampai mereka telah diobati dengan dosis MTX kumulatif 1,0 sampai
1,5 g. Biopsi-biopsi berulang dilakukan sekitar 1,0 sampai 1,5 g. Biopsi-biopsi berulang
sesudah itu jika uji fungsi hati dan temuan biopsi cukup normal. Beberapa kelompok telah
merekomendasikan penggunaan uji PIIINP (amino terminal peptida prokolagen tipe III)
untuk skrining fibrosis hati. Panduan-panduan spesifik telah dibuat untuk pemantauan kadar
PIIINP pada pasien-pasien psoriasis, tetapi FDA belum menyetujui penggunaan uji ini untuk
kegunaan diagnostik di Amerika Serikat.
Efek samping yang telah diketahui lainnya dari MTX adalah mielosupresi, khususnya
pansitopenia, yang biasanya terjadi apabila pasien kekurangan folat. Selain itu MTX juga
dapat menimbulkan hepatotoksisitas, abnormalitas lipid, abnormalitas janin atau kematian
janin, mukokutan toksisitas, dan hiperostosis. Kalsium leukovorin (asam folinat) merupakan
satu-satunya antidot untuk toksisitas hematologik dari MTX. Ketika overdosis diduga, dosis
leukovorin langsung sebanyak 20 mg harus diberikan secara parenteral atau secara oral, dan
selanjutnya harus diberikan setiap 6 jam. Pneumonitis bisa terjadi, dan ulserasi mukosa dan
oral juga telah dilaporkan pada pasien-pasien yang diobati dengan MTX.
Penghentian pengobatan MTX diperlukan apabila terdapat hepatotoksisitas, supresi
hematopoietik, infeksi aktif, nanusea, dan pneumonitis. MTX juga bersifat teratogenik dan
dengan demikian tidak boleh diresepkan untuk wanita yang hamil. Beberapa golongan obat,
termasuk obat-obatan AINS dan sulfonamida, bisa berinteraksi dengan MTX untuk
meningkatkan toksisitas.
Asitresin. Asitresin merupakan sebuah retinoid sistemik generasi kedua yang telah disetujui
untuk pengobatan psoriasis sejak 1997.
Bentuk-bentuk klinis yang paling responsif terhadap etretinat atau asitretin sebagai
monoterapi mencakup psoriasis pustular dan eirtordermis menyeluruh. Asitretin menginduksi
pembersihan psoriasis dengan cara yang tergantung dosis. Secara keseluruhan, dosis
permulaan yang lebih tinggi tampak membersihkan psoriasis lebih cepat. Mekanisme aksi
retinoid untuk psoriasis belum dipahami sepenuhnya.
Dosis awal asitretin yang optimal untuk psoriasis dilaporkan sebesar 25 mg/hari, dengan
dosis penjaga 20 hingga 50 mg/hari. Dapat digunakan sebagai monoterapi. Efek-efek
berbahaya, seperti kehilangan rambut dan paronichia, termasuk lebih sering dengan dosis
awal yang lebih tinggi (yaitu ≥ 50 mg/hari). Kebanyakan pasien sembuh mengalami
kekambuhan dalam waktu 2 bulan setelah menghentikan etretinat atua asitretin. Asitretin
harus dihentikan jika disfungsi hati, hiperlipidemia, atau hiperostosis idiopati difus terjadi.
Penggunaan jangka panjang dikombinasikan dengan PUVA dan kadang dikombinasikan
dengan UVB untuk meminimalisasi efek simpang dan meningkatkan efek terapi. Kategori
kehamilan: X.
Monitoring laboratorium darah, kadar lipid, dan tes kehamilan, monitor ini diulang setiap
minggu selama 1 bulan, setelah itu diperiksa setiap 4 minggu. Tes kehamilan setiap bulannya
pada penderita wanita. Rontgen spinal bila ada gejala-gejala yang mengarah ke gangguan
tersebut. Kontraindikasi absolut adalah kehamilan selama atau sesudah 3 tahun terminasi
asitetrin.
Siklosporin A. CsA merupakan sebuah undekapeptida siklik netral yang didapatkan dari
jamur Tolypocladimus inflatum gams. Satu-satunya formulasi yang disetujui untuk
pengobatan psoriasis tersedia sebagai larutan oral atau dalam bentuk kapsul. Ini sangat efektif
untuk psoriasis kutaneous dan juga bisa efektif untuk psoriasis kuku. CsA khususnya
bermanfaat pada pasien-pasien yang mengalami psoriasis eritrodermis inflammatori yang
intens atau jelas. Dosis berkisar antara 2 sampai 5 mg/kg/hari. Karena efek nefrotoksik dari
CsA sebagian besar bersifat ireversibel, maka pengobatan dengan CsA harus dihentikan jika
disfungsi ginjal dan/atau hipertensi terjadi. Hipertensi yang ditimbulkan CsA bisa diobati
dengan antagonis-antagonis kalsium seperti nifedipin. Efek berbahaya yang paling umum
pada pasien yang menggunakan CsA untuk periode waktu yang singkat adalah efek
neurologi, termasuk tremor, sakit kepala, paresthesia, dan/atau hiperestesia. Pengobatan
psoriasis jangka panjang dengan CsA dosis rendah ditemukan meningkatkan risiko kanker
kulit non-melanoma. Akan tetapi, berbeda pasien-pasien transplan yang diobati dengan dosis
CsA yang lebih tinggi, ada sedikit atau tidak ada peningkatan risiko limfoma.
Ester asam fumarat. Asam fumarat pertama kali dilaporkan pada tahun 1959 sebagai zat yang
bermanfaat dalam pengobatan psoriasis dan diizinkan di Jerman untuk pengobatan psoriasis.
Karena asam fumarat sendiri tidak diserap dengan baik setelah asupan oral. Maka ester
digunakan untuk pengobatan. Ester hampir diserap sempurna dalam usus kecil, dan
dimetilfumarat dihidrolisis dengan cepat oleh esterase menjadi mono-metilfumarat, yang
dianggap sebagai metabolit aktif. Cara kerja ester asam fumarat (FAE) dalam pengobatan
psoriasis tidak dipahami sepenuhnya, tetapi data eksperimental menunjuk pada bergesernya
respons sel-T yang didominasi Th1 pada psoriasis ke pola mirip Th2 dan inhibisi proliferasi
keratinosit. Pasien yang mengalami penyakit kontaminan parah, penyakit kronis pada saluran
gastrointestinal, penyakit ginjal kronis, atau penyakit sumsum tulang yang mengarah pada
leukositopenia atau disfungsi leukosit, tidak boleh diobati. Demikian juga, wanita hamil atau
laktasi dan pasien yang mengalami penyakit ganas (termasuk riwayat keganasan yang positif)
tidak boleh diberikan obat ini. Terapi lama (hingga 2 tahun) dalam rangka mencegah
kekambuhan pasien-pasien psoriasis yang mengalami aktivitas penyakit tinggi bisa
dilakukan. Opsi terapeutik lainnya adalah terapi sesekali dalam jangka pendek. FAE
diberikan sampai perbaikan utama dicapai dan kemudian dihentikan. Jika seorang pasien
tetap bebas lesi selama pengobatan yang lama, maka dosis FAE harus dikurangi secara
perlahan untuk mencapai ambang-batas individual. Terapi dengan FAE bisa dihentikan
secara tiba-tiba. Fenomena kekambuhan telah diamati.
Sulfasalazin. Sulfasalazin merupakan sebuah agen sistemik yang umum digunakan dalam
penatalaksanaan psoriasis. Dalam satu-satunya penelitian samar-ganda prospektif tentang
efikasi sulfasalazin dalam psiriasis, efesek sedang diamati, dimana 41% pasien menunjukkan
perbaikan yang signifikan, 41% mengalami peningkatan sedang, dan 10% mengalami
perbaikan minimal setelah 8 pekan pengobatan.
Steroid sistemik. Secara umum, steroid-steroid sistemik tidak boleh digunakan dalam
perawatan psoriasis secara rutin. Ketika steroid-steroid sistemik digunakan, pembersihan
psoriasis berlangsung cepat, tetapi penyakit biasanya memerlukan dosis yang lebih tinggi
untuk mengatasi gejala-gejala. Jika penghentian diupayakan, penyakit cenderung kambuh
dengan cepat dan bisa muncul lagi dalam bentuk psoriasis eritrodermis dan pustular. Akan
tetapi, steroid-steroid sistemik bisa memiliki peranan dalam penatalaksanaan psoriasis, atau
eritroderma yang tidak dapat dikontrol dan dalam psoriasis pustular menyeluruh fulminan
(tipe von Zumbusch) jika obat lain tidak efektif.
Mofetil mikofenolat. Mofetil mikofenolat merupakan sebuah obat dari kelompok asam
mikofenolat, dan merupakan inhibitor inosin-5'-monofosfat dehidrogenase. Asam
mikofenolat mengurangi nukleotida guanosin secara preferensial pada limfosit T da B dan
menghambat proliferasinya, sehingga menekan respons imun berperantara sel dan
pembentukan antibodi. Obat ini biasanya saat ditolerir dengan baik dengan sedikit efek
samping. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang obat ini untuk psoriasis, tetapi, dalam
trial terbuka prospektif terhadap 23 pasien yang diberikan dosis antara 2 sampai 3 g setiap
hari, pengurangan Area Psoriasis dan Indeks Keparahan (PASI) dtemukan setelah 6 pekan,
dengan perbaikan 47% selama 12 pekan.
6-Tioguanin. 6-tioguanin merupakan sebuah analog purin yang sangat efektif untuk psoriasis.
Selain penekanan sumsum tulang, keluhan-keluhan gastrointestinal yang mencakup nausea
dan diare bisa terjadi, dan peningkatan uji fungsi hati cukup umum. Contoh penyakit veno-
oklusif hepatik yang terisolasi telah dilaporkan.
Hidroksiurea. Hidroksiurea merupakan sebuah metabolit yang telah terbukti efektif sebagai
monoterapi, tetapi hampir 50% pasien yang mencapai perbaikan signifikan mengalami
toksisitas sumsum tulang disertai leukopenia dan trombositopenia. Anemia megaloblastik
juga umum tetapi jarang memerlukan pengobatan. Reaksi-reaksi kutaneous mengenai
kebanyakan pasien yang diobati dengan dengan hidroksiurea, termasuk ulser kaki, yang
sangat menimbulkan masalah.

Pengobatan Kombinasi
Pengobatan kombinasi bisa meningkatkan efikasi dan mengurangi efek samping, dan dengan
demikian bisa menghasilkan perbaikan yang lebih substansial, atau, bisa memungkinkan
pengurangan dosis untuk mencapai perbaikan sama sebagaimana dibandingkan dengan
monoterapi. Data tentang kombinasi biologis dengan agen-agen sistemik atau topikal belum
tersedia secara umum, tetapi beberapa kombinasi yang umum digunakan dalam pengobatan
arthritida inflamatori, seperti kombinasi MTX dan agen anti-TNF, bisa sesuai untuk
pengobatan penyakit psoriatik yang membandel.

Pengobatan-Pengobatan Biologis
Berdasarkan kemajuan kontinyu dalam penelitian psoriasis dan kemajuan dalam bidang
biologi molekuler, golongan-golongan agen yang baru –terapi biologis yang ditargetkan –
telah ditemukan. Agen-agen ini dirancang untuk merintangi tahapan-tahapan molekuler
tertentu yang penting dalam patogenesis psoriasis atau telah ditransfer ke arena psoriasis
setelah dikembangkan untuk penyakit inflammatory lainnya. Saat ini, tiga tipe terapi biologis
telah disetujui yaitu (1) sitokin manusia rekombinan, (2) protein fusi, dan (3) antibodi
monoklonal. Karena risiko terjadinya antibodi-antibodi terhadap mouse sequences, maka
antibodi manusia lebih dipilih untuk penggunaan klinis.
Dengan menggunakan hasil efikasi dan keamanan yang telah diakui secara internasional,
pemanfaatan keseluruhan dan manfaat biologi telah ditunjukkan berdasarkan persentase
pasien yang mencapai sekurang-kurangnya 50% perbaikan dalam hal PASI (PASI-50),
perbaikan nilai PASI 75% (PASI-75), dampak pengobatan terhadap kualitas hidup, dan
keamanan dan daya toleransi. Secara umum, agen-agen ini memiliki aktivitas antipsoriatik
yang secara kasar sebanding dengan MTX dan kurangnya risiko hepatotoksisitasnya. Akan
tetapi, obat-obat ini lebih mahal, memiliki risiko imunosupresi, reaksi infusi, dan
pembentukan antibodi, dan keamanannya jangka panjangnya masih perlu dievaluasi. Menurut
pada peneliti ini, penggunaan agen-agen biologis harus dipersiapkan untuk pengobatan
psoriasis parah yang tidak merespon terhadap MTX atau pada pasien yang penggunaan MTX
dikontaindikasikan.
Alefacept. Alefacept merupakan sebuah antigen protein fusi yang terkait fungsi limfosit
manusia yang dirancang untuk mencegah interaksi antara LFA-3 dan CD2. Sinyal LFA-3-
CD2 memegang peranan penting akan aktivasi sel-sel T. Bagian LFA-3 dari alefacept terikat
ke reseptor CD2 pada sel-sel T, sehingga menghambat interaksi antara LFA-3 dan CD2,
sehingga mengganggu aktivasi sel-sel T, menimbulkan apoptosis dan memodifikasi proses
inflamasi. CD2 diupregulasi sel-sel T efektor memori, yang menjelaskan penipisan sel-sel ini
oleh alefacept. Sekitar sepertiga hingga setengah pasien tidak merespon terhadap alefacept,
alasan untuk hal ini tetap masih belum jelas. Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa
pemberian alefacept secara berulang mengarah pada respons yang membaik, dan respons
terhadap alefacept dapat tahan lama.
Efalizumab. Efalizumab (anti-CD11a) merupakan sebuah antibodi monoklonal humanized
yang dibuat untuk pengobatan psoriasis plak. Antibodi ini diarahkan terhadap CD11a, subunit
α dari LFA-1, sehingga memblokir interaksi LFA-1 dengan molekul adhesi interseluler
logannya (molekul 1). Perintangan ini menghambat aktivasi sel-T, lalu lintas sel T kutaneous,
dan adhesi sel T ke keratinosit. Beberapa pasien telah menunjukkan bukti perburukan
penyakit pada akhir periode pemberian dosis. Penelitian-penelitian masih sementara
mengevaluasi keamanan dan ketoleranan pengobatan jangka panjang dengan efalizumab.
Antagonis Faktor Nekrosis Tumor-α. Pengaplikasian klinis antagonis TNF dalam penyakit-
penyakit inflammatory telah sangat banyak dalam klinik dengan cara yang mirip dengan
penemuan aktivitas kortikosteroid. TNF-α merupakan sebuah protein homotrimetri yang
terdapat dalam bentuk transmembran dan bentuk terlarut, bentuk yang terakhir ini dihasilkan
oleh pembelahan dan pelepasan proteolitik. Masih belum jelas bentuk mana yang lebih
penting dalam memperantarai aktivitas-aktivitas pro-inflammatory-nya atau arti penting
relatif dari reseptor-reseptor pengikat TNF-α p75-kd dan p55-kd.
Saat ini, ketiga terapi biologis anti-TNF ini tersedia di Amerika Serikat. Infliksimab
merupakan sebuah antibodi monoklonal chimerik yang memiliki spesifitas, afinitas, dan
aviditas tinggi untuk TNF-α. Sebuah contoh hasil pengobatan yang sangat baik dengan
infliksimab ditujukkan pada Gbr. 18-17. Etanersep merupakan sebuah protein fusi reseptor-
FcIgG TNF-α yang dapat larut dan merupakan rekombinan manusia ,yang mengikat TNF-α
dan menetralisir aktivitasnya. Adalimumab merupakan antibodi monoklonal IgG1
rekombinan manusia pertama dan secara spesifik menargetkan TNF-α. Saat ini, infliksimab
dan adalimumab merupakan satu-satunya yang disetujui oleh FDA untuk arthritis psoriatik.
Akan tetapi, trial-trial klinis telah menunjukkan bahwa masing-masing dari agen ini ditolerir
dengan baik dan tampak cocok untuk penggunaan jangka panjang pada psoriasis plak kronis.
Akan tetapi, seperti semua terapi biologis yang ditargetkan, mereka memiliki risiko
imunosupresi, dan keamanan jangka panjangnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian-penelitian klinis telah menemukan infliksimab dan adalimumab sebagai obat yang
sedikit lebih efektif dibanding etanersep dalam pengobatan psoriasis. Ada kemungkinan
bahwa efek-efek banding dari agen-agen ini terkait dengan selektivitas dalam hal
kemampuannya untuk mengganggu interaksi-interaksi ligan reseptor ini. Telah diketahui
bahwa infliksimab, adalimumab, dan etanersep mengikat TNF secara berbeda; infliksimab
dan adalimumab terikat ke TNF yang terlarut dan terikat membran, sedangkan etanersep
terikat utama ke TNF yang dapat larut. Pengikatan ke TNF yang terikat membran bisa
menginduksi peningkatan dependen dosis pada sel-sel T, tetapi relevansi mekanisme ini pada
psoriasis belum dievaluasi.
Anti-interleukin 12/Interleukin 23 p40. Sebuah agen baru-baru ini telah dibuat dan diuji
untuk pengobatan psoriasis plak kronis dan telah terbukti memiliki efikasi yang menjanjikan
pada trial-trial fase I. Agen ini merupakan sebuah antibodi monoklonal k IgG1 yang terikat
ke subunit p450 yang umum dari IL-12 dan IL-23 manusia dan mencegah interaksinya
dengan reseptornya. Disamping merintangi IL-12, yang penting untuk diferensiasi Th1 dari
sel T, perintangan IL-23 bisa lebih penting dalam pengobatan psoriasis plak kronis, karena
sitokin ini mendukung inflamasi kronis dengan menjaga sebuah sub-set sel-T CD4+ terpisah
yang dikarakterisasi oleh produksi IL-17. Sebuah trial fase I yang menguji berbagai
pengobatan benar-benar menunjukkan korelasi yang jelas antara dosis anti-IL-12 p40 dan
proporsi subjek yang mencapai sekurang-kurangnya 75 persen perbaikan skor PASI.
Berbagai obat baru sedang menjalani trial klinis untuk pengobatan psoriasis sebagaimana
disebutkan dalam sebuah review komprehensif.

- = kontaindikasi terapi kombinasi; ± = kejadian insufisensi; + = kombinasi yang


direkomendasikan; ++ = kombinasi yang sangat dianjurkan.

Pengobatan pada wanita hamil


- Harus berhati-hati untuk mengobati psoriasis pada wanita hamil
- Pengobatan seperti MTX dan retinoid oral harus dihindarkan atau digunakan dengan
pengawasan ketat dan boleh digunakan dengan kontrasepsi.
- Pada kasus tertentu, isotretinoin lebih dipilih dibanding asitetrin karena waktu paruh yang
lebih singkat.
- MTX bersifat fetotoksisitas dan dapat menimbulkan aborsi, retinoid merupakan agen poten
teratotoksin, retinoid merupakan kontraindikasi absolut pada kehamilan.
- Banyak penderita wanita mengalami perbaikan atau remisis selama kehamilan.
- Bila diperlukan terapi pada wanita hamil, maka emolien dan agen topikal lain adalah terapi
lini pertama, walaupun dapat digunakan bersamaan dengan UVB fototerapi.
- Banyak terapi ropikal, seperti topikal steroid dan kalsikotrien merupakan kategori C, dan
harus dilakukan pengawasan selama terapi diberikan.
- Beberapa terapi biologik merupakan kategori B dan dapat digunakan selama kehamilan.
Seperti halnya juga, siklosporin A dapat dipertimbangkan, walaupun termasuk kategori C dan
bersifat nonteratogenik.
- Sistemik psoralen dan UVA terapi dapat digunakan pada terapi tertentu dan kelihatannya
aman untuk digunakan.

Pengobatan pada anak-anak


- Psoriasis umum terdapat pada anak-anak dan usia remaja.
- Untuk dewasa, pengobatan lini pertama adalah dengan agen topikal, psoralen dan UVA
merupakan kontraindikasi pada anak-anak.
- Dikarenakan resiko karsinogenik dan kemungkinan penggunaan jangka panjang, psoralen
dan UVA dikontraindikasikan pada anaka-anak.
- Keputusan untuk menggunakan terapi sistemik harus dipikirkan dengan hati-hati, karena
efek simpang jangka panjang masih belum diketahui. Bagaimana pun juga, agen sistemik
digunakan dengan sukses pada kasus rekalsitran berat.

Anda mungkin juga menyukai