Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS BESAR

ASMA AKUT SEDANG PADA ASMA PERSISTEN BERAT

Pembimbing:
dr. Wisuda Monica, Sp.P

Disusun oleh :
Othe Ahmad Syarifuddin
1620221156

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


ASMA PRESISTEN SEDANG

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal April 2018

Disusun oleh:
Othe Ahmad Syarifuddin

Purwokerto, April 2018


Pembimbing,

dr. Wisuda Monica, Sp.P

1
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Usia : 51 thn
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Berkoh RT05/RW03 Purwokerto Selatan
Tanggal masuk : 21 Februari 2018 ke IGD RSMS
Tanggal periksa : 26 Februari 2018
No. CM : 00166070

B. Subjektif
1. Keluhan Utama
Sesak nafas.
2. Keluhan tambahan
Pasien mengaku mual,muntah, dan batuk.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak napas sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien datang dengan sesak pada posisi
duduk, cara bicaranya hanya beberapa kata. Keluhan sesak napas disertai
suara batu kering ngik ngik. Keluhan terasa memberat malam hari, cuaca
dingin ,terkena debu, asap dan kelelahan. Keluhan membaik jika pasien
beristirahat dan menggunakan obat hisap. Keluhan sampai mengganggu
aktivitas. Jika sesak napas muncul hilang timbul terutama pada malam
hari, maka pasien mengeluhkan tidak dapat tidur. Pasien mempunyai
riwayat asma sejak lebih dari 5 tahun terakhir, control rutin di poliklinik
paru RSMS namun obat yang ia konsumsi sudah ahbis.
Pasien merasa ada keluhan batuk kering namun kadang sedikit ada
dahak, sedikit kental berwarna putih, sejak 3 hari terakhir. Pasien

2
menyangkal batuk berdarah, batuk dirasakan saat pagi hari atau saat cuaca
dingin. Pasien tidak ada keluhan penurunan berat badan, berkeringat
banyak pada malam hari disangkal. Pasien tidak merasakan nyeri didada.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama : Diakui
Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat asma : Diakui
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat alergi : Diakui alergi debu dan dingin
Riwayat OAT : Disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien tinggal di Berkoh, bersama anaknya. Hubungan antara pasien
dengan keluarga, dan tetangga, baik.
b. Home
Lantai rumah beralaskan keramik dengan ventilasi yang cukup.
Pencahayaan rumah pasien berasal dari lampu dan sinar matahari yang
cukup.
c. Occupational
Pasien sekarang sudah tidak bekerja, kebutuhan kehidupan sehari-hari
dicukupi oleh anaknya

3
d. Drugs and diet
Pasien merupakan pasien control rutin Poliklinik Paru RSMS, namun
pasien mengaku saat ini obat yang biasa ia konsumsi telah habis.
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan lain
e. Personal habit
Pasien tidak pernahmerokok, pernah mengonsumsi alkohol, ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang, pasien juga mengaku jarang
berolahraga.

C. Objektif
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Tampak Sesak napas
b. Kesadaran : Compos mentis.
c. Vital sign
1) Tekanan Darah : 135/85 mmHg
2) Nadi : 103x/menit, isi cukup, reguler
3) RR : 28x/menit
4) Suhu : 36.7 oC
5) SP02 : 95%
d. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi
temporal (-)
Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata, tidak rontok
2) Mata
Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
Konjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor Ø 3 mm
3) Telinga
Otore (-/-)

4
Deformitas (-/-)
Nyeri tekan (-/-)
Discharge (-/-)
4) Hidung
Napas cuping hidung (+/+)
Deformitas (-/-)
Discharge (-/-)
Rinorhea (-/-)
5) Mulut
Bibir sianosis (-)
Bibir kering (-)
Lidah kotor (-)
6) Leher
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : nampak, tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi intercostal dex dan sinistra (+), otot bantu nafas :
- Sternocleidomastoideus (+)
- Suprasternal (+)
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri anterior
vocal fremitus kanan = kiri posterior
Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan kanan anterior.
Sonor pada lapang paru kiri dan kanan posterior.
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar Bronkovesikuler (+/+),
wheezing (+/+)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)

5
b) Jantung
Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial
LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial
LMCS, kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kanan atas :SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas :SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V 3 jari
LAAS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri
ketok costovertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar : tidak teraba perbesaran
Lien : tidak teraba perbesaran
9) Ekstrimitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - + +
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
Clubbing finger - - - -

6
D. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium Darah 21 Februari 2017


Darah Lengkap
Hb : 13 gr/dl Normal : 11.7 – 15.5 gr/dl
Leukosit : 15770/ul (H) Normal : 3.600 – 11.000/ul
Hematokrit : 42 % Normal : 35 % - 47 %
Eritrosit : 4,4 juta/ul Normal : 3,8 - 5,2 juta/ul
Trombosit : 181.000/ul Normal: 150.000 - 440.000/ul
MCV : 95.0 fL Normal : 80 - 100 fL
MCH : 29.3 pg Normal : 26 - 34 pg
MCHC : 30.9 gr/dl Normal : 32 – 36 gr/dl
RDW : 13.4 % Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 11.0 Normal : 9.4-12.3

Hitung Jenis
Basofil : 0,4 % Normal : 0 – 1 %
Eosinofil : 0.0 % (L) Normal : 2 – 4 %
Batang : 1,0 % (L) Normal : 3 – 5 %
Segmen : 83,5 % (H) Normal : 50 – 70%
Limfosit : 10.7 % (L) Normal : 25 - 40%
Monosit : 4.4% Normal : 2 – 8 %

Hasil pemeriksaan Tes Cepat Molekuler : MTB not Detected

Kultur Sputum :

Pewarnaan Gram : Tidak ada pertumbuhan kuman

Kultur / biakan : Tidak ada pertumbuhan kuman

Lain-lain : Jamur Positif

7
b. Hasil pemeriksaan Foto Thorax

Interpretasi :

Apeks jantung bergeser ke


laterocaudal

Coracan vaskuler tampak


meningkat.
Tampak bercak pada lapangan
tengah bawah paru kanan.

Kesan :
Cardiomegali (LV)
Gambaran bronkopneumonia

c. Pemeriksaan EKG

8
D. Diagnosis
Asma Akut Sedang pada Asma Persisten Berat
Mikosis Paru

E. Terapi
1. Non Farmakologis
a. Edukasi asma
b. Memonitor derajat asma secara berkala
c. Mengenali dan menghindari pencetus
d. Edukasi pengobatan jangka panjang
2. Farmakologi
a. O2 4 LPM
b. Nebulizer Ventoline : Fluxotide / 6 jam
c. IVFD RL + Aminophilin 20tpm
d. Inj Levofloxacin 750mg/24jam
e. Inj MP 6.25mg / 12jam
f. Inj Furosemid 2x1amp
g. Inj Omeprazol 2x1amp
h. Acetylsistein 3x200mg
i. Salbutaol 2mg 3x1tab
j. Paracetamol 3x1tab
k. Flukonazol 100

F. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

9
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik 1) obstruksi saluran
napas yang reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, 2)
inflamasi saluran napas, 3) peningkatan respons saluran napas terhadap berbagi
rangsangan (hiperaktivitas). Penyempitan saluran nafas pada asma dapat terjadi
secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan,
tetapi dapat juga terjadi secara mendadak sehingga menyebabkan kesulitan
bernafas yang akut. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan respon
terhadap rangsangan didasari oleh inflamasi saluran nafas (Sundaru, 2009).

B. Etiologi
Asma dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, secara garis besar episode
akut asma dapat dipicu oleh faktor berikut (Kasper, 2015):
1. Alergen
Asma alergi terutama muncul pada anak-anak akibat reaksi alergi
tipe I terhadap alergen. Respon IgE yang dikontrol oleh limfosit B dan T
serta diaktivasi dengan adanya interaksi antigen dengan sel mast yang
terikat dengan molekul IgE menentukan asma alergi. Bahan alergen yang
dapat memicu asma diantaranya adalah debu, bulu, serpihan kulit
binatang, tungau, jamur, dan antigen lingkungan lain yang terpapar terus
menerus.
2. Farmakologi
Obat-obatan yang berhubungan dengan episode akut asma adalah
aspirin, agen pewarna seperti tartrazine, antagonis β adrenergik, dan
sulfiting agent seperti potassium metabisulfite, potassium dan sodium
bisulfite, sodium sulfite dan sulfur dioksida yang digunakan secara luas
pada industri makanan dan farmasi.

10
3. Lingkungan
Asma yang berhubungan dengan lingkungan biasanya terkait
kondisi polusi udara. Polutan yang diketahui dapat menimbulkan gejala
asma adalah ozon, nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida.
4. Pekerjaan
Pekerjaan yang sering terpapar oleh zat-zat yang sensitif dapat
menjadi pemicu asma. Zat-zat sensitif dengan komponen dengan berat
molekul besar diantaranya adalah debu kayu, bulu hewan dan serangga.
Sedangkan komponen dengan berat molekul kecil adalah garam metal
(platinum, kromium, vanadium, nikel) dan industri kimia serta plastik.
5. Infeksi
Infeksi saluran nafas yang berulang dapat menjadi stimulus
terjaidnya asma, dan merupakan salah satu penyebab tersering yang
menimbulkan asma eksaserbasi akut.
6. Aktivitas
Variabel yang menentukan keparahan dari obstruksi jalan nafas
adalah ventilasi serta temperatur dan kelembaban udara yang diinspirasi.
Semakin besar ventilasi dan kandungan panas yang rendah dalam udara,
makan semakin besar respon yang terjadi.
7. Stres Emosional
Perubahan kaliber saluran nafas dimediasi modifikasi dari aktivitas
vagal eferen dan peran endorfin. Stres emosional mempengaruhi aktivitas
tersebut.

C. Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis
kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan.
Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak
perempuan 1,5 : 1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih
kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang
melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-

11
beda antara satu kota dengan kota yang lain di Negara yang sama. Di Indonesia
prevalensi asma berkisar antara 5-7% (Sundaru, 2009).

D. Patomekanisme
Seseorang dengan riwayat alergi mempunyai kecenderungan untuk
membentuk antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, dan menyebabkan
reaksi alergi bila orang tersebut bereaksi dengan antigen spesifik yang memicu
tebentuknya antibodi tersebut. Pada kondisi asma, antibodi ini melekat ke sel
mast pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil (Guyton, 2007).
Bila seorang yang menderita asma menghirup alergen yang sensitif
baginya (telah terbentuk antibodi IgE terhadap antigen pada orang tersebut)
antigen bereaksi dengan antibodi yang terlekat pada sel mast dan menyebabkan
sel mast mengeluarkan berbagai macam zat diantaranya adalah histamin, zat
anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan campuran leukotrien),
faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor
tersebut menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus kecil maupun
sekresi mukus yang kental ke dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot
bronkiolus sehingga tahanan saluran nafas meningkat (Guyton, 2007).

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi,
dan sesak nafas. Pada awal serangan sering tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin dijumpai pilek atau bersin.
Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada
perkembangannya pasien akan mengeluarkan sekret baik mukoid, putih,
kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang batuk tanpa disertai
mengi yang dikenal sebagai cough variant asthma (Sundaru, 2009).
Gejala asma bersifat episodik yang reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala timbul dan memburuk terutama malam atau dini hari
dan diawali oleh faktor pencetus. Gejala berespon terhadap pemberian

12
bronkodilator. Hal lain yang perlu digali adalah riwayat keluarga (atopi),
riwayat alergi, penyakit lain yang memperberat, dan perkembangan
penyakit (PDPI, 2006).
2. Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda pemeriksaan fisik asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran nafas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada,
penafasan cepat, penggunaan otot bantu nafas, sampai sianosis dapat
dijumpai pada pasien asma, namun dapat pula ditemukan pemeriksaan
yang normal (Sundaru, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, diantaranya (Kasper,
2015; Sundaru, 2009).
a. Pemeriksaan darah rutin (dijumpai eosinofilia >8%)
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada
pasien asma, dan menjadi pembeda dengan bronkitis kronis.
b. Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil mendukung diagnosis asma kronik. Namun
jika ditemukan neutrofil kita dapat mencurigai bronchitis kronik
Dapat pula ditemukan kristal Churcot-Leyden dan Spiral Curschmann
secara sitologis.
c. Skin prick test
Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pasien hipersensitif
terhadap alergen tertentu yang distimulasi pada kulit sehingga
mendukung riwayat atopik.
d. Foto thorax
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain obstruksi jalan nafas (misalnya pneumothoraks,
atelekstasis).

e. Spirometri
Spirometri merupakan sebuah metode pemeriksaan untuk
mengetahui dan mengukur fungsi fisiologis paru serta mengetahui ada

13
tidaknya kelainan. Dalam analisis hasil spirometri akan dijumpai
penurunan FEV1 <80% serta penurunan rasio FEV1/FVC <75%
sehingga dikategorikan sebagai kelainan obstruktif. Penegakan
diagnosis asma dapat dilakukan dengan melihat respon pengobatan
terhadap bronkodilator, dengan cara pengukuran spirometri sebelum
dan sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta.
Peningkatan VEP1 ≥ 12% atau ≥ 200 mL menunjukan diagnosis asma.
f. Uji provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan jika hasil spirometri normal, dengan
tujuan untuk melihat adanya hiperaktivitas bronkus. Pasien akan
dipaparkan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, dan
berbagai stimulus lainnya. Diagnosis dapat ditegakkan jika FEV1
≥20% dan saat melakukan kegiatan jasmani 6 menit nilai APE (Arus
Puncak Ekspirasi) ≥10%.

F. Klasifikasi
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma berdasarkan Gambaran Klinis (PDPI,
2006).
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermiten Bulanan ≤ 2 kali sebulan APE ≥ 80%
Gejala muncul <1x/ VEP1 ≥ 80% nilai
minggu prediksi, APE ≥
Tanpa gejala di luar 80% nilai terbaik
serangan Variabilitas APE <
Serangan singkat 20%
Persisten Mingguan >2x/bulan APE > 80%
Ringan Gejala muncul <1x/ VEP1 ≥ 80% nilai
minggu, tetapi <1x/hari prediksi, APE ≥
Serangan dapat 80% nilai terbaik
mengganggu aktivitas Variabilitas APE
dan tidur 20%-30%
Persisten Harian >1x/minggu APE 60- 80%
Sedang Gejala setiap hari VEP1 60-80% nilai
Serangan mengganggu prediksi, APE 60-
aktivitas dan tidur 80% nilai terbaik
Membutuhkan Variabilitas APE >
bronkodilator setiap 30%
hari
Persisten Berat Kontinyu Sering APE ≤60%
Gejala terus menerus VEP1 ≤60% nilai
Sering kambuh prediksi, APE ≤60
Aktivitas fisik terbatas nilai terbaik

14
Variabilitas APE >
30%

Tabel 2.2 Klasifikasi Derajat Serangan Asma Akut (PDPI, 2015).

G. Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan
asma (PDPI, 2006):
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma
dikatakan terkontrol bila (PDPI, 2006):
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise

15
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya
tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma


adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.
Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang
dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi
harga terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan “Program
Penatalaksanaan Asma”, yang meliputi 7 (tujuh) komponen (PDPI, 2006):

16
1. Edukasi
Tabel 2.3 Waktu Berkunjung dan Bahan Edukasi

2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala


Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Frekuensi
kunjungan bergantung kepada berat penyakit dan kesanggupan penderita
dalam memonitor asmanya. Umumnya tindak lanjut (follow-up) pertama
dilakukan < 1 bulan ( 1-2 minggu) setelah kunjungan awal. Pada setiap
kunjungan layak ditanyakan kepada penderita; apakah keadaan asmanya
membaik atau memburuk dibandingkan kunjungan terakhir. Kemudian
dilakukan penilaian pada keadaan terakhir atau 2 minggu terakhir sebelum
berkunjung dengan berbagai pertanyaan.
a. Apakah batuk, sesak napas, mengi dan dada terasa berat dirasakan
setiap hari?

17
b. Berapa sering terbangun bila tidur malam karena sesak napas atau
batuk atau mengi dan membutuhkan obat asma? Serta bila dini hari/
subuh adakah keluhan tersebut
c. Apakah gejala asma yang ada seperti mengi, batuk, sesak napas
mengganggu kegiatan/ aktiviti sehari-hari, membatasi kegiatan olah
raga/exercise, dan seberapa sering hal tersebut mengganggu?
d. Berapa sering menggunakan obat asma pelega?
e. Berapa banyak dosis obat pelega yang digunakan untuk melegakan
pernapasan?
f. Apa kiranya yang menimbulkan perburukan gejala asma tersebut?
g. Apakah sering mangkir sekolah/ kerja karena asma, dan berapa
sering?

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus


Tabel 2.4. Identifikasi Faktor Pencetus (PDPI, 2006)

18
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal
dalam waktu satu bulan. Dalam menetapkan atau merencanakan
pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan
asma yang terkontrol, terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan:
a. Medikasi (obat-obatan)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
1) Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
2) Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk,
tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas.

19
Tabel 2.5 Jenis Obat Asma (PDPI, 2006).

IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer
Solution : Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser
Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet
Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, im dan iv

20
b. Tahapan pengobatan
Tabel 2.6. Tahapan Pengobatan Asma (PDPI, 2006).

c. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)


Tabel 2.7 Pelangi Asma (PDPI, 2006)

21
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Tabel 2.8 Klasifikasi Seranagan Akut Asma (PDPI, 2006)

Gambar 2.1 Penanganan Serangaan Asma di Rumah (PDPI, 2006).

22
23
Gambar 2.2 Penanganan Asma di Rumah Sakit (PDPI, 2006).
Tabel 2.9 Tempat Pengobatan Asma (PDPI, 2006).

24
6. Kontrol secara teratur
Penatalaksanaan jangka panjang memiliki 2 hal yang penting
diperhatikan oleh dokter yaitu (PDPI, 2006):
a. Tindak lanjut (follow-up) teratur
b. Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila
diperlukan.
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak hanya
bila terjadi serangan akut, tetapi kontrol teratur terjadwal, interval berkisar
1- 6 bulan bergantung kepada keadaan asma. Hal tersebut untuk
meyakinkan bahwa asma tetap terkontrol dengan mengupayakan
penurunan terapi seminimal mungkin. Rujuk kasus ke ahli paru layak
dilakukan pada keadaan:
a. Tidak respons dengan pengobatan

25
b. Pada serangan akut yang mengancam jiwa
c. Tanda dan gejala tidak jelas(atipik), atau masalah dalam diagnosis
banding, atau komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti
sinusitis, polip hidung, aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi
pita suara, refluks gastroesofagus dan PPOK
d. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar,
seperti uji kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji
provokasi bronkus, uji latih (kardiopulmonary exercise test),
bronkoskopi dan sebagainya.
7. Pola hidup sehat
Perbaikan pola hidup sehat yang dianjurkan adalah (PDPI, 2006):
a. Meningkatkan kebugaran fisis
Olahraga menghasilkan kebugaran fisis secara umum,
menambah rasa percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh.
Walaupun terdapat salah satu bentuk asma yang timbul serangan
sesudah exercise (exercise-induced asthma/ EIA), akan tetapi tidak
berarti penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Bila
dikhawatirkan terjadi serangan asma akibat olahraga, maka
dianjurkan menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan olahraga.
Senam Asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk olahraga yang
dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-otot pernapasan
khususnya, selain manfaat lain pada olahraga umumnya. Manfaat
senam asma telah diteliti baik manfaat subjektif (kuesioner) maupun
objektif (faal paru); didapatkan manfaat yang bermakna setelah
melakukan senam asma secara teratur dalam waktu 3 – 6 bulan,
terutama manfaat subjektif dan peningkatan VO2max.
b. Berhenti atau tidak pernah merokok
Asap rokok merupakan oksidan, menimbulkan inflamasi dan
menyebabkan ketidak seimbangan protease antiprotease. Penderita
asma yang merokok akan mempercepat perburukan fungsi paru dan
mempunyai risiko mendapatkan bronkitis kronik dan atau emfisema
sebagaimana perokok lainnya dengan gambaran perburukan gejala

26
klinis, berisiko mendapatkan kecacatan, semakin tidak produktif dan
menurunkan kualiti hidup. Oleh karena itu penderita asma dianjurkan
untuk tidak merokok. Penderita asma yang sudah merokok
diperingatkan agar menghentikan kebiasaan tersebut karena dapat
memperberat penyakitnya.
c. Lingkungan Kerja
Bahan-bahan di tempat kerja dapat merupakan faktor pencetus
serangan asma, terutama pada penderita asma kerja. Penderita asma
dianjurkan untuk bekerja pada lingkungan yang tidak mengandung
bahan-bahan yang dapat mencetuskan serangan asma. Apabila
serangan asma sering terjadi di tempat kerja perlu dipertimbangkan
untuk pindah pekerjaan. Lingkungan kerja diusahakan bebas dari
polusi udara dan asap rokok serta bahan-bahan iritan lainnya.

H. Prognosis
Prognosis dari asma ini bervariasi. hampir 20% penderita asma memiliki
beberapa keterbatasan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun serangan
asma ringan masih dapat diobati mudah dengan dosis ekstra bronkodilator
inhalasi. Kadang terjadi serangan asma parah (sekunder) dapat mengakibatkan
asma berkepanjangan, rawat inap, dan beberapa komplikasi. Kunci untuk terapi
asma adalah pemantauan, kepatuhan ketat, dan menghindari pemicu asma
(Bateman, 2008).
Tingkat mortalitas asma dilaporkan 1 per 100.000 penduduk. Faktor yang
berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas adalah usia diatas 40 tahun,
perokok lebih dari 20 bungkus per tahun, eosinofilia, FEV1 40-69% prediksi,
dan kegagalan manajemen terapi (Morris, 2013).

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita asma adalah
pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutis, atelektasis, gagal
nafas, bronkitis, dan aspergilosis bronkopulmoner alergik (Sundaru, 2009).

27
II. KESIMPULAN

1. Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan nafas
kronik
2. Asma diklasifikasikan menjadi asma alergika, asma non alergika, asma onset
lambat, asma dengan hambatan jalan nafas paten, dan asma dengan obesitas
3. Patogenesis dan patofisiologi asma secara umum kompleks yang menyebabkan
inflamasi jalan nafas yang kronik
4. Diagnosis asma dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
5. Tatalaksana asma meliputi tatalaksana nonfarmakologis, farmakologis,
tatalaksana merujuk serta tatalaksana lainnya

28
DAFTAR PUSTAKA

Bateman, ED., Hurd, SS., Barnes, PJ., et al. 2008. Global Strategy For Asthma
Management and Prevention. European Respiratory Journal 31 (1):143-
78.

Guyton, A.C., Hall, J.E. 207. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Kasper D, Fauci A, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J. 2015. Harrison’s


Principles of Internal Medicine. New York : McGraw-Hill

Morris, M; et al. 2013. Asthma Treatment and Management. Medscape Feb 2013 :
296301.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Available at:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html

Sundaru, S. H. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.

29

Anda mungkin juga menyukai