Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt karena berkat rahmat Nya penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan.Makalah ini merupakan makalah Ushul Fiqih yang membahas mengenai
Pengertian ,Objek, Tujuan, Ruang Lingkup, Perbedaannya dan Perkembangan Ushul Fiqih
.Secara khusus pembahasan dalam makalah ini diatur sedemikian rupa sehingga materi yang
disampaikan sesuai dengan mata kuliah. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak
sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam
penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua,
sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi . oleh karena itu kami mengucapkan
terimakasih kepada:

1. Bapak dosen mata kuliah USHUL FIQIH yang telah memberikan tugas,
petunjuk, kepada kami sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas makalah ini.

2. Orang tua, teman dan kerabat yang telah turut membantu, membimbing,
dan mengatasiberbagai kesulitan sehingga tugas makalah ini selesai.

Kami sadar, bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Untukitu kami
meminta maaf apabila ada kekurangan. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca guna meningkatkan kualitas makalah penulis selanjutnya. Kebenaran dan
kesempurnaan hanya Allah-lah yang punya dan maha kuasa .Harapan kami, semoga makalah
yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat tersendiri bagi generasi muda islam yang
akan datang, khususnya dalam bidangUshul Fiqih.

Banjarmasin, 20 Februari 2015

Kelompok I

Daftar Isi

KATA PENGANTAR
Daftar Isi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Masalah

BAB II

PEMBAHASAN

A..................................................................................................................... Pengertian Ushul


Fiqih

B................................................................................................................. Objek Kajian Ushul


Fiqih

C....................................................................................................... Tujuan dan Manfaat Ushul


Fiqh

D................................................. Ruang Lingkup Ushul Fiqih Dan Perbedaan Fiqih dan Ushul
Fiqih

E. Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penutup

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqihadalah dalil-dalil
yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. Ushul fiqih juga membahas
bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dali, seperti kaidah mendahulukan hadits
mutawatir dari hadits ahad dan mendahulukan nash dari zhahir. Dari definisi di atas, terlihat
jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis besarnya ada tiga: Sumber
hukum dengan semua seluk beluknya. Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode
penggalian hukum dari sumbernya.Persyaratan orang yang berwewenang melakukan
istinbath dengan semua permasalahannya. Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh
adalah ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci
agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil
itu.

Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman
Rasulullah SAW. sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu
pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua, yaitu
al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu turunnya
waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka
beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan
hadits atau Sunnah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ushul Fiqih ?

2. Apa saja Objek yang dipelajari dalam Ushul fiqih ?

3. Apa Tujuan Mempelajari Ushul Fiqih ?

4. Apa saja Ruang lingkup Ushul Fiqih ?

5. Apa perbedaannya antara fiqih dengan Ushul fiqih ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Ushul Fiqih.

2. Untuk mengetahui Objek yang dipelajari dalam Ushul Fiqih.

3. Mengetahui tujuan Mempelajari Ushul Fiqih.

4. Mengetahui Ruang lingkup ushul Fiqih.

5. Mngetahui dan dapat Membedakan antara fiqih dan Ushul Fiqih.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ushul Fiqih

Ushul fiqih terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai arti cukup luas, yaitu ushul
dan fiqih. Dalam bahasa arab kata ushul merupakan jama’ dari Ashal yang artinya fondasi
sesuatu.Sedangkan fiqih berarti pemahaman secara mendalam yang membutuhkan
pergerakan potensi akal atau ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang
berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang
diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam .

Secara termonologi, kata Ashl mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut:

1. Dalil (landasan hukum) seperti ungkapan para ulama ushul fiqih: “ Ashl dari wajibnya
shalat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul.” Maksudnya. Yang menjadi dalil kewajiban
shalat adalah ayat Al-qur’an dan Sunnah.

2. Qaidah (dasar fondasi) seperti sabda Rasul saw.

Artinya :

“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”

3. Rajah (yang terkuat) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih :

Artinya :

“Yang terkuat dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.”

Maksudnya setiap perkataan yang didengar/dibaca yang menjadi patokan adalah makna
hakikat dari perkataan itu.

4. Far’un (cabang) seperti ungkapan para ahli ushul fiqih:

Artinya :
“Anak adalah cabang dari ayah.”

5. Kaidah lainnya :

Artinya :

“Larangan itu mengandung keharaman.”

Definisi ushul fiqih :

Menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqih adalah dalil-dalil
yang bersifat ijmali (global) seperti kehujjahan ijma’ dan qiyas. ushul fiqh adalah pengertian
tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum
fiqih”. Ushul fiqih juga membahas bagaimana cara mengistinbathkan hukum dari dalil-dali,
seperti kaidah mendahulukan hadits mutawatir dari hadits ahad dan mendahulukan nash dari
zhahir.

B. Objek Kajian Ushul Fiqih

Dari definisi di atas,terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis
besarnya ada tiga:

1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.

2. Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari

sumbernya.

3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua


permasalahannya.

Sementara itu,Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:

1. Sumber-sumber hukum syara’baik yang di sepakati seperti Al-Qur’an dan sunah,maupun


yang di perselisihkan,seperti istihsan dan maslahah mursalah.

2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan
ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat dengan ayat
atau sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan pengomromian (Al-Jam’u’wa At-
taufiq).meguatkan salah satu (tarjih),pengguguran salah satu atau kedua dalil yang
bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain)

4. Pembahasan hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya,baik yang


bersifat tuntutan,larangan,pilihan atau keringanan (rukhsah).Juga di bahas tentang
hukum,hakim,mahkum alaih (orang di bebani) dan lain-lain.

5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam mengistinbath hukum dan cara
menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi, 1:9,Al-Juhaili:23)

C. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh

Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh adalah ialah untuk dapat menerapkan
kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-
hukum syara’ yang bersifat ‘amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul
serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung
didalamnya.Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan
ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan tersebut.

Memang dengan metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara
dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab fiqh. Lantas untuk apa lagi, ushul fiqh itu
bagi umat yang datang kemudian ? dalam hal ini adadua maksud mengetahui ushul fiqh itu.

Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama
terdahulu, maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin
ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu,maka kita dapat mencari jawaban
hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan
ulama terdahulu itu.

Kedua, bila kita mengadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab
fiqh,tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya
perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin
merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang
menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang
memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah
ataumenetukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara
baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara
baik dalam ilmu ushul fiqh.

D. Ruang Lingkup Ushul Fiqih dan Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih

1. Ruang Lingkup Ushul Fiqih

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih ,maka
Muhammad Al-Zuhaili (seorang ahli fiqih dan ushul fiqih dari syariah) mengatakan bahwa
yang menjadi objek pembahasan ushul fiqih yang dapat membedakan dengan kajian fiqih
adalah sebagai berikut:

1. Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’,
baik yang disepakati (seperti kehujjahan AL-Quran dan Sunah), maupun yang
diperselisihksn (seperti kehujjahan istihsan dan maslahah al-mursalah).

2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan, baik
melaluial-jam’u wa al-taufiq (pengompromian dalil ),tarikh (penguatan salah satu dari dalil
yang bertentangan), nash atau tasaqutal-dalilain (pengguguran kedua dalil yang
bertentangan).Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan
hadis dengan pendapat akal.

3. Pembahasan ijtihad, sayarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya


(mujtahit), baik syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus
dimiliki mujtahid.

4. Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-


macamnya , baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan , memilih antara berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab
syarat, mani,’, sah, batal/fasad, azimah, dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga
dibahas tentang pembuat hukum (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum ‘alaih,
ketetapan hokum dan syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.

5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang


digunakan dan cara menggunakannya dalammengistinbatkan hokum dari dalil-dalil, baik
melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh
suatu nash (ayat atau hadis).

Dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan kedalamnya beberapa kasus tertentu
seperti amar,,nahi, ‘am, mutlaq, ijma’, dan qiyas.

Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk kedalamnya beberapa macam,
seperti wajib, haram, sah, batal, dan sebagainya Wajib dinamakan hukum kulli karena
kedalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib,umpamanya,wajib
memenuhi janji, wajib mengadakan saksi dalam perkawinan. Haram adalah
hukum kulliyang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan, seperti
haram berbuat zina, haram menuduh berbuat zina,haram mencuri, haram membunuh, dan
sebagainya.

Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i ,namun yang mereka bahas adalah dalil dan
hukum kulli yang diletakkan dalam kaidah umum yang dapat diterapkan oleh para fuqaha
pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun
yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i .

2. Perbedaan Fiqih dan Ushul Fiqih

Dari ta’rif fiqih dan ushul fiqih diatas maka dapat disimpulkan bahwa fiqh itu adalah
mempelajari dan mengetahui hukum-hukum syari’at agama islam, sedangkan ushul fiqih
adalah kaidah-kaidah yang dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan perbuatan-perbuatan
manusia yang di kehendaki oleh fiqih.

Ushul fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya selalu
dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang di beri status hukum.
Walaupun ada titik kesamaan yaitu keduanya merujuk kepada dalil, namun konsentrasinya
berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan
suatu hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil pohon yang dapat melahirkan buah,
sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.

Ilmu fiqih adalah merupakan prodok dari ushul fiqih.Ilmu fiqih berkembang karena
berkembangnya ilmu ushul fiqih. Ilmu fiqih akan bertambah maju manakala ilmu ushul fiqih
mengalami kemajuan, karena ilmu ushul fiqih adalah semacam ilmu alat yang menjelaskan
metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan dalil-dalil terperinci.[1]

Ilmu ushul fiqih adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam-macam ketentuan dan
kaidah, sehingga diperoleh ketetapan hukum syara’ yang harus diamalkan manusia.Untuk
memudahkan pemahaman masalah ini, kami kemukakan seperti contoh tentang perintah
mengerjakan sholat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 78 sebagai berikut:

‫أقم الصالة لدلوك الشمش إلى غسق اليل وقرآن الفجر إن قرآن الفجر مشهودا‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula) shalat subuh, Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.[2]

Sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

‫صلوا كما رأيتموني أصلي‬

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”.( H.R. Muttafaqun alaihi )[3]

Dari firman Allah dan hadits Nabi diatas belum dapat diketahui, apakah hukumnya
mengerjakan shalat itu, wajib, sunat, atau harus. Dalam masalah ini ushul fiqih memberikan
dalil bahwa hukum perintah atau suruhan itu asalnya wajib, terkecuali adanya dalil lain yang
memalingkannya dari hukumnya yang asli itu. Hal ini dapat dilihat dari kalimat perintah atau
amar mengenai mengerjakan shalat bagi penganut agama islam.

‫األصل فى األمر للوجوب‬

“Pokok dalam perintah ( amar ) menunjukkan ( yaitu wajib perbuatan yang diperintahkan )
Berdasarkan kaidah Ushul Fiqih di atas jelaslah bahwa
hokum shalat lima waktu adalahwajib.

E. Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh

Pertumbuhan Ushuul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak
zaman Rasulullah SAW.sampai pada zaman tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang
ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullha SAW., sumber hukum islam hanya dua,
yaitu al-Qur’an dan sunnah. Apabila ia muncul suatu kasus, Rasulullah SAW. Menunggu
turunnya waahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut.Apabila wahyu tidak turun, maka
beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan
hadits atau Sunnah.

Dala menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW.Yang tidak
ada ketentuannya dalam Al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat
bahwa Rasulullah SAW. Menetapakannya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui
sabda Rassulullah SAW. :

Artinya :“Sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamu
sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia. Dan apabila aku perintahkan
kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia
(biasa)”. (H.R. Muslim dari RAfi’ ibn Khudaij)

Hasil ijtihad Rasulullah SAW. Ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum
dan dalil bagi umat Islam.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW. Juga menggunakan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat.Misalnya, beliau qiyas ketika mejawab pertanyaan ‘Umar ibn al-
Khaththab tentang batal-tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW.
Ketika itu bersabda :

Artinya :“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal ?”
‘Umar menjawab, ‘Tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah SAW. Kemudian bersabda,
“Maka teruskan puasamu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)

RAsulullah SAW. Dalam hadits ini, menurut para ushul fiqh, mengqiyaskan hukum
mencium istri dalam keadaan berpuasa.Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka
mencium istri pun tidak membatalkan puasa.
Cara-cara RAsulullah SAW. Dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit
munculnya ilmu ushul fiqh ada bersamaan dengan hadirnya “fiqh”, yaitu sejak zaman
Rasulullah SAW.Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat, karena wahyu dan Sunnah
Rasul tidak ada lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang. Para
tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman sahabat, diantaranya ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Ali
ibn Abi Thalib, dan ‘Abdullah ibn Mas’ud. Dalam berijtihad, ‘Umar ibn al-Khaththab
seringkali mempertimbangkan kemaslahatan umat, dibanding sekedar menerapkan nasshs
secara zhahir, sementara tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat
yang ditaklukan pasukan Islam disuatu daerah, ‘Umar ibn al-Khaththab menetapkan bahwa
tanah di daerah tersebut tidak diambil pasukan Islam, melainkan dibiarkan digarap oleh
penduduk setempat, dengan syarat setiap panen harus diserahkan sekian persen kepada
pemerintahan Islam.Sikap ini diambil ‘Umar ibn al-Khaththab didasarkan atas pemikiran
bahwa apabila tanah pertanian didaerah itu diambil pemerintah Islam, maka rakyat di daerah
tersebut tidak memiliki mata pencaharian, yang akibatnya bisa memberatkan beban Negara.
Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa landasan pemikiran ‘Umar ibn al-Khaththab dalam
kasus ini adalah demi kemaslahatan (mashlahah).

‘Ali ibn Abi Thalib juga melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas yaitu meng-
qiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yang
melakukanqadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Alasan ‘Ali ibn Abi Thalib adalah
bahwa seseorang yang mabuk karena meminum khamar akan mengigau. Apabila ia
mengigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol, dan akan menuduh orang lain berbuat zina.
Hukuman bagi pelaku qadzaf adalah 80 kali dera. Oleh sebab itu, hukuman orang meminum
khamar sama dengan hukuman menuduh orang lain berbuat zina. Perkembangan
permasalahan di zaman sahabat ini memerlukan upaya ijtihad yang semakin luas.

Selain bertebarnya para sahabat diberbagai daerah yang saling berbeda budaya, dalam
kasus yang sama, hukum di satu daerah dapat berbeda dengan di daerah lainnya. Perbedaan
hukum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum pada kasus
tersebut.

Di zaman tabi’in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks.Para


tabi’in melakukan ijtihad diberbagai daerah Islam.Di Madinah muncul berbagai fatwa
berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana dikemukakan Sa’id ibn al-
Musayyab.Di Irak muncul ‘Alqamah ibn Waqqas, al-Laits dan Ibrahim al-Nakha’i.Di
Bashrah muncul pula mujtahid di kalangan tabi’in, seperti Hasan al-Bashri.

Titik tolak para Ulama tersebut dalam menetapkan hukum bisa berbeda; yang satu melihat
dari sudut mashlahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas. Ulama ushul
fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka
berusaha mencari berbagai ‘illat-nya; sehingga dengan ‘illat ini mereka dapat menyamakan
hukum kasus yang dihadapi dengan hukum yang ada nash-nya.Sikap ulama Irak ini bukan
berarti meninggalkan Sunnah Rasulullah SAW., tetapi sikap itu mereka ambil karena sangat
sedikit Sunnah Rasulullah SAW.Yang bisa mereka temukan.Adapun para ulama Madinah
banyak menggunakan Hadits-hadits Rasulullah SAW., karena mereka dengan mudah dapat
melacak Sunnah Rasulullah SAW di daerah tersebut. Di sinilah awal perbedaan dalam
mengistinbathkan hukum dikalangan ulama fiqh.Akibatnya, muncul tiga kelompok ulama,
yaitu Madrasah al-‘Iraq, Madrasah al-Kufah, dan Madrasah al-Madinah. Penamaan ini
menunjukkan perbedaan cara dan metode yang dugunakannya dalam menggali hukum. Pada
perkembangan selanjutnya, Madrasah al-‘Iraq dan Madrasah al-Kufah lebih dikenal dengan
sebutan Madrasah al-Ra’yi,sedangkan Madrasah al-
Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah al-Hadits.

Setelah itu muncul para imam mujtahid, khususnya imam mazhab yang empat, yaitu :

1. Nu’man ibn al-Tsabit yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah (80-150
H/699-767 M),

2. Malik ibn Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795
M),

3. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, yang lebih populer dengan sebutan Imam al-Syafi’i
(150-204 H/767-820 M),

4. Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H/780-855 M).

Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat dengan jelas
perbedaan antara satu imam dengan imam lainnya dalam mengistinbathkan hukum dari al-
Qur’an dan Sunnah.Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistinbathkan
hukum sebagai berikut :al-Qur’an; Sunnah; fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para
sahabat; fatwa para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka; qiyasdan istihsan. Imam
Malik, disamping berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah, juga banyak mengistinbathkan
hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah (‘amal ahl al-madinah). Akan tetapi Imam
Malik juga banyak menolak mengamalkan Sunnah, apabila terjadi pertentangan Sunnah
dimaksud dengan al-Qur’an.

Selanjutnya Imam al-Syafi’i dengan metode-metode ijtihadnya dan sekaligus buat petama
sekali membukukaan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya.Kitab ushul fiqh
yang disusun Imam al-Syafi’i tersebut bernama al-Risalah.Kitab ini disusun berdasarkan
khazanah fiqh yang ditinggalkan para sahabat, tabi’in, dan Imam-imam mujtahid
sebelumnya.Imam al-Syafi’I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi
antara ahl al-hadits yang bermarkas di Madinah dengan ahl al-ra’yi di Irak.Dari kedua aliran
ini Imam al-Syafi’i berusaha untuk mengompromikan pandangan kedua aliran tersebut, serta
menyusun teori-teori ushul fiqhnya.Dalam kitabnya, al-Risalah,Imam al-Syafi’i berusaha
memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, stelah melakukan
berbagai analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah.Berdasarkan analisisnya
inilah dia membuat teori ushul fiqh; yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam
mengistinbathkan hukum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya.

Kandungan kitab al-Risalah ini pada masa sesudah Imam al-Syafi’i mejadi bahan pembasan
para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada yang berbentuk men-
syarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan Imam al-Syafi’i dalam kitabnya itu,
tanpa mengubah atau mengurangi apa yang ada dalam kitab tersebut. Juga ada yang
melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam al-Syafi’i, dengan
mengemukakan aspek-aspek kekuatan dan kelemahan teori Imam al-Syafi’i; dan terkadang
mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan pendapat Imam al-Syafi’i. Misalnya
ulama ushul fiqh dari kalangan Hanafi mengakui teori-teori ushul fiqh Imam al-Syafi’i, tetapi
mereka menambahkan metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan ‘urf dalam
mengistinbathkan hukum. Ulama ushul fiqh Malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu
menambahkan ijma’ ahl al-madinah (kesepakatan penduduk Madinah), karena status ijma’
ahl al-madinah, menurut mereka, merupakan Sunnah yang secara turun temurun
dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW. Sampai ke zaman mereka.Ijma’ ahl al-
madinah tersebut tidak diterima Imam al-Syafi’i sebagai salah satu dalil dalam menetapkan
hukum Islam.Di samping itu, ulama ushul fiqh Malikiyyah juga menambahkan
metode istihsan, mashlahah mursalah (yang keduanya ditolak Imam al-Syafi’i) dan
metode sad al-zari’ah.
Para Imam Mazhab dari ke empat Mazhab tersebut sepakat dengan dalil-dalil yang
dikemukakan Imam al-Syafi’i, yaitu al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.Tetapi masing-
masing Mazhab menambahkan metode istinbath hukum lainnya, seperti yang dikemukakan di
atas. Dalam analisis para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti Husain Hamid Hasan, dari
berbagai metoode yang dikemukakan para Imam Mazhab di atas, ulama ushul fiqh
Syafi’iyyah (para pengikut Imam al-Syafi’i) ternyata menerima metode ‘urf, mashlahah
mursalah, dan sadd al-zari’ah.Akan tetapi, mereka menolak metode istihsan dan ijma’ ahl
al-madinah, karena dipandang tidak dapat dijadikan salah satu metode dalam
mengistibathkan hukum Islam.

Terlepas dari perbedaan pendapat kalangan ushul fiqh (termasuk di kalangan Imam Mazhab
yang empat), tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ishul fiqh menyatakan
bahwa pada masa keempat Imam Mazhab tersebut ushul fiqh menemukan bentuknya yang
“sempurna”, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung hanya memilih dan
menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamannya masing-
masing.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ushul fiqih mempunyai pengertian al-ushul berarti dalil-dalil fiqih, seperti Al-Qur’an,
Sunnah Rasulullah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain.Al-Fiqih berarti pemahaman yang mendalam
yang membutuhkan pengarahan potensi akal.

Objek Kajian Ushul Fiqih menurut Al-Ghazali membahas tentang hukum syara’, tentang
sumber-sumber dalil hukum, tentang cara mengistinbatkan hukum dan sumber-sumber dalil
itu serta pembahasan tentang ijtihad.
Ruang lingkup ushul fiqih secara global adalah sumber dan dalil hukum dengan berbagai
permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut dan lain-lain.

Sejarah perkembangan ushul fiqih terlihat pada masa ushul fiqih sebelum dibukukan dan
ushul fiqih sesudah dibukukan dan ushul fiqih pasca Syafi’i.

Tujuan dan urgensi ushul fiqih adalah mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seseorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat dan lain-lain.

Penutup

Demikian makalah yang dapat kami sajikan.Kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi perbaikan selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah khasanah pengetahuan,
manfaat untuk kita semua. Amiiinn...

DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, 2011. Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta ,Kencana.

Haroen, Nasrun, Haji UshulFiqih/NasrunHaroen, Jakarta logos, 1996.

Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih , 1996, Edisi. 1, Cet. 3, Jakarta. PT .Raja Grafindo
Persada.

Syafe’i Rahmat.,Ilmu Ushul Fiqih , 2010,Cet. IV, Bandung, Pustaka Setia.

[1] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Dep.Agama R.I.,Pengantar ilmu fiqih,
Jakarta 1981,hlm. 19.

[2] Dep. Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, 1971, hlm. 19.

[3] H.S.A.Al-Hamdani, Shifatu Shalati Rasulillahi SAW., Alih Bahasa H. AM. Bakri, Al-
Maarif Bandung, cet ke 4, 1978, hlm. 7.

Anda mungkin juga menyukai