Anda di halaman 1dari 13

Assalamualikum... heh kok diam aja?? jawab dong.... .... .... nah gitu kan enak... hoho...

:D
halo... nama saya Diah Nurlitasari... panggil aja Diah, Lita atau Diiyong... hahaii... ini hanya
blog biasa kok, buat tugas dosen... tapi kalo besok besok jadi curhat disini ya maap maap aja
yah... wass..........

Rabu, 09 Maret 2011


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KOLELITIASIS

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN KOLELITIASIS

Disusun dalam Rangka Tugas Terstruktur Mata Kuliah


Keperawatan Medikal Bedah I pada Semester III Tahun
Akademik 2010/2011

Oleh:
DIAH NURLITASARI
NIM P3.73.20.1.09.010

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN KIMIA 17


POLTEKKES KEMKES JAKARTA III
2010
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas segala rahmat-Nya makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien Kolelitiasis” ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah di Akademi Keperawatan POLTEKKES KEMKES Jakarta III.
Seiring dengan terselesaikannya penyusunan makalah ini, secara khusus saya
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ns. Sunardi, M.Kep. Sp.KMB selaku koordinator,
2. S. Haeryanto, SKM., M.Kes selaku dosen mata kuliah,
3. Orang tua yang telah mendoakan, dan
4. Teman-teman yang telah banyak membantu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan kemampuan yang saya miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan tugas di masa yang akan datang. Saya
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan
bagi khasanah ilmu pengetahuan.

Jakarta, Oktober 2010

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kolelitiasis adalah adanya batu empedu dalam kandung empedu. Batu empedu
lebih sering ditemukan pada wanita dibanding laki-laki karena wanita mempunyai faktor
resiko, diantaranya adalah obesitas, kehamilan, dan pemakaian alat kontrasepsi per oral.
Berdasarkan berbagai teori, ada empat penjelasan yang mungkin untuk
pembentukan batu empedu, yaitu: perubahan komposisi empedu, adanya peradangan
pada empedu, adanya proses infeksi, dan genetik.
Kolelitiasis mempunyai tanda dan gejala, yaitu rasa nyeri, ikterus, perubahan
warna urin dan feses dan defisiensi vitamin. Kolelitiasis dapat disembuhkan dengan
mengonsumsi obat seperti chenodiol dan menggunakan teknik Pelarutan batu empedu
dengan menggunakan monooktanion atau metil tertiet butil eter (MTBE). Namun, tak
jarang kolelitiasis harus diobati dengan cara pembedahan jika sudah masuk dalam
kategori kronis.
Berdasarkan masalah yang kompleks di atas, maka perlu dilakukan asuhan
keperawatan yang komprehensif mencakup biopsiko-sosiospiritual. Berdasarkan masalah
di atas, maka penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut.

B. TUJUAN PENULISAN
1. Agar mahasiswa mengetahui definisi kolelitiasis.
2. Agar mahasiswa mengetahui insiden kolelitiasis.
3. Agar mahasiswa mengetahui patofisiologi kolelitiasis.
4. Agar mahasiswa mengetahui tanda dan gelaja kolelitiasis.
5. Agar mahasiswa mengetahui komplikasi yang terjadi akibat kolelitiasis.
6. Agar mahasiswa mengetahui penatalaksanaan kolelitiasis.
7. Agar mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan yang dilakukan dalam
mengatasi masalah kolelitiasis.
C. SISTEMATIKA PENULISAN
1. Kata Pengantar
2. Daftar Isi
3. BAB I Pendahuluan
4. BAB II Tinjauan Pustaka
5. BAB IV Penutup
6. Daftar Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR

1. Definisi/pengertian
Menurut Ignatavicius, 1991, kolelitiasis adalah gangguan yang paling umum
dari saluran empedu. Kolelitiasis adalah adanya batu empedu dalam kandung empedu
(Black, 1997). Kolelitiasis adalah batu empedu yang biasanya terbentuk dari kandung
empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu (Brunner &
Suddarth, 2002). Kolelitiasis adalah pembentukan batu, juga disebut batu, di dalam
kantung empedu atau sistem saluran empedu (Lewis dkk, 2000).

2. Insiden
Menurut (Ignatavicius, 2006) kasus kolelitiasis terjadi lebih banyak pada
wanita dibandingkan pria karena wanita memiliki beberapa faktor resiko, diantaranya
kehamilan, obesitas, pemakaian KB dan genetik. Tampaknya ada beberapa hal yang
menyebabkan keluarga menjadi faktor terhadap perkembangan kolelitiasis, tapi ini
mungkin terkait dengan kebiasaan makan keluarga (asupan kolesterol berlebihan
dalam makanan) dan gaya hidup menetap di beberapa keluarga. Batu empedu terlihat
lebih sering pada orang obesitas, mungkin sebagai akibat gangguan metabolisme
lemak. Kehamilan cenderung memperburuk pembentukan batu empedu. Kehamilan
dan obat-obatan seperti pil estrogen dan pil KB yang mengubah kadar hormon dan
menunda kontraksi otot kandung empedu, menyebabkan tingkat penurunan
mengosongkan empedu.

3. Patofisiologi

Belum jelas apa penyebab terjadinya kolelitiasis, tapi metabolisme abnormal

kolesterol dan garam empedu memainkan peran penting dalam pembentukan mereka. Faktor
terkait dapat mencakup hal berikut: supersaturasi empedu dengan kolesterol, kekurangan
garam empedu secara berlebih, penurunan pengosongan kandung empedu, perubahan dalam
konsentrasi empedu atau stasis empedu dalam kandung empedu (Ignatavicius, 2006).
Black, 1997, menambahkan ada tiga tipe utama batu empedu, yaitu:
a. Batu pigmen, kemungkinan terbentuk bila pigmen tak terkonjugasi dalam empedu
melakukan pengendapan sehingga terjadi batu.
b. Batu kolestrol. Terjadi akibat konsumsi makanan berkolesterol seperti fast food
dengan jumlah tinggi. Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk
empedu tidak dapat larut dalam air. Pada pasien yang cenderung menderita batu
empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis
kolesterol dalam hati. Keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu
oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan menjadi
batu.
c. Batu campuran. Batu campuran dapat terjadi akibat kombinasi antara batu
pigmen dan batu kolesterol atau salah satu dari batu dengan beberapa zat lain
seperti kalsium karbonat, fosfat, dan garam empedu.

Penyebab terjadinya penyakit batu empedu belum dipahami dengan baik.


Berdasarkan berbagai teori, ada empat penjelasan yang mungkin untuk pembentukan
batu empedu, yaitu:
a. Perubahan komposisi empedu. Perubahan komposisi ini membentuk inti, lalu
lambat laun menebal dan mengkristal. Proses pengkristalan dapat berlangsung
lama, bisa sampai bertahun-tahun dan akhirnya akan menghasilkan batu empedu.
b. Adanya peradangan pada empedu. Peradangan empedu dalam kandung empedu
dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia, dan
pengedapan beberapa unsur konstituen empedu seperti kolesterol, kalsium,
bilirubin.
c. Adanya proses infeksi. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan
sebagian dalam pembetukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler atau
bakteri dapat berperanan sebagai pusat presipitasi. Adanya proses infeksi ini
terkait mengubah komposisi empedu dengan meningkatkan reabsorpsi garam
empedu dan lesitin.
d. Genetik. Salah satu faktor genetik yang menyebabkan terjadinya batu empedu
adalah obesitas karena orang dengan obesitas cenderung mempunyai kadar
kolesterol yang tinggi. Kolesterol tersebut dapat mengendap di saluran pencernaan
juga di saluran kantung empedu, yang lama kelamaan akan berubah menjadi batu
empedu.

4. Tanda dan Gejala/Manifestasi klinik


a. Perubahan warna urin dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut “clay-colored” (Ignatavicius, 2006).
b. Ikterus
Perubahan warna kulit, membran mukosa lain dan sklera menjadi warna kuning
(Ignatavicius, 2006).
c. Rasa nyeri
Pasien mungkin akan merasa nyeri pada abdomen kanan atas yang dapat menjalar
ke punggung dan bahu kanan disertai dengan mual dan muntah, dan akan
merubah posisinya secara terus-menerus untuk mengurangi intensitas nyeri
(Black, 1997)
d. Intoleransi terhadap makanan berlemak (LeMone, 2000)

5. Komplikasi
a. Kolik bilier
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung
empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat dari tersumbatnya
saluran oleh batu (Ignatavicius, 2006).
Black, 1997, menambahkan beberapa komplikasi dari kolelitiasis, yaitu:
a. Kolesistitis
Kolesistitis adalah peradangan pada kandung empedu akibat dari adanya
batu kandung empedu.
b. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu.
c. Koledokolitiasis
Koledokolitiasis adalah adanya batu pada saluran empedu.

6. Penatalaksanaan
a. Nonbedah (Ignatavicius, 1991)
1) Terapi diet
Diet rendah lemak dilakukan untuk mencegah datangnya nyeri kembali.
Hindari vitamin yang larut lemak seperti vitamin A, D, E, K.
2) Farmakologi
Obat-obatan yang digunakan untuk penderita batu empedu biasanya adalah
asam ursodeoksilat (urdafalk) dan kenodioksilat (chenodiol dan chenofalk),
yang digunakan untuk melarutkan batu empedu yang berukuran kecil dan
terutama tersusun oleh kolesterol. Mekanisme kerjanya adalah menghambat
sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah
empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil
dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya.
3) Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL).
Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang yang
diarahkan kepada batu empedu di dalam kandung empedu dengan maksud
memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut tersebut
dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau
oleh muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat
rendaman air atau kantong yang berisi cairan.gelombang kejut yang
dikonvergensikan tersebut diarahkan kepada batu yang akan dipecah. Setalah
batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari
kandung empedu dan dikeluarkan melalui endoskop atau dilarutkan dengan
pelarut atau asam empedu yang diberikan per oral.
b. Bedah (Ignatavicius, 1991)
1) Koledokoskopi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan biasanya dipasang sebuah
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema
mereda.
Penatalaksanaan bedah menurut Black, 1997:
1) Kolesistektomi
Merupakan salah satu prosedur bedah yang paling sering dilakukan. Dalam
prosedur ini, kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus
diligasi.
2) Endoskopi
Dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau tusukan melalui dinding
abdomen. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup
dengan gas CO2 untuk membantu pemasangan endoskop dan menolong
dokter bedah melihat struktur abdomen
3) Kolesistostomi perkutan
Kolesistostomi dilakukan dengan cara penusukan sebilah jarum yang halus
lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan
dipandu oleh USG atau pemindai CT dengan pemberian anestesi lokal
terlebih dahulu. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa
penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan
ke dalam kandung empedu untuk dekompresi saluran empedu.
4) Bedah kolesistostomi
Kolesistostomi dilakukan apabila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk
dilakukan operasi yang lebih luas atau bila reaksi inflamasi yangakut
membuat sistem billier tidak jelas. Bedah ini dilakukan dengan cara kandung
empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan
yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan
kantong tembakau (Brunner & Suddarth, 2002).

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat:
Menurut Ignatavicius, 1991, pengkajian riwayat klien meliputi:
1) Kaji informasi tambahan dapat diperoleh jika ada keluarga klien
sebelumnya yang mengalami batu empedu.
2) Tanyakan klien apakah ada manajemen medis paliatif (kontrol diet dan
obat-obatan) atau apakah pernah dilakukan intervensi bedah.
3) Minta klien untuk menjelaskan kegiatan setiap harinya atau rutinitas untuk
menentukan bagaimana gaya hidupnya
4) Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap proses diagnostik dan adanya
alergi terhadap obat-obatan tertentu, misalnya analgesik (Black, 1997)
Lewis, 2007 menambahkan hal-hal yang perlu dikaji, yaitu:
1) Sejarah kesehatan masa lalu: obesitas, infeksi, kanker, puasa yang luas,
kehamilan
2) Riwayat kesehatan masa lalu: kehamilan, obesitas, penggunaan KB per oral.
3) Riwayat pembedahan atau perawatan lainnya: pembedahan perut
sebelumnya.
b. Pemeriksaan Fisik:
1) Kaji kondisi fisik pasien: adanya kelemahan hingga sangat lemah, takikardi,
diaforesis, wajah pucat dan kulit berwarna kuning, perubahan warna urin dan
feses (Ignatavicius, 1991).
2) Kaji adanya nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau
bahu kanan, mual dan muntah, gelisah dan kelelahan (Black, 1997).
3) Kaji perubahan gizi-metabolik: penurunan berat badan, anoreksia, intoleransi
lemak, mual dan muntah, dispepsia, menggigil, demam, takikardi, takipnea,
terabanya kandung empedu (Lewis, 2007)
c. Pemeriksaan diagnostik:
1) Ultrasonografi digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis kolelitiasis dan
membedakan antara obstruktif dan non obstruktif ikterus (Ignatavicius, 1991).
Pemeriksaan diagnostik tambahan menurut LeMone, 2000, yaitu:
1) Darah lengkap : Menunjukkan WBC (sel darah putih) tinggi akibat infeksi
dan peradangan
2) Kadar bilirubin serum diukur untuk memastikan obstruksi adanya dalam
sistem saluran empedu
3) X-ray perut, yang disebut plat datar, dilakukan untuk batu yang
divisualisasikan ke layar monitor.
4) Kolesistogram oral dilakukan dalam situasi darurat.
5) Gallbladder nonacute scan, juga disebut HIDA scan, dilakukan melalui teknik
kedokteran nuklir untuk menilai kolesistitis akut
d. Psikososial:
1) Klien dengan kolelitiasis menunjukkan banyak ekspresi emosional seperti
perasaan takut akan nyeri, cemas akan prosedur diagnostik atau pembedahan
dan biaya (Ignatavicius, 1991).
Pengkajian psikososial menurut (LeMone, 2000):
1) Kaji kecemasan terkait dengan operasi tertunda.
2) Kaji ketakutan yang belum diketahui dan pembedahan.
3) Dorong verbalisasi adanya rasa kekhawatiran.
4) Berikan dukungan emosional kepada klien dan keluarga.
5) Berikan informasi tentang pengalaman bedah.
6) Minimalkan stimulus eksternal.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa menurut (Ignatavicius, 1991) adalah:


a. Potensi untuk infeksi yang berkaitan dengan resiko obstruksi di saluran empedu
kandung empedu
b. Potensi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan risiko gangguan pada
saluran empedu
c. Potensi untuk pola pernapasan tidak efektif berhubungan dengan bedah insisi
menyakitkan, penurunan gerakan diafragma, atau kecemasan
d. Potensi untuk infeksi yang berkaitan dengan pemasangan T-tabung dengan invasi
bakteri peritonium
Diagnosa keperawatan terkait kolelitiasis menurut (Black, 1997):
a. Nyeri berhubungan dengan penegangan kandung empedu
b. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan muntah dan penghisapan
nasogastrik.
c. Resiko injuri berhubungan dengan sisa obat prosedur endoskopi untuk
menghilangkan batu.
Menurut (LeMone dkk, 2000):
a. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d insisi bedah.
b. Gangguan pertukaran gas b.d. insisi bedah abdomen (jika dilakukan bedah
kolesistektomi tradisional).
c. Gangguan nutrisi b.d. nyeri, mual, muntah.

3. Perencanaan dan Implementasi


Perencanaan dan implementasi menurut Black, 1997:
a. Nyeri berhubungan dengan penegangan kandung empedu
1) Berikan analgesik, biasanya adalah meperidin.
2) Beri analgesik lain (mungkin diberikan), seperti nitrogliserin yang diberikan
secara sublingual.
3) Beri situasi yang nyaman
4) Ajarkan teknik relaksasi
b. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan muntah dan penghisapan
nasogastrik.
1) Beri cairan iv sesuai intruksi
2) Kaji kondisi klien untuk manifestasi dari dehidrasi: keringnya membran
mukosa, turgor kulit buruk, dan eliminasi urin kurang dari 30 ml/jam.
c. Resiko injuri berhubungan dengan sisa obat prosedur endoskopi untuk
menghilangkan batu.
1) Cek kondisi kesadaran pasien sebelum pemberian makanan per oral
2) Jika pasien masih dalam pengaruh anestesi, pasang side rel pada tempat tidur

Perencanaan dan implementasi menurut LeMone dkk, 2000:


a. Gangguan rasa nyaman: nyeri b.d insisi bedah.
1) Jika terapi diet tidak efektif, beri obat yang diresepkan seperti nitrogliserin.
2) Jika nyeri tidak teratasi dengan metode lain atau dengan obat, beri analgesia
narkotik sesuai dengan yang diresepkan
3) Monitor peningkatan suhu setiap 4 jam dan bantu klien untuk posisi fowler
b. Gangguan pertukaran gas b.d. insisi bedah abdomen (jika dilakukan bedah
kolesistektomi tradisional).
1) Ajarkan teknis napas dalam dan batuk efektif minimal 2 jam sekali
2) Gunakan spirometer insentif setiap jam saat terjaga, dan mulai pergerakan
setidaknya empat kali sehari.
3) berikan analgesia yang tepat untuk klien pasca operasi
c. Gangguan nutrisi b.d. nyeri, mual, muntah, dengan intervensi menurut
(Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2003):
1) Ajarkan klien untuk menghindari lemak pada diet mereka.
2) Tanyakan kebiasaan makan klien
3) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
4) Timbang berat badan sesuai indikasi
5) Berikan kebersihan oral sebelum makan

4. Discharge Planning
a. Perawat memberikan informasi kepada klien dan keluarga tentang potensi
terjadinya sindrom setelah kolesistektomi. Berikan instruksi ke klien atau anggota
keluarga, termasuk: perawatan lanjutan, tanda-tanda kekurangan gizi kateter,
infeksi, rawat jalan dan janji kolangiografi berikutnya (Ignatavicius, 1991).
b. Ajarkan klien tentang manajemen nyeri, terapi diet, perawatan luka insisi,
pembatasan aktivitas dan perawatan kesehatan tindak lanjut (Ignatavicius, 2006).
c. Ingatkan pasien untuk meminum obat-obatan harian yang diperlukan untuk
proses penyembuhan (Black, 1997).
d. Beri tahu klien untuk melakukan diet rendah lemak dan menghindari makanan
berlemak tinggi seperti susu, gorengan, alpukat, mentega dan cokelat (Black,
1997).
e. Ajarkan klien cara perawatan diri di rumah dan semua hal yang diperlukan untuk
perawatan di rumah (Black, 1997).

5. Evaluasi
Hasil yang diharapkan meliputi bahwa klien:
a. Menyatakan bahwa rasa sakit berkurang dan atau hilang, tidak menunjukkan
manifestasi dari infeksi seperti demam atau peningkatan nyeri di perut, tidak
menunjukkan manifestasi perubahan perfusi jaringan, seperti peningkatan nyeri di
perut, kembung, atau hipotensi (Ignatavicus, 1991).
b. Menurut (Black, 1997), evaluasi yang diharapkan adalah klien sembuh tanpa
kesulitan dalam waktu sekitar 3 sampai 5 hari setelah operasi (lebih pendek
dengan operasi laparoskopi)
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. 1997. Medical-Surgical Nursing, Clinical Management for Continuity of


Care Fifth Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 2 Vol 2. Jakarta: EGC.
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.
Ignatavicius, Donna D. & Workman M.L. 1991. Medical-Surgical Nursing, A Nursing
Process Approach. Philadelphia: WB Saunders Company.
Ignatavicius, Donna D. & Workman M.L. 2006. Medical-Surgical Nursing, Critical Thinking
for Collaborative Care. St. Louis: Elsevier Saunders.
Lewis, dkk. 2007. Medical Surgical Nursing: Assessment and Management of Clinical
Problems. St. Louis: Mosby Elsevier.
LeMone, P and Burke, K.M. 2000. Medical-Surgical Nursing, Critical Thinking in Client
Care. New Jersey: Prentice Hall Health Upper Sadle River.

Anda mungkin juga menyukai