Pembimbing :
dr. Marta Isyana Dewi, Sp.OG
Disusun Oleh:
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Fikriah Rismi Febrina G4A015134
Mega Siti Fasicha G4A016023
Ridhan Habibie HH G4A016031
Mengetahui,
Dokter Pembimbing,
A. Judul
Judul dari jurnal ini adalah Placenta Accreta dan Placenta Accreta and
Contribution of placenta Accrete To The Incidence Of Post Partum Hemorrhage
and Severe Potpartum Hemorrage.
B. Tujuan
Tujuan jurnal ini adalah untuk memberikan definisi, patomekanisme
terjadinya plasenta akreta serta mengukur kontribusi plasenta akreta dengan
tingkat perdarahan postpartum dan perdarahan postpartum berat.
C. Desain Studi
Semua rumah sakit di Kanada (tidak termasuk Quebec) pada tahun 2009
dan 2010 (N=5570,637) yang termasuk dalam studi kohort retrospektif dengan
menggunakan data dari Institut Kanada untuk Informasi Kesehatan. Plasenta
akreta termasuk adhesi plasenta pada dinding rahim,otot, dan sekitar organ
(akreta, inkreta, atau percreta). Perdarahan postpartum berat termasuk
perdarahan postpartum dengan transfusi darah, histerektomi, atau prosedur lain
untuk mengendalikan perdarahan (termasuk penjahitan pada rahim dan ligasi
atau embolisasi arteri panggul). menilai, tingkat rasio, mengakibatkan populasi
fraksi (kejadian perdarahan postpartum disebabkan plasenta interval akreta),
dengan tingkat kepercayaan yang diperkirakan sekitar 95%. regresi logistik
digunakan untuk mengukur asosiasi antara plasenta akreta dan faktor risiko.
D. Metode Penelitian
Protokol untuk melakukan penelitian ini telah di setujui oleh Kementrian
kesehatan Kanada dan Sistem Kegawatan perinatal. Sumber data yang
digunakan pada penelitian ini adalah informasi kependudukan dan kementrian
kesehatan Kanada. Telaah etik tidak diperlukan pada penelitian ini. Penelitian
dilakukan pada studi cohort retrospektif berbasis populasi termasuk data
persalinan pada semua rumah sakit di Kanada, kecuali yang di Quebec. Analisis
yang digunakkan adalah analisis regresi logistik untuk memperikirakan rasio
kejadian plasenta akreta yang disesuaikan dnegan faktor resiko plasenta akreta.
Analisis dilakukan menggunakan perangkat lunak SAS 9.3 Stata 12.1 dan
OpenEpi 3.01. Hasil dipaparkan pada angka yang berhubungan dengan nilai P
dan ORs yang memiliki confidence interval 95% (CIs). Perbandingan dikatakan
secara statistik signifikan bila nilai P <0.05 atau 95% CI tidak memasukkan
variable dengan null value 1.0
E. Hasil
Insidensi plasenta akreta adalah 14.4 (95%CI 13.4-15.4) per 10.000
persalinan (819 kasus per 570.637 persalinan) dan tingkat kefatalan untuk
plasenta akreta adalah 7,2 (95% CI 6.5-8.0) per 10.000 persalinan (Tabel 1).
Satu per empat dari semua pasien dengan plasenta akreta membutuhkan
transfusi darah (Insidensi 3.5/10000 persalinan, 95% CI 3.1-4.1/10000), 19%
mengalami perdarahan post partum dan membutuhkan transfusi darah
(insidensi 2.8/10000 persalinan, 9.5% CI 2.3-3.2/10000; Tabel 1). Diantara
semua pasien plasenta akreta, 17% pasien mengalami histerektomi dengan atau
tanpa perdarahan postpartum (insidensi 2,4/10000 95%CI 2,0-2,8/10000),
dimana 11,2% mengalami perdarahan post partum dan histerektomi (insidensi
1.6/10000 95%CI 1,3-2,0/10000). Sisa plasenta tanpa perdarahan terjadi 17%
pada pasien. Walaupun 50% perempuan dengan plasenta akreta mengalami
perdarahan postpartum. Kebanyakan kasus perdarahan postpartum atonik
dengan plasenta akreta menjadi berat 0.63 (95%CI 0,42-0,87) per 10000
perempuan yang mengalami perdarahan postpartum atonik dengan transfusi
darah , histerektomi ataupun prosedur lain untuk mengontrol perdarahan. Pada
Tabel 1 disimpulkan kejadian plasenta akreta, perdarahan postpartum dan
komplikasi yang terkait.
Faktor risiko untuk plasenta akreta adalah ibu usia tua (30-34 tahun, 35-39
tahun, dan 40 tahun atau 20-24 tahun; Tabel 2), paritas tinggi (nulliparity, 2-4,
dan 5 atau lebih). Kehamilan multifetal juga dikaitkan dengan risiko yang lebih
tinggi plasenta akreta. Plasenta previa (di saat kehamilan ini) dalam
hubungannya dengan sesar sebelumnya sangat terkait dengan plasenta akreta
(adjusted odds ratio [OR] 91,6, 95% CI 70,5-119,1) diikuti oleh plasenta previa
tanpa sesar sebelumnya (OR 13,3, 95% CI 10,0-17,8). Sesar tanpa plasenta
previa juga dikaitkan dengan signifikan peningkatan risiko plasenta akreta (OR
1,44, 95% CI 1,17-1,77). Meskipun plasenta akreta sangat terkait dengan
perdarahan postpartum (rasio tingkat 8,3, 95% CI 7,7-8,9; Tabel 3), fraksi
populasi disebabkan hanya 1,0% dari kejadian perdarahan postpartum adalah
disebabkan plasenta akreta. Di sisi lain, plasenta akreta sangat terkait dengan
perdarahan postpartum dengan histerektomi (rasio tingkat 286, 95% CI 226-
361) dan memiliki sebagian kecil populasi disebabkan dari 29%, 29% itu dari
kejadian perdarahan postpartum dengan histerektomi, hasil dari plasenta akreta.
Plasenta akreta sangat terkait dengan semua perdarahan postpartum yang berat.
Namun, fraksi populasi hanya 7,6% yang disebabkan perdarahan postpartum
dengan prosedur untuk mengendalikan perdarahan dan 5,5% untuk perdarahan
postpartum dengan transfusi darah. Tabel 3 menyajikan rasio tingkat (RRS) dan
fraksi populasi disebabkan oleh perdarahan postpartum dan perdarahan
postpartum berat.
A. Definisi
Plasenta akreta adalah plasenta yang melekat terlalu erat pada miometrium
secara abnormal. Plasenta akreta dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu plasenta
akreta totalis jika semua plasenta tertanam sampai miometrium, plasenta akreta
parsialis jika hanya beberapa lobuli yang teratanam, plasenta akreta fokal jika hanya
semua atau sebagian lobulus tunggal yang melekat. Plasenta akreta dapat
didiagnosis secara pasti dengan gold standart nya yaitu gambaran histologis
(Cunningham, 2014).
B. Faktor Resiko
Wanita yang paling berisiko mengalami plasenta akreta adalah mereka yang
telah mempunyai kerusakan miometrium yang disebabkan oleh operasi sesar
sebelumnya dengan baik plasenta previa anterior atau posterior yang melintasi parut
uterus. Para penulis dari sebuah studi menemukan bahwa dengan adanya suatu
plasenta previa, risiko plasenta akreta adalah 3%, 11%, 40%, 61%, dan 67% untuk
pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima atau lebih pada masing-masing
riwayat operasi kelahiran sesar (ACOG, 2012).
Faktor risiko tambahan yang dilaporkan untuk plasenta akreta meliputi usia ibu
dan multiparitas, bedah rahim lain sebelumnya, kuretase uterus sebelumnya, ablasi
endometrium, Asherman syndrome, leiomyoma, anomali rahim, hipertensi dalam
kehamilan, dan merokok. Meskipun ini dan faktor risiko lain telah dijelaskan,
kontribusi nyata akan frekuensi plasenta akreta tetap belum diketahui (ACOG,
2012).
C. Patomekanisme
Mekanisme terjadinya plasenta akreta masih kurang banyak dimengerti,
banyak konsep yang menjelaskan plasentasi abnormal yang terjadi pada plasenta
akreta. Konsep tertua adalah defek primer pada fungsi trofoblas yang membuat
invasi berlebihan pada myometrium uterus. Hipotesis lain adalah defek sekunder
pada basal struktur basalis karena kegagalan desidualisasi normal pada daerah
uterus yang terdapat bekas luka sehingga infiltasi trofoblas menjadi abnormal dan
dalam. Vaskularisasi abnormal yang terjadi akibat proses luka setelah operasi
dengan terjadinya hipoksia lokal sekunder menyebabkan desidualisasi yang defek
dan invasi trofoblas yang berlebihan terjadi (Jauniaux, 2012).
Ketika proses implantasi terjadi, sel sitotrofoblas menempel pada vili dan
menginvasi stroma desidua ibu. Sel sel ini tidak dapat berproliferasi dan dapat
disebut Extravillous trophoblast (EVT). Sel sel ini berdiferensiasi primer menjadi
EVT intersisial dan EVT endovaskular dan menginvasi dinding uterus sampai
sejauh myometrium uterus bagian dalam lapis ke 3. Lapisan superfisial dari otot
uterus mengandung pembuluh darah basal yang akan bercabang menjadi arteri
spiralis yang akan memberi pasokan darah pada pleksus kapiler yang mengitari
kelenjar uterus pada endometrium perempuan yang tidak hamil (Jauniaux, 2011).
D. Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Kebanyakan pasien dengan plasenta akreta tidak menunjukkan gejala.
Gejala yang berhubungan dengan plasenta akreta mungkin termasuk perdarahan
vaginal dan kram. Temuan ini sebagian besar terlihat pada kasus dengan
plasenta previa, yang merupakan faktor risiko terkuat untuk plasenta akreta.
Meskipun jarang, kasus dengan nyeri akut abdomen dan hipotensi karena syok
hipovolemik dari ruptur uteri sekunder bisa karena plasenta perkreta. Skenario
kritis ini dapat terjadi setiap saat selama kehamilan dari trimester pertama
hingga kehamilan aterm dengan tidak adanya tanda-tanda persalinan (Eliza and
Alfred, 2013).
Komplikasi plasenta akreta banyak dan mencakup kerusakan pada organ-
organ lokal, perdarahan pasca operasi, emboli air ketuban, DIC, transfusi darah,
sindrom gangguan pernapasan akut, tromboemboli pasca operasi, morbiditas
karena infeksi, kegagalan multisistem organ, dan kematian. Komplikasi genital,
saluran kemih yang umum dan termasuk cystotomy pada sekitar 15% kasus dan
cidera ureter sekitar 2% kasus. Oleh karena itu diagnosis prenatal yang akurat
sangat penting untuk meminimalkan risiko ini (Eliza and Alfred, 2013).
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG selama periksa kehamilan rutin sangat membantu
membuat diagnosis plasenta akreta prasalin, sehingga penanganan klinis
seperti merencanakan operasi dan mempersiapkan darah bisa dilakukan.
USG transvaginal maupun transabdominal dapat digunakkan sesuai
kebutuhan.
Tanda-tanda akretasi mulai keluar pada trisemester pertama.
Comstock melakukan penelitian retrospektif terhadap pemeriksaan
ultrasound pada beberapa wanita yang sedang hamil dengan usia kehamilan
10 minggu yang kemudian diketahui terkena plasenta akreta berdasarkan
pemeriksaan histopatologi. Semua subjek membuktikan bahwa kantung
gestasi dnegan jelas menempel di luka pada uterus. Miometrium pada
tempat kantung gestasi menempel di area lukaa tipis jika dibandingkan
dengan kantung gestasi yang normal (Garmi, 2012).
Menurut penelitian Twickler et al, tebal miometrium yang kurang
dari 1 mm atau plasenta yang besar dapat menunjukkan plasenta akreta.
Wong et al juga menjelaskan bahwa kerusakan pada dinding uterus yang
ditempeli plasenta dengan adanya pembuluh darah menjadi faktor prediktif
yang baik bagi plasenta akreta. Adanya banyak pembuluh darah pada basal
endometrium menunjukkan sensitivitas 97%, spesifisitas sebesar 92%
dengan nilai prediksi positif mencapai 76%. Perempuan dengan tanda
akretasi pada trisemester pertama, harus melakukan pemeriksaan lanjutan
pada trisemester kedua dan ketiga dengan pemantauan karena berpotensi
plasenta akreta (AJOG, 2010).
Ultrasonografi pada plasenta akreta dapat kita lihat seperti berikut
ini (Clack, 2012):
First Trimester
1) Sebuah kantung kehamilan yang terletak di segmen bawah uterus telah
berkorelasi dengan peningkatan insiden plasenta akreta pada trimester
ketiga.
2) Beberapa ruang pembuluh darah yang tidak teratur pada placental bed
pada trimester pertama berkorelasi dengan plasenta akreta.
3) Implantasi GS pada parut bekas luka caesar merupakan temuan yang
penting. Temuan sonografi implantasi bekas luka caesar termasuk GS
tertanam ke bekas luka kelahiran sesar pada daerah dari OUI pada dasar
kandung kemih (Figure 1). Jika tidak ditangani, implantasi bekas luka
caesar dapat menyebabkan kelainan utama pada plasenta seperti
plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Penanganan implantasi pada
bekas luka caesar termasuk injeksi langsung pada kantung kehamilan
dengan methotrexate di bawah bimbingan USG (Clack, 2012).
c. Patologi Anatomi
Penegakan diagnosis plasenta akreta secara pasti dibuat berdasarkan
hasil dari patologi anatomi yang diperoleh setelah dilakukan histerektomi.
Diagnosis definitif tergantung pada visualisasi dari villi chorialis yang
menginvasi atau tertanam pada miometrium dengan tidak adanya desidua di
lapisan antara mereka (Isaacs & Dirk 2013)..
E. Penatalaksanaan
1. Antepartum
Karena perdarahan yang signifikan umum terjadi dan ada kemungkinan
dilakukan sesarean histerektomi akan diperlukan bila plasenta akreta tegak
didiagnosis, wanita dengan dicurigai plasenta akreta harus dijadualkan untuk
ditangani oleh RS dengan fasilitas bedah yang lengkap dan memiliki bank darah
yang dapat memfasilitasi transfusi jumlah besar berbagai produk darah.
Suplementasi dengan besi oral dianjurkan untuk memaksimalkan simpanan zat
besi dan daya dukung oksigenasi.
Perencanaan persalinan mungkin melibatkan ahli anestesi, dokter
kandungan, dokter bedah panggul seperti ahli onkologi ginekologi, ahli bedah
intensiv, neonatologist, bedah urologi, ahli hematologi, dan ahli radiologi
intervensi untuk mengoptimalkan outcome pasien. Untuk meningkatkan
keselamatan pasien, adalah penting bahwa persalinan dilakukan oleh tim
obstetri berpengalaman yang termasuk ahli bedah kebidanan, dengan spesialis
bedah lainnya, seperti urolog, dokter bedah umum, dan ahli ginekologi-
onkologi, tersedia jika diperlukan. Karena risiko kehilangan darah yang besar,
perhatian harus diberikan untuk kadar hemoglobin ibu sebelum operasi, jika
mungkin. Banyak pasien dengan plasenta akreta membutuhkan kelahiran
prematur darurat karena perdarahan banyak yang tiba-tiba.
Timing of delivery pada kasus dugaan plasenta akreta harus individual.
Keputusan ini harus dibuat bersama-sama dengan pasien, dokter kandungan,
dan neonatologist. Konseling pasien harus mencakup diskusi kebutuhan
potensial untuk histerektomi, risiko perdarahan yang besar, dan kemungkinan
kematian ibu. Meskipun persalinan telah direncanakan, rencana kemungkinan
persalinan darurat harus dikembangkan untuk masing-masing pasien, yang
mungkin termasuk managemen perdarahan maternal.
Timing of delivery harus individual, tergantung pada keadaan dan preferensi
pasien. Salah satu pilihan adalah dengan melakukan terminasi setelah paru janin
matang yang dibuktikan dengan amniosentesis. Namun, hasil analisis keputusan
baru-baru ini menyarankan untuk mengkombinasikan outcome ibu dan bayi
dioptimalkan pada pasien stabil dengan terminasi pada 34 minggu kehamilan
tanpa amniosintesis. Keputusan untuk pemberian kortikosteroid antenatal dan
waktu pemberiannya harus individual. Pada sebuah studi yang melibatkan 99
kasus plasenta akreta yang didiagnosis sebelum persalinan, 4 dari 9 dengan
persalinan >36 minggu diperlukan terminasi emergensi karena perdarahan. Jika
tidak ada perdarahan antepartum atau komplikasi lainnya, direncanakan
terminasi saat akhir prematur dapat diterima untuk mengurangi kemungkinan
persalinan darurat yang terjadi dengan segala komplikasinya.
2. Preoperatif
Persalinan harus dilakukan dalam ruangan operasi dengan personil dan
dukungan pelayanan yang diperlukan untuk mengelola komplikasi potensial.
Penilaian oleh anestesi harus dilakukan sedini mungkin sebelum operasi. Kedua
teknik anestesi baik umum dan regional telah terbukti aman dalam situasi klinis
ini. Antibiotik profilaksis diberikan, dengan dosis ulangan 2-3 jam setelah
operasi atau kehilangan darah 1.500 mL yang diperkirakan. Preoperatif
Cystoscopy dengan penempatan stent ureter dapat membantu mencegah cedera
saluran kemih. Beberapa menyarankan bahwa kateter Foley three way
ditempatkan di kandung kemih melalui uretra untuk memungkinkan irigasi,
drainase, dan distensi kandung kemih, yang diperlukan, selama diseksi.
Sebelum operasi, bank darah harus dipersiapkan terhadap potensi perdarahan
masif. Rekomendasi saat ini untuk penggantian darah dalam situasi trauma
menunjukkan rasio 1:1 PRC : fresh frozen plasma. PRC dan fresh frozen plasma
harus tersedia dalam kamar operasi. Tambahan faktor koagulasi darah dan unit
darah lainnya harus diberikan dengan cepat sesuai dengan kondisi tanda-tanda
vital pasien dan stabilitas hemodinamik pasien.
USG segera pra operasi untuk pemetaan lokasi plasenta dapat membantu
dalam menentukan pendekatan optimal ke dinding perut dan incisi rahim untuk
memberikan visualisasi yang memadai dan menghindari mengganggu plasenta
sebelum pengeluaran janin.
3. Operatif
Secara umum, manajemen yang direkomendasikan untuk kasus yang
dicurigai plasenta akreta yakni direncanakan histerektomi sesarea prematur
dengan plasenta ditinggalkan in situ karena pengeluaran plasenta dikaitkan
dengan morbiditas akibat perdarahan yang signifikan. Namun, pendekatan ini
tidak dapat dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk wanita yang
memiliki keinginan yang kuat untuk kesuburan di masa depan. Oleh karena itu,
manajemen operasi plasenta akreta dapat individual tergantung kasusnya masing
masing.
Pasien ditempatkan di meja operasi dengan posisi modifikasi dorsal
litotomi dengan kemiringan lateral yang kiri untuk memungkinkan penilaian
langsung dari perdarahan vagina, menyediakan akses untuk penempatan paket
vagina, dan memungkinkan tambahan ruang untuk asisten bedah. Karena
prosedur ini diantisipasi akan berkepanjangan, padding dan posisi untuk
mencegah kompresi saraf dan pencegahan dan pengobatan hipotermia adalah
penting. Meminimalkan kehilangan darah sangat penting. Pilihan sayatan harus
dibuat berdasarkan habitus tubuh pasien dan sejarah operasi pasien. Penggunaan
sayatan vertikal linea mediana mungkin dilakukan karena memberikan daerah
cukup jika histerektomi diperlukan. Insisi uterus klasik, sering transfundal,
mungkin diperlukan untuk menghindari plasenta dan memungkinkan
pengeluaran bayi. Ultrasound pemetaan lokas plasenta, baik sebelum operasi
atau intraoperatif, mungkin dapat membantu. Karena positive predictive value
ultrasonografi untuk plasenta akreta berkisar dari 65% hingga 93%, adalah wajar
untuk menunggu pelepasan plasenta spontan untuk mengkonfirmasi plasenta
akreta secara klinis.
Pada umumnya, tindakan manual plasenta harus dihindari. Jika histerektomi
diperlukan, pendekatan standar yakni untuk meninggalkan plasenta in situ,
dengan cepat menggunakan "whip stitch" untuk menutup incisi histerotomi, dan
lanjutkan dengan histerektomi. Sedangkan histerektomi dilakukan dengan cara
biasa, diseksi flap kandung kemih dapat dilakukan relatif lambat, setelah kontrol
jaringan pembuluh arteri uterus tercapai, dalam kasus akreta anterior, tergantung
pada temuan intraoperatif. Kadang-kadang, histerektomi subtotal dapat
dipertimbangkan, namun perdarahan terus-menerus dari leher rahim mungkin
menghalangi managemen ini dan membuat histerektomi total tetap diperlukan.
Ada laporan dari pendekatan alternatif untuk pengelolaan plasenta akreta
yang meliputi pengikatan tali pusat pada fetal surface, mengambil tali pusatnya,
dan meninggalkan plasenta in situ, dengan reseksi parsial plasenta untuk
meminimalkan ukurannya. Namun, hal ini harus dipertimbangkan hanya bila
pasien memiliki keinginan yang kuat untuk kesuburan masa depan serta
stabilitas hemodinamik yang baik, status koagulasi normal, dan bersedia
menerima risiko akibat managemen ini. Pasien harus diberi konseling bahwa
hasilnya ini tidak dapat diprediksi dan bahwa ada peningkatan risiko komplikasi
yang signifikan termasuk histerektomi. Kasus yang dilaporkan dari kehamilan
yang sukses berikutnya pada pasien yang diobati dengan pendekatan ini jarang
terjadi. Pendekatan ini harus ditinggalkan dan histerektomi dilakukan jika
perdarahan yang berlebihan. Dari 26 pasien yang diobati dengan pendekatan ini,
21 (80,7%) berhasil terhindar dari histerektomi, sedangkan 5 (19,3%) pada
akhirnya dilakukan histerektomi. Namun, sebagian besar dari 21 pasien yang
terhindar dari histerektomi tidak memerlukan pengobatan tambahan, termasuk
ligasi arteri hipogastrik, embolisasi arteri, methotrexate, transfusi produk darah,
antibiotik, atau kuretase. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, histerektomi tetap
managemen pilihan untuk pasien dengan plasenta akreta.
Pada kasus dimana perdarahan masih terus berlangsung saat operasi, prosedur
yang dapat kita lakukan yakni:
a. Pelvic artery ligation and ambolization
b. Pelvic pressure packing
c. Aortic compresion and clamping.
4. Postoperatif
Pasien yang menjalani histerektomi untuk plasenta akreta beresiko untuk
mengalami komplikasi pasca operasi yang berhubungan dengan intraoperatif
seperti hipotensi, koagulopati persisten dan anemia, dan operasi
berkepanjangan. Disfungsi ginjal, jantung, dan organ lainnya sering terjadi dan
harus dipikirkan. Sindrom Sheehan (baik transien dan permanen) telah
dilaporkan terjadi akibat perdarahan postpartum yang massif, dan hiponatremia
mungkin merupakan tanda awal. Jika volume besar kristaloid dan produk darah
diberikan saat intraoperatif, pasien juga berisiko untuk terjadi edema paru,
cidera paru akut terkait transfusi, dan / atau sindrom gangguan pernapasan akut.
Perhatian khusus harus diberikan untuk sering mengevaluasi tanda-tanda
vital (tekanan darah, denyut jantung dan laju pernapasan). Output urin harus
diukur melalui kateter urin. Pemantauan vena sentral ,dan penilaian perifer
oksigenasi dengan pulse oksimetri dapat membantu dalam beberapa kasus.
Koreksi koagulopati dan anemia berat dengan produk darah harus dilakukan.
Pasien harus dievaluasi secara klinis untuk potensi kehilangan darah dari luka
sayatan perut dan vagina, dan kemungkinan pendarahan intraabdominal
berulang atau retroperitoneal. Fungsi ginjal harus dievaluasi dan kelainan serum
elektrolit harus dikoreksi. Jika ada hematuria persisten atau anuria,
kemungkinan cedera saluran kemih yang tidak diketahui harus
dipertimbangkan. Mobilisasi awal, dan kompresi intermiten untuk mereka yang
membutuhkan bedrest, dapat mengurangi risiko komplikasi tromboemboli.
DAFTAR PUSTAKA