Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

EPILEPSI

PEMBIMBING
dr. Toety M. Simanjuntak, M.Ked (Neu) Sp.S

DISUSUN OLEH
Jossevalt A. Halawa
Ricky Anderson Sitohang
Robertus Idealistis Bago

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU
MEDAN
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... x

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

LAPORAN KASUS ........................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 60

x
BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada
semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi
terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda
sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.

Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian epidemiologi


tentang epilepsi belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang
dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar
220juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi dan 40% masih
dalam usia reproduksi.

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit yang timbul
secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di masyarakat.
Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang
menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan
stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi.1

Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang
merugikan baik penderita maupun keluarganya.2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
BAGIAN PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT TINGKAT II PUTRI HIJAU MEDAN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 27 tahun
Tanggal lahir : 24 Agustus 1987
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
No RM : 043105
Tanggal Masuk RS : 13 April 2017 / Pukul : 12.00 WIB

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Anamnesis dilakukan pada hari
Jumat, tanggal 21 April 2014 pada pukul 13.10 WIB, di ruang VIII

1) Keluhan Utama
Kejang 3 Jam SMRS

2) Keluhan Tambahan
Sakit Kepala

3) Riwayat Penyakit Sekarang


OS diantar oleh istri dan keluarganya ke Rumah Sakit dengan keluhan kejang yang telah
dialami semenjak 3 jam yang lalu. Awalnya Os duduk di kursi, kemudian tak berapa lama
kemudian os mulai kelojotan dan terjatuh dari kursinya. Menurut pengakuan os saat kejang,
dia tidak bisa mendengar maupun melihat asal suara yang menyebut namanya. Penglihatan
seperti berbayang bayang. Menurut pengakuan istri os saat kejang, seluruh badan os menjadi
2
bergetar namun bagian bdana sebelah kanan lebih aktif bergerak dibanding yang sebelah kiri
dan jeda waktu antar kejang adalah kurang lebih 15 menit dengan durasi kejang di atas 5
menit. Itu terus terjadi sampai os di bawa ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit. Di rumah
sakit kejang terus berlangsung dan jeda antar kejang kurang lebih 5 menit. Dan kejadian
kejang di rumah sakit berlangsung hampir satu hari. Saat di cek kadar gula darah, gula darah
os mencapai 548 mg/dL.

4) Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku tidak memiliki riwayat kejang. Riwayat trauma kepala atau infeksi
sebelumnya disangkal. Pasien memiliki riwayat Diabates Mellitus, penyakit paru serta alergi
obat-obatan di sangkal oleh pasien.

5) Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengakui bawah orangtua memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus namun tidak
mengetahui memiliki riwayat kejang. Kerabat kandung juga diakui tidak memiliki riwayat
pernah kejang.

6) Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku mengkonsumsi Insulin Injeksi Merk Aprida. Namun, saat insulin injeksi
habis dan stok di rumah sakit belum tersedia, maka dokter memberikan Glimepiride 2 mg
hingga stok Aprida tersedia di rumah sakit.

7) Riwayat Kebiasaan
Pasien menyangkal memiliki riwayat kebiasaan merokok maupun minum minuman
beralkohol. Pasien jarang berolahraga.

8) PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis – tampak sakit sedang
Tekanan darah : 120/70 mmHg,
Denyut nadi : 84 x/mnt, isi cukup, irama regular teratur, equal
Frekuensi Nafas : 18 x /mnt
Suhu : 36,3oC
BB : 60 kg
TB : 165 cm

3
B. STATUS GENERALIS
Kepala
- Bentuk : Normochepali, simetri
- Nyeri tekan : (-)
- Rambut : hitam lurus, distribusi merata, allopecia (-)
- Wajah : simetris, pucat (-), ikterik (-), petekie (-)
- Mata : edema kelopak mata (-/-), pupil bulat isokor Ø 2
mm| 2mm, RCL(+/+) RCTL (+/+) konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-),(-/-), ptosis (-/-), lagoftalmus (-
/-)
- Hidung : Simetris , septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (-/-)
- Telinga : Normotia, pendengaran normal, nyeri tekan tragus dan
mastoid (-)
- Lidah : coated tongue (-), papil atrofi (-)
- Tenggorokan : normal, tidak hiperemis, tonsil T1-T1

Leher
 Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
 Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
 Trakhea : Lurus, tidak ada deviasi
 JVP : 5+2 cm H20

Thoraks
 Paru
Inspeksi : Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga
(-), deformitas (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V , 1 cm medial linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung atas : ICS III linea parasternal kiri
Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis kiri
Batas jantung kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicularis

4
sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular , murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen datar, jaringan parut (-)
Auskultasi : bising usus 2x/menit
Palpasi : supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani (+) pada 9 regio abdomen
Ekstremitas
- Atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-)
- Bawah : akral hangat (+/+), oedem (-/-) -

C. STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran : Compos Mntis
2) GCS : E 4 V5 M 6
3) Tanda Rangsang Meningeal
 Kaku kuduk : -
 Brudzinsky 1 : -
 Brudzinsky 2 : -|-
 Laseque : >700 | >700
 Kernig : >1350 | >1350

4) Saraf Kranial

1. N. I (OLFACTORIUS )
Kanan Kiri Keterangan

Daya pembau Dbn dbn Dalam batas normal

2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Dbn Dbn
Lapang pandang Dbn Dbn Dalam batas normal
Pengenalan warna Dbn Dbn

5
3. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran Φ2mm Φ2mm Dalam batas
akomodasi baik baik normal
Refleks pupil
Langsung (+) (+)
Tidak langsung (+) (+)
Gerak bola mata Dbn Dbn
Kedudukan bola mata ortoforia ortoforia

4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dalam batas
Dbn Dbn
normal

5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Dbn Dbn
Sensibilitas
Dalam batas
Opthalmikus Dbn Dbn
normal
Maxilaris Dbn Dbn
Mandibularis Dbn Dbn

6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
Strabismus (-) (-) normal

7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam simetris simetris Dalam batas

6
Mengernyitkan dahi Dbn Dbn normal
Senyum memperlihatkan Dbn Dbn
gigi Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 anterior Tidak Tidak dilakukan
lidah dilakukan

8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Tuli konduktif (-) (-)
Tuli sensorieural (-) (-) Dalam batas
Vestibular normal
Vertigo (-) (-)
Nistagmus (-) (-)

9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris Simetris
Daya perasa 1/3 posterior Dalam batas
lidah Tidak Tidak dilakukan normal
dilakukan

10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris
Simetris
Disfonia - Dalam batas
-
Refleks muntah Tidak normal
Tidak dilakukan
dilakukan

11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh dbn dbn Dalam batas
Mengankat bahu dbn dbn normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
7
12. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik dbn Dbn
Trofi eutrofi Eutrofi Dalam batas
Tremor (-) (-) normal
Disartri (-) (-)

5) SISTEM MOTORIK
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 5555 5555
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-) Dalam Batas
Ekstremitas bawah Normal
Kekuatan 5555 5555
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-)

6) SISTEM SENSORIK
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba baik baik
Nyeri baik baik Dalam batas
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan normal
Propioseptif Tidak dilakukan Tidak dilakukan

7) REFLEKS
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+) (+)
Dalam batas
Triseps (+) (+)
normal
Patella (+) (+)
Achilles (+) (+)
Patologis
8
Hoffman Tromer (-) (-)
Babinski (-) (-) Dalam batas
Chaddock (-) (-) normal
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)

8) FUNGSI KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN


Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan
Jari tangan – jari tangan Baik
Baik
Jari tangan – hidung Baik
Baik
Tumit – lutut Baik
Baik
Pronasi – supinasi Baik
Baik
Romberg test Tidak
Tidak dilakukan
dilakukan

9) Sistem otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Keringat : Baik

10) Fungsi luhur :


Kesadaran Kualitatif : Compos mentis
Ingatan Baru : -
Ingatan Lama : dbn

Orientasi
Diri : dbn
Tempat : dbn
Waktu : dbn
Situasi : dbn
Intelegensia : dbn
Daya Pertimbangan : dbn
Reaksi Emosi : dbn

9
Afasia
Ekspresif : (-)
Reseptif : (-)
Apraksia : (-)
\
Agnosia
Agnosia visual : (-)
Agnosia Jari-jari : (-)
Akalkulia : (-)
Disorientasi Kanan-Kiri : (-)

11) Vertebra : tidak ada kelainan, tidak ada nyeri tekan

10
9) PEMERIKSAAN PENUNJANG ANJURAN

PAsien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Laboratorium (Glukosa darah (ad


random), Darah Rutin, Kimia Klinis), Foto Thorax, Head CT Scan dan EEG.
1. Pemeriksaan Laboratorium
A. Glukosa Ad Random
Tanggal Hasil Nilai Rujukan
13 April 2017 548 < 200mg/dL
14 April 2017 312 < 200mg/dL
15 April 2017 255 < 200mg/dL
16 April 2017 136 < 200mg/dL
17 April 2017 265 < 200mg/dL
18 April 2017 197 < 200mg/dL
19 April 2017 214 < 200mg/dL
21 April 2017 211 < 200mg/dL

B. Kimia Klinis
Tanggal 13 April
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Bilirubin Total 0,39 < 1 mg/dL
Bilirubin Direk 0,10 < 0,3 mg/dL
L < 35 U/L
SGOT 33
P < 31 U/L
L < 45U/L
SGPT 20
P < 34 U/L
Cholesterol Total 267 < 200 mg/dL
HDL Cholesterol 21 > 40 mg/dL
LDL Cholesterol 58 < 100 mg/dL
Trigliserida 940 < 150 mg/dL
Ureum 33 < 50 mg/dL
L < 0,8 – 1,3 mg/dL
Kreatinin 1.5
P < 0,6 – 1,2 mg/dL

11
L < 7 mg/dL
Asam Urat 20,5
P < 5,7 mg/dL

Tanggal 18 April 2017


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Ureum 30 < 50 mg/dL
L < 0,8 – 1,3 mg/dL
Kreatinin 1.0
P < 0,6 – 1,2 mg/dL
L < 7 mg/dL
Asam Urat 5,9
P < 5,7 mg/dL

C. Darah Rutin
Tanggal 13 April 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin L < 13 - 16 g/dL
17,1
P < 12 - 14 g/dL
Hematokrit L < 40 – 48 %
50
P < 37 - 43 %
Leukosit 19.200 5 – 1 . 103 mg/µL
Trombosit 461.000 150-400 . 103 mg/µL

Tanggal 14 April 2017


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin L < 13 - 16 g/dL
14,1
P < 12 - 14 g/dL
Hematokrit L < 40 – 48 %
42,7
P < 37 - 43 %
Leukosit 13.800 5 – 1 . 103 mg/µL
Trombosit 344.000 150-400 . 103 mg/µL

12
Tanggal 20 April 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin L < 13 - 16 g/dL
14,3
P < 12 - 14 g/dL
Hematokrit L < 40 – 48 %
43,8
P < 37 - 43 %
Leukosit 9.100 5 – 1 . 103 mg/µL
Trombosit 402.000 150-400 . 103 mg/µL

D. Elektrolit Darah
Tanggal 13 April 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Natrium 141 135 - 145 mmol/ L
Kalium 4,2 3,5 - 5,5 mmol/ L
Klorida 101 96 – 106 mmol? L

Tanggal 19 April 2017


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Natrium 131 135 - 145 mmol/ L
Kalium 4,4 3,5 - 5,5 mmol/ L
Klorida 107 96 – 106 mmol? L

E. Analisa Gas Darah


Tanggal 13 April 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
pH 7.185 7,35 – 7,45
pCO2 22,9 35 – 45 mmHg
pO2 185,0 83 – 108 mmHg
HCO3 8,8 21 – 28 mmol/ L
CO2 Total 9,5 24 – 30 mmol/ L
Base Excess 17,1 (-2) – 3 mmol/ L
O2 Saturated 99,2 94 – 98 %

13
F. Head CT Scan

Head CT Scan tanpa Kontras, potongan axial dengan ketebalan 10 mm

Hasil
Jaringan Lunak Ekstracalvaria dan os calvaria masih memberikan bentuk dan
densitas yang normal
Sulko Kortikalis, Fissure Sylvii dan fissure interhemisfer tidak melebar
Ruang Arakhnoid tampak Normal
Tidak tampak lesi hipodens/ hiperdens
Sinus paranasal yang terscanning tidak tampak kelainan
Orbuta dan rongga retro orbita tidak tampak kelainan
Mastoid Aircell masih cerah
Conclusion : CT Head Normo Scan
14
G. EEG

Deskripsi
Rekaman dilakukan dalam keadaan sadar tanpa premedikasi
Irama dasar bervoltage rendah-sedang dengan frekuensi 8-13 spd bercampur dengan 14-25 spd
Disaksikan gelombang tajam bervoltage tinggi dan gelombang paku (spike) multiple
HV dan PS tidak menimbulkan perubahan berarti.

Impresi
Kesan EEG Abnormal, sesuai dengan penyakit konvulsi

15
10) DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Fungsional : Kejang Umum
Diagnosis Etiologik : Penyakit Metabolik
Diagnosis Anatomik : Epilepsi Lobus Oksipitalis
Diagnosis Banding : Tetanus Generalisata
Syncope
Diagnosis kerja : Status Epileptikus
.

11) PENATALAKSAAN ( Bagian Neurologi)

- Bed Rest
- IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
- Inj. Phenitoin 1 amp/ 8 Jam atau Phenitoin tab 100 mg 3 x 1
- Metronidazole 500 mg 1 fls/ 8 jam
- Keppra tab 500 mg 2 x 1
- Asam Folat 2 x 1

16
12) FOLLOW UP PASIEN

Hari/ Tanggal S O A P

 DM tipe II + Post - Asam Folat 2x1

Minggu, Sens : CM Hiperglikemia.


- Fenitoin 3x100 g
Kejang (+)
16/04/2017 GCS : 15  Observasi konvulsi
- Lanjut Sesuai terapi Sp,An +
 Retinopati DM Sp,PD

- Inj. Fenitoin 1amp/8jam

Senin, Sens : CM - Keppra 2x500 g


Kejang (+) Status epileptikus
17/04/201 Td : 110/70 mmHg - Asam Folat 2x1

- Konsul Spesialis Mata

- Fenitoin 3x100 g

Sens : CM - Keppra 2x500 g


Kejang (+), Lubang di Status epileptikus +
Selasa, 18/04/201 TD : 139/78 mmHg - Asam Folat 2x1
gigi (+) tetanus generalisata?
HR : 80 x/menit - IVFD Metronidazole fl/8 Jam

- Konsul Gigi

Rabu, Sens : CM Status Epileptikus + - IVFD metronidazole fl/8 jam


Kejang (+)
19/04/201 TD : 110/70 mmHg Tetanu generalisata? - Keppra 2x500 g

17
- Fenitoin 3x100 g

- Asam folat 2x1

- Cek elektrolit

- IVFD Metronidazole fls/8 jam

Sens : CM - Keppra (Leveteracetam) 2x500 mg


Kamis, 20/04/201 Kejang (+) Status epileptikus
TD : 115/70 mmHg - Fenitoin 3x100 mg

- Asam Folat 2x1

- IVFD Metronidazole fl/8 jam

Status Epileptikus + - Keppra (Levetiracetam) 2x500 mg


Jumat, 21/04/201 Kejang (+) Sens : CM
Tetanus Generalisata? - Fenitoin 3x100 mg
TD : 110/70 mmHg
- Asam folat 2x1

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
EPILEPSI

I. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas
pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode).3
Menurut International League Against Epilepsi (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsi (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak
yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang
epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang
berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-
ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-
neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang
tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.4

19
II. EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi. Sekitar
lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih
tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar
50/100.000. sementara di Negara berkembang mencapai 100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan
apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia
lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama,
menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan
kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsi terjadi
sebelum umur 18 tahun.6

III. ETIOLOGI
Etologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi  penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital
pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsi idiopatik, pada
umur 5-6 tahun  disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi  idiopatik, karena birth
trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler
(> 50 th)

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :


A. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita
epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya pada
usia > 3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostik
yang canggih kelompok ini semakin sedikit.

20
B. Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan neuro degeneratif.
C. Epilepsi kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonik.7

IV. KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.

Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3


1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
21
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa
di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan
terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip
dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu
remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik. 3

22
2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-
tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis. Muncul akibat adanya
gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan
biasanya hanya berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran
selama serangan. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. 3
3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot
ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Berupa pergerakan
tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan
tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan
bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa
menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di
menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan
total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya
penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini
jarang terjadi. 3
5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aleh
hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti
sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang sering
asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi
lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.3
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik epilepsi
serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama
beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba
penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak
kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-
klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita

23
tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai
mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan
tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya. 3

3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsi dan sindrom epilepsi adalah :3
1. Fokal / Partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsi with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak – anak
(Kojenikow’s Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsy,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik

2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
24
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena

2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
 Ensefalopati mioklonik dini
 Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
 Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2. Sindrom Spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali(
isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

25
V. PATOFISIOLOGI4
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.

Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

26
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal
ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu
aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal


mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi
menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20
macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan
demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.4

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :


1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang
sebetulnya dapat imunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis
rangsangan berbeda-beda.

27
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja
sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan


epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang
yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel (intraseluler), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium
pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin )
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. 2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat
) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa

28
perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron
saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan
epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang
optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai
macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka
serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang
lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila
lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana
terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan
anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik,
gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau
glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain
damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik,
melalui mekanisme yang sama. 4
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah

29
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion
Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi
rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang
ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial
membran. 4
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-
badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan
istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam
keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron
dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. 4
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. 4

30
Patofisiologi Epilepsi Umum4
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai
usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong”
dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke
normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai
absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan
berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga
terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans
terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium
sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal
aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi
genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (pada tabel
berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial
neonatal convulsions.

31
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6

Kanal Gen Sindroma


Voltage-gated
SCN1A, SCN1B Generalized epilepsies with febrile
Kanal Natrium
SCN2A, GABRG2 seizures plus

Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal convulsions

CACNA1A, CACNB4 Episodic ataxia tipe 2


Kanal Kalsium
ACNA1H Childhood absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Kanal Klorida CLCN2
Epilepsy with grand mal seizure on
awakening
Ligand-gated
Autosomal dominant frontal lobe
Reseptor asetilkolin CHRNB2, CHRNA4
epilepsy
Reseptor GABA GABRA1, GABRD Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium
(natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas
depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada
kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus,
maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti
semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali
dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat
mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan
hipereksitasi pada sel neuron.
Patofisiologi Anatomi Seluler4
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
32
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di
otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak
sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang
biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi
maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa
disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang
selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan
reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap
NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian
neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas
bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor
nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan
terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion
maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jka terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan
listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini
berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal
beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal
sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih
tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.4

VI. GEJALA KLINIS


Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau
satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh

33
dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks.
Serangan dengan pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa dé
jà vu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat di
jelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubuh tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi

b. Kejang parsial kompleks


Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi
yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme. Serangan
yang mnegenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama.
Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak sadar
mengingat waktu serangan.
Gejala Meliputi :
 gerakan seperti mencucur atau mengunyah
 melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam
keadaan seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam

2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.

a. Kejang Absans

34
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.

b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan,
leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang

d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami
deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 -20 detik dan diikuti oleh fase
klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur,
dan peningkatan denyut jantung.

e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang miokolonik namun kejang
terjadi berlangsung lebih lama, biasanya samapai 2 menit

f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami
jatuh akibat hilangnya keseimbangan,

VII. DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung
maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8

35
A. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.8

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:


- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum bangkitan
Kondisi fisik dan psikis yang menginidikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, mnejadi sensitif, dan sebaginya
15

- Pola Saat Bangkitan


mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,
aumatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan
tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, dan lain-lain15
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus seperti kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol. 15
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Kesadaraan pasien saat bangkitan
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

36
B. Pemeriksaan Umum Dan Neurologis
- Pada orang dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari
adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak
putih, dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose.
Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-
Weber. Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-
tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka,
tubuh,ekstrimitas.

C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang
ialah keadaan hipoglikemia, hipokalemia, hipomagnesia, hiponatremia,
hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah
karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat
mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis
susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas,
adanya perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11

37
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan
foto polos kepala.
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.

c. Elektro ensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam /
lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
a. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita
yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan
diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG
38
memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta
memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk
penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi
fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.

Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

VIII. PENATALAKSAAN
Setelah membuat diagnosis yang tepat, hal yang perlu diperhatikan
sebelum menentukan terapi obat anti epilepsi (OAE) adalah berapa besar
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang, berapa besar kemungkinan
terjadinya konsekuensi psikososial, masalah pekerjaa, atau keadaan fisik akibat
bangkitan selanjutnya dan pertimbangkan untung rugi antara pengobatan dan
efek samping yang ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasara terapi,
diagnosis yang kurang tepat dapat menyebabkan terapi yang tidak tepat juga.15

TUJUAN TERAPI

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat


39
hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental yang
dimilikinya. Harapannya adalah “bebas bangkitan tanpa efek samping”. Untuk
tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan
efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian.15

Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

PRINSIP TERAPI FARMAKOLOGI 15

 OAE diberikan bila


- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
- Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
- Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan
pengobatan.
- Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan
efek
samping yang timbul dari OAE.
- Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah dihindari
(misalnya:
alcohol, kurang tidur, stress, dll)
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
jenis bangkitan (Tabel 1) dan jenis sindrom epilepsi (Tabel 4).
 Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping (Tabel 5).
 Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:
- Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
- Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh
kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)
- Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
- Setelah penggantian dosis/regimen OAE
- Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.

 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat


mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila

40
OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
(tappering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama maka
kedua OAE tetap diberikan. Bila respons yang didapat buruk, kedua OAE
hareus diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga
barudilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua tetapi respons tetap
suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE pertama sudah maksimal.15
 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama
 Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:15
- Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
- Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses
otak ensafalitis herpes.
- Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak
- Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
- Riwayat bangkitan simtomatis
- Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti
JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi)
- Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran
stroke, infeksi SSP
- Bangkitan pertama berupa status epileptikus
 Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 7), demikian pula halnya dengan
profil farmakologis tiap OAE (Table 8) dan interaksi farmnakokinetik antar-
OAE (Tabel 9)
 Strategi untuk menceghah efek samping:
- Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
- Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu
pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.

JENIS OBAT ANTIEPILEPSI DAN MEKANISM E KERJANYA

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping
OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE.

41
Tabel 4 Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan 13,14

OAE Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan Bangkitan


FOkal umum tonik lena mioklonik
sekunder klonik

Phenytoin +(A) +(A) +(C) - -

Carbamazepine +(A) +(A) +(C) - -

Valproic Acid +(B) +(B) +(C) +(A) ?+(D)

Phenobarbital +(C) +(C) +(C) 0 ?+

Gabapentin +(C) +(C) ?+(D) 0 ?-

Lamotrigene +(C) +(C) +(C) +(A) -

Topiramate +(C) +(C) +(C) ? ?+D

Zonimaside +(A) +(A) +(A) ?+ ?+

Levetiracetam +(A) +(A) ?+(D) ?+ ?+

Oxcacarbamazepine +(C) +(C) +(C) - -

Clonazepam +(C) - - - -

Level of confidence:
A: efektif sebagai monoterapi;
B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi;
C: mungkin efektif sebagai monoterapi;

D: berpotensi untuk efektif sebagi monoterapi

42
Tabel 5. OAE Berdasarkan Sindroma Epilepsi
Dapat Memperburuk
Sindrom Epilepsi Lini Petama OAE TAmbahan Lini Ketiga
Bngkitan
Karbamazepin,
Klobazam, Gabapentin,
Etosuksimid (A) Etosuksimit, Lamotrigin, Klonazapam, Okskarbazepin,
Chilhood Absence Epilepsy (CAE) atau
Lamotrigin (C) Sodium Valproat Levetirasetam, Fenitoin,
sindrom absas lainnya
Sodium Valproat (A) Topiramat, Pregabalin,
Zonisamid Tiagabin,
Vigabatrin
Karbamazepin,
Klobazam,
Gabapentin,
Etosuksimit, Lamotrigin, Sodium Klonazapam,
Juvenile Absance Epilepsy (JAE) atau Etosuksimit, Lamotrigin, Okskarbazepin, Fenitoin,
valproat Levetirasetam,
sindrom absans lainnya Sodium Valproat Pregabalin,
Topiramat,
Tiagabin,
Zonisamid
Vigabatrin
Lamotrigin, Klobazam, Karbamazepin, Gabapentin,
Levetirasetam,Sodium Valproat Lamotrigin, Levetirasetam, Klonazapam, Levetirasetam, Okskarbazepin, Fenitoin,
Juvenile Myoclonic Epilepsy (JME) (D), Sodium Valproat, Topiramat Topiramat, Pregabalin,
Topiramat (D), Zonisamid Tiagabin,
Vigabatrin
Karbamazepin, Gabapentin,
Epilepsy dengan Bangkitan umum tonik Klobazam, Lamotrigin, Okskarbazepin, Fenitoin,
Karbamazepin, Lamotrigin,
klonik saja Levetirasetam, Sodium Pregabalin,
Oksarbazepin, Sodium Valproat
Valproat, Topiramat Tiagabin,
Vigabatrin
Lamotrigin, Klobazam,
Epilepsi umum idiopatik Lamotrigin, Levetirasetam,
Sodium Valproat, Topiramat Klonizepam,
Sodium Valproat, Topiramat
Zonisamid
Rujuk ke ahli Neuropedriati,
Spasme infantil yang tidak disebabkan
Steoid (Prednisolon Atau
sklerosis tuberous
Tetrakosasid atau Vigabatrin)

43
Rujuk Ke ahli neuropedriati,
Spasme Infantile Yang disebabkan vigabatrin atau Steroid
Sklerosis Tuberous (Prednisolon, Atau
Tetrakosasid),
Esilkarbazepin Asetat,
Karbamazepin, Lakosamid,
Karbamazepin (C), Lamotrigin, Klobazam (C), Lamotrigin, Fenobarbital,
Epilepsi Benigna dengan gelombang
Levetirasetam (D), Gabapentin, Fenitoin,
paku di daerah sentrotemporal (Benign
Okskarbazepin, Levetirasetam , Okskarbazepin Pregabalin,
Epylepsy With Centrotemporal Spikes)
Sodium Valproat (C) (D), Sodium Valproat (C), Tiagabin,
Topiramat Vigabatrin,
Zonisamid
Esilkarbazepin Asetat,
Karbamazepin, Klobazam, Lakosamid,
Karbamazepin , Lamotrigin, Lamotrigin, Fenobarbital,
Levetirasetam, Okskarbazepin, S Gabapentin, Fenitoin,
Sindrom Panaynotopoulus
odium Valproat. Levetirasetam , Pregabalin,
Okskarbazepin, Tiagabin,
Sodium Valproat, Topiramat Vigabatrin,
Zonisamid
Esilkarbazepin Asetat,
Karbamazepin, Klobazam, Lakosamid,
Karbamazepin , Lamotrigin, Lamotrigin, Fenobarbital,
Late Onset Chilhood Occipital epilepsy Levetirasetam, Okskarbazepin, S Gabapentin, Fenitoin,
(tipe Gastaut). odium Valproat. Levetirasetam , Pregabalin,
Okskarbazepin, Tiagabin,
Sodium Valproat, Topiramat Vigabatrin,
Zonisamid
Karbamazepin, Gabapentin,
Rujuk ke ahli Neuropedriati, Lamotrigin, Okskarbazepin,
Sindrom Dravet Klobazam, Sripentol
Sodium Valproat, Topiramat Fenitoin,
Pregabalin,
Tiagabin,

44
Vigabatrin
Epilepsi dengan Gelombang paku kontinu Rujuk ke ahli Neuropedriati
selama tidur dalam (Continous spike and
wave during Sleep)
Karbamazepin, Gabapentin,
Lamotrigin, Okskarbazepin,
Sindrom Lennogastaut Rujuk ke ahli Neuropedriati
Lamotrigin Felbamat, Rufinamid, Fenitoin,
Topiramat Pregabalin,
Tiagabin,
Vigabatrin
Sindrom Landau kleffner Rujuk ke ahli Neuropedriati

Epilepsi Astatik Mioklonik Rujuk ke ahli Neuropedriati

45
Tabel 6. Dosis OAE untuk Dewasa

Dosis
Dosis Awal Jumlah Dosis Per Waktu Tercapainya
OAE Rumatan Titrasi OAE
(Mg/Hari) Hari Steady State (hari)
(Mg/Hari)
2-3x
Carbamazepine 400-600 400-1600 Mulai 100/200 mg/hari ↑ sampai target 1-4 minggu 2-7
untuk yg CR 2x)
Phenytoin 200-300 200-400 1-2x Mulai 100 mg/hari ↑ sampai target 3-7 hari 3-15
2-3x
Valproic Acid 500-1000 500-2500 (Untuk yg CR 1- Mulai 500mg/hari ↑bila perlu setelah 7 hari 2-4
2x)
Mulai 30-50mg malam hari ↑bila perlu setelah 5-10
Phenobarbital 50-100 50-200 1x 8-30
hari
Clonazepam 1 4 1 atau 2 2-10
Mulai 10mg/hari bila perlu ↑ 20 mg/hari setelah 1-2
Clobazam 10 10-30 1-2x 2-6
minggu
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x Mulai 300 mg/hari ↑ sampai target 1-3 minggu 2-4
Mulai 500/ 1000mg/hari ↑bila perlu setelah 2
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2x 2
minggu
Topiramate 100 50-200 2x Mulai 25mg/hari ↑ 25-50 mg/hari tiap 2 minggu 2-5

Gabapentine 900-1800 900-3600 2-3x Mulai 300-900mg/hari ↑sampai target 5- 10 hari 2


Mulai 25mg/hari selama 2 minggu↑ sampai 50
Lamotrigine 50-100 50-200 1-2x 2-6
mg/hari selama 2 minggu, ↑ 50mg/2 minggu
Zonimasid 100-200 100-400 1-2x Mulai 200-400mg/hari ↑sampai 2 minggu 7-10

Pregabalin 50-75 50-600 2-3x 1-2

46
47
Tabel 7 Efek Samping OAE

OAE Efek Samping yang mengancam Jiwa Efek Samping Minor


Dizzines, ataksia, diplopia, mual, kelelahan, agranulositosis, leukopenia, trombositopenia,
Anemia aplastik, hepatotoksisitas, SJS,
Carbamazepine hiponatremia, ruam, gannguan perilaku, tiks, peningkatan berat badan, disfungsi seksual, disfungsi
Lupuslike syndrome
hormon tiroid, neuropati perifer .
Hipertrofi gusi, hirsurtisme, ataksia, nistagmus, diplopia, ruam, anoreksia, mual, Macroxytosis,
Phenytoin Anemia aplastik, gangguan fungsi hepar, SJS neuropati perifer, agranulositosis, trombositopenia, disfungsi seksual, disfungsi serebellar, penurunan
absorpsi kalsium pada usus.
Hepatotoksik, Gangguan Jaringan Ikat dan Mengantuk, ataksia, nistagmus, ruam kulit, depresi, hiperaktif (pada anak), gangguan belajar (pada
Phenobarbital
sumsum tulang, SJS anak), disfungsi seksual.

Hepatotoksisitas, hiperamonemia, leukopeni, Mual, muntah, rambut menipis, tremor, amenore, peningksatan berat badan, konstipasi, hirsustisme,
Valproate
trombositopenia, pankreatitis alopesia pada perempuan, POS (Polycystic Ovarii Syndrome),

Mual, nyeri kepala, Dizzines, Kelemahan, mengantuk, gangguan perilaku, agitasi, ansietas,
Levetiracetam Belum diketahui
trombositopenia, leukopenia

Gabapentine Teratogenik Somnolen, kelelehan, ataksia, Dizzines, Peningkatan berat badan, gangguan perilaku (pada anak).

SJS, Gangguan Hepar Akut, Kegagalan multi Ruam, Dizzines, Ataksia, tremor, diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala, mual muntah, insomnia,
Lamotrigine
organ, teratogenik trombositopenia, nistagmus, truncal ataxia, tics.
Dizzines, ataksia, nyeri kepala, nyeri kepala, mual ,kelelahan, hiponatremia, insomnia, tremor,
Oxcarbazepine Ruam, teratogenik,
disfungsi visual.

Batu Ginjal, Hipohidrosis, gangguan fungsi Gangguan kognitif, kesulitan menemukan kata, dizziness, ataksia, nyeri kepala,kelelahan, mual
Topiramate
hepar, teratogenik penurunan berat badan, paresthesia, glukoma

Batu Ginjal, hipohidrosis, anemia aplastik, Mual, nyeri kepala, dizzines, kelelahan, patresthesia, ruam, gangguan, berbahasa, glaukoma, letargi,
Zonimaside
skin rash. ataksia

Pregabalin Belum Pasti Peningkatan Berat Badan.

48
Tabel 8. Profil Farmakologi untuk OAE

Ikatan dengan Waktu Paruh


OAE Mekanisme Kerja Arbsorpsi Rute ELiminasi
Protein (%) (Jam)
Menghambat Kanal Sodium (inaktivasi
Karbamazepin Lambat (76-80) 70-80 24-45 (tunggal) Metabolisme aktif di hati
cepat)
Bersifat GABA- ergik
Klobazam Cepat (90-100) 87-90 10-40 Metabolisme aktif di hati
(membuka kanal Klorida)
Bersifat GABA- ergik
Klonazepam Cepat (90-100) 80-90 30-40 Metabolisme di hati
(membuka kanal Klorida)
Metabolisme di hati 25%
Etosuksimid Menghambat Kanal Kalsium Cepat (95-100) -0 20-60 dan diekskresikan dalam
bentuk asli
Metabolisme di hati 25%
Bersifat GABA- ergik
Fenobarbital Lambat (95-100) 48-54 722-144 dan diekskresikan dalam
(memperpanjang terbukanya kanal Klorida)
bentuk asli
Menghambat Kanal Sodium (inaktivasi
Fenitoin Lambat (85-90) 90-93 9-40 Metabolisme di hati
secara cepat)
Metabolisme di hati 40%
Bersifat GABA- ergik
Primidon* Cepat (90-100) 20-30 4-12 dan diekskresikan dalam
(memperpanjang terbukanya kanal Klorida)
bentuk asli
Valproat Mekanisme yang bervariasi Cepat (100) 88-92 7-17 Metabolisme di hati
Metabolisme di hati
Felbamat* Mekanisme yang bervariasi Lambat (95-100) 22-36 13-23
Ekskresi di Ginjal
Tidak Metabolisme
Gabapentin Menghambat Kanal Kalsium Lambat (60) 0 6-9
Ekskresi di Ginjal
Metabolisme di hati
Menghambat Kanal Sodium (inaktivasi
Lakosamid* Cepat (95-100) <15 13 40% diekskresikan dalam
secara lambat) ikatan dengan CRMP2
bentuk asli
49
Lamotrigin Menghambat Kanal Sodium Cepat (95-100) 55 22-36 Glukoronidasi
Hidrolisis non hepatic
Levetirasetam Berikatan dengan reseptor SV2A Cepat (95-100) <10 7-8
Ekskresi di Ginjal
Menghambat Kanal Sodium (inaktivasi Konversi di hepar menjadi
Okskarbazepin Cepat (95-100) 40 8-10
secara cepat) metabolit aktif
Pregabalin Menghambat Kanal Kalsium Cepat (90-100) 0 6 Ekskresi di Ginjal
Menghambat Kanal Sodium (inaktivasi Metabolisme di hati
Rutinamid Lambat 34 6-10
Lambat)
Bersifat GABA- ergik Metabolisme di hati
Tiagabine* Cepat (95-100) 96 5-9
(menghambat recuptake sinaps GABA) Ekskresi di ginjal
Metabolisme di hati
Topiramat Mekanisme yang bervariasi Lambat (80) 9-17 20-24
Ekskresi di ginjal
Bersifat GABA- ergik Tidak dimetabolisme
Vigabatrin* Lambat (60-80) 0 5-7
(menghambat transaminase GABA) Ekskresi di ginjal
Metabolisme di hati
Zonisamid Mekanisme yang bervariasi Cepat (95-100) 40-60 50-68
Ekskresi di ginjal

50
PENGHENTIAN OAE15
Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-
5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60%
pasien. Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitusyarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
1. Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal
2. Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.
3. Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan
4. Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang
bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut:15
1. Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
2. Epilepsi simtomatis
3. Gambaran EEG yang abnormal
4. Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
5. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom
6. epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25%
pada epilepsi lena masa anak kecil,25-75%, epilepsi parsial
kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME.
7. Penggunaan lebih dari satu OAE.
8. Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan lebih
kecil
pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari
lima tahun).15
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali.
Rujukan ke spesialis epilepsi perlu ditimbangkan bila:15
1. Tidak responsif terhadap 2 OAE pertama
2. Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi
51
3. Berencana untuk hamil
4. Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.

TERAPI TERHADAP EPILEPSI RESISTEN OAE


Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah mencoba dua
OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis ( baik sebagai monoterapi atau
kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan.15
Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi resisten OAE.15
Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup hal-hal sebagai beriku:15
1. Kombinasi OAE
2. Mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure)
3. Terapi bedah
4. Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis.

TERAPI NON FARMAKOLOGIS


1. Stimulasi N.Vagus15
- Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang
epilepsi refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat
operasi. Dapat digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum.
2. Deep Brain Stimulation
3. Diet ketogenik8
4. Intervensi Psikologi
- Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback

Tabel 9. Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsi resisten OAE
Kombinasi OAE Indikasi
Sodium Valproat+etosuksimid Bangkitan Lena
Karbamasepin+sodium valproat Bangkitan parsial/ kompleks
Sodium Valproat+Lamotrigin Bangkitan parsial/ Bangkitan umum
Topiramat+Lamotrigin Bangkitan parsial/ Bangkitan umum

IX. STATUS EPILEPTIKUS


Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau
adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat

52
pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus
dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE
merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi
segera guna menghentikakn bangkitan ( dalam waktu 30 menit). Dikenal dua tipe
SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat
bangkitan motorik).

Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif


Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau
bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.

Definisi Operasiona Status Epileptikus Non Konvulsif


Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan
elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis
nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau awareness
SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent seizures), yaitu bangkitan tonik klonik
yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.

KLASIFIKASI STATUS EPILEPTIKUS


a. Berdasarkan klinis:
- SE fokal
- SE general
b. Berdasarkan durasi:
- SE Dini( 5-30 menit)
- SE menetap/ Established(>30 menit)
- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )
c. Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:
- SE-NK Umum
- SE-NK fokal

PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS KONVULSIF


1. Pengeloaan sebelum sampai di RS
Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang
53
utama selama diperjalanan menuju rumah sakit.
Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:15
Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan
konvulsivus.
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital
lain.
Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan
obat tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE
yang digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila
phenitoin atau Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis
rumatan dapat diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat
dalam serum. OAE rumatan laindapat diberikan dengan dosis loading peroral.
Bila pasien sudah bebas bangkitan selala 12-24 jam dan terbukti kadar obat
dalam plasma adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan.15

54
Tabel 10. Protokol penanganan status epileptikus konvulsif15
Pemeriksaan Umum
Stadium I (01-10 menit) SE Dini
1. Pertahankan Patensi Jalan Napas dan resusitasi
2. Berikan Oksigen
3. Periksa Fungsi Kardiorespirasi
4. Pasang infus
5. Stadium II (01-30 menit)
6. Monitor Pasien
7. Pertimbangkan kemungkinan non epileptik
8. Terapi antiepilepsi emergensi
9. Pemeriksaan emergensi
10. Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada kecurigaan
penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi
11. Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat
Stadium III (0-60 menit) SE Menetap
1. Pastikan etiologi
2. Siapkan untuk rujuk ke ICU
3. Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan
Stadium III (0-60 menit)
1. Pindah ke ICU
2. Perawatan intensif dan monitor EEG
3. Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan Emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, darah
lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi bila
penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi kemungkinan
aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan otak dan dan
pungsi lumbal
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah, dan
kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi
bersama ahli neurologi.

55
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan
kemungkinankan status epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter,
tujuan utama adalah supresi aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah
munculnya pola burst suppression.

Tabel 11. OAE untuk Status Epileptikus Konvulsif15

Stadium premonitor Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit kemudian bila
(sebelum ke RS) kejang masih berlanjut, atau midazolam 10 mg diberikan intrabuccal(
belum tersedia di Indonesia. Bila bangkitan berlanjut, terapi sebagai
berikut.
Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg bolus,
SE Dini diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah pernah mendapat
terapi OAE
SE Menetap Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan pemberian 50
mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital 10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan
pemberian 100 mg/menit.
Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:
- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10 mg/kg/jam dititrasi
naik sampai SE terkontrol
- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-0,5 mg/kg/jam
SE Refraktera
dititrasi naik sampai SE terkontrol
- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5 mg/kg/jam
dititrasi naik sampai terkontrol
Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan karena saturasi
pada lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau
ektrografis terakhir, kemudian dosis diturunkan perlahan
a
Anastesi umum dilakukan 60/90 menit setelah terapi awal gagal

STATUS EPILEPTIKUS NON KONVULSIF


1. Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE
2. Dapat dibagi menjadi SE lena, SE Parsial kompleks, SE nonkonvulsivus pada
penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan gangguan belajar
3. Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacam macam sesuai
jenis bangkitan

56
Tabel 12. Terapi SE pada non Konvulsif
Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain
SE Lena Benzodiazepin I.V./ ora Valproate i.v
Lorazepam/Phenytoin/
SE Parsial Kompleks Clobazam oral
Phenobarbital i.v
Benzodiazepine
Lamotrigine, topiramate,
SE Lena Atipikal Valproate oral
methylphenidate,
steroid oral
SE Tonik Lamotrigine oral methylphenidate, steroid
Anestesia dengan
SE nonkonvulsivus pada Phenytoin I.V atau
thiopentone, Phenobarbital,
penyandang koma Phenobarbital
propofol atau midazolam

DOSIS OAE PADA SE NON KONVULSIF


SE Lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena: diazepam 0,2-0,3
mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-anak) atau lorazepam 0,07
mg/kg(0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif,
mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat intravena. Pada epilepsi lena pada anak, terapi
rumatan dengan valproat atau ethosuximide diberikan setelah status terkontrol. Kondisi ini
sering disebabkan oleh putus obat( khususnya obat psikotropik atau benzodiazepine),
dan dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam intravena. Terapi rumatan jangka
panjang biasanya tidak diperlukan.
SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine. Terdapat kontroversi
tentang perlunya pemberian intravena pada kasus ini, pada kebanyakan kasus terapi oral
member hasil yang cukup baik. Beberapa rekomendasi terapi SE-NK dapat dilihat pada
tabel 13.

57
Tabel 13. Dosis Obat pada SE Non Konvulsif

Obat Dosis
LINI PERTAMA
Lorazepam <60 th 4 mg i.v Ulangi 1x
60-80 th 2 mg i.v Ulangi 1-3x
>80 th 1 mg i.v Ulangi s/d 5x
Clonazepam <60 th 1 mg i.v Ulangi 1-2x
60-80 th 0,75 mg i.v Ulangi 1-3 x
>80 th 0,50 mg i.v Ulangis/d 3x
Midazolam <60 th 5 mg i.v Ulangi bbrp kali bila perlu
60-80 th 2 mg i.v Ulangi bbrp kali bila perlu
>80 th 1 mg i.v Ulangi bbrp kali bila perlu
Diazepam <60 th 10 mg i.v Ulangi 1-2x
60-80 th 5 mg i.v Ulangi 1-3x
>80 th 2,5 mg i.v Ulangi s/d 5x
LINI KEDUA
Fenitoin
Bolus 15-18mg/Kg
Kec. 50 mg.menit
Tiap 12 jam, mulai 6 jam
<70 th 150 mg i.v
setelah loading
Tiap 12 jam, mulai 6 jam
Rumatan 70-90 th 175 mg i.v
setelah loading
Tiap 12 jam, mulai 6 jam
>90 th 200 mg i.v
setelah loading
Asam Valproat
Bolus 30-45 mg/Kg i.v. dalam 30
<60 th
menit
20-30 mg/Kg i.v. dalam 30
60-80 th
menit
15-25 mg/Kg i.v. dalam 30
>80 th
menit
Rumatan Mulai dengan dosis yang
sama dengan loading
setelah 24 jam

58
Levetiracetam
Bolus 25-30 mg/Kg i.v. dalam 30
<60 th
menit
15-25 mg/Kg i.v. dalam 30
60-80 th
menit
10-20 mg/Kg i.v. dalam 30
>80 th
menit
Rumatan 1000-1500 mg/Kg i.v./ 12
<60 th
jam
750-1000 mg/Kg i.v./ 12
60-80 th
jam
>80 th 500-750 mg/Kg i.v./ 12 jam
LINI KETIGA
Midazolam (100-)300-600 (-400) µg/ menit
Propofol (100-)300-600 (-100) mg/ jam
(+ midazolam atau Lorazepam)
Thiopental
Bolus Ulangi 1x setelah 20-30
1,5-2 mg/Kg
menit
Rumatan 3-4 mg/Kg/jam
LINI KE EMPAT
Lidokaine IV
Bolus 1,5-2 mg/Kg
Rumatan 3-4 mg/Kg/jam
Ketamine IV
Bolus 0,7-2 mg/Kg
Rumatan 2-6 mg/Kg/jam
Isoflurans Inhalasi
Bolus 0,5 (-3 %) dari volume end
tidal
Rumatan 0,8-2 % dari volume end
tidal
Topiramate
100-400 mg/Kg Tiap 12 jam
Oral
Tiap 12 jam
600-1200 mg/Kg
Pantau kadar Natrium

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Accessed on April 22th 2017 :


http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
12. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita
Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005. p119-127.
13. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).
Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.
14. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,PediatricNeurol
ogy: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
15. Accessed on April 22th 2016:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
16. Accessed on February 22th 2014: http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
17. Accessed on April 22th 2017 :
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-pada-
anak-2
18. Shorvon SD. Handbook OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in Children
and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005
19. Price and Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Penyakit. Ed. 6. Jakarta :
EGC
20. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
21. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 200515.PERDOSSI. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
22. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat;
2009.p.439.
23. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta
: Balai
Penerbit FKUI; 2005.
24. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006
25. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Edisi ke 5. Surabaya : Airlangga Unioversity Press

60

Anda mungkin juga menyukai