Histologi Psoriasis
Histologi Psoriasis
bentuk clubike, perpanjangan papila dermis, lapisan sel granuler menghilang, parakeratosis, mikro
abses munro (kumpulan netrofil leukosit polimorfonuklear yang menyerupai pustul spongiform
kecil) dalam stratum korneum, penebalan suprapapiler epidermis (menyebabkan tanda Auspitz),
dilatasi kapiler papila dermis dan pembuluh darah berkelok-kelok, infiltrat inflamasi limfohistiositik
ringan sampai sedang dalam papila dermis atas.
PSORIASIS
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi
Psoriasis terdapat di seluruh dunia. Prevalensinya berbeda pada setiap populasi, bervariasi
dari 0,8-11,8% tergantung dari laporan yang dipublikasikan. Dilaporkan ada insiden tertinggi
di Eropa, yaitu di Denmark (2,9%), dan Kepulauan Faroe (2,8%), dengan rata-rata sekitar 2%
di Eropa Utara. Di Amerika prevalensi bervariasi dari 2,2-2,6%, kira-kira 150.000 kasus baru
didiagnosa setiap tahunnya. Prevalensi psoriasis di Afrika bagian Timur lebih tinggi dari
Afrika bagian Barat menjelaskan rendahnya prevalensi psoriasis pada ras AfroAmerika (1,3%
melawan 2,5% dibanding ras kulit putih). Isiden psoriasis juga rendah di Asia (0,4%), dan
tidak terdapat satu kasus pun pada pemeriksaan 26.000 orang India di Amerika Utara.
Onset Usia
Psoriasis dapat muncul pada usia berapa pun, tapi jarang terjadi pada usia di bawah 10 tahun.
Lebih sering terjadi pada usia 15-30 tahun. Adanya keterlibatan antigen HLA kelas I terutama
HLACw6, berhubungan dengan onset usia muda, dan keterlibatan riwayat dalam keluarga.
Penemuan ini membuat Henseler dan Christopher membagi psoriasis menjadi 2 bentuk: tipe
I, usia di bawah 40 tahun dan berhubungan dengan HLA, tipe II, usia di atas 40 tahun dan
kurang berhubungan dengan HLA, walaupun banyak pasien yang tidak cocok dengan
klasifikasi ini. Tidak ada eviden yang menyatakan bahwa psoriasis tipe I dan tipe II berespon
berbeda pada terapi yang berbeda.
• Mengenai kira-kira 2% penduduk Amerika, prevalensi psoriasis bervariasi dari 0,1-3% dari
tiap-tiap populasi.
• Psoriasis merupakan penyakit poligenik dengan predisposisi bermacam-macam disertai
faktor pencetus dari lingkungan, seperti trauma, infeksi, dan obat-obatan.
• Manifestasi papul eritema bersisik dan plak, pustular, dan eritrodermi.
• Predileksi tempat pada scalp, siku dan lutut, tangan dan kaki, batang tubuh, serta kuku.
• Psoriatik artritis dapat timbul pada 10-20% pasien psoriasis, pada bentuk pustular dan
eritrodermi dapat muncul demam.
• Patologi psoriasis berupa elongasi rete ridge, dilatasi pembuluh darah, penebalan lempeng
suprapapiler, dan parakeratosis. Infiltrasi limfosit di epidermal dan dermal, dengan agregasi
neutrfil di epidermis.
Genetika Psoriasis
Dasar genetik psoriasis telah disebutkan selama hampir 100 tahun. Akan tetapi, seperti yang
disebutkan Gunnar Lomholt di tahun 1963 dalam penelitian klasiknya terhadap psoriasis di
Kepulauan Faeroe, “bahwa psoriasis ditimbulkan secara genetik masih mengandung banyak
keraguan, tetapi karena proses pewarisan banyak ditunjukkan pada penyakit ini, maka faktor
genetik tetap dipertimbangkan.” Dari tahun ke tahun, berdasarkan beberapa survei yang
dilakukan terhadap populasi dan silsilah keluarga yang sangat besar, telah diusulkan beberapa
model tentang dasar genetika psoriasis yang mencakup model resesif gen-tunggal, resesif
dua-gen, dominan dengan rasuk genetik yang berkurang, dan model poligenik. Analisis
penelitian berbasis populasi yang dilakukan oleh Lomholt dan Hellgren dengan analisis risiko
rekurensi menunjukkan bahwa nilai λr – 1 (risiko rekurensi lebih untuk kerabat dari
keturunan r) berkurang dengan faktor 6 sampai 7 pada saat r meningkat dari 1 menjadi 2,
yang berlawanan dengan pengurangan faktor 2 yang diperkirakan pada penyakit-penyakit
monogenik. Analisis ini lebih mendukung model poligenik dibanding model lainnya untuk
dasar genetika psoriasis. Berdasarkan penelitian-penelitian berbasis populasi, resiko psoriasis
pada sebuah keturunan diperkirakan sebesar 41% jika kedua orang tuanya terkena, 14% jika
salah satu orang tua terkena, dan 6% jika salah satu saudara kandung terkena, dan hanya 2%
jika tidak ada orang tua atau saudara kandung yang terkena.
Resiko psoriasis pada kembar monozigot berkisar antara 35 sampai 73% pada beberapa
penelitian. Ketidaksamaan ini, dan fakta bahwa risiko tersebut tidak mendekati 100%,
mendukung adanya peranan faktor lingkungan. Menariknya, kesamaan resiko psoriasis pada
kembar monozigot dan dizigot berkurang semakin ke daerah garis katulistiwa (daerah tropis
dan subtropis). Dengan ditemukannya efek terapeutik yang sangat kuat dari sinar ultraviolet
(UV) terhadap psoriasis, diduga keterpaparan sinar UV bisa menjadi faktor lingkungan utama
yang berinteraksi dengan faktor-faktor genetik pada psoriasis.
Penelitian untuk mencari keterlibatan gen-gen spesifik dalam psoriasis telah mulai dilakukan
sejak sekitar 10 tahun yang lalu dengan penelitian rangkai genetik (genetik linkage) (yakni
pewarisan alel penanda dan alel penyakit dalam keluarga).
Akan tetapi, meskipun telah ada penelitian-penelitian rangkai genome-wide yang dilakukan,
namun hanya satu lokus, disebut PSORS1 (psoriasis susceptibility 1), yang secara konsisten
ditemukan. PSORS1 terletak dalam kompleks histokompatibilitas utama (MHC, kromosom
6p21.3, tempat tinggal gen HLA). Banyak alel HLA yang ditemukan terkait dengan psoriasis,
khususnya HLA-B13, HLA-B37, HLA-B46, HLA-B57, HLA-Cw1, HLA-Cw6, HLA-DR7,
dan HLA-DQ9. Banyak dari alel ini yang memiliki rangkaian (linkage) tidak seimbang
dengan HLA-Cw6 (yakni ditemukan pada kromosom yang sama lebih sering dibanding yang
diprediksikan terjadi secara kebetulan). HLA-Cw6 secara konsisten menunjukkan risiko
paling tinggi untuk psoriasis pada populasi Kaukasoid (ras kulit putih di Eropa).
HLA-Cw6 juga terkait dengan artritis psoriatik, dengan kecenderungan onset lesi kulit pada
tahap awal. HLA-B27, HLA-B38, dan HLA B-39 juga terkait dengan artritis psoriatik,
dimana HLA-B27 paling kuat korelasinya dengan yang terjadi pada bagian kepala dan
trunkus.
HLA-Cw6 tetap erat kaitannya dengan psoriasis apabila ditemukan bersama dengan beberapa
alel HLA-B berbeda, sehingga menunjukkan bahwa gen PSORS1 harus terdapat pada bagian
telomer (segmen ujung) HLA-B (Gbr. 18-1).
Gambar (18.1) Merupakan peta MHC dan psoriasis susceptibility (PSORS1). Panel bagian
atas memperlihatkan keseluruhan MHC; hanya beberapa dari 200 gen terdapat pada gambar
ini. Panel bagian bawah meliputi gen PSORS1 yang ditemukan oleh beberapa peneliti. 10 gen
tersebut terbentang dari HLA-C sampai STG pada ikatan genome yang kuat, dan setiap gen
ini berhubungan dengan psoriasis. Dari semua ini, hanya HLA-C dan CDSN yang
mempunyai varian protein (missense) terhadap halotipe psoriasis (HLA-Cw6 dan
CDSN*TTC), dan pada sample dari 76 halotipe alele yang terpisah satu sama lain, hanya
haplotipe HLA-Cw6 yang membawa resiko psoriasis.
Hanya sekitar 10% karier HLA-Cw6 yang mengalami psoriasis, dan telah diperkirakan
bahwa PSORS1 mewakili hanya sepertiga sampai seperdua dari variasi liabilitas genetik
terhadap psoriasis. Dengan demikian, sangat mungkin bahwa gen non-MHC lain juga terlibat.
Disamping PSORS1, penelitian rangkai genetik (genetic linkage) telah mengidentifikasi 18
lokus kerentanan yang potensial. Akan tetapi, banyak dari lokus ini yang terbukti sulit
bereplikasi. Setelah PSORS1, lokus kerentanan psoriasis kedua yang mampu bereplikasi
adalah PSORS2 (17q24-q25), dengan empat penelitian independen yang memberikan bukti
mendukung (p<0,01). Telah dilaporkan baru-baru ini bahwa lokus ini berkontribusi bagi
psoriasis dengan mempengaruhi ekspresi gen SLC9A3R1, NAT1, dan/atau RAPTCR yang
terlibat dalam regulasi imunologi, namun ada beberapa penelitian yang tidak dapat
membuktikan temuan ini. Lokus-lokus lain yang menunjukkan bukti replikasi mencakup
PSORS4 (1c21.3), PSORS5 (3q21), PSORS8 (16q21-q13)a, dan PSORS9 (4q28-q31), dan
PSORS9 (4q28-q31). PSORS4 menetap dalam kompleks diferensiasi epidermal, yang
merupakan lokasi dari sekurang-kurangnya 58 gen yang terlibat dalam diferensiasi epidermal,
termasuk loricrin, involucrin, filagirin, daerah yang kaya prolin kecil, S100, dan gen-gen
penutup. Lokus PSORS5 pertama kali ditemukan terkait dengan psoriasis pada keluarga-
keluarga di Swedia; bukti untuk replikasi didasarkan pada dua penelitian korelasi. Lokus
PSORS8 timpang tindih dengan gen kerentanan untuk penyakit Chron (NOD2/CARD15) dan
berdampak pada artriris psoriatik. Lokus PSORS9 pertama kali diidentifikasi pada sebuah
populasi Cina, tetapi juga memberikan bukti untuk rangkai (linkage) pada empat rangkai
genome-wide lainnya yang melibatkan sebagian besar populasi Kaukasoid (ras kulit putih di
Eropa).
Patogenesis Psoriasis
Perkembangan lesi
Hubungan sebab akibat berbagai peristiwa seluler pada sebuah lesi psoriasis dapat diteliti
dengan menggunakan mikroskop elektron cahaya, imunohistokimia, dan studi-studi
molekuler terhadap kulit yang terlibat dan tidak terlibat, baik yang baru muncul maupun lesi
psoriasis lama. Peristiwa-peristiwa seluler ini ditunjukkan pada Gambar 18-2 dan dengan
fotomikrograf ril pada Gbr. 18-3.
Gambar 18-2. Perkembangan lesi psoriasis. Gambar ini melukiskan keadaan transisi dari kulit
normal menjadi lesi lengkap. Kulit normal dari seorang individu yang sehat (Bagian A)
mengandung sel-sel Langerhans, sel-sel dendritik imatur yang terpencar (D), dan sel T
memori yang menempati kulit (T) dalam dermis. Kulit yang tampak normal dari seorang
individu psoriatik (Bagian B) menunjukkan sedikit pembesaran dan kurvatur (pelengkungan)
kapiler, sedikit peningkatan jumlah sel mononuklear dermal dan sel mast (M). Biasanya
ditemukan sedikit peningkatan ketebalan epidermal. Pada psoriasis plak kronis, intensitas
perubahan ini tergantung pada jarak dari sebuah lesi yang telah terbentuk. Zona transisi
sebuah lesi yang sedang berkembang (Bagian C) ditandai dengan peningkatan pembesaran
dan kurvatur kapiler yang progresif, demikian juga jumlah sel mast, makrofage (MP), dan sel
T, dan degranulasi sel mast (lengkungan hitam di tengah gambar). Dalam epidermis, terjadi
peningkatan ketebalan disertai penambahan rete pegs, pelebaran ruang ekstraseluler,
diskeratosis sementara, pelepasan lapisan granular yang menyisakan bintik, dan
parakeratosis. Sel-sel langerhans (L) mulai keluar dari epidermis, dan sel-sel epidermal
dendritik (I) dan sel T CD8+ (8) mulai memasuki epidermis. Lesi yang telah berkembang
sempurna (Bagian D) ditandai dengan pembesaran dan kelengkungan kapiler secara lengkap
disertai: peningkatan aliran darah 10 kali lipat, berbagai makrofag terdapat dalam membran
dasar, dan peningkatan jumlah sel T dermal (terutama CD4+) yang bersentuhan dengan sel
dendiritik dermal yang sedang matang (D). Epidermis lesi yang telah matang
memanifestasikan hiperproliferasi keratinosit yang meningkat pesat (sekitar 10 kali lipat)
meluas sampai ke lapisan suprabasal bawah, pelepasan lapisan granular yang jelas tetapi
tidak seragam disertai pemadatan stratum korneum dan parakeratosis, jumlah sel T CD8+
yang meningkat, dan akumulasi neutrofil dalam stratum korneum (mikroabses Munro).
Gambar 18-3. Histopatologi psoriasis. A. Papula psoriasis yang sederhana. Pada keadaan
transisi dari pinggir ke pusat lesi, perhatikan penebalan epidermis yang progresif dengan
pemanjangan rete pegs, pembesaran dan lekukan pembuluh darah yang meningkat, dan
infiltrat sel mononuklear yang meningkat. Perhatikan pula keadaan transisi dari basket-weave
ke stratum korneum yang rapat dengan kehilangan lapisan granular pada pusat lesi. (Biopsi
jarum 4 mm, hematoksilin dan eosin, skala = 100 μM). B. Perbandingan kulit yang terlibat
dan yang tidak terlibat. Biopsi 4 mm diambil dari individu sama yang disampelkan pada
bagian A di hari yang sama. Kulit “tidak terlibat yang jauh dari lesi” diambil 0,5 cm dari
punggung atas dengan jarak 30 cm dari lesi psoriasis terdekat yang dapat dilihat. Kulit “tidak
terlibat di dekat pinggir lesi” diambil 0,5 cm dari pinggir sebuah plak 20-cm, yang telah ada
selama beberapa tahun, berdasarkan keterangan pasien. Kulit “plak pusat” diambil dari
daerah yang relatif tidak aktif (kurang memerah dan kurang bersisik) pada pusat plak ini.
Kulit “terlibat” diambil dari sebuah daerah aktif (lebih memerah dan lebih bersisik) sekitar 1
cm di dalam pinggir plak yang sama. Dalam membandingkan antara kulit “tidak terlibat yang
jauh dari lesi” dan kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” perhatikan bahwa kulit tidak
terlibat di dekat pinggir lesi memiliki ketebalan yang meningkat dan pemanjangan rete pegs
yang lebih cepat, pembesaran dan lekukan pembuluh darah, dan jumlah sel mononuklear
yang meningkat pada dermis atas, banyak diantaranya yang berada pada lokasi perivaskular.
Pada pasien ini, kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” juga menunjukkan frekuensi
keratinosit diskeratotik yang meningkat, sebuah temuan yang sebelumnya telah diamati pada
perifer lesi psoriatik. Dalam membandingkan daerah plak yang kurang aktif dengan yang
lebih aktif, perhatikan bahwa daerah yang lebih aktif menunjukkan infiltrat mononuklear
dermal yang meningkat, hiperkeratotis dan parakeratosis yang meningkat, dan mikroabses
Munro. (biopsi jarum 4 mm, hematoksilin dan eosin, skala = 100 μM).
Lesi awal. Pada tahap awal lesi makular seukuran kepala pin, terdapat edema, dan infiltrat-
infiltrat sel mononuklear pada dermis atas. Temuan ini biasanya terbatas pada daerah salah
satu atau kedua papila. Epidermis yang bersangkutan menjadi spongiotik (karakteristik mirip
busa), dan lapisan granular hilang pada titik tertentu. Venula pada dermis atas membesar dan
dikelilingi oleh infiltrat sel mononuklear. Temuan yang serupa ditemukan pada makula-
makula dini dan papula-papula psoriasis serta kulit yang tampak normal secara klinis 2
sampai 4 cm dari lesi aktif pada pasien yang mengalami kemerahan pada psoriasis gutata.
Temuan-temuan ini merupakan tanda dari “status pra-psoriasis”, yang terkait dengan faktor-
faktor genetik tertentu.
Lesi yang berkembang. Studi batas-batas klinis dari lesi yang sedikit lebih besar (0,5-1,0 cm)
menunjukkan sekitar 50% peningkatan penebalan epidermal pada kulit yang “tampak
normal” yang berdekatan langsung dengan lesi. Terjadi peningkatan aktivitas metabolik sel-
sel epidermal, yang mencakup stratum korneum, sintesis DNA yang meningkat, jumlah sel
mast dan makrofag dermal meningkat, dan degranulasi sel mast berkurang. Studi selanjutnya
menunjukkan peningkatan jumlah sel T dermal dan sel dendritik (DC) baik pada kulit
psoriatik yang terlibat maupun yang tidak terlibat relatif terhadap kulit normal. Di sekitar
pusat lesi terdapat “zona marginal”, dengan peningkatan ketebalan epidermal, peningkatan
parakeratosis dan pemanjangan kapiler, dan infiltrasi perivaskular dari limfosit dan
makrofage, tanpa eksudasi ke dalam epidermis. Baru-baru ini dilaporkan rete ridges mulai
berkembang dalam zona marginal, sebelum transisi akhir menjadi plak psoriasis penuh. Sel-
sel skuamosa memanifestasikan ruang-ruang ekstraseluler yang meluas dengan hanya sedikit
koneksi desmosomal. Parakeratosis biasanya membulat atau berintik.
Lesi matang. Lesi psoriasis yang sudah matang ditandai dengan pemanjangan rete ridges
yang merata, dengan penipisan epidermis di atas papila dermal. Massa epidermal bertambah
3-5 kali lipat, dan ada lebih banyak sel kanker (mitosa) yang sering diamati di atas lapisan
basal. Sekitar 10% keratinosit basal bersiklus pada kulit normal, dan meningkat menjadi
100% pada kulit psoriatik berlesi. Pelebaran ruang ekstraseluler di antara keratinosit tetap
berlangsung tetapi kurang dominan dibanding lesi yang sedang berkembang dan lebih
seragam dibanding spongiosis tipikal dari lesi-lesi kulit eczematous. Ujung-ujung rete ridges
sering berkelompok atau bergabung dengan ujung di dekatnya, disertai dengan papila
edematosa yang tipis dan memanjang serta mengandung kapiler-kapiler berlekuk dan
membesar. Parakeratosis, disertai hilangnya lapisan granula, sering menyusup secara
horizontal tetapi bisa berseberangan disertai ortokeratosis, dan hiperkeratosis lebih ekstensif
dibanding pada zona transisi. Infiltrat inflamasi di sekitar pembuluh darah dermis papiler
menjadi lebih intens tetapi masih terdiri dari limfosit, makrofag, DC, dan sel mast. Berbeda
dengan lesi awal dan zona transisi, limfosit berada dalam epidermis lesi matang. Neutrofil
keluar dari ujung sub-bagian kapiler dermal, yang berujung pada akumulasi dalam stratum
korneum parakeratotik (mikroabses Munro) dan terkadang akumulasi dalam lapisan spinalis
(pustula spongiformis Kogoj). Kumpulan serum juga bisa diamati dalam epidermis dan
stratum korneum.
Sel-sel T regulator. Ada beberapa populasi sel T regulator (Tregs) yang terlibat, tetapi yang
paling dikenal adalah sub-kelompok CD4+CD25. Sebuah penelitian terbaru terhadap sel T ini
pada psoriasis menunjukkan terganggunya fungsi inhibitori dan kegagalan untuk menekan
proliferasi sel-T efektor.
Sel NK dan sel T NK. Sel pembunuh alami (NK) merupakan penghasil IFN-γ yang utama
dan berfungsi sebagai jembatan antara imunitas alami dan imunitas yang didapat (acquired).
Sel-sel NK sebagian diregulasi oleh reseptor mirip imunoglobulin (KIR), yang mengenali
HLA-C dan molekul MHC klas I lainnya. KIR adalah famili dari sekitar 15 gen terkait dekat
yang terdapat pada kromosom 19q13.4, beberapa diantaranya menstimulasi dan yang lainnya
menghambat aktivasi sel NK. Baru-baru ini, gen-gen KIR ditemukan terkait dengan psoriasis
dan artritis psoriatik.
Sel-sel dendritik. Pengobatan yang utama diarahkan untuk molekul ko-stimulator yang
diekspresikan oleh DC penampil-antigen “profesional” dapat memulihkan psoriasis. Ini
menunjukkan bahwa sel-sel T dalam lesi psoriatik berhubungan konstan dengan DC, yang
mana memiliki peranan dalam pembangkitan respon imun adaptif dan induksi toleransi
sendiri (self-tolerance). Beberapa sub-kelompok DC telah ditemukan, dan banyak
diantaranya yang ditemukan pada keadaan matang dalam lesi-lesi psoriasis. Walaupun sel-sel
ini diyakini memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis, namun peranan spesifik
dari masing-masing sub-kelompok ini masih belum jelas.
Sel-sel Langerhans
Sel-sel Langerhans (LC) dianggap sebagai DC yang belum matang (iDC). LC memiliki
peranan yang jelas sebagai sel penampil antigen (APC) pada dermatitis kontak, tetapi
peranannya dalam psoriasis, dimana jumlahnya berkurang drastis, masih belum jelas. DC
yang kekurangan karakteristik granula Birbeck tetapi positif untuk molekul pematangan DC-
LAMP ditemukan dalam dermis lesi psoriasis, sehingga menunjukkan bahwa sel-sel ini
menjadi matang dan keluar dari epidermis selama perjalanan pembentukan lesi. Menariknya,
migrasi LC sebagai respon terhadap sitokin inflammatori sangat terganggu pada epidermis
psoriatik yang tidak terlibat.
Sel mast dan makrofag. Sel mast dan makrofag dominan pada lesi psoriasis tahap awal dan
tahap berkembang (lihat Gambar. 18-2). Banyak dari makrofag yang tersebar tepat di bawah
membran dasar, berdekatan dengan proliferasi keratinosit yang mengekspresikan kemokin
makrofag MCP-1. Sel-sel yang aktif secara fagosit ini terlibat dalam menghasilkan fenestrasi
(lubang) dalam membran dasar epidermal. Penelitian terbaru tentang dua model psoriasis
yang berbeda pada mencit, yang satu tergantung pada sel T dan yang lainnya tidak,
menunjukkan bahwa eliminasi makrofag secara selektif berujung pada perbaikan lesi.
Temuan-temuan baru ini menunjukkan bahwa makrofag memegang peranan penting dalam
patogenesis psoriasis, sekurang-kurangnya melalui produksi TNF-α.
Neutrofil. Walaupun secara umum ditemukan lesi psoriasis pada epidermis atas, neutrofil
muncul lambat selama perkembangan lesi, jumlahnya sedikit bervariasi, dan peranannya
dalam patogenesis psoriasis masih belum jelas. Penelitian-penelitian terbaru pada salah satu
model mencit menunjukkan bahwa neutrofil kemungkinan tidak diperlukan untuk terjadinya
lesi.
Tipe sel lain. Tipe-tipe sel lain, seperti endotelial dan fibroblast, kemungkinan berpartisipasi
dalam proses patogenik. Sel endotelial sangat teraktivasi pada lesi psoriasis yang sedang
berkembang atau lesi matang dan disamping menyebabkan peningkatan aliran darah 10 kali
lipat ke lesi, sel-sel endothelial juga memegang peranan utama dalam mengendalikan fluks
leukosit dan protein serum ke dalam jaringan psoriatik. Fibroblast mendukung proliferasi
keratinosit dengan cara parakrin, dan proses ini meningkat pada psoriasis. Fibroblast
menghasilkan banyak faktor kemotaksis dan mendukung migrasi sel T keluar dari lesi
psoriasis. Sehingga, fibroblast juga bisa terlibat dalam psoriasis dengan mengarahkan
lokalisasi sel T.
Gambar 18-4. Kunci interaksi sitokin pada lesi psoriasis. Hubungan sitkon pada psoriasis
sangatlah komplek, melalui berbagai interaksi sitokin, kemokin, dan faktor-faktor
pertumbuhan yang meliputi berbagai siklus positif dan umpan balik negatif. Hanya sitokin
yang dijelaskan pada gambar ini. Sitokin Th1 seperti interferon (IFN-γ) dan TNF-ά
merupakan sitokin spesifik, sedangkan IL-23 hanya sedikit implikasinya dalam patogenesis.
IL-2 diperkirakan untuk memelihara dan mempeluas sel T CD4+, yang dinamakan Th17,
yang dikarakteristikkan dengan produksi IL-17 dan IL-22. Sitokin-sitokin lainnya adalah sel
dendritik (DCs)CD4+ dan sel T CD8+, dan keratinosit (KCs). IFN-γ dan TNF-ά menginduksi
KCs untuk memproduksi IL-7, IL-8, IL-12, IL-15, IL-18, dan TNF-ά di samping sitokin-
sitkoin, ekmokin, dan faktor-faktor pertumbuhan. IL-18 bertindak dalam DCs secara sinergis
dengan Il-12 untuk meningkatkan produksi IFN-γ. IL-7 dan IL-15 penting untuk proliferasi
dan homeostasis sel T CD8+. IL-17 bekerja sama dengan IFN-γ untuk mengelisitasi sitkon
pro-inflamator dan kemokin oleh KCs, TGFά = trasforming growth factor- ά.
Mediator imun alami. Di samping sitokin dan chemokin, beberapa mediator imunitas alami
diekspresikan secara abnormal pada psoriasis. Yang paling utama adalah HBD-2 dan LL-37,
keduanya meningkat pada psoriasis tetapi tidak pada dermatitis atopik. Khususnya, ekspresi
HBD-2 dan LL-37 meningkat pada saat merespon sitokin pro-inflamasi dan sitokin tipe I
(TNF-α, IL1, dan IFN-γ) dan ditekan oleh sitokin tipe II (IL-4, IL-10, dan IL-13). Perbedaan
ekspresi peptida antimikroba membantu menjelaskan mengapa sekitar 30% pasien yang
mengalami dermatitis atopik memiliki infeksi bakteri atau virus, sedangkan hanya 7% dari
pasien psoriasis yang mengalami dermatitis atopik. Perbedaan ini juga menjelaskan mengapa
pasien psoriasis, meskipun sering terinfeksi Staphylococcus aureus, tidak dapat dibantu
banyak dengan pengobatan antibiotik, sedangkan pasien dermatitis atopik sering dapat
dibantu dengan terapi antibiotik. Protein S100 adalah famili protein berberat molekul rendah
dimerik yang mengikat kalsium dan kation divalen lainnya. Heterodimer S100A2, S100A7
(psoriasin), dan S100A3/A9 diekspresikan secara berlebih pada lesi-lesi psoriasis. Protein-
protein ini menghasilkan aktivitas kemotaksis dan antimikroba, melalui sekuestrasi ion-ion
zink. Oksida nitrat dihasilkan dalam jumlah besar oleh DC pada psoriasis melalui oksida
nitrat sintase yang dapat dihasilkan oleh sel, dimana oksida nitrat memicu berbagai proses
transduksi sinyal. Terakhir, komponen komplemen C5a merupakan sebuah kemotraktan
potensial untuk neutrofil dan bisa berkontribusi bagi akumulasi neutrofil dalam stratum
korneum psoriasis. Menariknya, komponen ini merupakan kemoatraktan yang paling
potensial untuk DC pada ekstrak pelepuhan psoriasis. Banyak dari mediator ini yang
diregulasi pada saat merespon terhadap reseptor TLR, sehingga menghasilkan sebuah
mekanisme dimana sistem imun alami bisa dengan cepat mengenali berbagai patogen
berdasarkan pola-pola molekuler nya yang terkait patogen.
Eikosanoid. Peranan eikosanoid dalam psoriasis masih belum jelas. Kadar asam arachidonat
bebas, leukotriena B4, asam 12-hidroksieikosatetraenoat, dan asam 15-
hidroksieikosatetraenoat meningkat pesat pada kulit berlesi, sedangkan kadar prostaglandin E
dan F2α meningkat kurang dari dua kali lipat.
Protease dan inhibitornya. Lesi psoriasis ditandai dengan ekspresi berbagai proteinase yang
berlebihan oleh keratinosit dan leukosit. Metaloproteinase melepaskan TNF-α, faktor
pertumbuhan mirip EGF, dan banyak sitokin lain dan faktor pertumbuhan dari prekursor
dalam membran mereka. Elastase yang berasal dari leukosit juga berdampak dalam pelepasan
faktor pertumbuhan mirip EGF. Serin protease secara langsung mengaktivasi reseptor yang
teraktivasi-protease. Masing-masing dari mekanisme ini bisa berkontribusi bagi stimulasi
proliferasi keratinosit. Inhibitor protease seperti elafin, serpinB3, dan serpinB13 (hurpin)
adalah diantara gen yang paling tinggi ekspresinya pada lesi psoriasis, sehingga menunjukkan
bahwa mekanisme-mekanisme homeostatis terlibat dalam upaya untuk meregulasi
lingkungan proteolitik pada lesi psoriatik.
Integrin. Beberapa penelitian menyarankan adanya peranan dini integrin α5 dan fibronektin
ligannya dalam psoriasis. Fibronektin meningkat pada epidermis psoriatik, dan telah diduga
bahwa fibronektin menjangkau epidermis melalui fenestrasi dalam membran dasar epidermal.
Gambar 18-5 A.Model yang dipikirkan untuk transisi dari gutata kepada plak kronis
psoriasis. Hanya menggambarkan sel –T spesifik Streptococcus bermigrasi dari tonsil ke kulit
yang mana pada kulit sel T mengenali derivat antigen reaktif-silang daripada keratinosit yang
mengakibatkan terjadinya aktivitas inflamator (lesi guttate). Jika presentasi -silang yang
efektif tidak terjadi, penyakit akan sembuh dengan sendirinya. Jika presentasi-silang yang
efektif terjadi dalam tisu limfoid kulit sekunder, terjadinya generasi dan pengambilan sel T
auto-reaktif, sehingga mengakibatkan proses yang kronis.B. Peran dari HLA-Cw6 yang
dipikirkan dalam patogenesis dari psoriasis. Antigen dalam kantung pengikat dari HLA-C
(dalam kasus ini HLA-Cw6) berinteraksi dengan reseptor sel-T (TCR). Regio dari TCR yang
berinteraksi secara langsung dengan antigen adalah complement- determining region 3
(CDR3). Oligoklonilitas dari regio CDR3 telah ditunjukkan untuk sel T CD8+ , sehingga bisa
dipikirkan bahwa psoriasis adalah merupakan proses yang dipicu antigen. Peran dari HLA-
Cw6 dalam psoriasis bisa jadi 2 kali lipat. HLA-Cw6 adalah aktif dalam presentasi-silang
peptide pada permukaan dari sel dendritik, sehingga membolehkan aktivasi dan ekspansi
klonal dari antigen-spesifik sel CD8+. Proses ini bersifat dependen terhadap bantuan sel
CD4+ dan kemungkinan terjadi pada kedua dermis (aktivasi dari memori sel T residen) dan
kelenjar limfe lokal (aktivasi dari sel T yang mentah). Berikutnya, sel T CD8+ bisa
bermigrasi ke dalam epidermis yang mana disini mereka akan menemukan HLA-Cw6 pada
permukaan keratinosit dan memberikan presentasi yang sama dengan peptide patogenik. Ini
mengakibatkan pelepasan mediator inflamator dari sel T CD8+ dan aktivasi dari keratinosit ,
menghasilkan perkembangan lesi psoriatik.mDc= sel dendritik matang.
GEJALA KLINIS
Gambar 18-6 merupakan algoritma yang menunjukkan gejala klinis dan pengobatan untuk
psoriasis
Gambar 18-6
Algoritme diagnosis dan pengobatan bagi psoriasis. Diagnosa bagi psoriasis biasanya
berdasarkan presentasi klinis. Dalam beberapa kasus yang mana riwayat klinis dan
pemeriksaan adalah tidak diagnostik, biopsi perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosa
yang betul. Mayoritas dari kasus psoriasis adalah dibagikan kepada 3 kategori utama; gutata,
eritrodermik/ pustular, dan plak kronik,yang mana plak kronik adalah kasus yang sering
didapatkan. Psoriasis gutata merupakan penyakit yang sering sembuh sendiri dengan resolusi
spontan dalam tempoh 6 sehingga 12 minggu. Dalam kasus psoriasis gutata yang ringan,
pengobatan tidak diperlukan, tetapi dengan penyebaran yang meluas fototerapi ultraviolet B
(UVB) dengan asosiasi terapi topikal adalah sangat efektif. Psoriasis pustular/eritrodermik
sering berhubungan dengan simptom sistemik dan memerlukan pengobatan dengan
pengobatan sistemik kerja cepat. Obat yang sering digunakan bagi pengobatan psoriasis tipe
ini adalah acitretin. Dalam beberapa kasus dengan psoriasis pustular penggunaan steroid
sistemik adalah perlu (**). Panah berbintik menunjukkan bahwa bentuk gutata, eritrodermik
dan pustular sering berubah menjadi bentuk plak kronis. Pilihan terapi untuk psoriasis bentuk
plak kronis secara ipikalnya bergantung kepada derajat keparahan penyakit tersebut. Di
antara regimen utama pengobatan (terapi topikal, fototerapi, pusat pengobatan harian, dan
terapi sistemik), modalitas lini pertama dan lini kedua adalah diindikasikan dari garis tegas
dan garis putus-putus. Individu dengan kondisi yang menghambat aktivitas mereka, termasuk
adanya nyeri palmoplantar dan psoriatik arthritis, memerlukan pengobatan yang lebih poten
tanpa melihat luas area permukaan tubuh yang terkena penyakit ini. Isu fisiologis dan dampak
terhadap kualitas hidup juga harus diambil kira. Dalam tiap regimen pengobatan, pilihan lini
pertama dan lini kedua dikelompokkan. Siklosporin A tidak dipertimbangkan sebagai lini
pertama, pengobatan sistemik jangka panjang oleh karena efek sampingnya, tetapi
pengobatan jangka pendek bisa membantu menginduksi remisi. Jika pasien mempunyai
respon yang tidak mencukupi atau tidak bisa mentolerir pengobatan sistemik lini pertama
individu, kombinasi regimen (tabel 18-5), pengobatan rotasional, atau penggunaan terapi
biologik sekiranya haruslah diambil.
Riwayat Penyakit
Maklumat tentang onset usia dan riwayat tentang adanya psoriasis dalam keluarga adalah
penting untuk diketahui, oleh karena onset penyakit pada usia muda dan adanya riwayat
psoriasis dalam keluarga mempunyai tingkat kemungkinan terjadinya rekurensi yang lebih
tinggi serta penyebaran penyakit yang lebih meluas. Selanjutnya, pemeriksa seharusnya
menanyakan tentang perjalanan penyakit yang terjadi sebelumnya, oleh karena adanya
perbedaan yang besar antara fase ‘akut’ dan fase’kronis’ dari penyakit ini. Pada fase kronis,
lesi bisa menetap sehingga berbulan-bulan atau tahunan, manakala pada fase akut dari
penyakit ini pembentukan lesi secara meluas terjadi secara tiba-tiba dalam tempoh beberapa
hari. Namun begitu, pasien mempunyai tingkat variabilitas yang pelbagai untuk kambuh
kembali. Sebagian dari pasien mempunyai relaps yang frekuen dan terjadi dari tempo
mingguan hingga bulanan, manakala sebagian lainnya mempunyai proses penyakit yang lebih
stabil dan dengan sesekali terjadi rekurensi. Bagi pasien yang sering terjadi relaps, mereka
lebih cenderung menjalani tingkat penyakit yang lebih parah dengan pembentukan lesi lebih
besar yang terjadi dengan cepat sehingga hampir memenuhi keseluruhan badan dan
memerlukan pengobatan terperinci berbanding dengan pasien yang proses penyakitnya lebih
stabil. Sebagian dari obat bisa memperbarat kondisi psoriasis. Pemeriksa juga hendaklah
menanyakan tentang keluhan pada persendian. Walaupun kejadian osteoarthritis sering
didapatkan dan bisa terjadi bersama-sama dengan psoriasis, riwayat onset terjadinya gejala
pada persendian sebelum dekade ke-4 dan atau riwayat terjadinya bengkak yang terasa panas
pada persendian bisa menimbulkan kecurigaan terjadinya psoriatik arthritis.
Lesi Kulit
Bentuk klasik dari lesi pada psoriasis adalah berbatas tegas, plak merah dengan permukaan
skuama berwarna putih (gambar 18-7). Lesi bisa bervariasi saiznya dari papula kecil sehingga
plak yang menutupi sebagian besar area badan. Pada bawah dari permukaan skuama, kulit
terlihat mempunyai eritema yang merata dan berkilat, dan bintik-bintik darah dapat dilihat
apabila permukaan skuama dilepas, yang mana ini mengakibatkan trauma pada kapiler yang
dilatasi dibawahnya (tanda Auspitz) (gambar 18-8). Erupsi pada psoriasis cenderung terjadi
simetris sehingga ini merupakan tanda yang membantu dalam penegakan diagnosa. Namun,
erupsi unilateral juga bisa terjadi. Fenotip psoriasis bisa memberikan spectrum yang berubah
dariekspresi penyakit walaupun pada pasien yang sama.
Fenomena Koebner (turut dikenal sebagai respon isomorfik) adalah induksi trauma dari
psoriasis pada kulit; lebih sering terjadi semasa perkembangan penyakit dan merupakan
fenomena semua- atau- tiada (contoh, jika psoriasis terjadi pada satu dari bagian yang kulit
yang terluka maka akan terjadi pada semua bagian lain yang terluka) (gambar 18-9). Reaksi
Koebner biasanya terjadi 7-14 hari setelah terjadinya luka, setidaknya 25% dari pasien
mempunyai riwayat trauma yang berhubung dengan fenomena Koebner pada suatu masa dari
hidup mereka. Anggaran prevalensi masa hidup meningkat sehingga 76 % manakala faktor
seperti infeksi, stress emosi dan reaksi obat turut dimasukkan. Fenomena Koebner adalah
tidak spesifik untuk psoriasis namun adanya fenomena ini bisa membantu untuk menegakkan
diagnosa psoriasis pada pasien.
Gambar 18-7
Psoriasis plak kronis pada lokasi tipikal. Perhatikan lesi simetris yang berbatas tegas.
Gambar 18-8. Tanda Auspitz. Perhatikan bintik darah setelah lapisan skuama dilepas.
Gambar 18-10. Psoriasis tipe plak yang tidak tipikal. A. Psoriasis anular pada sisi samping
badan. B. Psoriasis rupiod pada anak; perhatikan lesi berbentuk kon. C. Pasien dengan
psoriasis yang sedang menjalani proses terapi Goeckerman termodifikasi (cahaya ultraviolet
B, tar arang, steroid topikal ) menunjukkan adanya cincin Woronoff D. Psoriasis elephantine
pada ekstremitas bawah; perhatikan psoriasis turut mengenai kuku jari kaki.
Gambar 18-11. Psoriasis gutata, yang melibatkan paha (A), tangan (B), dan punggung (C dan
D). Pasien pada gambar D, penyakitnya berkembang menjadi psoriasis plak kronis.
Psoriasis Eritrodermik
Psoriasis eritroderma merujuk kepada bentuk penyakit yang meluas pada semua bagian
tubuh, termasuklah muka, tangan, kaki, kuku, trunkus, dan ekstremitas (gambar 18-13).
Walaupun semua simptom dari psoriasis ada, eritema merupakan tanda yang paling nyata,
dan skuama adalah berbeda berbanding dengan bentuk psoriasis stationair yang kronis. Pada
tipe ini yang didapatkan adalah skuama superfisial dan bukannya skuama tebal yang
berlekatan. Pasien dengan psoriasis eritrodermik mengalami kehilangan skuama yang
berlebihan oleh karena vasodilatasi yang meluas sehingga bisa mengakibatkan hipotermia.
Pasien bisa jadi menggigil untuk meningkatkan suhu tubuh mereka. Kulit psoriatik biasanya
dalam kondisi hipohidrotik oleh karena terjadinya oklusi pada duktus keringat, dan adanya
resiko hipertermia pada daerah yang panas. Edema pada ekstremitas bawah sering didapatkan
oleh karena terjadinya vasodilatasi dan kehilangan protein dari pembuluh darah ke dalam
tisu. Kegagalan cardiac output yang tinggi serta kegagalan pada fungsi hepar dan ginjal bisa
terjadi. Psoriatik eritroderma mempunyai pelbagai presentasi, tetapi hanya 2 bentuk yang
dipikirkan ada. Dalam bentuk yang pertama, psoriasis plak kronis bisa memburuk dan
melibatkan sebagian atau semua permukaan kulit, dan pasien berespons secara relatif
terhadap terapi. Dalam bentuk yang kedua, eritroderma yang meluas bisa didapatkan secara
tiba-tiba atau akibat tidak mentolerir pengobatan eksternal (contoh, UVB, Antralin) sehingga
memberikan presentasi suatu reaksi Koebner yang meluas. Psoriasis pustular yang meluas
[lihat Psoriasis Pustular yang Meluas (von Zumbusch)] bisa berbalik menjadi eritroderma
dengan pengurangan atau tiada formasi pustula. Kadangkala masalah diagnostic bisa terjadi
pada psoriatik eritroderma yang terjadi akibat kasusa yang berbeda.
Gambar 18-13. Psoriasis eritrodermik. Pasien pada A mempunyai psoriasis plak kronis yang
berkembang sehingga hampir menutupi keseluruhan area tersebut. Pasien pada B juga
mengalami perkembangan penyakit sehingga hampir keseluruhan badan dan memberikan
keluhan lemah dan malaise. Perhatikan area yang tidak terkena penyakit pada kedua
lengannya.
Psoriasis Pustular
Terdapat beberapa variasi klinis dari bentuk psoriasis pustulosa: psoriasis pustulosa yang
meluas (tipe von Zumbusch), psoriasis pustulosa annular, herpetiformis impetigo, dan 2
variasi dari psoriasis pustulosa yang terlokalisasi-palmaris pustulosis et. plantaris dan
arkodermatitis kontinua. Pada anak-anak, psoriasis pustulosa bisa dikomplikasikan dengan
lesi litik yang steril pada tulang dan bisa bermanifestasi sebagai sindroma SAPHO (sinovitis,
acne, pustulosis, hiperostosis, osteitis).
Gambar 18-14. A-C. Generalisata, Von Zumbuch, psoriasis tipe pustular, diameter 1-2 mm
pada dasar kulit yang eritematosa.
Gambar 18-15. Psoriasis pustular. Panel B merupakan gambaran pustula dari jarak dekat
yang dibesarkan dari panel A.
Sebopsoriasis
Merupakan bentuk klinis yang sering didapatkan, sebopsoriasis memberikan presentasi plak
eritematous dengan skuama mengkilat yang terlokalisasi pada area seboroik (kulit kepala,
glabella, lipatan nasolabial, area perioral dan presternal, dan area intertriginous. Sukar untuk
membedakan tipe ini dengan dermatitis seboroika oleh karena sukar didapatkan temuan
tipikal dari psoriasis. Sebopsoriasis bisa menyerupai suatu modifikasi dari dermatitis
seboroika dari latar belakang genetik dan secara relatif resistan terhadap pengobatan.
Pengobatan dengan menggunakan agen antifungal adalah berguna walaupun diagnosa dengan
kausa Pityrosporum belum ditegakkan.
Psoriasis Napkin
Psoriasis Napkin biasanya bermula antara usia 3 sehingga 6 bulan dan pertamanya muncul
pada area pemakaian popok (napkin) sebagai area konfluen yang merah dan diikuti oleh
adanya papul merah kecil pada area trukus sehingga ekstremitas beberapa hari berikutnya.
Papul-papul ini juga mempunyai skuama putih tipikal seperti pada psoriasis. Area muka juga
bisa ikut terlibat dengan erupsi skuama merah. Tidak seperti tipe lain dari psoriasis, bercak
ini berespon terhadap pengobatan dan biasanya menghilang apabila anak telah berusia 1
tahun.
Psoriasis Linear
Psoriasis linear merupakan suatu bentuk psoriasis yang jarang ditenukan Lesi psoriatik
tampak sebagai lesi linear terutama pada ekstremitas tetapi bisa juga terlimitasi pada kulit
bagian trunkus. Ini bisa jadi nevus yang tertutupi, kemungkinan nevus epidermal verukous
linear (ILVEN), oleh karena lesi ini menyerupai psoriasis linear baik secara klinikal dan
histologi. Adanya bentuk linear dari psoriasis yang berbeda dari ILVEN adalah masih
kontroversi.
Tabel 18-1
Perubahan kuku pada Psoriasis
Segmen kuku yang terlibat Tanda Klinikal
Matriks proksimal Pit, onikoreksis, garis Beau’s
Matriks intermediat Leukonikia
Matriks distal Onikolisis fokal, penipisan kuku, eritema pada lunula
Permukaan kulit di bawah kuku Tanda ‘tetes minyak’ atau ‘bercak salmon’, hiperkeratosis
subungal, onikolisis, perdarahan splint.
Hiponikium hiperkeratosis subungal, onikolisis
Permukaan kuku Reput atau destruksi dengan perubahan sekunder lainnya pada lokasi
spesifik
Lipatan proksimal dan lateral kuku Psoriasis kutaneous
Pit pada kuku merupakan ciri yang paling sering ditemukan pada psoriasis, sering melibatkan
jari-jari tangan berbanding jari kaki (gambar 18-16). Ukuran pits bisa bervariasi dari 0.5
sehingga 2.0 mm dan bisa jadi tunggal atau multipel. Matriks kuku proksimal membentuk
porsi dorsal (superfisial) dari permukaan kuku, dan keterlibatan psoriatik pada region ini
mengakibatkan terjadinya pits oleh karena keratinisasi defektif. Alterasi lain pada matriks
kuku mengakibatkan deformitas pada kuku (onikodistrofi) termasuklah leukonikia, kuku
reput, dan bintik merah pada lunula. Onikodistrofi mempunyai hubungan yang kuat dengan
psoriatic arthritis berbanding dengan perubahan lainnya pada kuku. Bintik minyak dan bercak
salmon adalah tranlusen, diskolorasi bewarna kuning-merah diperhatikan dibawah dari
permukaan kuku sering meluas dari distal ke hiponikium, oleh karena hiperplasia
psoriasiform, parakeratosis, perubahan mikrovaskular, dan terperangkapnya neutrofil
dibawah permukaan kuku. Berbeda dengan pits, yang juga bisa dilihat pada alopecia areata
dan diskolorasi lainnya, bintik minyak dipikirkan merupakan cirri yang hamper spesifik
untuk psoriasis. Perdarahan splint diakibatkan oleh perdarahan kapiler dibawah permukaan
suprapapiler yang tipis pada permukaan kuku yang psoriatik. Hiperkeratosis subungual
adalah karena hiperkeratosis pada permukaan kuku dan sering bersamaan dengan onikolisis
(kuku dari jari) terutamana melibatkan aspek distal dari kuku. Anonikia merupakan
pemisahan total kuku jari. Walaupun perubahan kuku jarang ditemukan pada variasi dari
pustulosis palmaris et plantaris, anonikia bisa dilihat pada dalam bentuk psoriasis pustulosa
lainnya.
Gambar 18-16. Psoriasis kuku. Panel A menunjukkan onikolisis distal dan spot ‘tetes
minyak’. Panel B menunjukkan onikolisis distal, diskolorasi bercak salmon, dan pits.Panel C
menunjukkan perdarahan splint dan pits.Panel D menunjukkan
Lidah Geografis
Lidah Geografis, juga turut dikenal sebagai benign migratory glossitis atau glossitis area
migrans, merupakan kelainan inflamator yang idiopatik yang mengakibatkan hilangnya
papillae filiformis lokal. Kondisi ini biasanya memberikan presentasi sebagai bercak
eritematous yang asimptomatik dengan batas yang bergelombang, menyerupai sebuah peta.
Lesi ini mempunyai karakteristik sifat yang bermigrasi. Lidah geografis telah dipostulasikan
untuk menjadi salah satu variasi oral dari psoriasis, oleh karena lesi ini menunjukkan
beberapa ciri histologik dari psoriasis, termasuk akantosis, clubbing dari batas ridge,
parakeratosis fokal, dan infiltrasi neutrofilik. Tambahan terdapat prevalensi dari lidah
geografis yang meningkat pada pasien psoriatik. Tetapi, lidah geografis merupakan kondisi
yang sering didapatkan dan juga bisa dilihat pada individu tanpa psoriasis, maka
hubungannya dengan psoriasis harus diklarifikasikan lebih lanjut.
Psoriasis Arthritis
Arthritis merupakan manifestasi ekstra kutaneous yang sering didapatkan dari psoriasis dan
didapatkan pada hampir 40% pasien. Ia mempunyai komponen genetik yang kuat dan
terdapat beberapa subtipe yang sama.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Walaupun pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosa, namun
ini sangat membantu dalam kasus yang sukar.Temuan histologik dari psoriasis gutata dan
psoriasis plak kronis telah diterangkan (lihat perkembangan dari lesi). Pada awal
perkembangan lesi dari tipe psoriasis pustulosa, epidermis hanya mengalami sedikit
akantosis, manakala psoriasis membentuk hiperplasia yang bisa ditemukan pada lesi lama dan
persisten. Migrasi neutrofil dari pembuluh darah yang dilatasi pada dermis atas ke dalam
permukaan epidermis yang mana mereka beragregasi di bawah stratum korneum dan ke
lapisan Malphigian atas untuk membentuk pustulosa spongioform dari Kogoj.
Abnormalitas lainnya yang bisa ditemukan pada pemeriksaan laboratorium dari psoriasis
adalah tidak spesifik dan kadang tidak ditemukan pada semua pasien. Pada pasien dengan
psoriasis vulgaris berat, psoriasis pustulosa yang meluas, dan eritroderma, dan sisa nitrogen
negative bisa terdeteksi, bermanifestasi sebagai penurunan dari serum albumin.
Pasien dengan psoriasis mempunyai manifestasi perubahan profil lipid, walaupun ketika
onset dari penyakit kulit mereka. Pasien mempunyai peningkatan sehingga 15% kadar dari
lipoprotein densitas-tinggi,dan perbandingan kolesterol-trigliserida untuk partikel lipoprotein
densitas-rendah meningkat sehingga 19%. Selanjutnya, konsentrasi plasma apolipoprotein-
A1 adalah lebih tinggi sehingga 11% pada pasien psoriasis. Apakah perbedaan pada profil
lipid ini bisa menerangkan atau mengkontribusi kepada peningkatan kejadian kardiovaskuler
pada psoriasis masih dalam penelitian.
Serum asam urat meningkat sehingga 50% dari pasien dan terutamanya berhubung dengan
luasnya lesi dan aktivitas penyakit. Terdapat peningkatan resiko mendapat gout arthritis.
Serum asam urat biasanya kembali normal setelah terapi.
Marker dari inflamasi sistemik bisa meningkat termasuklah, protein C-reaktif, α2-
makroglobulin, dan kadar sedimen eritrosit. Tetapi peningkatan tersebut jarang didapatkan
pada psoriasis plak kronis tanpa komplikasi arthritis. Peningkatan kadar serum
immunoglobulin (Ig) A dan kompleks imun Ig A, juga amiloidosis sekunder telah
diperhatikan dalam psoriasis, dan yang terakhir mempunyai prognosis yang buruk.
Uji Laboratorium
Walaupun pemeriksaan histopatologi jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, namun
bisa membantu pada kasus-kasus yang sulit. Temuan histopatologi dari psoriasis guta dan
psoriasis plak kronis telah ditemukan (lihat Perkembangan Lesi). Pada awal-awal lesi
psoriasis pustular, epidermis biasanya hanya sedikit mengalami akantosis, sedangkan
hiperplasia psoriasiformis ditemukan pada lesi yang sudah lama dan persisten. Neutrofil
bermigrasi dari pembuluh-pembuluh yang membesar dalam dermis atas ke dalam epidermis
dimana mereka berkumpul di bawah stratum korneum dan dalam lapisan Malphigian atas
untuk membentuk pustula-pustula spongiformis Kogoj.
Kelainan-kelainan laboratorium lainnya pada psoriasis biasanya tidak spesifik dan mungkin
tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang parah, psoriasis pustular
menyeluruh, dan eritroderma, sebuah keseimbangan nitrogen negatif bisa dideteksi,
dimanifestasikan oleh penurunan albumin serum.
Pasien-pasien psoriasis memanifestasikan profil-profil lipid yang berubah, bahkan pada onset
penyakit kulitnya. Pasien memiliki kadar protein berkepadatan-tinggi yang 15% lebih tinggi,
dan rasio kolesterol-trigliserida untuk partikel-partikel lipoprotein berkepadatan rendah
adalah 19% lebih tinggi. Lebih lanjut, konsentrasi apolipoprotein-A1 plasma 11% lebih tinggi
pada pasien-pasien psoriasis. Apakah perbedaan-perbedaan profil lipid ini bisa menjelaskan
atau berkontribusi terhadap kejadian insiden kardiovaskular yang meningkat masih perlu
diteliti.
Asam urat serum meningkat pada hingga 50% pasien dan utamanya terkait dengan luasan lesi
dan aktivitas penyakit. Ada risiko yang meningkat untuk mengalami arhritis gouty. Kadar
asam urat serum biasanya kembali normal setelah terapi.
Penanda inflamasi sistemik bisa meningkat, termasuk protein C-reaktif, α2-makroglobulin,
dan laju pengendapan eritrosit. Akan tetapi, peningkatan-peningkatan seperti ini jarang pada
psoriasis plak kronis yang tidak diperparah oleh arthritis. Kadar imunoglobulin (Ig) A yang
meningkat dan kompleks imun IgA, serta amiloidosis sekunder, juga telah diamati pada
psoriasis, dan yang terakhir membawa prognosis buruk.
Uji-Uji Khusus
Teknik-teknik imunostaining, pemilahan sel teraktivasi fluoresensi untuk suspensi-suspensi
sel yang terdisosiasi, dan penilaian penataan ulang gen reseptor sel T memiliki peranan
penting dalam penyelidikan patogenesis psoriasis dan dalam menentukan respons terhadap
terapi-terapi anti-psoriatik, tetapi pada umumnya tidak diperlukan untuk diagnosis atau
penatalaksanaan.
DIAGNOSIS BANDING
Psoriasis Vulgaris
Sangat mirip
Eczema diskoid/mummular
Limfoma sel-T kutaneous (CTCL)
Tinea corporis
Pertimbangkan
Pityriasis rubra pilaris
Dermatitis seboroik
Lupus eritematous kutaneous subakut
Eritrokeeratoderma (plak-plak keratoderma variabilis dan/atau eritrokeratoderma simetris
progresif)
Nevus epidermal verukosa linear inflammatory
Lichen planus hipertropi
Dermatitis kontak
Lupus eritematosus kronis/lupus eritematosus diskoid
Penyakit Hailey-Hailey (fleksural)
Intertrigo (fleksural)
infeksi Candida (fleksural)
Selalu pastikan tidak terdapat:
Penyakit bowen/karsinoma sel skuamus in situ
penyakit Paget ekstrammary
Psoriasis Guta
Sangat mirip
Pityriasis rosea
Pityriasis lichenoides chronica
Lichen planus
Pertimbangkan
Parapsoriasis plak kecil
PLEVA
Lichen planus
Erupsi akibat obat
Selalu pastikan tidak terdapat:
Syphilis sekunder
Psoriasis Eritrodermi
Sangat mirip
Eritoderma diakibatkan obat
Eczema
CTCL/sindrom Sezary
Pityriasis rubra pilaris
Pustular
Sangat mirip
Impetigo
Candidiasis superfisial
Sindrom arthritis reaktif
Folikulitis superfisial
Pertimbangkan
Pemfigus folaceous
Pemfigus A imunoglobulin
Penyakit Sneddon-Wilkison (dermatosis pustular sub-kornea)
Eritema nekrolitik migratory
Melanosis pustular neonatal sementara
Akropustulosis bayi
Pustulosis eksantematosa menyeluruh akut
KOMPLIKASI
Pasien-pasien yang mengalami psoriasis memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang
meningkat akibat insiden-insiden kardiovaskular, khususnya yang terjadi pada penyakit kulit
psoriasis yang parah dan berdurasi lama.
Pasien-pasien psoriasis juga telah dibuktikan memiliki resiko limfoma yang relatif
meningkat, khususnya pada pasien-pasien yang memiliki psoriasis parah.
Psoriasis memberikan gangguan emosional, dan menimbulkan gangguan-gangguan
psikologis yang signifikan. Kesulitan-kesulitan emosional muncul dari kekhawatiran terhadap
penampilan, yang menghasilkan berkurangnya kepercayaan diri, penolakan sosial, rasa
bersalah, merasa malu, merasa tidak berharga, masalah seksual, dan gangguan kemampuan
profesional. Keberadaan pruritus dan nyeri bisa memperburuk gejala-gejala ini. Aspek-aspek
psikologis bisa merubah perjalanan penyakit; khususnya, merasa ternoda bisa mengarah pada
tidak terpenuhinya perawatan dan memburuknya psoriasis. Demikian juga, tekanan
psikologis bisa menyebabkan depresi dan rasa cemas. Prevalensi hasrat hendak bunuh diri
dan depresi pada pasien psoriasis lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan pada kondisi-
kondisi medis lain dan populasi umum. Sehingga, walaupun penyakit ini tidak mengancam
nyawa dengan sendirinya, psoriasis bisa sangat mengganggu kualitas hidup. Sebuah
penelitian komparatif melaporkan pengurangan fungsi fisik dan mental yang sebanding
dengan yang terlihat pada kanker, arthritis, hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan
depresi. Menurut survei terbaru, 79 persen pasien yang mengalami psoriasis parah
melaporkan dampak negatif terhadap kehidupan mereka.
Faktor-Faktor Pemodifikasi
Obesitas. Telah dibuktikan bahwa orang gemuk lebih besar kemungkinannya mengalami
psoriasis parah (ditentukan sebagai > 20% keterlibatan area permukaan tubuh). Akan tetapi,
obesitas tidak tampak memiliki peranan dalam menentukan onset psoriasis.
Merokok. Merokok (lebih dari 20 batang per hari) juga telah ditemukan terkait dengan lebih
dari 2 kali lipat peningkatan risiko psoriasis parah. Berbeda dengan obesitas, merokok
tampak memiliki peranan dalam onset psoriasis. Baru-baru ini, sebuah interaksi antara gen
dan lingkungan telah diidentifikasi antara aktivitas yang rendah dari gen sitokrom P450
CYP1A1 dan merokok pada psoriasis.
Infeksi. Sebuah hubungan antara infeksi kerongkongan akibat stafilokokus dengan psoriasis
guta telah dilaporkan. Infeksi kerongkongan akibat stafilokokus juga telah ditunjukkan
memperburuk psoriasis plak kronis yang telah ada sebelumnya.
Perburukan parah psoriasis bisa menjadi manifestasi infeksi HIV. Seperti halnya psoriasis
secara umum, psoriasis yang terkait HIV memiliki hubungan kuat dengan HLA-Cw6.
Menariknya, prevalensi psoriasis pada infeksi HIV tidak lebih tinggi dibanding pada populasi
umum (1% berbanding 2% pasien), sehingga menandakan bahwa infeksi ini bukan pemicu
untuk psoriasis tetapi justru sebuah agen pemodifikasi. Psoriasis semakin lebih parah dengan
perkembangan imunodefisiensi tetapi bisa pulih dalam fase terminal. Perburukan kembali
psoriasis ini bisa disebabkan oleh kehilangan sel-sel T regulatori dan aktivitas sub-set sel T
CD8 yang meningkat. Perburukan psoriasis pada penyakit HIV bisa diobati secara efektif
dengan terapi antiretrovital.
Obat. Obat yang memperburuk psoriasis mencakup antimalaria, penghambat β lithium, obat
AINS, IFN-α dan IFN-γ, imiquimoid, inhibitor enzim pengkonversi angiotensin, dan
gemfibrozil. Imiquimod bekerja pada pPDC dan menstimulasi produksi IFN-α, yang
selanjutnya memperkuat respons imun alami dan Th1. Lithium telah diusulkan menyebabkan
perburukan dengan mengganggu pelepasan kalsium dalam keratinosit, sedangkan
penghambat β dianggap mengganggu kadar adenosin monofosfat siklik intraseluler.
Mekanisme bagaimana obat ini memperburuk psoriasis sebagian besar belum diketahui.
Pasien-pasien yang mengalami psoriasis aktif atau psoriasis tidak stabil harus diberikan
anjuran-anjuran ketika akan bepergian ke negara-negara dimana profilaksis antimalaria
diperlukan.
PENGOBATAN
Pertimbangan-Pertimbangan Umum
Spektrum luas pengobatan anti-psoriatik, baik topikal maupun sistemik, tersedia untuk
penatalaksanaan psoriasis. Seperti ditunjukkan pada Tabel 18-2 sampai 18-6, bisa dilihat
bahwa kebanyakan atau semua pengobatan ini bersifat imunomodulator. Ketika memilih
sebuah resimen pengobatan (lihat Gbr. 18-6) penting untuk memadukan antara luasan dan
keparahan penyakit sesuai dengan persepsi pasien terhadap penyakitnya. Dalam konteks ini,
sebuah penelitian menemukan bahwa 40% pasien merasa frustrasi dengan ketidakefektifan
terapi yang sedang mereka gunakan, dan 32% melaporkan bahwa pengobatan tidak cukup
agresif. Karena psoriasis adalah sebuah kondisi kronis, penting untuk mengetahui keamanan
sebuah pengobatan selama penggunaan jangka panjang. Pada kebanyakan pengobatan, durasi
sebuah pengobatan terbatas karena potensi toksisitas kumulatif dari sebuah pengobatan, dan
pada beberapa kasus, efikasi pengobatan bisa berkurang seiring dengan waktu (takifilaksis).
Beberapa pengobatan, seperti kalsipotriol, MTX, dan acitretin, bisa dianggap cocok untuk
penggunaan secara kontinyu. Pengobatan ini mempertahankan efikasi dan memiliki potensi
toksisitas kumulatif yang rendah. Sebaliknya, kortikosteroid topikal, dithranol, tar,
foto(kemo)terapi, dan siklosporin tidak diindikasikan untuk penggunaan lama yang kontinyu,
dan pengobatan kombinasi atau rotasional dianjurkan. Akan tetapi, pasien-pasien yang
mengalami psoriasis plak kronis yang merespon baik terhadap pengobatan-pengobatan lokal
mungkin tidak memerlukan perubahan pengobatan. Pada psoriasis gatal/pruritus, pengobatan
dengan obat yang berpotensi menimbulkan iritasi, seperti dithranol, analog-analog vitamin
D3, dan foto(kemo)terapi, harus digunakan dengan hati-hati, sedangkan pengobatan dengan
efek anti-inflamasi pontesial seperti kortikosteroid topikal, lebih sesuai.
Pada pasien yang mengalami psoriasis eritrodermik dan psoriasis pustular, pengobatan
dengan obat yang berpotensi sebagai pengiritasi harus dihindari, dan asitretin, MTX atau
siklosporin perjalanan-singkat adalah pengobatan pilihan pertama.
Pengobatan Topikal
Kebanyakan kasus psoriasis diobati secara topikal. Karena pengobatan topikal sering tidak
sejalan dari segi kosmetik dan penggunaannya memerlukan banyak waktu, maka
ketidakpatuhan terhadap pengobatan biasa mencapai 40%. Pada kebanyakan kasus,
formulasi-formulasi salep lebih efektif dibanding krim tetapi kurang diterima secara
kosmetik. Bagi banyak pasien, meresepkan formulasi salep dan krim bisa membantu; krim
untuk digunakan di pagi hari dan salep untuk di malam hari.
Kortikosteroid. Glukokortikoid menimbulkan banyak atau semua efeknya dengan
menstabilkan dan menyebabkan translokasi nuklear reseptor-reseptor glukokortikoid, yang
merupakan anggota-anggota dari superfamili reseptor hormon nuklear. Glukokortikoid
topikal umumnya merupakan terapi utama pada psoriasis ringan sampai sedang dan pada
tempat-tempat seperti fleksur dan genitalia, dimana pengobatan-pengobatan topikal lainnya
bisa menimbulkan iritasi. Perbaikan biasanya dicapai dalam 2 hingga 4 minggu, dengan
perawatan penjaga yang terdiri dari aplikasi sesekali (sering dibatasi pada akhir-akhir pekan).
Takifilaksis terhadap pengobatan dengan kortikosteroid topikal merupakan sebuah fenomena
yang telah diketahui dalam psoriasis. Kortikosteroid jangka panjang bisa menyebabkan striae
(Gbr. 18-17) dan penekanan adrenal.
Gambar 18-7. Akibat positif dan negatif dari pengobatan psoriasis. Panel A menggambarkan
perbaikan psoriasis setelah 10 minggu diterapi dengan infliximab. Panel B menggambarkan
perbaikan setelah 28 hari pemakaian siklosporin A. Panel C menggambarkan berkurangnya
distrofi kuku setelah 16 minggu penggunaan siklosporin A sebagai terapi. Panel D
menggambarkan atrofi yang berat di samping striae setelah beberapa tahun penggunaan terapi
dengan topikal steroid krim.
Fototerapi
Mekanisme aksi fototerapi tampaknya melibatkan penipisan selektif sel-sel T, utamanya yang
tinggal dalam epidermis. Mekanisme penipisan tampak melibatkan apoptosis dan disertai
dengan pergeseran dari respons imun Th1 menuju respons Th2 pada kulit berlesi.
Sinar Ultraviolet B (290 – 320 nm). Dosis UVB terapeutik awal berkisar antara 50% hingga
75% MED. Pengobatan diberikan 2 sampai 5 kali per pekan. Lesi dilubrikasi terlebih dahulu
sebelum penyinaran. Ketika eritema UVB puncak muncul dalam waktu 24 jam setelah
keterpaparan, penambahan bisa dilakukan pada masing-masing pengobatan selanjutnya.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan dan eritema seminimal mungkin yang dapat dilihat
sebagai indikator klinis pemberian dosis optimal. Pengobatan-pengobatan diberikan sampai
penyembuhan total dicapai atau sampai tidak ada lagi perbaikan yang bisa didapatkan dengan
pengobatan kontinyu. Penyinaran ditujukan untuk mengurangi lesi setidaknya 10% dari
MED. Tipe kulit I-III 10%-15%, tipe kulit IV-VI 15%-20%).
Fototerapi berkas sempit (312 nm) UVB (NB-UVB) lebih baik dibanding UVB berkas-lebar
konvensional (290 sampai 320 nm) dalam hal pembersihan dan waktu penyembuhan.
Walaupun penelitian-penelitian awal menemukan NB-UVB sama efektifnya dengan psoralen
dan sinar UVA (PUVA), sebuah penelitian terkontrol terbaru menemukan bahwa PUVA
lebih efektif, meskipun kurang nyaman. Pada saat pembersihan, pengobatan dihentikan atau
pasien menjalani terapi penjagaan selama 1 hingga 2 bulan. Selama periode ini, frekuensi
pengobatan UVB dikurangi disamping mempertahankan dosis terakhir yang diberikan pada
saat pembersihan dicapai. NB-UVB dapat menimbulkan photodamage, polimorphic light
eruption, meningkatkan resiko penuaan dini dan resiko keganasan kulit walaupun
kejadiannya lebih rendah dari PUVA).
Kontraindikasi absolut pada kelainan fotosensitivitas. Kontraindikasi relatif adaah obata-
obatan fotosensitizer, melanoma, dan kanker non melanoma. Obat-obat sistemik, seperti
retinoid, meningkatkan efikasi sinar UVB, khususnya ada pasien yang mengalami psoriasis
tipe-plak hiperkeratosis dan kronis. Karena ini diketahui menghambat karsinogenesis pada
hewan-hewan eksperimental, maka retinoid kemungkinan bisa mengurangi potensi
karsinogenik dari fototerapi UVB. NB-UVB efektif sebagai monoterapi, tapi coal tar
(Goekermean regimen), anthralin (Ingram regimen), atau terapi sistemik dapat meningkatkan
efektivitas pada kasus yang resisten.
Psoralen dan Sinar Ultraviolet A. PUVA merupakan kombinasi antara psoralen (P) dan
radiasi ultraviolet A gelombang panjang (UVA). Kombinasi obat dan radiasi menghasilkan
efek terapeutik, yang dapat dicapai jika kedua komponen ini digunakan sendiri-sendiri.
Remisi ditimbulkan oleh reaksi fototoksik terkontrol yang berulang. Terapi PUVA dapat
dipakai 2 kali dalam seminggu. Dapat menimbulkan remisis pada 70-90% pasien. Lebih tidak
nyaman dibanding NB-UVB tapi diperkirakan PUVA lebih efektif. PUVA dapat
menimbulkan photodamage, penuaan dini, meningkatkan resiko kanker kulit seperti
melanoma dan non-melanoma, kerusakan mata. Diperlukan proteksi mata bila menggunakan
terapi oral psoralen. Kontraindikasi absolut: kelainan sensitisasi cahaya, laktasi, dan
melanoma. Kontraindikasi relatif: usia < 10 tahun, kehamilan, obat-obatan fotosensitisasi,
kanker kulit non-melanoma, disfungsi organ yang berat. Kombinasi dengan retinoid oral
dapat mengurangi efek kumulasi paparan UVA.
Laser Eksimer.. Energi radiasi supraeritemogenik dari UVB dan PUVA diketahui
menghasilkan pembersihan psoriasis yang lebih cepat, akan tetapi, faktor kendala untuk
penggunaan energi radiasi yang tinggi seperti ini adalah intoleransi kulit sekitar yang terlibat
karena lesi-lesi psoriasis sering bisa tidak mempan terhadap keterpaparan UV yang jauh lebih
tinggi. Laser eksimer monokromatis 308 nm bisa menyalurkan dosis-dosis cahaya supra-
eritemogenik seperti ini (hingga sampai 6 MED, biasanya dalam rentang 2 sampai 6 MED)
secara fokal ke kulit lesi. Pada sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 124 pasien, 72%
subjek penelitian mencapai sekurang-kurangnya 75% pembersihan dengan rata-rata 62
pengobatan yang diberikan 2 kali seminggu. Peranan pengobatan ini tampaknya harus
diindikasikan untuk pasien yang memiliki plak-plak membandel stabil khususnya pada
daerah siku dan daerah lutut. Dengan laser, terjadi 75% perbaikan pada daerah psoriasis dan
indeks keparahan dari 72% pasien. Dapat menimbuilkan eritema, bula, hiperpigmentasi, dan
erosi. Efek simpang jangka panjang beum diketahui tapi kemungkinan efek simpangnya
seperti NB-UVB.
Pengobatan Fotodinamik. Terapi fotodinamik telah dicoba untuk beberapa dermatosa
inflamatori, termasuk psoriasis. Pada sebuah penelitian acak tentang efek terapi fotodinamik
berbasis asam aminolevulinat, 29 pasien menunjukkan respons klinik yang tidak memuaskan
dan kejadian nyeri yang sering selama dan setelah pengobatan, sehingga para peneliti
menganggap pengobatan ini tidak cocok untuk psoriasis.
Terapi Klimatik. Telah diketahui bahwa beraktivitas di bawah cuaca panas bisa memulihkan
psoriasis, walaupun ada sedikit pasien yang justru semakin buruk kondisinya. Pasien harus
diperingatkan untuk tidak memaparkan diri mereka secara berlebihan pada beberapa hari
pertama, karena sunburn bisa berkembang menjadi psoriasis (fenomena Koebner). Efek-efek
yang telah diteliti dengan baik adalah di daerah Laut Mati, dan efek-efek terapeutik ini bisa
dikaitkan dengan lokasinya. Karena terletak 400 m di bawah permukaan laut, evaporasi laut
membentuk sebuah aerosol yang tinggal di atmosfir di atas laut dan pantai-pantai di
sekitarnya. Aerosol ini menyaring kebanyakan sinar UVB tetapi tidak UVA. Campuran sinar
UV ini tampaknya sudah cukup untuk membersihkan psoriasis tetapi tanpa sunburn.
Sehingga, pasien bisa tinggal di pantai-pantai Laut Mati selama periode waktu yang lama
dengan risiko sunburn yang sangat berkurang. Pengobatan ini dilakukan selama periode 3
hingga 4 pekan, dan perbaikan yang sebanding dengan pengobatan NB-UVB atau PUVA bisa
diperoleh. Kekurangan utamanya adalah waktu dan biaya.
Pengobatan Kombinasi
Pengobatan kombinasi bisa meningkatkan efikasi dan mengurangi efek samping, dan dengan
demikian bisa menghasilkan perbaikan yang lebih substansial, atau, bisa memungkinkan
pengurangan dosis untuk mencapai perbaikan sama sebagaimana dibandingkan dengan
monoterapi. Data tentang kombinasi biologis dengan agen-agen sistemik atau topikal belum
tersedia secara umum, tetapi beberapa kombinasi yang umum digunakan dalam pengobatan
arthritida inflamatori, seperti kombinasi MTX dan agen anti-TNF, bisa sesuai untuk
pengobatan penyakit psoriatik yang membandel.
Pengobatan-Pengobatan Biologis
Berdasarkan kemajuan kontinyu dalam penelitian psoriasis dan kemajuan dalam bidang
biologi molekuler, golongan-golongan agen yang baru –terapi biologis yang ditargetkan –
telah ditemukan. Agen-agen ini dirancang untuk merintangi tahapan-tahapan molekuler
tertentu yang penting dalam patogenesis psoriasis atau telah ditransfer ke arena psoriasis
setelah dikembangkan untuk penyakit inflammatory lainnya. Saat ini, tiga tipe terapi biologis
telah disetujui yaitu (1) sitokin manusia rekombinan, (2) protein fusi, dan (3) antibodi
monoklonal. Karena risiko terjadinya antibodi-antibodi terhadap mouse sequences, maka
antibodi manusia lebih dipilih untuk penggunaan klinis.
Dengan menggunakan hasil efikasi dan keamanan yang telah diakui secara internasional,
pemanfaatan keseluruhan dan manfaat biologi telah ditunjukkan berdasarkan persentase
pasien yang mencapai sekurang-kurangnya 50% perbaikan dalam hal PASI (PASI-50),
perbaikan nilai PASI 75% (PASI-75), dampak pengobatan terhadap kualitas hidup, dan
keamanan dan daya toleransi. Secara umum, agen-agen ini memiliki aktivitas antipsoriatik
yang secara kasar sebanding dengan MTX dan kurangnya risiko hepatotoksisitasnya. Akan
tetapi, obat-obat ini lebih mahal, memiliki risiko imunosupresi, reaksi infusi, dan
pembentukan antibodi, dan keamanannya jangka panjangnya masih perlu dievaluasi. Menurut
pada peneliti ini, penggunaan agen-agen biologis harus dipersiapkan untuk pengobatan
psoriasis parah yang tidak merespon terhadap MTX atau pada pasien yang penggunaan MTX
dikontaindikasikan.
Alefacept. Alefacept merupakan sebuah antigen protein fusi yang terkait fungsi limfosit
manusia yang dirancang untuk mencegah interaksi antara LFA-3 dan CD2. Sinyal LFA-3-
CD2 memegang peranan penting akan aktivasi sel-sel T. Bagian LFA-3 dari alefacept terikat
ke reseptor CD2 pada sel-sel T, sehingga menghambat interaksi antara LFA-3 dan CD2,
sehingga mengganggu aktivasi sel-sel T, menimbulkan apoptosis dan memodifikasi proses
inflamasi. CD2 diupregulasi sel-sel T efektor memori, yang menjelaskan penipisan sel-sel ini
oleh alefacept. Sekitar sepertiga hingga setengah pasien tidak merespon terhadap alefacept,
alasan untuk hal ini tetap masih belum jelas. Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa
pemberian alefacept secara berulang mengarah pada respons yang membaik, dan respons
terhadap alefacept dapat tahan lama.
Efalizumab. Efalizumab (anti-CD11a) merupakan sebuah antibodi monoklonal humanized
yang dibuat untuk pengobatan psoriasis plak. Antibodi ini diarahkan terhadap CD11a, subunit
α dari LFA-1, sehingga memblokir interaksi LFA-1 dengan molekul adhesi interseluler
logannya (molekul 1). Perintangan ini menghambat aktivasi sel-T, lalu lintas sel T kutaneous,
dan adhesi sel T ke keratinosit. Beberapa pasien telah menunjukkan bukti perburukan
penyakit pada akhir periode pemberian dosis. Penelitian-penelitian masih sementara
mengevaluasi keamanan dan ketoleranan pengobatan jangka panjang dengan efalizumab.
Antagonis Faktor Nekrosis Tumor-α. Pengaplikasian klinis antagonis TNF dalam penyakit-
penyakit inflammatory telah sangat banyak dalam klinik dengan cara yang mirip dengan
penemuan aktivitas kortikosteroid. TNF-α merupakan sebuah protein homotrimetri yang
terdapat dalam bentuk transmembran dan bentuk terlarut, bentuk yang terakhir ini dihasilkan
oleh pembelahan dan pelepasan proteolitik. Masih belum jelas bentuk mana yang lebih
penting dalam memperantarai aktivitas-aktivitas pro-inflammatory-nya atau arti penting
relatif dari reseptor-reseptor pengikat TNF-α p75-kd dan p55-kd.
Saat ini, ketiga terapi biologis anti-TNF ini tersedia di Amerika Serikat. Infliksimab
merupakan sebuah antibodi monoklonal chimerik yang memiliki spesifitas, afinitas, dan
aviditas tinggi untuk TNF-α. Sebuah contoh hasil pengobatan yang sangat baik dengan
infliksimab ditujukkan pada Gbr. 18-17. Etanersep merupakan sebuah protein fusi reseptor-
FcIgG TNF-α yang dapat larut dan merupakan rekombinan manusia ,yang mengikat TNF-α
dan menetralisir aktivitasnya. Adalimumab merupakan antibodi monoklonal IgG1
rekombinan manusia pertama dan secara spesifik menargetkan TNF-α. Saat ini, infliksimab
dan adalimumab merupakan satu-satunya yang disetujui oleh FDA untuk arthritis psoriatik.
Akan tetapi, trial-trial klinis telah menunjukkan bahwa masing-masing dari agen ini ditolerir
dengan baik dan tampak cocok untuk penggunaan jangka panjang pada psoriasis plak kronis.
Akan tetapi, seperti semua terapi biologis yang ditargetkan, mereka memiliki risiko
imunosupresi, dan keamanan jangka panjangnya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian-penelitian klinis telah menemukan infliksimab dan adalimumab sebagai obat yang
sedikit lebih efektif dibanding etanersep dalam pengobatan psoriasis. Ada kemungkinan
bahwa efek-efek banding dari agen-agen ini terkait dengan selektivitas dalam hal
kemampuannya untuk mengganggu interaksi-interaksi ligan reseptor ini. Telah diketahui
bahwa infliksimab, adalimumab, dan etanersep mengikat TNF secara berbeda; infliksimab
dan adalimumab terikat ke TNF yang terlarut dan terikat membran, sedangkan etanersep
terikat utama ke TNF yang dapat larut. Pengikatan ke TNF yang terikat membran bisa
menginduksi peningkatan dependen dosis pada sel-sel T, tetapi relevansi mekanisme ini pada
psoriasis belum dievaluasi.
Anti-interleukin 12/Interleukin 23 p40. Sebuah agen baru-baru ini telah dibuat dan diuji
untuk pengobatan psoriasis plak kronis dan telah terbukti memiliki efikasi yang menjanjikan
pada trial-trial fase I. Agen ini merupakan sebuah antibodi monoklonal k IgG1 yang terikat
ke subunit p450 yang umum dari IL-12 dan IL-23 manusia dan mencegah interaksinya
dengan reseptornya. Disamping merintangi IL-12, yang penting untuk diferensiasi Th1 dari
sel T, perintangan IL-23 bisa lebih penting dalam pengobatan psoriasis plak kronis, karena
sitokin ini mendukung inflamasi kronis dengan menjaga sebuah sub-set sel-T CD4+ terpisah
yang dikarakterisasi oleh produksi IL-17. Sebuah trial fase I yang menguji berbagai
pengobatan benar-benar menunjukkan korelasi yang jelas antara dosis anti-IL-12 p40 dan
proporsi subjek yang mencapai sekurang-kurangnya 75 persen perbaikan skor PASI.
Berbagai obat baru sedang menjalani trial klinis untuk pengobatan psoriasis sebagaimana
disebutkan dalam sebuah review komprehensif.