1. Latar Belakang
Pariwisata merupakan sektor andalan bagi perekonomian Bali, serta secara nasional Bali
(wisman) ke Indonesia tahun 2013 sebanyak 8.044.462 orang dan dari jumlah tersebut 37,25%
atau 3.278.598 orang berkunjung ke Bali. Dengan demikian, kontribusi devisa Bali terhadap
devisa nasional tahun 2013 sebesar 4,63 juta atau 46,12% untuk devisa nasional. Devisa ini juga
Keberhasilan pariwisata ini tidak terjadi begitu saja, diperlukan proses panjang yang
dikemas oleh berbagai faktor seperti keunikan daya tarik wisatanya, akses yang mudah dicapai,
sarana dan prasarana yang memadai, lembaga yang mengelola serta partisipasi masyarakat lokal.
Sehubungan dengan keterlibatan aktif masyarakat lokal, saat ini masyarakat Bali melihat peluang
yang begitu besar dari industri pariwisata. Bahkan, sebagian besar masyarakat menggantungkan
hidupnya dari industri pariwisata yang kini juga mulai menggeser sektor pertanian. Berdasarkan
Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Bali, tercatat bahwa masyarakat
yang bekerja di sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terus mengalami peningkatan setiap
tahunnya dengan rata-rata 7,57%, sedangkan sektor pertanian terus mengalami penurunan setiap
Pariwisata kini dianggap sebagai ladang subur penambah rejeki dan penghasil uang.
Namun, yang kemudian menjadi kendala adalah kesiapan dan kompetensi para pelakunya dalam
menggarap ladang tersebut agar senantiasa subur. Beberapa upaya sudah dilakukan pemerintah,
seperti dengan mendirikan sekolah tinggi dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang
memberikan pendidikan serta pelatihan kepada calon pekerja di Industri pariwisata nantinya.
Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali merupakan pionir sebagai hasil kerjasama pemerintah
dengan UNDP dan ILO pada tahun 1972 untuk membangun lembaga pendidikan dan pelatihan
perhotelan dan kepariwisataan yang mampu menghasilkan SDM pariwisata yang profesional.
Oleh karenanya, dibentuk Pusat Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata Bali (P4B) yang
pembangunannya dicetuskan tanggal 25 Januari 1975. P4B ini yang kemudian berganti nama
menjadi BPLP, hingga saat ini dikenal dengan STP Nusa Dua Bali. Dikarenakan permintaan
yang semakin banyak, kemudian menyusul pula sekolah lainnya seperti SPB-STPBI, Akademi
Pariwisata, Politeknik Negeri Bali, jurusan di Universitas Dhyana Pura dan Universitas Udayana.
pelosok belum menyadari dan enggan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Padahal,
daerah tersebut sangat berpotensi untuk dijadikan pengembangan pariwisata alternatif, pariwisata
kerakyatan dan desa wisata yang justru mengandalkan masyarakat lokalnya sebagai subjek
langsung. Akibat dari ketidaksiapan ini adalah banyak dari mereka yang belum mampu
memberikan pelayanan yang terbaik kepada turis, mengalami culture shock, bahkan tidak bisa
masyarakat lokal. Khususnya bahasa Inggris yang merupakan bahasa paling umum sebagai
bahasa pengantar atau lingua franca. Namun, kemampuan masyarakat untuk menguasai bahasa
Inggris belum merata dan belum sesuai kompetensi yang diharapkan, terutama yang berlokasi di
daerah pelosok dan masyarakat yang masuk dalam golongan menengah ke bawah. Berdasarkan
observasi, berikut beberapa contoh keterbatasan dalam penguasaan bahasa Inggris: “You be nice
gati”, “Hey sir, come in, looking looking”, “You don’t have small money?” yang mana kalimat
ini sebaiknya diucapkan: “You are really nice”, “Hey sir, come in, have a look”, “You don’t
have any changes?” Hal ini tentunya menghambat proses komunikasi, terlebih jika wisatawan
Seperti yang diungkapkan Hall (1976:90) bahwa the language and culture are key factors
in tourism industry, maka bahasa dan budaya merupakan kebutuhan dan alat fundamental bagi
perkembangan kepariwisataan Bali. Melalui bahasa, masyarakat lokal dapat menjajakan dan
mempromosikan produk wisatanya. Melalui bahasa pula, terjalin suatu kontak budaya antara
wisatawan dalam memahami budaya dan aktivitas penduduk lokal. Bahasa juga dapat
memperkuat dan menjembatani terciptanya akulturasi. Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa
merupakan pintu gerbang dari masuknya pariwisata dan terciptanya pariwisata yang
berkesinambungan.
seperti mendengarkan dan belajar berbahasa Indonesia maupun bahasa Bali, namun hanya
segelintir wisatawan yang mau mempelajari bahasa dari penduduk lokal tersebut. Oleh karena
itu, merupakan suatu keharusan bagi masyarakat dari host destination untuk mempersiapkan diri
bercerita, melakukan kontak sosial serta melakukan jual-beli kepada wisatawan. Manuaba (2013)
juga mengungkapkan bahwa pemahaman bahasa asing, terutama Inggris, merupakan bagian
penting dalam perkembangan pariwisata di Bali. Jack & Phipps (2012:538) juga menambahkan
bahwa: Indeed, in this latter regard, it is most typically locals who are expected to learn tourist
languages and thus to engage in linguistic accommodation. Masyarakat diharapkan dan dituntut
untuk belajar bahasa inggris dan bahkan harus terikat pula pada akomodasi linguistik.
Faktanya, perbedaan struktur linguistik yang cukup besar antara bahasa Indonesia dan
Inggris menjadi salah satu penghambat kesuksesan penyerapan bahasa asing ini. Dalam studi
linguistik, paradigm dapat menimbulkan suatu fenomena yang disebut pidgin. Wardaugh (2006)
mendefinisikan pidgin sebagai a language with no native speakers: it is no one’s first language
but is a contact language. Uniknya, penggunaan pidgin ini masih bisa dimengerti oleh
wisatawan. Komunikasi yang terjadi masih dapat berlangsung dua arah antara wisatawan dengan
masyarakat lokal dengan penambahan penjelasan berupa gesture dan mimik. Pidgin dapat
menjadi jembatan sementara yang menghubungkan kontak sosial mereka. Namun, dikhawatirkan
pidgin yang sampai sekarang berkembang kemudian menjadi baku dan terus dipakai secara turun
temurun. Padahal, ketidaksiapan bahasa ini dapat menjadi cermin kurangnya citra masyarakat
Bali dalam menyambut dan mengembangkan industri pariwisata. Terlebih, jika terjadi
kesalahpahaman yang bermuara pada opini buruk wisatawan terhadap suatu destinasi.
dari berbagai faktor namun tidak mengerucut di bidang bahasa padahal bahasa merupakan alat
utama penghubung masyarakat dan wisatawan. Dalam rangka mengungkap lebih jauh utilitas
penguasaan bahasa Inggris, maka dilakukan penelitian di Desa yang baru berkembang dengan
aktifnya keterlibatan masyarakat lokal yakni Desa Munduk. Desa berbasis pariwisata kerakyatan
ini mengembangkan perencanaan bottom-up, namun belum dibarengi dengan kesiapan SDM
dalam bidang bahasa. Di satu sisi, kehadiran pariwisata memberikan warna baru bagi masyarakat
baik dari sisi nilai ekonomi, ekologi dan sosial, namun di sisi lain, merupakan tuntutan
profesionalitasnya dalam bidang bahasa. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat
pariwisata, sehingga pelayanan pariwisata Bali tidak hanya hospitable tetapi juga berkualitas.
2. Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka dapat dirumuskan tiga pokok
bahasa Inggris oleh masyarakat lokal di desa Munduk, sehingga dapat menentukan dan
Secara teoritis, penelitian ini merupakan kesempatan untuk dapat meningkatkan pemahaman
menyangkut permasalahan penguasaan bahasa asing oleh masyarakat lokal dalam menunjang
kegiatan kepariwisataan di Bali, terutama di desa Munduk. Secara Praktis, penelitian ini
diharapkan dapat berkontribusi dalam bentuk sumbangan pemikiran, ide atau gagasan kepada
pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan desa ataupun masyarakat di desa tersebut,
Keterkaitan antara bahasa dengan pariwisata bukanlah merupakan hal yang baru. Sudah
banyak peneliti yang mengkaji secara mendalam mengenai bagaimana pentingnya penguasaan
bahasa inggris dan berbagai variasinya yang terjadi seiring dengan perkembangan pariwisata.
Studi ini dapat dilihat baik dari perspektif linguistik maupun pariwisata. Bermula dari Dann
bahwa pariwisata dapat dibandingkan dengan bahasa, yang kemudian disarankan bahwa
pariwisata dalam hal promosi memerlukan diskursnya sendiri. Gradasi kedua ilmu ini juga
terlihat dari penelitian Fox (2008) yang meneliti penggunaan bahasa inggris di Pariwisata
Penelitian di Bali sendiri sebagian besar terpaku kepada aspek linguistik, salah satunya
dari Sutjiati-Beratha (1999). Dalam penelitian tersebut mengkaji dan membahas mengenai
bagaimana terjadinya variasi bahasa inggris atau disebut juga pidgin dalam tuntutan industri
pariwisata. Melalui teori foreigner talk dan language use didapatkan hasil bahwa faktor yang
menyebabkan variasi tersebut disebabkankan dari segi internal dan eksternal. Dari segi internal
ditemukan ada dua jenis yakni interlingual dan intralingual, hal ini berkaitan dari segi fonologi
(pengucapan), morfologi (pembentukan kata), sintaksis (struktur kalimat) dan leksikon (makna).
Kemudian dari segi eksternal meliputi kelompok sosial penutur tersebut. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa memang variasi bahasa tidak dapat terhindarkan dikarenakan hal ini
dihadapkan pada keharusan untuk berinteraksi serta adanya gap yang cukup signifikan antara
Kemudian, Jack & Phipps (2012:538) mencoba memberikan batasan bahwa fenomena ini
dapat dilihat dari segi pendekatan dampak pariwisata, pendekatan bahasa pariwisata dan
pendekatan pertemuan antar budaya. Namun, hasil penelitiannya masih belum terlihat jelas fokus
sehingga lebih merupakan gabungan antara kedua studi tersebut. Oleh karena itu, Thitthongkam
(2013) mencoba memfokuskan bagaimana bahasa dalam studi pariwisata saja dengan mengambil
lokasi di Thailand dengan judul Roles of Language and Culture towards Customer Satisfaction
in the Competitiveness of the Thai Tourism Industry. Penelitian ini berlandaskan pada teori
Customer Satisfaction dan teori Large-small Power Distance oleh Hofstede. Melalui teknik
pengumpulan data dengan wawancara mendalam kepada wisman dan manajer perusahaan tur
yang kemudian dianalisis secara kualitatif, didapatkan hasil bahwa bahasa dan budaya sangat
berperan penting terhadap kepuasan pelanggan. Disamping itu, direkomendasikan bahwa bahasa
merupakan alat penting untuk berkomunikasi dan dapat membantu menciptakan kesepahaman
antara masyarakat dengan wisman maka setiap organisasi kepariwisataan seharusnya dapat
Thitthongkam selalu membuka mata akan pentingnya kesadaran terhadap besarnya peran
bahasa, terutama bahasa asing terhadap keberlanjutan pariwisata. Thitthongkam (2010a) dalam
bahwa pada akhirnya personel atau staf di industri hospitality dengan kemampuan bahasa yang
baik menjadi sangat penting untuk manajemen organisasi pariwisata. Terutamanya penguasaan
bahasa inggris menjadi perihal yang sangat esensial, secara umum dapat dikutip bahwa English
(Thitthongkam, 2010a). Penelitiannya yang selanjutnya dalam judul Language Roles in Internal
and External Communication in the Thai Tourism Industry Competitiveness. Tidak seperti
penelitian sebelumnya, penelitian ini melihat pentingnya bahasa untuk dapat berkompetisi
dengan destinasi wisata lainnya. Derajat keefektifan komunikasi dianalisis melalui observasi
kualitatif. Ditemukan hasil bahwa The usage of clear and appropriate language and vocabulary-
(Thitthongkam, 2010b). Dengan demikian, ditekankan bahwa perlunya pembentukan kosa basa
yang tepat untuk menghasilkan komunikasi yang efektif dan optimal kepada wisatawan.
Penelitian mengenai kefasihan berbahasa asing juga menjadi perhatian di benua Eropa,
terutama di Negara Croatia yang juga lebih sepesifik untuk pengembangan karir individu.
Penelitian yang berjudul Language Proficiency for Careers in Tourism and Learning Different
Second Foreign Languages ini dilakukan oleh Bozivonic dan Sindik (2013) dengan mengambil
Technology. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner disertai dengan skala
lima poin yang memberikan peringkat kepada derajat kepentingan dari mempelajari bahasa asing
pada pariwisata masal dan pariwisata elit. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sebagian
besar mahasiswa menganggap bahasa asing penting untuk dikuasai dalam karir pariwisata,
namun sangat direkomendasikan untuk juga mempelajari bahasa asing lainnya selain inggris.
asing, terutama Inggris dalam industri pariwisata. Khususnya di Bali, Gunton (2004)
mahasiswa pengungsi di Australia. Walaupun analisisnya lebih menggunakan teori dari segi
For the majority of Balinese involved in the tourist industry, English was learned from
listening and speaking. Since English is a necessary part of achieving success in their line
of work.
Namun, penelitian yang hanya mengerucut dari perspektif pariwisata terutama wisatawannya
masih belum ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana
persepsi wisatawan mancanegara terhadap penguasaan bahasa inggris oleh masyarakat lokal di
Desa Munduk. Masyarakat lokal sengaja dijadikan sample untuk mengetahui sejauh mana
kesiapan mereka dalam mengembangkan industri pariwisata sehingga dapat mengetahui pula
keterkaitannya dengan kepuasan layanan yang diberikan kepada wisatawan. Pengambilan lokasi
di Desa Munduk dengan alasan bahwa desa ini baru berkembang sehingga hasil penelitian
nantinya dapat mengurangi dan dengan cepat mengantisipasi dampak negatif yang mungkin akan
muncul.
5. Konsep
5.1 Persepsi
Menurut Sarwono dalam Parmita (2012), persepsi dapat dideskripsi sebagai sebuah
proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat yang dipergunakan untuk mendapatkan
informasi adalah panca indera dan untuk memahaminya diperlukan adanya kesadaran atau
kognisi. Tahap pertama dimulai dengan masuknya rangsangan pada panca indera yang
selanjutnya diikuti pengaturan rangsangan yang masuk oleh alat indera melalui prinsip-prinsip
proksimitas (proximity) atau kemiripan dan prinsip kelengkapan (closure). Tahap selanjutnya
dalam proses perseptual adalah penafsiran dan evaluasi. Tahap ini merupakan proses subjektif
yang melibatkan proses evaluasi dari pihak penerima rangsangan. Proses ini dikatakan sangat
subjektif karena tidak hanya didasarkan pada rangsangan yang datang dari luar, melainkan juga
sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan
tentang yang seharusnya, keadaan fisik dan emosi pada saat itu, dan lain sebagainya pada diri
seseorang.
Sarwono (2002) juga mengungkapkan terdapat dua hal yang penting berkenaan dengan
persepsi, yaitu keadaan dan perasaan orang pada saat ini, di tempat ini melalui komunikasi lisan
maupun tidak lisan untuk mengetahui hal-hal apa yang menjadi sebab dari kondisi tampilannya
saat ini. Rangkuti (2002) mengungkapkan bahwa persepsi pelanggan diidentifikasikan sebagai
suatu proses dimana individu memilih, mengorganisasikan, serta mengartikan stimulus yang
diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna. Meskipun demikian, makna dari proses
persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan.
Produk atau jasa juga memberikan stimulus tertentu kepada individu, hasil stimulus tersebut
Secara umum, bahasa merupakan alat utama untuk menjembatani hubungan komunikasi
seperti yang dikutip dalam Bozinovic & Sindik (2013) bahwa language is the most important
attitudes and so many other things. Dalam hal mikro, seperti pariwisata, bahasa memiliki peran
yang sangat penting untuk menjaga dan menyebarkan informasi terkait kepariwisataan kepada
wisatawan. Pariwisata memang sudah diakui memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
pergerakan perekonomian, tak pelak masyarakat akan melakukan berbagai cara untuk dapat
terjun dalam industri ini, tentunya dengan mengembangkan diri dalam bidang komunikasi, yakni
bahasa asing. Crystal (1997) menegaskan bahwa money talks very loudly in tourism sehingga
sudah dapat diyakinkan bahwa pariwisata memberikan motivasi kepada masyarakat untuk
mempertegas bahwa kegiatan kepariwisataan memerlukan pemakaian bahasa inggris. Untuk itu,
penguasaan bahasa ini mutlak diperlukan dalam pariwisata Bali berlanjut. Akibat dari
perkembangan kepariwisataan ini ditemukan fenomena penggunaan bahasa inggris yang tidak
sesuai dengan kaidah bagaimana sebenarnya bahasa tersebut difungsikan pada ranah penggunaan
bahasa.
Hall-Lew & Lew (2014) dengan jeli melihat masalah linguistik ini diakibatkan oleh
adanya perbedaan tipologi yang berkaitan dengan pola pengucapan, kosa basa dan struktur tata
Ketidaksesuaian ini yang kemudian menggiring pada kecenderungan akan terjadinya pidgin,
menurut Hamers (2004) pidgin terletak pada ranah fungsi yang mengalami modifikasi di bagian
Kemudian, oleh Saville-Troike (2003) pidgin dikategorisasikan ke dalam tipe varietas bahasa
Three very different types of language varieties are included in this category: (1) the
marked forms and patterns used by speakers in a foreign or second language; (2) the
lingua francas or international language codes; and (3) the languages which have
developed with official or auxiliary but “transplanted” status in societies where there are
no indigenous speakers.
Diungkapkan bahwa pidgin hanyalah bahasa pembantu yang ditransplantasi pada suatu
komunitas dimana bahkan tidak memiliki penutur asli. Hal ini memperkuat bahwa salah satu hal
yang menjadi faktor terdorongnya pembentukan pidgin adalah karena tuntutan pariwisata yang
mengharuskan masyarakat lokal dan pelaku pariwisata untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa
global tersebut sehingga dapat dikatakan pula bahwa pariwisata dan hospitality merupakan
penggerak transisi, seperti yang diungkapkan oleh Bozinovic & Sindik (2013) bahwa tourism
and hospitality are clearly seen as drivers of transition…language is the vehicle they use in this
process of transition. Dengan demikian, korelasi antara bahasa Inggris dan pariwisata terletak
pada kebutuhan komunikasi yang menjadi medianya, senada seperti yang diungkapkan Hamers
(2004) bahwa language is distinct from communication but is used as a tool for it, bahasa
Bila dikaitkan dengan pariwisata, dapat dikatakan bahwa pariwisata juga membutuhkan
promosi atau pemasaran yang efektif, seperti yang diungkapkan Kotler (2001) melalui skema ini:
yang sangat penting untuk melancarkan kegiatan pemasaran sehingga transaksi yang terjadi
antara industri atau penjual dengan market atau konsumen dapat berjalan dengan lancar, saling
6. Daftar Pustaka
Bozivonic, Nikolina & Josko Sindik. 2013. Language Proficiency for Careers in Tourism and
Learning Different Second Foreign Languages. Dalam Jurnal Turizam. Vo. 17, Issue
3, p. 121-130. Diunduh dari: http://www.dgt.uns.ac.rs/turizam/arhiva/vol_1703_3.pdf
pada tanggal 18 April 2015
Crystal, David. 1997. English as Global Language. UK: Cambridge University Press
Dann, G. 2001. The Language of Tourism: A Sociolinguistic Perspective. 2nd Edition.
Wallingford, UK: CAB International
Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2013. Statistik Pariwisata Bali. Denpasar: Dinas Pariwisata
Provinsi Bali
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Bali. 2012. Perencanaan Tenaga
Kerja Provinsi Bali tahun 2012-2016. Denpasar: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Pemerintah Provinsi Bali
Fox, Renata. 2008. English in Tourism: A Sociolinguistic Perspective. Dalam Tourism and
Hospitality Management Journal, Vol. 14, No.1, p. 13-22. Diunduh dari:
http://www.fthm.uniri.hr/files/Casopis/vol._14_no._1.pdf pada tanggal 18 April 2015
Gunton, Adrea. 2004. A comparison of English language learning and use by Balinese people
involved in the tourist industry and refugee students. Diunduh dari:
www.aaref.com.au/attachment.aspx?id=2163 pada tanggal 17 April 2015
Hall, E. J. 1976. The Language of Tourism in English: English for Careers. New York: Regent
Hall-Lew, L.A. & Lew Alan A. 2014. Speaking Heritage: Language, Identity, and Tourism.
Diunduh dari: http://www.lel.ed.ac.uk/~lhlew/Hall-Lew_&_Lew_2014_proofs.pdf
pada tanggal 17 April 2015
Hamers, Josiane F. 2004. A Sociocognitive Model of Bilingual Development. Dalam Journal Of
Language and Social Psychology, Vol. 23 No. 1, p. 70-98. Diunduh dari:
http://www.u.arizona.edu/~rgolden/LanguageDevelopment.pdf pada tanggal 15 April
2015
Jack, G. & Alison Phipps. 2012. Tourism. Dalam: Jane Jackso, editor. The Language Handbook
of Language and Intercultural Communication. New York: Routledge. p. 537-567
Kotler, Phillip. 2001. Marketing Management, Millenium Edition. New Jersey: Prentice-Hall
Manuaba, I.A Chandra Purnamasari. 2013. The Use of Pidginized English by Vendors in
Seminyak Beach Kuta Bali. Denpasar: Universitas Udayana
Parmita, I Ketut Gede. 2012. Persepsi Biro Perjalanan Wisata di Bali Terhadap Produk Nusa Dua
Beach Hotel & Spa. Denpasar: Universitas Udayana
Pemerintah Provinsi Bali Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2014. Data Bali
Membangun 2013. Denpasar: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication (3rd ed). UK: Blackwell
Publishing Ltd.
Sutjiati-Beratha, N.L. 1999. Variasi Bahasa Inggris pada Kawasan Pariwisata di Bali. Diunduh
pada: jurnal.ugm.ac.id, pada tanggal 14 April 2014
Thitthongkam, Thavorn dkk. 2010a. Roles of Language in Tourism Organisational Management.
Dalam Asian Journal Of Management Research. Diunduh dari:
http://ipublishing.co.in/ajmrvol1no1/EIJMRS1016.pdf pada tanggal 18 April 2015
Thitthongkam, Thavorn dkk. 2010b. Language Roles in Internal and External Communication in
the Thai Tourism Industry Competitiveness. Dalam Jurnal Acta Universitatis Danubius
No 2/2010. Diunduh dari: http://journals.univ-
danubius.ro/index.php/oeconomica/article/view/616/567 pada tanggal 18 April 2015
Thitthongkam, Thavorn. 2013. Roles of Language and Culture towards Customer Satisfaction in
the Competitiveness of the Thai Tourism Industry. Dalam International Journal of
Economics, Finance and Management. Vol. 2, No.1. Diunduh dari:
http://www.ejournalofbusiness.org/archive/vol2no1/vol2no1_9.pdf pada tanggal 18
April 2015
Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics (Fifth edition). Oxford: Blackwell
Publishing
TEKNIK PENULISAN ILMIAH