Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, semakin banyak penyakit yang bermunculan. Penyakit sistem imun
merupakan suatu penyakit yang sedang ramai dibahas. Defisiensi sistem imun yang
paling melekat di masyarakat adalah HIV/AIDS, padahal masih banyak penyakit sistem
imun yang terdapat di sekitar kita. Defisiensi imun disebabkan oleh berbagai factor
seperti oleh virus, mutasi, antigen, genetik dan lain sebagainya.
Pada tahun 1953 untuk pertama kali Bruton menemukan hipogamaglobulinemia
pada anak usua 8 tahun yang memiliki riwayat sepsis dan arthritis lutut sejak usia 4 tahun
yang disertai dengan seranan-serangan otitis media, sepsis pneumokok dan pneumonia.
Analisis elektroforesis serum tidak menunjukkan fraksi globulin gama. Anak tersebut
tidak menunjukkan respon imun terhadap imunisasi dengan tifoid dan difteri. Defisiensi
imun tersebut merupakan salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat timbul
pada pria maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau
timbul sekunder karena faktor lain.
Sistem Imun adalah struktur efektif yang menggabungkan spesifisitas dan
adaptasi. Kegagalan pertahanan dapat muncul dan jatuh pada 3 kategori yaitu: Defisiensi
Imun, Autoimunitas dan Hipersensitivitas. Namun dalam makalah ini penulis hanya
memberikan informasi mengenai Defisiensi Imun saja.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah
dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Apa yang dimaksud dengan Defisiensi Imun?
b. Bagaimana meknisme terjadi Defisiensi Imun?
c. Apa saja jenis dari Defisiensi Imun?
d. Bagaimana terapi kelainan Defisiensi Imun?
e. Bagaimana pencegahan kelainan Defisiensi Imun?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk memahami tentang Defisiensi Imun.

1
b. Untuk mengetahui mekanisme terjadi Defisiensi Imun.
c. Untuk mengetahui jenis dari Defisiensi Imun.
d. Untuk mengetahui terapi kelainan Defisiensi Imun..
e. Untuk mengetahui pencegahan kelainan Defisiensi Imun.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Defisiensi Imun


Defisiensi imun ialah fungsi system imun yang meurun atau tidak berfungsi dengan
baik. Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak aktif,
kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda dan
golonga tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi karena
penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk,
namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan difisiensi imun di
negara berkembang. Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas
selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibody, IgA dan produksi sitokin,
Defisiensi nutrisi seperti zinc, Selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E, B6 dan asam folik
(vitamin B9) juga mengurangi respon imun
Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetika, seperti severe combined
immunodeficiency, atau terinfeksi virus dan atau juga didapat dari chronic granulomatus
disease (penyakit yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit
berkurang), contohnya : AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan beberapa tipe
kanker.
Secara garis besar defisiensi imun dibagi menjadi dua golongan, yaitu defisiensi
kongenital dan defisiensi imun dapatan. Difesiensi imun congenital atau defisiensi imun primer
disebabkan oleh kelainan respon imun bawaan yang dapat berupa kelainan dari system fagosit
dan komplemen atau kelainan dalam deferensiasi fungsi limfosit. Sedangkan Defisiensi imun
dapatan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain infeksi virus yang dapat merusak sel
limfosit, malnutrisi, penggunaan obat-obat sitotoksik dan kortikosteroid, serta akibat penyakit
kanker seperti pengakit Hodgkin, leukemia, myeloma, limfositik kronik dal lain-lain.
Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki satu
atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi
meningkat. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang mengganggu
sistem imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik dengan pola bawaan khusus.
Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau
pengobatan.

3
2.2 Gambaran Umum Defisiensi Umum
Gambaran umum defisiensi imun, dapat ditandai dengan ditemukannya tanda-
tanda klinik sebagai berikut :
a. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya tergantung
dari komponen sistem imun yang defektif;
b. Penderita dengan defisiensi imun juga rentan terhadap jenis kanker tertentu;
c. Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau
aktivitas atau dalam mekanisme efektor imunitas non-spesifik dan spesifik;
d. Yang merupakan paradoks adalah bahwa imunodefisiensi tertentu
berhubungan dengan peningkatan insidens autoimunitas. Mekanismenya
tidak jelas, diduga berhubungan dengan defisiensi sel Tr.

Gangguan fungsi sistem imun yang umum yang biasanya ditemukan dalam
keadaan difesiensi imun diantara adalah :
Gangguan Fungsi Sistem Penyakit Yang Menyertai
Imun
Defisiensi
Sel B Infeksi bakteri rekuren seperti otitis media, pneumonia
rekuren
Sel T Kerentanan meningkat terhadap virus, jamur dan
protozoa
Fagosit Infeksi sistemik oleh bakteri yang dalam keadaan biasa
mempunyai virulensi rendah, infeksi bakteri piogenik
Komplemen Infeksi bakteri, autoimunitas
Disfungsi
Sel B Gamopati monoclonal
Sel T Peningkatan sel Ts yang menimbulkan infeksi dan
penyakit limpoproliferatif
Fagosit Hipersensitivitas, beberapa penyakit autoimun
Komplemen Edem angioneurotik akibat tidak adanya inhibitor
esterase C1

4
Penyakit imun dapat ditimbulkan oleh karena tidak adanya fungsi spesifik
defisiensi imun atau aktivitas yang berlebihan. Defisiensi imun yang lebih berat akan
memudahkan penyebaran infeksi mikrobakteri dengan virulensi ringan yang biasa
ditemukan di lingkungan hidup misalnya M.avium atau BCG yang digunakan dalam
vaksin.

2.3 Pembagian Defisiensi Imun


Defisiensi imun adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, ketika sistem
kekebalan tidak berfungsi secara kuat, maka infeksi lebih sering terjadi, lebih sering
berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya. Jika suatu infeksi
terjadi secara berulang dan berat (pada bayi baru lahir, anak-anak maupun dewasa),
serta tidak memberikan respon terhadap antibiotik, maka kemungkinan masalahnya
terletak pada sistem kekebalan. Gangguan pada sistem kekebalan juga menyebabkan
kanker atau infeksi virus, jamur atau bakteri yang tidak biasa.
Imunodefisiensi atau defisiensi imun dapat dibagi 2 (dua), yaitu :
 Defesiensi Imun Non Spesifik yang meliputi Defesiensi Komplemen,
Interferon Dan Lisozim, Sel NK dan Sistem Fagositosit.
 Defesiensi Imun Spesifik yang meliputi Defisiensi kongenital atau primer,
Defisiensi imun spesifik fisologik, dan Defesiensi imun yang didapat atau
sekunder.

2.3.1 Defisiensi Imun Non Spesifik


2.3.1.1 Defisiensi Komplemen
Defisiensi komponen atau fungsi komplemen berhubungan dengan
peningkatan insidens infeksi dan penyakit autiomun seperti LES. Komponen
komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis,
pencegah penyakit autoimun dan eliminasi kompleks antigen antibodi.
Defisiensi komplemen dapat menimbulkan berbagai akibat seperti infeksi
bakteri yang rekuren dan peningkatan sensitivitas terhadap penyakit autoimun.
Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.
Konsekuensi defisiensi komplemen tergantung dari komponen yang
kurang. Defisiensi C2 tidak begitu berbahaya. Hal tersebut mungkin disebabkan
oleh karena mekanisme jalur alternatif tidak terganggu. Defisiensi C3 biasanya
menimbulkan infeksi rekuren bakteri piogenik dan negatif-Gram yang mungkin

5
disebabkan oleh karena tidak adanya faktor kemotaktik, opsonisasi dan aktivitas
bakterisidal.
Pada defisiensi komplemen terdapat beberapa macam, diantaranya
adalah :
a. Defisiensi Komplemen Kongenital
Defisiensi komplemen biasanya menimbulkan infeksi yang berulang atau
penyakit kompleks imun seperti LES dan glomerulonefritis. Seperti
 Defisiensi inhibitor esterase C1
Defisiensi C1 INH berhubungan dengan angioedem herediter,
penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi
seringkali. Defek tersebut menimbulkan aktivitas C1 yang tidak
dapat dikontrol dan produksi kinin yang meningkatkan
permeabilitas kapilar. C2a dan C4a juga dilepas yang merangsang
sel mast melepas histamin didaerah dekat trauma yang berperan
pada edem lokal. Kulit, saluran cerna dan napas dapat terkena dan
menimbulkan edem laring yang fatal.
 Defisiensi C2 dan C4
Defisiensi C2 dan C4 dapat menimbulkan penyakit serupa LES,
mungkin disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang
komplemen dependen.
 Defisiensi C3
Defisiensi C3 dapat menimbulkan rekasi berat yang fatal terutama
yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik seperti
streptokok dan stafilokok. Tidak adanya C3 berarti fragmen
kemotaktik C5 tidak diproduksi. Kompleks antigen-antibodi-C3b
tidak diendapkan dimembran dan terjadi gangguan opsonisasi.
 Defisiensi C5
Defisiensi C5 menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri
yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis.
 Defisiensi C6, C7 dan C8
Defisiensi C6, C7 dan C8 meningkatkan kerentanan terhadap
septikemi meningokok dan gonokok. Lisis melalui jalur komplemen
merupakan mekanisme kontrol utama dalam imunitas terhadap

6
neseria. Penderita dengan defisiensi protein tersebut menunjukkan
derajat infeksi neseria, sepsis, atritis yang lebih berat dan
peningkatan DIC.

b. Defisiensi Komplemen Fisiologik


Defisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonatus yang
disebabkan kadar C3, C5 dab faktor B yang masih rendah.
c. Defisiensi Komplemen didapat
Defisiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya
pada sirosis hati dan malnutrisi protein atau kalori. Pada anemia sel
sabitditemukan gangguan aktivitas komplemen yang meningkatkan risiko
infeksi Salmonela dan Pneumokok. Seperti :
 Defisiensi Clq,r,s
Defisiensi Clq,r,s terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun,
terutama pada penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap
infeksi bakteri. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi C1
adalah edem angioneuritik herediter. Penderita tersebut tidak
memiliki inhibitor esterase C1. Akibatnya ialah efek C1 terhadap C4
atau C2 berjalan terus yang dapat mengaktifkan berbagai bahan
seperti plasmin dan peptida yang vasoaktif. Hal ini menimbulkan
edem lokal dalam berbagai alat tubuh yang dapat fatal bila terjadi
dalam larings. Danazol dan oksimetolon memacu sintesis inhibitor
esterase C1 pada penderita dengan edem angioneurotik.
 Defisiensi C4
Defisiensi C4 ditemukan pada beberapa penderita LES.
 Defisiensi C2
Defisiensi C2merupakan defisiensi komplemen yang paling sering
terjadi. Defisiensi tersebut tidak menunjukkan gejala seperti telah
dijelaskan terlebih dahulu dan terdapat pada penderita LES.
 Defisiensi C3
Penderita dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri
rekuren. Pada beberapa penderita disertai dengan glomerulonefritis
kronik.

7
 Defisiensi C5-C8
Penderita dengan defisiensi C5 sampai C8 menunjukkan kerentanan
yang meningkatkan terhadap infeksi terutama neseria.
 Defisiensi C9
Defisiensi C9 sangat jarang ditemukan. Anehnya penderita tersebut
tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren, mungkin karena lisis
masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9 meskipun terjadi
secara perlahan.

2.3.1.2 Defisiensi Interferon dan Lisozim


a. Defisiensi Interferon Kongenital
Defisiensi interferon congenital dapat menimbulkan infeksi mononukleosis
yang fatal.
b. Defisiensi Interferon Dan Lisozim Didapat
Defisiensi interferon dan lisozim didapat dapat ditemukan pada malnutrisi
protein atau kalori.
2.3.1.3 Defisiensi sel NK
a. Defisiensi Kongenital
Defisiensi kongenital telah ditemukan pada penderita dengan osteopetrosis
(defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA dan kekerapan autoimun
biasanya meningkat.
b. Defisiensi Didapat
Defisiensi sel NK yang didapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi.
2.3.1.4 Defisiensi Sistem Fagosit
Defisiensi fagosit sering disertai dengan infeksi berulang. Kerentanan
terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang
menurun. Resiko infeksi meningkat bila jumlah fagosit turun sampai di bawah
500/mm3.
a. Defisiensi Kuantitatif
Neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan
produksi neutropil yang diakibatkan karena pemberian depresan sumsum
tulang (kemoterapi pada kanker), leukemia, kondisi genetik yang
menimbulkan defek dalam perkembangan semua sel progenitordalam

8
sumsum tulang termasuk precursor myeloid dan peningkatan destruksi
neutropil dapat merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat
tertentu seperti kuinidin dan oksasilin.

b. Defisiensi Kualitatif
Defisiensi kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis,
menelan/ memakan dan membunuh mikroba intraseluler. Seperti :
 Chronic Granulomatous Disease
CGD adalah infeksi rekuren berbagai mikroba, baik negatif-Gram
(escheriachia, serratia, klebsiela) maupun positif-Gram
(stafilokok). CGD biasanya merupakan penyakit X-linked resesif
yang terjadi pada usia 2 tahun pertama. Pada CGD ditemukan defek
neutrofil dan ketidakmampuan membentuk peroksid hidrogen atau
metabolit oksigen toksik lainnya.
 Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase
Defisiensi G6PD adalah penyakit imunodefisiensi yang X-
linked dengan gambaran klinis seperti CGD. Pada defisiensi ini, juga
ditemukan anemia hemolitik. Penyakit diduga disebabkan oleh
defisiensi generasi NADPH. Gejalanya mulai terlihat pada usia
dibawah 2 tahun berupa kerentanan yang tinggi terhadap kuman
yang biasanya mempunyai virulensi rendah seperti S. epidermidis,
Seratia marsesen dan aspergilus. Kelainan klinis yang ditemukan
yaitu limfadenopati, hepanisplenomegali dan KGB yang terus
mengeluarkan cairan. Infeksi akut dan kronik selain di KGB, juga
terjadi di kulit, saluran cerna, hati dan tulang. Dalam keadaan
normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang
diperlukan untuk pembentukan peroksidase. Pada defisiensi oksidasi
NADPH tidak dibentuk peroksidase yang diperlukan untuk
membunuh kuman intraselular.
 Defisiensi meiloperoksidase
Pada beberapa penderita dengan DMP ditemukan infeksi mikroba
rekuren terutama K. albikans dan S. aureus. Enzim tersebut
ditemukan pada neutrofil normal. Peroksidase ditemukan dalam

9
granul sitoplasma dan dilepas ke fagosom melalui proses
degranulasi yang diikuti dengan fagositosis. Pada DMP proses
tersebut terganggu sehingga kemampuan membunuh neutrofil
terganggu.
 Sindrom Chediak-Higashi
SCH sangat jarang ditemukan, ditandai dengan infeksi rekuren,
piogenik, terutama streptokok dan stafilokok. Prognosisnya buruk
dan kebanyakan penderita meninggal pada usia anak. Neutrofil
mengandung lisosom besar abnormal yang dapat bersatu dengan
fagosom tetapi terganggu dalam kemampuan melepas isinya,
sehingga proses menelan, memakan dan menghancurkan mikroba
terlambat. Pada SCH ditemukan neutrofil dengan kemotaksis dan
kemampuan membunuh yang abnormal dengan aktivitas sel NK dan
kadar enzim lisosom menurun. Konsumsi oksigen dan produksi
peroksida hidrogen normal.
 Sindrom Job
Sindrom job berupa pilek yang berulang (tidak terjadi inflamasi
normal), abses stafilokok, eksim kronis dan otitis media.
Kemampuan neutrofil untuk menelan-memakan tidak menunjukkan
kelainan, tetapi kemotaksis terganggu. Kadar IgE serum sangat
tinggi dsan dapat ditemukan eosinofilisa.
 Sindrom leukosit malas (lazy leucosyte)
Sindrom leukosit malas berupa kerentanan terhadap infeksi mikroba
yang berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis (asal nama
sindrom) dan respon inflamasi terganggu.
 Defisiensi adhesi leukosit
Defisiendi adhesi leukosit merupakan penyakit imunodefisiensi
yang ditandai dengan infeksi bakteri dan jamur rekuren dan
gangguan penyembuhan luka. Leukosit menunjukkan defek adhesi
dengan endotel dan antar leukosit (agregrasi), kemotaksis dan
aktivitas fagositosis yang buruk. Efek sitotoksis neutrofil, sel NK
dan sel T juga terganggu.

10
2.3.2 Defisiensi Imun Spesifik
Gangguan dalam system imun spesifik dapat terjadi kongenital, fisiologik
dan didapat.
2.3.2.1 Defisiensi Imun Kongenital atau Primer
Defisiensi imun spesifik kongenital atau primer sangat jarang terjadi.
a. Defisiensi Imun Primer Sel B
Defisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B serta ditandai
dengan infeksi sekuren oleh bakteri. Seperti :
 X-linked hypogamaglobulinemia
Bruton pada tahun 1952 menggambarkan penyakit yang
disebutnya agamaglobulinemi Bruton yang X-linked dan hanya
terjadi pada bayi laki-laki. Penyakit jarang terjadi, biasanya nampak
pada usia 5-6 bulan sewaktu IgG asal ibu mulai menghilang. Pada
usia tersebut, bayi mulai menderita infeksi bakteri berulang.
Pemeriksaan imunologi menunjukkan tidak adanya Ig dari semua
kelas Ig. Darah, sumsum tulang, limpa dan KGB tidak mengandung
sel B. kerusakan utama adalah oleh karena pre-sel B yang ada dalam
kadar normal tidak dapat berkembang menjadi sel B yang matang.
Bayi dengan defisiensi sel B menderita otitis media rekuren,
bronkitis, septikemi, pneumoni, artritis, meningitis dan dermatitis.
Kuman penyebab pada umumnya adalah H.influenza dan
S.pneumoni. Sering pula ditemukan sindrom malabsorbsi oleh
karena G.lamblia yang bermanifestasi dalam saluran cerna.
Antibiotik biasanya tidak menolong. Pemberian IgG yang periodik
memberikan hasil yang efektif untuk 20-30 tahun. Pragnosisnya
buruk dan biasanya diakhiri dengan penyakit paru kronik.
 Hypogamaglobulinemia sementara
Hipogamaglobulinemia sementara dapat terjadi pada bayi bila
sintesis terutama IgG terlambat. Sebabnya tidak jelas, tetapi dapat
berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel Th. Penyakit
ditemukan pada bayi melalui masa hipogamaglobulinemia antara
usia 6-7 bulan. Banyak bayi menderita infeksi saluran napas rekuren
pada masa tersebut. Beberapa bayi mengalami perkembangan yang

11
terlambat dalam sintesis IgG. Bayi sering menderita infeksi kumari
piogenik positif-Gram (kulit, selaput otak atau saluran napas).
Keadaan membaik sendiri, biasanya pada usia 16-30 bulan.
Terapinya adalah pemberian antibiotik, gama globulin atau
keduanya.
Pada usia 5-6 bulan kadar IgG yang berasal dari ibu mulai
menurun dan bayi mulai memproduksi IgG sendiri. Kadang-kadang
bayi tidak mampu memproduksi IgG dengan cukup meskipun kadar
IgM dan IgA normal. Hal tersebut disebabkan oleh karena sel T yang
belum matang. Pada beberapa bayi ditemukan kelebihan sel Ts.
Gangguan dapat berlangsung beberapa bulan sampai 2 tahun.
Penyakit ini tidak X-linked dan dapat dibedakan dari penyakit
Bruton oleh karena pada yang akhir tidak ditemukan IgG dan sel B
dalam darah. Pemberian Ig hanya diberikan bila terjadi infeksi berat
yang rekuren.
 Common Variable Hypogamaglobulinemia
CVH menyerupai hipogamaglobulinemia Bruton. Penyakit
berhubungan dengan insiden autoimun yang tinggi. Meskipun
jumlah sel B dan Ig normal, kemampuan memproduksi dan atau
melepas Ig mengalami gangguan. Kadar Ig serum menurun seiring
dengan memberatnya penyakit. Fungsi CMI biasanya baik, tetapi
kadang juga defektif.
CVH dapat mengenai pria maupun wanita, sebabnya belum
diketahui. Penyakit dapat timbul setiap saat, biasanya antara usia 15-
35 tahun. Penderita menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap
infeksi kuman piogenik. Selain itu sering ditemukan pula penyakit
autoimun. Seperti halnya dengan penyakit Bruton, kadar semua
kelas Ig sangat menurun. Bedanya adalah bahwa penderita dengan
CVH mengandung sel B tetapi tidak mampu berkembang menjadi
sel plasma yang memproduksi Ig. Beberapa penderita menunjukkan
kelebihan sel Ts yang mengganggu respon sel B.
Pengobatan CVH adalah dengan memberikan Ig bila disertai
infeksi yang terus menerus atau berulang kali. Beberapa penderita
dapat hidup sampai usia 70-80 tahun. Wanita dengan penyakit
12
tersebut dapat hamil dan melahirkan bayi dengan normal meskipun
tidak ada IgG yang dialihkan ke anak.
 Defisiensi Imunoglobulin yang selektif (disgamaglobulinemia)
Defisiensi Ig yang selektif (digamaglobulinemia) adalah
penurunan kadar 1 atau lebih Ig, sedang kadar Ig yang lain adalah
normal atau meningkat. Defisiensi IgA selektif ditemukan pada 1
dari 700 orang dalam masyarakat dan merupakan defisiensi imun
tersering. Klinis menunjukkan gambaran infeksi sino-pulmoner dan
gastrointestinal rekuren yang disebabkan virus atau bakteri. Hal
tersebut menunjukkan tidak adanya proteksi dari sIgA pada
permnukaan membran mukosa. Penderita juga menunjukkan
peningkatan insidens autoimun, keganasan dan alergi. Anehnya
ialah bahwa beberapa penderita diantaranya tetap sehat.
Pengobatannya yaitu dengan antibiotik spektrum luas. Prognosis
pada umumnya baik dan penderita dapat mencapai usia lanjut. Kadar
serum IgA rendah, tetapi kadar IgG, IgM adalah normal atau
meningkat. Ditemukan sel B yang mengandung IgA, tetapi defek
dalam kemampuannya melepas Ig.
HGG sebaiknya tidak diberikan oleh karena penderita dengan
kadar IgA yang sangat rendah dapat membentuk antibodi (IgG atau
IgE) terhadap IgA dan menimbulkan sensitasi anafilaksis pada
resipien tanpa IgA. Terapi agresif dengan antibiotik harus diberikan
untuk mengontrol infeksi.
Defisfiensi IgM selektif merupakan hal yang jarang terjadi.
Penderita sering menunjukkan infeksi kuman yang mengandung
polisakarida dalam membran selnya seperti pneumokok dan
influenza. Defisiensi IgG selektif lebih jarang ditemukan.

b. Defisiensi Imun Primer Sel T


Penderita defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus,
jamur dan protozoa. Seperti :
 Aplasi timus kongenital (sindrom DiGeorge)

13
Penyebab sindrom DiGeorge adalah defisiensi sel Tdengan
sebab tidak diketahui. Penderita tidak atau sedikit memiliki sel T
dalam darah, KGB dan limpa. Defisiensi tersebut disebabkan oleh
defek dalam perkembangan embrio dari lengkung faring ke 3 dan 4,
yang terjadi pada sekitar 12 minggu sesudah gestasi. Baik kelenjar
timus maupun kelenjar paratiroid terkena. Bayi menunjukkan gejala
hipokalsemi selama 24 jam pertama sesudah lahir yang sering
disertai dengan kelainan jantung dan ginjal kongenital.
Sindrom DiGeorge tidak diturunkan. Bayi dengan sindrom
DiGeorge juga menunjukkan infeksi kronik oleh virus, bakteri,
jamur, protozoa dan mikrobakteria rekuren. Hipoparatiroidism dapat
menimbulkan tetani hipokalsemia. Penampilan muka berubah,
berbentuk mulut ikan dengan telinga letak rendah.
Meskipun sel B, sel plasma dan kadar Ig dalam serum
normal,banyak penderita dengan sindrom DiGeorge tidak mampu
membentuk antibodi setelah vaksinasi. Pengobatannya ialah
transplantasi dengan timus fetal. Perbaikan terjadi dengan timbulnya
sel T satu minggu kemudian. Timus fetal yang digunakan hendaknya
tidak lebih tua dari 14 minggu agar dapat menghindari reaksi GVH
yang terjadi bila limfosit matang diberikan ke donor yang
imunodefisien. Prognosisnya buruk bila tidak diobati.
 Kandidiasis mukokutan kronik
KMK adalah infeksi jamur biasa yang nonpatogenik seperti
K.albikans pada kulit dan selaput lendir yang disertai dengan
gangguan fungsi sel T yang selektif. Penderita menunjukkan
imunitas selular yang normal terhadap mikroorganisme selain
kandida dengan imunitas yang humoral yang normal. Jumlah
limfosit total normal, tetapi sel T menunjukkan kemampuan yang
kurang untuk memproduksi MIF dalam respon terhadap antigen
kandida, meskipun respon terhadap antigen lain normal. Reaksi kulit
lambat/ DTH terhadap kandida juga negatif.
Transplantasi timus memberikan hasil yang bervariasi. Penderita
perlu diobservasi sejak awitan disfungsi endokrin, terutama penyakit
Addison yang merupakan sebab utama kematian. Penyakit tersebut
14
mengenai pria dan wanita terutama anak. KMK biasanya disertai
disfungsi berbagai kelenjar endokrin seperti adrenal dan paratiroid.
Respons antibodi dan antifungal terhadap kandida adalah normal.

c. Defisiensi Kombinasi Sel B dan Sel T yang Berat


Defisisensi kombinasi sel B dan sel T yang berat (Severe Combined
Immonodeficiency Disease); Sindrom Nezelop; Sindrom Wiskott-Aldrich;
Ataksia Telangiektasi.

2.3.2.2 Defisiensi Imun Spesifik Fisiologik


a. Kehamilan
Defisiensi dapat terjadi pada wanita hamil karena terjadinya peningkatan
aktivitas sel Ts atau efek supresi faktor humoral yang dibentuk trofoblas
yang mungkin diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan
allografi dengan antigen paternal. Wanita hamil memproduksi Ig yang
meningkat atas pengaruh estrogen.
b. Usia Tahun Pertama
Sistem imun pada anak usia 1-5 tahun pertama masih belum matang.
Meskipun jumlah sel T pada neonatus tinggi, namun kemampuan sel T
masih belum sempurna sehingga tidak memberikan respon adekuat terhadap
antigen.
c. Usia Lanjut
Golongan usis lanjut lebih sering mendapat infeksi dibanding usia muda
karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun. Pada usia lanjut,
imunitas humoral menurun sehingga terjadi perubahan dalam kualitas
respon antibody mengenai :
 Spesifisitas antibody dari autoantigen asing;
 Isotipe antibody dari IgG dan IgM;
 Afinitas antibody dari tinggi menjadi rendah.
Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan kemampaun sel T untuk
menginduksi kematangan sel B.

2.3.3 Defisiensi Imun Didapat atau Sekunder


15
Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat
infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun sekunder
dapat meningkatkan kerentanan tehadap infeksi oportunistik.
a. Infeksi
Infeksi dapat menimbulkan defisiensni imun. Malaria dan rubela
kongenital dapat berhubungan dengan difisiensi antibodi. Campak sudah
diketahui berhubungan dengan defek imunitas selular yang menimbulkan
reaktivasi tuberkulosis. Hal-hal tersebut dapat terjadi bersama pada penderita
sakit berat. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi
supresi DTH sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respon limfosit
terhadap antigen dan mitogen menurun. Hal yang sama dapat terjadi setelah
imunisasi dengan campak. Pada beberapa keadaan, infeksi virus dan bakteri
dapat menekan sistem imun. Kehilangan imunitas selular terjadi pada
penyakit campak, mononukleosis, hepatitis virus, sifilis, bruselosis, lepra,
tuberkulosis milier dan parasit.
b. Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah
Obat sering menimbulkan defisiensi imun sekunder. Tindakan
kateterisasi dan bedah dapat menimbulkan imunokompromais. Antibiotik
dapat menekan sistem imun. Obat sitotoksik, gentamisin, amikain,
tobramisin dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Tetrasiklin dapat
menekan imunitas selular. Kloramfenikol dapat menekan respons antibodi,
sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral maupun selular.
Jumlah neutrofil yang berfungsi sebagai fagosit dapat menurun akibat
pemakaian obat kemoterapi, analgesik, antihistamin, antitiroid, antikonvulsi,
penenang dan antibiotik. Steroid dalam dosis tinggi dapat menekan fungsi sel
T dan inflamasi.
Penderita yang mendapat trauma (luka bakar atau tindakan bedah besar/
mayor) akan kurang mampu menghadapi patogen. Sebabnya tidak jelas,
mungkin karena penglepasan faktor yang menekan respon imun.
c. Penyinaran
Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedang dosis
rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
d. Penyakit berat

16
Defisiensi imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit yang
menyerang jaringan limfoid seperti penyakit Hodgkin, mieloma multipel,
leukimia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun dan
menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek
fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat
menghilang melalui usus pada diare.

e. Kehilangan imunoglobulin
Defisiensi imunoglobulin dapat terjadi karena tubuh kehilangan protein
yang berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik
terjadi kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedang
IgM tetap normal. Pada diare (limfangiektasi intestinal, protein losing
enteropaty) dan luka bakar terjadi kehilangan protein.
f. Agamaglobulinemia dengan timoma
Agamaglobulinemia dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel
B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah dapat pula
menyertai agamaglobulinemia. Berbagai faktor predisposisi yang dapat
menimbulkan imunokompromais terlihat pada tabel 17.5

2.3.4 Acquired Immune Deficiency Syndrome


Beberapa jenis virus dapat mengganggu respon imun dengan menekan fungsi
sistem imun atau dengan menginfeksi sel sistem, contoh fenomena yang baik
adalah AIDS.
AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada
umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan beberapa kasus seperti di Afrika tengah
disebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupapkan virus
lenti yang menginfeksi sel CD4+ T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi
untuk HIV, makrofag dan jenis sel lain. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh
yang terinfeksi seperti hubungan seksual, homoseksual, penggunaan jarum yang
terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah seperti hemofili dan bayi yang
dilahirkan ibu dengan HIV.

a. Struktur HIV

17
Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang
merupakan genom virus yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti
polipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi envelop membran
fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang
disandi virus ditemukan dalam envelop. Retrovirus HIV terdiri dari lapisan
envelop luar glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid.
Kelompok antigen internal menjadi protein inti dan penunjang.
RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase) adalah
polimerase DNA dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse
yang dapat digunakan RNA template untuk memproduksi hibrid
DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik rekombinan DNA
yang diperlukan dalam sintesis first strand CDNA.
Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda
terdini adanya infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum
terjadi serokonversi sintesis anntibodi terhadap HIV-1. Antigen gp120
adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+ pada
sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4+ ini telah digunakan untuk
mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+.
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan
sebagai berikut : jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu
terlihat in vivo (gagal memberikan respon terhadap antigen recall) dan uji
invitro, aktivasi poliklonal sel B menimbulkan hipergamaglobulinemia,
antibodi yang dapat menetralkan antigen gp120 dan gp41 diproduksi tetapi
tidak mencegah progres penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang
tinggi, sel Tc dapat mencegah infeksi (jarang) atau memperlambat progres.
Protein envelop adalah produk yang menyandi gp120, digunakan dalam
usaha memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh penjamu.

b. Siklus Hidup HIV


Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan
integrasi ke dalam genom, ekpresi gen virus dan produksi partikel virus.
Virus menginfeksi sel dengan menggunakan glikoprotein envelop yang
disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang terutama mengikat sel CD4+ dan
reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena itu

18
virus hanya dapat menginfeksi dengan efisiensi sel CD4+. Makrofag dan sel
dendritik juga dapat diinfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu
dengan membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelop
virus dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari
RNA virus disintesis oleh enzim transkriptase dan kopi DNA bersatu
dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus
dapat diaktifkan, sehingga diproduksi RNA dan protein virus. Sekarang
virus mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membran sel,
memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus
yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat
tetap laten dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga
tersembunyi dari sistem imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus (Gambar
17.8).
A. Setelah HIV masuk ke dalam sel dan membentuk dsDNA, terjadi integrasi
virus dengan genom sel pejamu yang membentuk provirus.
1. gp 120 HIV berikatan dengan CD4 pada sel sasaran
2. Domain fusigenik pada gp41 dan CXCR-4 memfasilitasi fusi
3. Nukleokapsin memasuki sel
4. Genom virus dan enzim dilepas setelah dikeluarkan dari core protein
5. Reverse transcriptse virus mengkatalisasi reverse transkripase ssRNA,
membentuk hibrida RNA-DNA
6. Kisi-kisi RNA asli dipecah oleh ribonuklease H diikuti sintesis DNA
sekunder memasuki dsDNA HIV
7. dsDNA virus ditranslokasikan ke nukleus dan diintegrasi ke DNA
kromosom pejamu oleh enzim integrasi virus
B. Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi memacu
aktivavsi virus, yang membentuk dan melepas partikel virus.
1. Faktor transkripsi merangsang transkripsi DNA provirus ke dalam
ssRNA genom sesudah diproses beberapa mRNA.
2. mRNA virus diekspor ke sitoplasma.
3. kromosom sel pejamu berfungsi menegkatalisasi sintesis protein
prekursor virus. Protease virus diikat prekursor ke protein virus

19
4. ssRNA HIV dan protein bersatu dibawah membran sel pejamu, tempat
diinsersikan gp41 dan gp120
5. – Budding membran yang keluar membentuk envelop virus
– Partikel virus yang dilepas melengkapkan pematangan protein
prekursor yang diikat oleh protease virus dari partikel virus.
C. Meskipun CD4+diikat envelop glikoprotein HIV-1, reseptor kedua masih
diperlukan untuk masuk dan menmimbulkan infeksi sel. Galur HIV-1 yang
tropik untuk sel T, menggunakan koreseptor CXR4, sedang galur yang
tropik untuk makrofag menggunakan CCR5. Keduanya merupakan reseptor
untuk kemokin, dan ligam normalnya dapat mencegah infeksi sel oleh HIV.

c. Patogenesis
Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di
mukosa rektum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan
bereplikasi di KGB setempat. Virus kemudian disebarkan melalui viremia
yang disertai dengan sindrom dini akut berupa panas, mialgia dan artralgia.
Pejamu memberikan respon seperti terhadap infeksi virus umumnya. Virus
menginfeksi sel CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ
limfoid.
Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama
fase ini. Fase ini kemudian dikontrol sel T CD8+ dan antibodi dalam
sirkulasi terhadap p42 dan protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc
dalam mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus. Respon imun
tersebut menghancurkan HIV dalam KGB yang merupakan reservoir utama
HIV selama fase selanjutnya dan fase laten.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks
imun yang diikat SD. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam
fase laten, destruksi sel CD4+ berjalan terus dalam kelenjar limfoid.
Akhirnya jumlah sel CD4+ dalam sirkulasi menurun. Hal itu dapat
memerlukan beberapa tahun. Kemudian menyusul fase progresif kronis dan
penderita merjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh kuman
nonpatogenik (gambar 17.9).
Setelah HIV masuk ke dalam sel dan terbentuk dsDNA, integrasi DNA
viral ke dalam genom sel pejamu membentuk provirus. Provirus tetap laten

20
sampai kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan aktivitasnya, yang
mengakibatkan terbentuk dan penglepasan partikel virus. Walau CD4
berikatan dengan envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua
supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Galur tropik sel T HIV-1
menggunakan koreseptor CXCR4, sedangkan galur tropik makrofag
menggunakan CCR5.
Kedua reseptor ini merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya
dapat menghambat infeksi HIV ke dalam sel. Subjek yang baru terinfeksi
HIV dapat disertai gejala atau tidak. Gejala utama berupa sakit kepala, sakit
tenggorokan, panas, ruam dan malese yang terjadi sekitar 2-6 minggu
setelah infeksi, tetapi dapat terjadi antara 5 hari dan 3 bulan (Tabel 17.8 dan
17.9).
Gejala klinis infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot/sendi,
lemah, mukokutan (ruam kulit, ulkus dimulut), limfadenopati, neurologis
(nyeri kepala, nyeri belakang mata, fotofobia, meningitis, ensefalitis) dan
saluran cerna (anoreksia, nausea, diare, jamur dimulut). Gejala-gejala
bervariasi dari ringan sampai berat sehingga memerlukan perawatan
dirumah sakit.
Gambaran klinis dan manifestasi patologik AIDS disebabkan primer
oleh peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan beberapa jenis kanker.
Penderita sering diinfeksi mikroba intraseluler seperti virus (CMV),
mikrobakteri atipik yang pada keadaaan normal dapat ditanggulangi oleh
sistem imun selular. Banyak mikroba tersebut ditemukan dalam lingkungan
tetapi tidak menginfeksi individu dengan sistem imun uttuh.
Virus yang ditularkan melalui darah (viremia plasma) yang ditemukan
dini setelah terjadi infeksi yang dapat disertai gejala sistemik khas untuk
sindrom HIV akut. Virus menyebar ke organ limfoid, tetapi viremia plasma
menurun sampai kadar yang sangat rendah (hanya ditemukan dengan esai
yang menggunakan cara reverse transcriptase polymerase chain
reactionyang sensitif) dan hal tersebut dapat menetap untuk beberapa tahun.
Sel CD4+ perlahan menurun selama masa klinis laten. Hal itu disebabkan
oleh karena replikasi virus yang aktif dan destruksi sel T yang terjadi
dijaringan limfoid. Menurunnya kadar sel CD4+ disertai peningkatan resiko

21
infeksi dan komponen klinis HIV yang lain. Perubahan dalam antigen p24
dan antibodi ditemukan pada penderita dengan penyakit lanjut.
Penderita AIDS lanjut sering disertai berat badan menurun yang
disebabkan perubahan metabolisme dan kurangnya kalori yang masuk
tubuh. Demensia dapat terjadi akibat infeksi mikroglia (makrofag dalam
otak).

d. Serologi
Penderitaan AIDS membentuk antibodi dan menunjukkan respon CTL
terhadap antigen virus. Namun respon tersebut tidak mencegah progres
penyakit. CTL juga tidak efektif membunuh virus oleh karena virus
mencegah sel terinfeksi untuk mengekspresikan MHC-1. Antibodi terhadap
glikoprotein envelop seperti gp120 dapat inefektif, oleh karena virus cepat
memutasikan regio gp120 yang merupakan sasaran antibodi. Respon imun
HIV justru dapat meningkatkan penyebaran penyakit. Virus yang dilapisi
antibodi dapat berikatan dengan Fc-R pada makrofag dan sel dendritik
dikelenjar limfoid, sehingga meningkatkan virus masuk ke dalam sel-sel
tersebut dan menciptakan reservoir baru. Bila CTL berhasil menghancurkan
sel terinfeksi, virus akan dilepas dan menginfeksi lebih banyak sel.
Satu sampai tiga minggu pasca infeksi, ditemukan respon imun spesifik
HIV berupa antibodi terhadap protein gp120 dan p24. Juga ditemukan sel
T sitotoksik yang HIV spesifik. Dengan adanya respon imun adaptif
tersebut, viremia menurun dan klinis tidak disertai gejala. Hal itu
berlangsung 2-12 tahun. Dengan menurunnya jumlah sel CD4+, penderita
menunjukkan gejala klinis. Antibodi HIV spesifik dan sel T sitotoksik
menurun, sedang p24 meningkat. Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh
beberapa fase yang berakhir dalam defisiensi imun. Jumlah sel CD4+dalam
darah mulai menurun di bawah 200/mm3 (normal 1500 sel/mm3) dan
penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan disebut menderita AIDS.
Dalam 3-6 minggu pasca infeksi, ditemukan kadar antigen HIV p24 dalam
plasma yang tinggi.

2.4 Manifestasi Klinik dan Diagnosis

22
Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting ditanyakan riwayat kesehatan
pasien dan keluarganya, sejak masa kehamilan, persalinan dan morbiditas yang ditemukan
sejak lahir secara detail. Riwayat pengobatan yang pernah didapat juga harus dicatat, disertai
keterangan efek pengobatannya, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila pernah
dirawat, operasi atau transfusi juga dicatat. Riwayat imunisasi dan kejadian efek
simpangnya juga dicari.
Walaupun penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis
terdapat berbagai tanda dan gejala yang dapat membimbing kita untuk mengenal penyakit
ini (Tabel 28-8). Sesuai dengan gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat diarahkan
terhadap kemungkinan penyakit defisiensi imun.
Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan dengan yang
diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk defisiensi antibodi
kongenital, infeksi rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2 tahun, karena IgG
ibu yang ditransfer mempunyai proteksi pasif selama 3-4 bulan pertama. Beberapa defisiensi
antibodi primer bersifat diturunkan melalui autosom resesif atauX-linked. Defisiensi
imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi dibandingkan dengan defek primer.
Pemeriksaan fisik defisiensi antibodi jarang menunjukkan tanda fisik diagnostik,
meskipun dapat menunjukkan infeksi berat sebelumnya, seperti ruptur membran timpani
dan bronkiektasis. Tampilan klinis yang umum adalah gagal tumbuh.
Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis. Pengukuran imunoglobulin serum
dapat menunjukkan abnormalitas kuantitatif secara kasar. Imunoglobulin yang sama sekali
tidak ada (agamaglobulinemia) jarang terjadi, bahkan pasien yang sakit berat pun masih
mempunyai IgM dan IgG yang dapat dideteksi. Defek sintesis antibodi dapat melibatkan
satu isotop imunoglobulin, seperti IgA atau grup isotop, seperti IgA dan IgG. Beberapa
individu gagal memproduksi antibodi spesifik setelah imunisasi meskipun
kadarimunoglobulin serum normal. Sel B yang bersirkulasi diidentifikasi dengan antibodi
monoklonal terhadap antigen sel B. Pada darah normal, sel-sel tersebut sebanyak 5-15%
dari populasi limfosit total. Sel B matur yang tidak ada pada individu dengan defisiensi
antibodi membedakan infantile X-linked agammaglobulinaemia dari penyebab lain
defisiensi antibodi primer dengan kadar sel B normal atau rendah.

Gejala klinis penyakit defisiensi imun


Gejala yang biasanya dijumpai :

23
- Infeksi saluran napas atas berulang
- Infeksi bakteri yang berat
- Penyembuhan inkomplit antar episode infeksi, atau respons pengobatan inkomplit
Gejala yang sering dijumpai :
- Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh
- Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang membesar
- Infeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazim
- Lesi kulit (rash, ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia, eksim,
teleangiektasi, warts yang hebat)
- Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan
- Jari tabuh
- Diare dan malabsorpsi
- Mastoiditis dan otitis persisten
- Pneumonia atau bronkitis berulang
- Penyakit autoimun
- Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik, neutropenia,
trombositopenia)
Gejala yang jarang dijumpai :
- Berat badan turun
- Demam
- Periodontitis
- Limfadenopati
- Hepatosplenomegali
- Penyakit virus yang berat
- Artritis atau artralgia
- Ensefalitis kronik
- Meningitis berulang
- Pioderma gangrenosa
- Kolangitis sklerosis
- Hepatitis kronik (virus atau autoimun)
- Reaksi simpang terhadap vaksinasi
- Bronkiektasis
- Infeksi saluran kemih

24
- Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)
- Stomatitis kronik
- Granuloma
- Keganasan limfoid
(Dikutip dari Stiehm, 2005)

2.5 Pengobatan
2.5.1 Garis umum
Pengobatan penderita dengan defisiensi imun antara lain adalah dengan
menggunakan antibiotik/antiviral yang tepat, pemberian pooled human
imunoglobulin yang teratur. Transplantasi sumsum tulang dari donor dan resepien
yang memiliki hubungan genetik yang cocok telah dilakukan dengan hasil yang baik
pada beberapa kasus. Transplantasi timus fetal telah pula dilakukan pada aplasi
timus. Komplikasi yang dapat terjadi akibat transplantasi yaitu bila jaringan
transplantasi menyerang sel pejamu – Graft Versus – Host (GVH) reaction. Iradiasi
kelenjar getah bening total kadang memberikan hasil yang lebih baik dibanding
iradiasi seluruh tubuh dalam mengontrol reaksi GVH.

2.5.2 Tujuan pengobatan


Tujuan pengobatan penderita dengan penyakit defisiensi imun umumnya adalah
untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subjek dengan
penyakit menular, memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan
antibiotik/antivial yang benar, imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan dan
memperbaiki komponen sistem imun yang detektif dengan transfer pasiff atau
transplantasi.

2.5.3 Pemberian globulin gama


Globulin gama diberikan kepada penderita dengan defisiansi Ig tertentu (tidak
pada defisiensi IgA).

2.5.4 Pemberian sitokin


Pemberian infus sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF dan IFN kepada subyek
dengan penyakit tertentu

25
2.5.5 Transfusi
Transfusi diberikan dalam bentuk neutrofil kepada subyek dengan defesiensi
fagosit dan pemberian limfosit autologus yang sudah menjalani transfeksi dengan
gen adenosin deaminase (ADA) untuk mengobati ACID.

2.5.6 Transplantasi
Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan untuk
memperbaiki kompetensi imun.

2.5.7 Obat antivirus


Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan obat efektif.
Siklus virus HIV menunjukkan beberapa titik rentan yang diduga dapat dicegah obat
antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV
dan AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse transcriptase seperti
timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA
HIV dalam plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil menghentikan progres
penyakit oleh karena timbulnya bentuk mutasi reverse traskriptase yang resisten
terhadap obat. Inhibitor protease virus sekarang digunakan untuk mencegah proses
protein prekursr menjadi kapsid virus matang dan protei core.
Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas protease
inhibitor dengan 2 inhibitor reverse transkriptase yang terpisah. Hal itu digunakan
untuk menurunkan kadar RNA virus dalam plasma menjadi sangat rendah.untul
lebih dari satu tahun. Perlu pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya resistensi.
Resistensi terhadap inhibitor protease dapat terjadi setelah pemberian beberapa hari.
Resistensi terhadap zidovudin (atau azidotimidin) dapat terjadi setelah pemberian
beberapa bulan.

2.5.8 Vaksinasi
Pengembangan vaksin untuk mencegah penyebaran AIDS merupakan
penelitian yang diprioritaskan para ahli imunologi dan dewasa ini vaksinasi terhadap
AIDS masih belum dapat dikembangkan.

2.5.9 Terapi genetik

26
Terapi gen somatik menunjukkan harapan dalam terapi penyakit genetik.
Prosedur tersebut antara lain dilakukan dengan menyisipkan gen normal ke populasi
sel yang terkena penyakit. Hasil sementara menunjukkan bahwa limfosit T perifer
mempunyai kemampuan terbatas untuk berproliferasi. Untuk pengobatan jangka
panjang akan diperlakukan penyisipan gen ke sel asal sumsum tulang yang
pleuripoten. Namun hal tersebut masih sulit untuk dilakukan dan diperlukan studi
lebih lanjut.

2.5.10 Terapi potensial


AIDS disebabkan oleh berbagai virus varian retrovirus HIV yang tergolong
virus lenti, oleh karena menimbulkan penyakit dengan perkembangan lambat. Virus
merupakan virus RNA yang memiliki enzim unik, reverse transcriptase yang
diperlukan untuk sintesis dsDNA spesifik dari genom viral RNA. DNA baru
diintegrasikan dalam genom sel terinfeksi dan banyak yang tetap laten dalam sel.
Bila diaktifkan, DNA digunakan sebagai templat RNA yang diperlukan untuk
produksi virus. Virus dilepas dipermukaan sel dan envelop virus dibentuk dari
membran sel pejamu, diubah oleh insersi glikoprotein virus. Dewasa ini obat dengan
aktivitas anti HIV menegah virus masuk, mencegah tahap reverse transcription RNA
ke cDNA atau mencegah prekursor protein virus membelah diri dalam protein yang
diperlukan untuk membentuk virion baru dan melengkapi pematangannya pada virus
infeksius. Reverse transcriptase dapat dicegah tidak hanya oleh analog nukleosid
tetapi juga oleh analog nukleotid dan bahan non-nukleotid.

27
BAB III
KESIMPULAN
Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem Imun tidak aktif,
kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda
dan golonga tua, respon imun berkurang pada usia 50 tahun, respon juga dapat terjadi
karena penggunaan Alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun
yang buruk, namun, kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan
difisiensi imun di negara berkembang.
Defisiensi imun dan peradangan menghambat kemampuan tubuh untuk berespons
terhadap infeksi atau cidera dan dapat terjadi akibat gangguan fungsi sebagian atau
semua sel darah putih.
Sebelum dilakukan pengobatan, sebaiknya dilakukan dahulu penanganan lanjutan
seperti pemeriksaan hemoglobin, pemeriksaan darah tepi, menghitung trombosit,
menghitung jumlah leukosit total. Pengobatan ini dilakukan untuk mengurangi
kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subjek dengan penyakit menular,
memantau penderita terhadap infeksi.
Secara garis besar defisiensi imun dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
 Defisiensi Imun Kongenital Atau Defisiensi Imun Primer
Defisiensi imun Kongenital atau defisiensi imun primer disebabkan oleh
kelainan respon imun bawaan yang dapat berupa kelainan dari sistem fagosit
dan komplemen atau kelainan dalam deferensiasi fungsi limfosit.
 Defisiensi Imun Dapatan
Defisiensi imun dapatan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
infeksi virus yang dapat merusak sel limfosit, malnutrisi, penggunaan obat-
obat sitotoksik dan kortikosteroid, serta akibat penyakit kanker seperti
pengakit Hodgkin, Leukemia, Myeloma, dan Limfositik kronik.
Imunodefisiensi atau defisiensi imun secara khusus dapat dibagi 2 (dua),
diantaranya adalah :
 Defesiensi Imun Non Spesifik yang meliputi Defesiensi Komplemen,
Interferon Dan Lisozim, Sel NK dan Sistem Fagositosit.
 Defesiensi Imun Spesifik yang meliputi Defisiensi kongenital atau primer,
Defisiensi imun spesifik fisologik, dan Defesiensi imun yang didapat atau
sekunder.

28
Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui
penyakit defisiensi imun diantaranya pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE), pemeriksaan kadar antibodi terhadap
imunisasi sebelumnya (fungsi IgG), penilaian komplemen (komplemen hemolisis total
= CH50), evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang
sesuai). Pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi, pada dasarnya
pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi, atau kausal.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Radji, Maksum. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT. ISFI. 2010


2. Tambayong, dr. Jan. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. 2000
3. https://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/19/penyakit-defisiensi-imun/
4. http://www.farmasiku.online/2017/03/makalah-imunologi-defisiensi-imun.html

30

Anda mungkin juga menyukai