Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum merupakan penyebab utama kematian ibu pasca


persalinan. Semua wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan lebih dari 20
minggu beresiko untuk mengalami perdarahan post partum dan gejala sisanya.
Meskipun angka kematian ibu telah sangat menurun di negara maju, kasus ini tetap
menjadi penyebab utama kematian ibu di tempat lain.

Perdarahan postpartum adalah perdarahan atau hilangnya darah sebanyak


lebih dari 500cc yang terjadi setelah anak lahir baik sebelum, selama, atau sesudah
kelahiran plasenta. Menurut waktu kejadiannya, perdarahan postpartum sendiri dapat
dibagi atas perdarahan postpartum primer yang terjadi dalam 24 jam setelah bayi
lahir, dan perdarahan postpartum sekunder yang terjadi lebih dari 24 jam sampai
dengan 6 minggu setalah kelahiran bayi.

Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca persalinan.
Lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah
melahirkan, sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Walaupun
seorang perempuan dapat bertahan hidup setelah mengalami perdarahan setelah
persalinan, namun ia akan menderita anemia berat.

Insidensi perdarahan postpartum pada negara maju sekitar 5% dari


persalinan, sedangkan pada Negara berkembang bisa mencapai 28% dari persalinan
dan menjadi masalah utama dalam kematian ibu. Penyebabnya 90% dari atonia uteri,
7% robekan jalin lahir, sisanya dikarenakan retensio plasenta dan gangguan
pembekuan darah. Di Indonesia diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam
kehamilan. Setiap tahunnya paling sedikit 128.000 perempuan mengalami
perdarahan sampai meninggal. Perdarahan pasca persalinan terutama perdarahan
postpartum primer merupakan perdarahan yang paling banyak menyebabkan
kematian ibu. Perdarahan postpartum primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang
terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran.

Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2010, tiga faktor utama kematian


ibu melahirkan adalah perdarahan (28%), eklampsia (24%), dan infeksi (11%).

1
Anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab
utama terjadinya perdarahan dan infeksi yang merupakan faktor utama kematian ibu.
Menurut data WHO, di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 10
persen sampai hampir 60 persen (PP dan KPA, 2010).

Uterus atonia adalah suatu keadaan dimana rahim tidak berkontraksi atau
berkontraksi lemah yang dapat disebabkan oleh overdistensi rahim dan kelelahan
rahim. Overdistensi rahim merupakan faktor risiko utama untuk atonia dapat
disebabkan oleh kehamilan multifetal, makrosomia janin, polihidramnion, atau
kelainan janin (misalnya, hidrosefalus berat). Sementara kelelahan rahim dapat
terjadi karena disebabkan oleh persalinan lama atau tenaga melahirkan yang kuat dan
cepat, terutama jika dirangsang. Uterus atonia dapat menimbulkan komplikasi yang
lebih berat yaang disebut uterus inversio, yaitu suatu keadaan dimana puncak uteri
terbalik sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri hingga keluar
melewati vagina.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. DSR
Usia : 27 Tahun
Tanggal lahir : 5 Juni 1990
Rekam Medis : 02337590
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Cakung
Tanggal Masuk : 10 Desember 2017
Tanggal Periksa : 10 Desember 2017

ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan Perdarahan dari jalan lahir
Pasien Rujukan Rumah Saskit Alvernia dengan Hemoragik Post Partum
post SC pukul 02.00

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Aa Pasien perdarahan sejak pukul 05.00 sebanyak 2 neirbeken post
SC pukul 02.00. Direncanakan untuk histrektomi, namun tidak ada
ketersediaan alat, dirujuk ke RS Persahabatan.
SC atas indkasi induksi gagal (pembukaan 6) jam 20.00. Evaluasi
pukul 00.00 tidak ada kemajuan. SC pukul 02:00. Lahir bayi 3700 gram
dengan apgar score 8/9.
Perdarahan intra operasi 300cc. Tidak terdapat penyulit.
Perdarahan setelah operasi tidak ada. Sudah diberikan NaCL 2 kolf, RL 4
kolf. Hemacell 1 kolf, transamin 2 amp. Misoprostol 3 tab, oksitosin 10 iu
IM. Metergin 2amp IV

3
c. Riwayat Penyakit Terdahulu
Riwayat hipertensi (-), DM (-), Asma (-) Alergi (-) Penyakit jantung (-)
Gangguan Pembekuan Darah (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi (-) DM (-) Asma (-) Alergi (-) Penyakit jantung (-) Gangguan
Pembekuan Darah (-)

e. Riwayat Menstruasi
Menarche 13 tahun, siklus teratur 28 hari, lama sekitar 5-7 hari, ganti
pembalut 4-5x/hari, nyeri haid tidak ada.

f. Riwayat menikah : 1x, tahun 2012, usia 22 tahun

g. Riwayat obstetri : P2A0


o Perempuan, 4 tahun, lahir spontan di Puskesmas dengan berat lahir
3300 gram.
o Perempuan, 0 hari, lahir SC di Rumah Sakit Alvernia dengan berat
lahir 3700 gram

h. Riwayat kontrasepsi : Pasien memiliki riwayat menggunakan KB pil


selama 10 bulan

i. Riwayat sosial ekonomi : pasien adalah ibu rumah tangga, suami bekerja
karyawan swasta

4
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah Suhu : 36.7°C
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 60/40 mmHg Berat Badan : 60 kg
Frekuensi nadi : 143x/menit Tinggi Badan : 160 cm
Frekuensi napas : 24x/menit IMT (23,43 Normoweight)
Saturasi Oksigen : 95%

Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis (+/+) sklera tidak ikterik
Mulut : Bibir pucat (+)
THT : Tidak ada sekret, tidak ada mukus
Jantung : Bunyi jantung S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikular, ronkhi basah halus (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Abdomen supel, bising usus positif
Ekstretnitas : Akral dingin, edema (-/-) CRT>2s

Status Obstetrik
Tinggi Fundus Uteri Sepusat, Kontraksi (+)
Inspeksi : Vulva uretra tenang, perdarahan aktif (+), stosel (+)
Inspekulo: OUE tertutup, tampak darah mengalir

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (20-12-2017)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin 5.4 L (duplo) 12.0-16.0 g/dl

Hematokrit 17.0 L 37-47 %

Eritrosit 1.96 L 4.3-6.0 juta/µL

MCV 86.7

5
MCH 27.6

MCHC 31.8 L

Leukosit 30.010 H 4800-10800/µL

Trombosit 162.000 150000-400000 /µL

Hemostasis

Masa perdarahan Ivy 3 menit 1.00-6.00

Masa pembekuan
Lee & White
12 Menit 10-15

PT 14.9 (H) 9.8-11.2

APTT 53.3 (H) 31.0-47.0

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

KIMIA KLINIK

SGOT 12 5-34

SGPT <6 0-55

Albumin 1.70 L 3.5-5.2

Ureum 15 15-40

Kreatinin 27.6 0.6-1.2

Asam Urat 4.5 2.6-6.0

Glukosa sewaktu 168 70-200

LDH 210 H

6
Urinalisis

Warna Kuning Muda Kuning

Kejernihan Agak keruh Jernih

Berat Jenis 1.015 1.005-1030

pH 6.5 4.5-8.0

Albumin Negatif Negatif

Glukosa 3+ Negatif

Keton Negatif Negatif

Darah/Hb 3+ Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Urobilinogen 3.4 3.4-17.0 mg/dl

Nitrit Negatif Negatif

Leukosit Esterase 1+ Negatif

Sedimen Urin:

Leukosit 10-15 0-5/LPB

Eritrosit 25-50 0-2/LPB

Silinder Negatif Negatif

Epitel +1 +1 (ada) gepeng

Kristal Negatif Negatif

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

7
Analisa Gas Darah

pCO2 20.40 L 35-45

pO2 250.80 H 75-100

HCO3 12.30 L 21-25

Total CO2 12.90 L 21-27

Base Excess -12.90 L -2.5-+2.5

O2 Saturation 98.80 H 95-98

Standard HCO3 15.5 L 22-24

Diagnosis

o Syok hipovolemik grade III ec HPP ec Atonia Uteri post SC 6jam yang
lalu atas indikasi CPD, BSC1x
o Anemia ec perdarahan

Planning
 NRM 10lpm  4lpm
 IVFD RL + Oxytocin 20IU / 8jam
 Ceftriaxone 1x2gr (IV)
 Metronidazole 3 x 500mg (IV)
 SF 1x1
 Resusitasi cairan -> Kristaloid & Koloid (loading 1000cc)
 Transfusi PRC 500cc
 Kateter urine

8
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. PERDARAHAN POST PARTUM


I. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi
setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal.
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah
perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai
perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital,
antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil,
hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb
< 8 g/dL.
Perdarahan post partum dibagi menjadi:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early
postpartum hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah kala III.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late
postpartum hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan
yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama
setelah kala III.

II. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain:
- Atonia uteri
- Luka jalan lahir
- Retensio plasenta
- Gangguan pembekuan darah

9
III. Insidensi
Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi
Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara
maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%.

Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut:


- Atonia uteri 50 – 60 %
- Sisa plasenta 23 – 24 %
- Retensio plasenta 16 – 17 %
- Laserasi jalan lahir 4 – 5 %
- Kelainan darah 0,5 – 0,8 %

Tabel II.I. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab


Perdarahan Post Partum
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja
- Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek. Bekuan darah pada
Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi
lahir telentang akan
menghambat aliran
darah keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir
setelah bayi lahir Lemah
Uterus berkontraksi dan keras Menggigil
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio plasenta
menit traksi berlebihan
Perdarahan segera Inversio uteri akibat
Uterus berkontraksi dan keras tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi Retensi sisa plasenta
tidak lengkap tetapi tinggi fundus
Perdarahan segera tidak berkurang

10
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan Demam fragmen plasenta
pada uterus (terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder

IV. Kriteria Diagnosis


 Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi
cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina
terus menerus
 Pemeriksaan obstetri
Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan
mungkin karena luka jalan lahir
 Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada
pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan
retensi sisa plasenta

V. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang
buruk.
 Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak
periode antenatal.
 Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan.

11
b. Pemeriksaan radiologi
 Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis
dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan
laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat
membantu untuk melihat adanyagumpalan darah dan retensi sisa plasenta.
 USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya
perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat
pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta
akreta dan variannya.

VI. Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen,
yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum.
 Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat
memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan.
Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu
dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post
partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid
dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat
melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat
persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar
obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah
dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid
dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer
Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada
penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu
penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di
ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini

12
bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada
hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi
kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil
yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan
dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan
penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan
efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik
dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak
diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.

 Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat
indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan
pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC
bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat
diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit.

Tabel II.2. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya


Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 IM atau IV Oral atau rektal
pemberian awal L larutan garam (lambat): 0,2 mg 400 mg
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal
fisiologis dengan Bila masih
40 tetes/menit diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4

13
jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 Total 1 mg (5 Total 1200 mg atau
per hari L larutan fisiologis dosis) 3 dosis
Kontraindikasi Pemberian IV Preeklampsia, Nyeri kontraksi
atau hati-hati secara cepat atau vitium kordis, Asma
bolus hipertensi

VII. Penyulit
Penyulit pada kasus perdarahan post partum adalah :
 Syok ireversibel
 DIC

VIII. Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan
kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum.
Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
 Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
 Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
 Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus
berkontraksi dengan baik

14
IX. Penilaian Klinik derajat syok

Tabel II.3. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok


Volume
Tekanan Darah Tanda dan
Kehilangan Derajat Syok
(sistolik) Gejala
Darah
Palpitasi,
500-1.000 mL
Normal takikardia, Terkompensasi
(10-15%)
pusing
Lemah,
1000-1500 mL Penurunan ringan
takikardia, Ringan
(15-25%) (80-100 mm Hg)
berkeringat
1500-2000 mL Penurunan sedang Gelisah, pucat,
Sedang
(25-35%) (70-80 mm Hg) oliguria
2000-3000 mL Penurunan tajam Pingsan,
Berat
(35-50%) (50-70 mm Hg) hipoksia, anuria

15
Grading Syok Hipovolemik

16
17
B. RETENSIO PLASENTA
I. Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga
atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan
pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus

II. Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
 Plasenta adhesiva adalah plasenta yang melekat pada desidua endometrium
lebih
dalam.sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
 Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
sebagian lapisan miometrium sampai ke serosa
 Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga
mencapai/melewati lapisan miometrium
 Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
 Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri

Tabel II.4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta


Separasi / akreta Plasenta
Gejala Plasenta akreta
parsial inkarserata
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
plasenta seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali

18
III. Etiologi/Penyebab Retensio Plasenta

 Sebab Fungsionil
1. Kontraksi uterus/His kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva )
2. Plasenta sukar terlepas karena
 Tempatnya : insersi di sudut tuba
 Bentuknya : plasenta membranacea , plasenta amularis
 Ukurannya plasenta sangat kecil

Plasenta yang sukar terlepas karna hal di atas disebut plasenta adhesive

 Sebab Patologi-Anatomis
1. Plasenta accrete
2. Plasenta increta
3. Plasenta percreta

Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus
desidua sampai myometrium sampai di bawah peritoneum ( plasenta akreta-
percreta)

Jika plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III ,akibatnya terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta )

1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh lebih
dalam. Menurut tingkat perlekatannya :
 Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium
(basalis) lebih dalam dan Nitabuch layer.
 Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua
endometrium sampai ke miometrium.
 Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke
serosa.
 Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum
dinding rahim atau perimetrium.

19
2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni
uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat
kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta
inkarserata).
3. Faktor maternal
 Gravida berusia lanjut
 Multiparitas
4. Faktor uterus
 Bekas sectio caesaria, sering plasenta tertanam pada jaringan cicatrix uterus
 Bekas pembedahan uterus
 Anomali uterus
 Tidak efektif kontraksi uterus
 Pembentukan contraction ring
 Bekas curetage uterus, yang terutama dilakukan setelah abortus
 Bekas pengeluaran plasenta secara manual
 Bekas ondometritis
4. Faktor placenta
 Plasenta previa
 Implantasi cornual
 Plasenta akreta
 Kelainan bentuk plasenta

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila
sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan
indikasi untuk segera mengeluarkannya.
Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh.
Oleh karena itu keduanya harus dikosongkan.

20
IV. Tanda Dan Gejala Retensio Plasenta

Gejala Separasi/akreta Plasenta Plasenta akreta


parsial inkarserata
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk uterus Discoid Agak globuler Discoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat
plasenta seluruhnya
Syok Sering Jarang Jarang sekali
,kecuali akibat
inversio oleh
tarikan kuat pada
tali pusat

Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus
berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
a. Waktu hamil
 Kebanyakan pasien memiliki kehamilan yang normal
 Insiden perdarahan antepartum meningkat, tetapi keadaan ini biasanya
menyertai plasenta previa
 Terjadi persainan prematur, tetapi kalau hanya ditimbulkan oleh
perdarahan
 Kadang terjadi ruptur uteri

b. Persalinan kala I dan II


Hampir pada semua kasus proses ini berjalan normal
c. Persalinan kala III
1) Retresio plasenta menjadi ciri utama

21
2) Perdarahan post partum, jumlahnya perdarahan tergantung pada derajat
perlekatan plasenta, seringkali perdarahan ditimbulkan oleh
Dokter kebidanan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan plasenta
secara manual
3) Komplikasi yang serius tetapi jarang dijumpai yaitu invertio uteri,
keadaan ini dapat tejadi spontan, tapi biasanya diakibatkan oleh
usaha-usaha untuk mengeluarkan plasenta
4) Ruptura uteri, biasanya terjadi saat berusaha mengeluarkan plasenta

V. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi


mengenai episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat
multipel fetus dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana
plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi
dilahirkan.
2. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis
servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan
hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit.
Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat.
b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin
time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang
sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini
penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor
lain

Faktor Risiko
1. Plasenta akreta : plasenta previa, bekas SC, pernah kuret berulang, dan
multiparitas.
2. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari
uterus; serta pembentukan constriction ring.

22
3. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa;
implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta.
4. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya
yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta
pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.

VI. Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan
retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah
berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek
dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium
menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga
mengecil. Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat
perlekatan plasenta.

Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak


dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang
ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar
memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah
yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat oto miometrium yang saling
bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi
otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.

Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan


ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme
kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:

1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat plasenta,
namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat
(dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya
dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding

23
uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara
plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya
plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya
sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak
turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul
di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan
plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan
normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan
ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari
tempat implantasinya.

Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang


mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus
meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke
vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang.

Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang


diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian
bawah rahim atau atas vagina. Kadang-kadang, plasenta dapat keluar dari lokasi
ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam
posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan.
Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan
kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan
mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.

Pada kondisi retensio plasenta,lepasnya plasenta tidak terjadi secra


bersamaan dengan janin, karena melekat pada tempat implantasinya.menyebabkan
terganggunya retraksi dan kontraksi otot uterus sehingga sebagian pembuluh darah
tetap terbuka serta menimbulkan pendarahan

VII. Penatalaksanaan
Retensio plasenta dengan separasi parsial
 Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang
akan diambil

24
 Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi
plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
 Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per
menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal
(sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang
timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
 Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi
dan perdarahan
 Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
 Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g
supositoria / oral)
 Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok
neurogenik

Plasenta inkarserata
 Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan
 Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan
konstriksi serviks dan melahirkan plasenta
 Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus
oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk
mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut
 Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum,
lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini
berikan analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif
(Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah

Sisa Plasenta
 Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi
ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang
ke rumah dan subinvolusi uterus

25
 Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1
g oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500
mg oral
 Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan
darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan
evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase
 Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL,
berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari

Plasenta akreta
 Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus
atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan
tepi plasenta karena implantasi yang dalam
 Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah
menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan
karena kasus ini memerlukan tindakan operatif

26
Bagan II.3. Penilaian Klinik Plasenta Akreta

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan rujukan dari RS Alvernia, pasien


Selama kehamilan pasien rutin kontrol di PKM Cakung Barat dan dikatakan
bahwa kehamilan baik dan normal, tidak ada keluhan selama kehamilan. USG
terakhir saat usia kehamilan 36 minggu dan dikatakan janin sehat serta plasenta baik.
Informasi dari pasien menggambarkan bahwa keadaan janin dan plasenta baik
selama masa kehamilan dan tidak adanya factor resiko untuk terjadinya retensio
plasenta.
Pasien mengalami perdarahan karena terganggunya kontraksi uterus sehingga
tatalaksananya adalah untuk mengatasi syok yang terjadi pada pasien akibat
perdarahan. Resusitasi cairan berperan penting dalam manajemen syok, pasien
mendapatkan loading cairan RL dan dipasang dua line untuk menangani hipovolemia
pada pasien. Pasien kemudian diberikan oksitosin drip untuk meningkatkan
kontraksi uterus. Karena tali pusat terputus, sulit untuk mengeluarkan plasenta
sehingga dilakukan manual plasenta. Setelah plasenta keluar dipastikan bahwa
plasenta lengkap dan tidak ada robekan jalan lahir yang dapat memicu kembali
terjadinya perdarahan. Perdarahan dari jalan lahir semakin berkurang karena
kontraksi uterus membaik setelah plasenta dikeluarkan.
Hasil laboratorium didapatkan hb pasien 7,1 yang menunjukkan adanya
anemia pada pasien. Anemia yang terjadi pada pasien disebabkan oleh perdarahan
sehingga pasien juga mendapatkan tatalaksana PRC 500 cc. selain itu pasien juga
mendapatkan antibiotik untuk mengurangi terjadinya resiko infeksi pada pasien
akibat tindakan yang dilakukan seperti manual plasenta.

28
BAB V
KESIMPULAN

1. Post partum haemorrhage adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih,


sesudah anak lahir. Perdarahan pasca persalinan terbagi menjadi 2, yaitu ppp
dini dan masa nifas
2. Perdarahan pasca persalinan Perdarahan pervaginam 500 ml atau lebih yang
terjadi segera setelah bayi lahir sampai 24 jam kemudian.Perdarahan masa
nifas adalah Perdarahan yang terjadi pada masa nifas 500 ml atau lebih
setelah 24 jam bayi dan plasenta lahir.
3. Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan oleh
Atonia uteri, Robekan (laserasi, luka) jalan lahir., retensio plasenta dan sisa
plasenta, Gangguan pembekuan darah (koagulopati).
4. Gejala klinis yang ditemui adalah Perdarahan pervaginam yang terus-
menerus setelah bayi lahir., Pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan

29
darah menurun, denyut nadi cepat dan halus, ekstremitas dingin, gelisah,
mual dan lain-lain.
5. Prinsip penanganan adalah menghentikan perdarahan, cegah/ atasi syok., dan
ganti darah yang hilang

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam Standar
Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada
2. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2002,
Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR – POGI bekerjasama dengan Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
3. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage,
http://www.emedicine.com
4. Rayburn, W. F., Carey, J. C., 2001, Obstetri & Ginekologi, Jakarta: Penerbit
Widya Medika
5. Mochtar, R., Lutan, D. (ed),1998, Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri
Patologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
6. Angsar, M. D., 1999, Perlukaan Alat-alat Genital dalam Ilmu Kandungan,
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
7. Kapita Selekta Kedokteran

31

Anda mungkin juga menyukai