Anda di halaman 1dari 15

PERSEPSI WISATAWAN MANCANEGARA TERHADAP

PENGUASAAN BAHASA INGGRIS DI DESA MUNDUK

1. Latar Belakang

Pariwisata merupakan sektor andalan bagi perekonomian Bali, serta secara nasional Bali

merupakan barometer bagi kemajuan pariwisata Indonesia. Kunjungan wisatawan mancanegara

(wisman) ke Indonesia tahun 2013 sebanyak 8.044.462 orang dan dari jumlah tersebut 37,25%

atau 3.278.598 orang berkunjung ke Bali. Dengan demikian, kontribusi devisa Bali terhadap

devisa nasional tahun 2013 sebesar 4,63 juta atau 46,12% untuk devisa nasional. Devisa ini juga

mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 13,48%.

Keberhasilan pariwisata ini tidak terjadi begitu saja, diperlukan proses panjang yang

dikemas oleh berbagai faktor seperti keunikan daya tarik wisatanya, akses yang mudah dicapai,

sarana dan prasarana yang memadai, lembaga yang mengelola serta partisipasi masyarakat lokal.

Sehubungan dengan keterlibatan aktif masyarakat lokal, saat ini masyarakat Bali melihat peluang

yang begitu besar dari industri pariwisata. Bahkan, sebagian besar masyarakat menggantungkan

hidupnya dari industri pariwisata yang kini juga mulai menggeser sektor pertanian. Berdasarkan

Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Bali, tercatat bahwa masyarakat

yang bekerja di sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terus mengalami peningkatan setiap

tahunnya dengan rata-rata 7,57%, sedangkan sektor pertanian terus mengalami penurunan setiap

tahunnya dengan rata-rata 8,23% pada tahun 2008-2011.

Pariwisata kini dianggap sebagai ladang subur penambah rejeki dan penghasil uang.

Namun, yang kemudian menjadi kendala adalah kesiapan dan kompetensi para pelakunya dalam

menggarap ladang tersebut agar senantiasa subur. Beberapa upaya sudah dilakukan pemerintah,
seperti dengan mendirikan sekolah tinggi dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang

memberikan pendidikan serta pelatihan kepada calon pekerja di Industri pariwisata nantinya.

Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali merupakan pionir sebagai hasil kerjasama pemerintah

dengan UNDP dan ILO pada tahun 1972 untuk membangun lembaga pendidikan dan pelatihan

perhotelan dan kepariwisataan yang mampu menghasilkan SDM pariwisata yang profesional.

Oleh karenanya, dibentuk Pusat Pendidikan Perhotelan dan Pariwisata Bali (P4B) yang

pembangunannya dicetuskan tanggal 25 Januari 1975. P4B ini yang kemudian berganti nama

menjadi BPLP, hingga saat ini dikenal dengan STP Nusa Dua Bali. Dikarenakan permintaan

yang semakin banyak, kemudian menyusul pula sekolah lainnya seperti SPB-STPBI, Akademi

Pariwisata, Politeknik Negeri Bali, jurusan di Universitas Dhyana Pura dan Universitas Udayana.

Sayangnya, akibat kurangnya pemerataan pembangunan pariwisata, beberapa daerah di

pelosok belum menyadari dan enggan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Padahal,

daerah tersebut sangat berpotensi untuk dijadikan pengembangan pariwisata alternatif, pariwisata

kerakyatan dan desa wisata yang justru mengandalkan masyarakat lokalnya sebagai subjek

langsung. Akibat dari ketidaksiapan ini adalah banyak dari mereka yang belum mampu

memberikan pelayanan yang terbaik kepada turis, mengalami culture shock, bahkan tidak bisa

berkomunikasi dengan turis secara efektif dengan bahasa asing.

Bahasa sebenarnya menjadi jembatan penghubung interaksi antara wisatawan dengan

masyarakat lokal. Khususnya bahasa Inggris yang merupakan bahasa paling umum sebagai

bahasa pengantar atau lingua franca. Namun, kemampuan masyarakat untuk menguasai bahasa

Inggris belum merata dan belum sesuai kompetensi yang diharapkan, terutama yang berlokasi di

daerah pelosok dan masyarakat yang masuk dalam golongan menengah ke bawah. Berdasarkan

observasi, berikut beberapa contoh keterbatasan dalam penguasaan bahasa Inggris: “You be nice
gati”, “Hey sir, come in, looking looking”, “You don’t have small money?” yang mana kalimat

ini sebaiknya diucapkan: “You are really nice”, “Hey sir, come in, have a look”, “You don’t

have any changes?” Hal ini tentunya menghambat proses komunikasi, terlebih jika wisatawan

meminta untuk dijelaskan mengenai bentang alam dan kebudayaan.

Seperti yang diungkapkan Hall (1976:90) bahwa the language and culture are key factors

in tourism industry, maka bahasa dan budaya merupakan kebutuhan dan alat fundamental bagi

perkembangan kepariwisataan Bali. Melalui bahasa, masyarakat lokal dapat menjajakan dan

mempromosikan produk wisatanya. Melalui bahasa pula, terjalin suatu kontak budaya antara

wisatawan dalam memahami budaya dan aktivitas penduduk lokal. Bahasa juga dapat

memperkuat dan menjembatani terciptanya akulturasi. Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa

merupakan pintu gerbang dari masuknya pariwisata dan terciptanya pariwisata yang

berkesinambungan.

Walaupun mungkin beberapa wisatawan menginginkan bentuk otentisitas dari bahasa

seperti mendengarkan dan belajar berbahasa Indonesia maupun bahasa Bali, namun hanya

segelintir wisatawan yang mau mempelajari bahasa dari penduduk lokal tersebut. Oleh karena

itu, merupakan suatu keharusan bagi masyarakat dari host destination untuk mempersiapkan diri

meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa inggris. Dengan bahasa, masyarakat dapat

bercerita, melakukan kontak sosial serta melakukan jual-beli kepada wisatawan. Manuaba (2013)

juga mengungkapkan bahwa pemahaman bahasa asing, terutama Inggris, merupakan bagian

penting dalam perkembangan pariwisata di Bali. Jack & Phipps (2012:538) juga menambahkan

bahwa: Indeed, in this latter regard, it is most typically locals who are expected to learn tourist

languages and thus to engage in linguistic accommodation. Masyarakat diharapkan dan dituntut

untuk belajar bahasa inggris dan bahkan harus terikat pula pada akomodasi linguistik.
Faktanya, perbedaan struktur linguistik yang cukup besar antara bahasa Indonesia dan

Inggris menjadi salah satu penghambat kesuksesan penyerapan bahasa asing ini. Dalam studi

linguistik, paradigm dapat menimbulkan suatu fenomena yang disebut pidgin. Wardaugh (2006)

mendefinisikan pidgin sebagai a language with no native speakers: it is no one’s first language

but is a contact language. Uniknya, penggunaan pidgin ini masih bisa dimengerti oleh

wisatawan. Komunikasi yang terjadi masih dapat berlangsung dua arah antara wisatawan dengan

masyarakat lokal dengan penambahan penjelasan berupa gesture dan mimik. Pidgin dapat

menjadi jembatan sementara yang menghubungkan kontak sosial mereka. Namun, dikhawatirkan

pidgin yang sampai sekarang berkembang kemudian menjadi baku dan terus dipakai secara turun

temurun. Padahal, ketidaksiapan bahasa ini dapat menjadi cermin kurangnya citra masyarakat

Bali dalam menyambut dan mengembangkan industri pariwisata. Terlebih, jika terjadi

kesalahpahaman yang bermuara pada opini buruk wisatawan terhadap suatu destinasi.

Penelitan sebelumnya kebanyakan hanya membahas persepsi dan kepuasan wisatawan

dari berbagai faktor namun tidak mengerucut di bidang bahasa padahal bahasa merupakan alat

utama penghubung masyarakat dan wisatawan. Dalam rangka mengungkap lebih jauh utilitas

penguasaan bahasa Inggris, maka dilakukan penelitian di Desa yang baru berkembang dengan

aktifnya keterlibatan masyarakat lokal yakni Desa Munduk. Desa berbasis pariwisata kerakyatan

ini mengembangkan perencanaan bottom-up, namun belum dibarengi dengan kesiapan SDM

dalam bidang bahasa. Di satu sisi, kehadiran pariwisata memberikan warna baru bagi masyarakat

baik dari sisi nilai ekonomi, ekologi dan sosial, namun di sisi lain, merupakan tuntutan

profesionalitasnya dalam bidang bahasa. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat

mengungkapkan betapa pentingnya kemampuan penguasaan berbahasa inggris di bidang

pariwisata, sehingga pelayanan pariwisata Bali tidak hanya hospitable tetapi juga berkualitas.
2. Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka dapat dirumuskan tiga pokok

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana persepsi wisatawan mancanegara terhadap penguasaan bahasa Inggris oleh

masyarakat lokal di desa Munduk?

2. Bagaimana tingkat kepuasan wisatawan mancanegara terhadap penguasaan bahasa

Inggris oleh masyarakat lokal di desa Munduk?

3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk memahami, menganalisis dan membahas mengenai

persepsi wisatawan mancanegara terhadap penguasaan bahasa Inggris, yang kemudian

dijabarkan secara khusus sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui persepsi wisatawan mancanegara terhadap penguasaan bahasa

Inggris oleh masyarakat lokal di desa Munduk

2. Untuk mengetahui tingkat kepuasan wisatawan mancanegara terhadap penguasaan

bahasa Inggris oleh masyarakat lokal di desa Munduk, sehingga dapat menentukan dan

mengambil langkah yang sebaiknya diambil oleh para pemangku kebijakan

Secara teoritis, penelitian ini merupakan kesempatan untuk dapat meningkatkan pemahaman

menyangkut permasalahan penguasaan bahasa asing oleh masyarakat lokal dalam menunjang

kegiatan kepariwisataan di Bali, terutama di desa Munduk. Secara Praktis, penelitian ini

diharapkan dapat berkontribusi dalam bentuk sumbangan pemikiran, ide atau gagasan kepada

pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan desa ataupun masyarakat di desa tersebut,

terutama untuk berkomunikasi dengan wisatawan.


4. Kajian Pustaka

Keterkaitan antara bahasa dengan pariwisata bukanlah merupakan hal yang baru. Sudah

banyak peneliti yang mengkaji secara mendalam mengenai bagaimana pentingnya penguasaan

bahasa inggris dan berbagai variasinya yang terjadi seiring dengan perkembangan pariwisata.

Studi ini dapat dilihat baik dari perspektif linguistik maupun pariwisata. Bermula dari Dann

(1996) dengan memperkenalkan Language of Tourism yang secara umum mengungkapkan

bahwa pariwisata dapat dibandingkan dengan bahasa, yang kemudian disarankan bahwa

pariwisata dalam hal promosi memerlukan diskursnya sendiri. Gradasi kedua ilmu ini juga

terlihat dari penelitian Fox (2008) yang meneliti penggunaan bahasa inggris di Pariwisata

melalui perspektif sosiolinguistik.

Penelitian di Bali sendiri sebagian besar terpaku kepada aspek linguistik, salah satunya

dari Sutjiati-Beratha (1999). Dalam penelitian tersebut mengkaji dan membahas mengenai

bagaimana terjadinya variasi bahasa inggris atau disebut juga pidgin dalam tuntutan industri

pariwisata. Melalui teori foreigner talk dan language use didapatkan hasil bahwa faktor yang

menyebabkan variasi tersebut disebabkankan dari segi internal dan eksternal. Dari segi internal

ditemukan ada dua jenis yakni interlingual dan intralingual, hal ini berkaitan dari segi fonologi

(pengucapan), morfologi (pembentukan kata), sintaksis (struktur kalimat) dan leksikon (makna).

Kemudian dari segi eksternal meliputi kelompok sosial penutur tersebut. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa memang variasi bahasa tidak dapat terhindarkan dikarenakan hal ini

dihadapkan pada keharusan untuk berinteraksi serta adanya gap yang cukup signifikan antara

bahasa Ibu dan bahasa target.

Kemudian, Jack & Phipps (2012:538) mencoba memberikan batasan bahwa fenomena ini

dapat dilihat dari segi pendekatan dampak pariwisata, pendekatan bahasa pariwisata dan
pendekatan pertemuan antar budaya. Namun, hasil penelitiannya masih belum terlihat jelas fokus

sehingga lebih merupakan gabungan antara kedua studi tersebut. Oleh karena itu, Thitthongkam

(2013) mencoba memfokuskan bagaimana bahasa dalam studi pariwisata saja dengan mengambil

lokasi di Thailand dengan judul Roles of Language and Culture towards Customer Satisfaction

in the Competitiveness of the Thai Tourism Industry. Penelitian ini berlandaskan pada teori

Customer Satisfaction dan teori Large-small Power Distance oleh Hofstede. Melalui teknik

pengumpulan data dengan wawancara mendalam kepada wisman dan manajer perusahaan tur

yang kemudian dianalisis secara kualitatif, didapatkan hasil bahwa bahasa dan budaya sangat

berperan penting terhadap kepuasan pelanggan. Disamping itu, direkomendasikan bahwa bahasa

merupakan alat penting untuk berkomunikasi dan dapat membantu menciptakan kesepahaman

antara masyarakat dengan wisman maka setiap organisasi kepariwisataan seharusnya dapat

menekankan pentingnya bahasa dan budaya untuk mempertahankan kepuasan pelanggan.

Thitthongkam selalu membuka mata akan pentingnya kesadaran terhadap besarnya peran

bahasa, terutama bahasa asing terhadap keberlanjutan pariwisata. Thitthongkam (2010a) dalam

penelitiannya Roles of Language in Tourism Organisational Management mengungkapkan

bahwa pada akhirnya personel atau staf di industri hospitality dengan kemampuan bahasa yang

baik menjadi sangat penting untuk manajemen organisasi pariwisata. Terutamanya penguasaan

bahasa inggris menjadi perihal yang sangat esensial, secara umum dapat dikutip bahwa English

competence is a requirement for reaching managerial level at the tourism organization

(Thitthongkam, 2010a). Penelitiannya yang selanjutnya dalam judul Language Roles in Internal

and External Communication in the Thai Tourism Industry Competitiveness. Tidak seperti

penelitian sebelumnya, penelitian ini melihat pentingnya bahasa untuk dapat berkompetisi

dengan destinasi wisata lainnya. Derajat keefektifan komunikasi dianalisis melalui observasi
kualitatif. Ditemukan hasil bahwa The usage of clear and appropriate language and vocabulary-

building helps generating effective communication leading to organizational change

(Thitthongkam, 2010b). Dengan demikian, ditekankan bahwa perlunya pembentukan kosa basa

yang tepat untuk menghasilkan komunikasi yang efektif dan optimal kepada wisatawan.

Penelitian mengenai kefasihan berbahasa asing juga menjadi perhatian di benua Eropa,

terutama di Negara Croatia yang juga lebih sepesifik untuk pengembangan karir individu.

Penelitian yang berjudul Language Proficiency for Careers in Tourism and Learning Different

Second Foreign Languages ini dilakukan oleh Bozivonic dan Sindik (2013) dengan mengambil

sample berupa kuesioner kepada mahasiswa di American College of Management and

Technology. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner disertai dengan skala

lima poin yang memberikan peringkat kepada derajat kepentingan dari mempelajari bahasa asing

pada pariwisata masal dan pariwisata elit. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sebagian

besar mahasiswa menganggap bahasa asing penting untuk dikuasai dalam karir pariwisata,

namun sangat direkomendasikan untuk juga mempelajari bahasa asing lainnya selain inggris.

Secara keseluruhan, para peniliti sangat menyarankan pentingnya penguasaan bahasa

asing, terutama Inggris dalam industri pariwisata. Khususnya di Bali, Gunton (2004)

mengadakan penelitian dengan membandingkan bahasa inggris masyarakat Bali dengan

mahasiswa pengungsi di Australia. Walaupun analisisnya lebih menggunakan teori dari segi

language learning and acquisition, Gunton (2004) menyarankan bahwa:

For the majority of Balinese involved in the tourist industry, English was learned from
listening and speaking. Since English is a necessary part of achieving success in their line
of work.

Namun, penelitian yang hanya mengerucut dari perspektif pariwisata terutama wisatawannya

masih belum ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana
persepsi wisatawan mancanegara terhadap penguasaan bahasa inggris oleh masyarakat lokal di

Desa Munduk. Masyarakat lokal sengaja dijadikan sample untuk mengetahui sejauh mana

kesiapan mereka dalam mengembangkan industri pariwisata sehingga dapat mengetahui pula

keterkaitannya dengan kepuasan layanan yang diberikan kepada wisatawan. Pengambilan lokasi

di Desa Munduk dengan alasan bahwa desa ini baru berkembang sehingga hasil penelitian

nantinya dapat mengurangi dan dengan cepat mengantisipasi dampak negatif yang mungkin akan

muncul.

5. Konsep

5.1 Persepsi

Menurut Sarwono dalam Parmita (2012), persepsi dapat dideskripsi sebagai sebuah

proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat yang dipergunakan untuk mendapatkan

informasi adalah panca indera dan untuk memahaminya diperlukan adanya kesadaran atau

kognisi. Tahap pertama dimulai dengan masuknya rangsangan pada panca indera yang

selanjutnya diikuti pengaturan rangsangan yang masuk oleh alat indera melalui prinsip-prinsip

proksimitas (proximity) atau kemiripan dan prinsip kelengkapan (closure). Tahap selanjutnya

dalam proses perseptual adalah penafsiran dan evaluasi. Tahap ini merupakan proses subjektif

yang melibatkan proses evaluasi dari pihak penerima rangsangan. Proses ini dikatakan sangat

subjektif karena tidak hanya didasarkan pada rangsangan yang datang dari luar, melainkan juga

sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan, sistem nilai, keyakinan

tentang yang seharusnya, keadaan fisik dan emosi pada saat itu, dan lain sebagainya pada diri

seseorang.
Sarwono (2002) juga mengungkapkan terdapat dua hal yang penting berkenaan dengan

persepsi, yaitu keadaan dan perasaan orang pada saat ini, di tempat ini melalui komunikasi lisan

maupun tidak lisan untuk mengetahui hal-hal apa yang menjadi sebab dari kondisi tampilannya

saat ini. Rangkuti (2002) mengungkapkan bahwa persepsi pelanggan diidentifikasikan sebagai

suatu proses dimana individu memilih, mengorganisasikan, serta mengartikan stimulus yang

diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna. Meskipun demikian, makna dari proses

persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan.

Produk atau jasa juga memberikan stimulus tertentu kepada individu, hasil stimulus tersebut

menimbulkan persepsi diiringi dengan berbagai faktor.

5.2 Penguasaan Bahasa Inggris di Industri Pariwisata

Secara umum, bahasa merupakan alat utama untuk menjembatani hubungan komunikasi

seperti yang dikutip dalam Bozinovic & Sindik (2013) bahwa language is the most important

medium of human communication, since through it we express information, ideas, emotions,

attitudes and so many other things. Dalam hal mikro, seperti pariwisata, bahasa memiliki peran

yang sangat penting untuk menjaga dan menyebarkan informasi terkait kepariwisataan kepada

wisatawan. Pariwisata memang sudah diakui memberikan kontribusi yang sangat besar bagi

pergerakan perekonomian, tak pelak masyarakat akan melakukan berbagai cara untuk dapat

terjun dalam industri ini, tentunya dengan mengembangkan diri dalam bidang komunikasi, yakni

bahasa asing. Crystal (1997) menegaskan bahwa money talks very loudly in tourism sehingga

sudah dapat diyakinkan bahwa pariwisata memberikan motivasi kepada masyarakat untuk

terdorong belajar bahasa inggris untuk penghidupannya. Sutjiati-Beratha (1999) juga

mempertegas bahwa kegiatan kepariwisataan memerlukan pemakaian bahasa inggris. Untuk itu,
penguasaan bahasa ini mutlak diperlukan dalam pariwisata Bali berlanjut. Akibat dari

perkembangan kepariwisataan ini ditemukan fenomena penggunaan bahasa inggris yang tidak

sesuai dengan kaidah bagaimana sebenarnya bahasa tersebut difungsikan pada ranah penggunaan

bahasa.

Hall-Lew & Lew (2014) dengan jeli melihat masalah linguistik ini diakibatkan oleh

adanya perbedaan tipologi yang berkaitan dengan pola pengucapan, kosa basa dan struktur tata

bahasa antara dua bahasa tersebut, yang dijelaskan sebagai berikut:

Typological distinctiveness or “linguistic distance” may be conceived in terms of the


number and type of formal differences in pronunciation patterns, vocabulary, and
grammatical features between two languages

Ketidaksesuaian ini yang kemudian menggiring pada kecenderungan akan terjadinya pidgin,

menurut Hamers (2004) pidgin terletak pada ranah fungsi yang mengalami modifikasi di bagian

bentuk, dengan definisi selengkapnya sebagai berikut:

Auxiliary languages (form) developed for the purpose of minimal communication


between individuals speaking mutually unintelligible vernaculars (function). The pidgin
is characterized by limited and simplified forms. As the need for communication
increases in the society (function), so new forms are created by the speakers.

Kemudian, oleh Saville-Troike (2003) pidgin dikategorisasikan ke dalam tipe varietas bahasa

yang dijelaskan bahwa:

Three very different types of language varieties are included in this category: (1) the
marked forms and patterns used by speakers in a foreign or second language; (2) the
lingua francas or international language codes; and (3) the languages which have
developed with official or auxiliary but “transplanted” status in societies where there are
no indigenous speakers.

Diungkapkan bahwa pidgin hanyalah bahasa pembantu yang ditransplantasi pada suatu

komunitas dimana bahkan tidak memiliki penutur asli. Hal ini memperkuat bahwa salah satu hal
yang menjadi faktor terdorongnya pembentukan pidgin adalah karena tuntutan pariwisata yang

mengharuskan masyarakat lokal dan pelaku pariwisata untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa

global tersebut sehingga dapat dikatakan pula bahwa pariwisata dan hospitality merupakan

penggerak transisi, seperti yang diungkapkan oleh Bozinovic & Sindik (2013) bahwa tourism

and hospitality are clearly seen as drivers of transition…language is the vehicle they use in this

process of transition. Dengan demikian, korelasi antara bahasa Inggris dan pariwisata terletak

pada kebutuhan komunikasi yang menjadi medianya, senada seperti yang diungkapkan Hamers

(2004) bahwa language is distinct from communication but is used as a tool for it, bahasa

internasional inilah yang menjadi alat untuk mengembangkan kepariwisataan tersebut.

Bila dikaitkan dengan pariwisata, dapat dikatakan bahwa pariwisata juga membutuhkan

promosi atau pemasaran yang efektif, seperti yang diungkapkan Kotler (2001) melalui skema ini:

Gambar 2. Sistem pemasaran

Berdasarkan skema tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi memegang peranan

yang sangat penting untuk melancarkan kegiatan pemasaran sehingga transaksi yang terjadi

antara industri atau penjual dengan market atau konsumen dapat berjalan dengan lancar, saling

memahami dan komunikatif.

6. Daftar Pustaka

Bozivonic, Nikolina & Josko Sindik. 2013. Language Proficiency for Careers in Tourism and
Learning Different Second Foreign Languages. Dalam Jurnal Turizam. Vo. 17, Issue
3, p. 121-130. Diunduh dari: http://www.dgt.uns.ac.rs/turizam/arhiva/vol_1703_3.pdf
pada tanggal 18 April 2015
Crystal, David. 1997. English as Global Language. UK: Cambridge University Press
Dann, G. 2001. The Language of Tourism: A Sociolinguistic Perspective. 2nd Edition.
Wallingford, UK: CAB International
Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2013. Statistik Pariwisata Bali. Denpasar: Dinas Pariwisata
Provinsi Bali
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Bali. 2012. Perencanaan Tenaga
Kerja Provinsi Bali tahun 2012-2016. Denpasar: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Pemerintah Provinsi Bali
Fox, Renata. 2008. English in Tourism: A Sociolinguistic Perspective. Dalam Tourism and
Hospitality Management Journal, Vol. 14, No.1, p. 13-22. Diunduh dari:
http://www.fthm.uniri.hr/files/Casopis/vol._14_no._1.pdf pada tanggal 18 April 2015
Gunton, Adrea. 2004. A comparison of English language learning and use by Balinese people
involved in the tourist industry and refugee students. Diunduh dari:
www.aaref.com.au/attachment.aspx?id=2163 pada tanggal 17 April 2015
Hall, E. J. 1976. The Language of Tourism in English: English for Careers. New York: Regent
Hall-Lew, L.A. & Lew Alan A. 2014. Speaking Heritage: Language, Identity, and Tourism.
Diunduh dari: http://www.lel.ed.ac.uk/~lhlew/Hall-Lew_&_Lew_2014_proofs.pdf
pada tanggal 17 April 2015
Hamers, Josiane F. 2004. A Sociocognitive Model of Bilingual Development. Dalam Journal Of
Language and Social Psychology, Vol. 23 No. 1, p. 70-98. Diunduh dari:
http://www.u.arizona.edu/~rgolden/LanguageDevelopment.pdf pada tanggal 15 April
2015
Jack, G. & Alison Phipps. 2012. Tourism. Dalam: Jane Jackso, editor. The Language Handbook
of Language and Intercultural Communication. New York: Routledge. p. 537-567
Kotler, Phillip. 2001. Marketing Management, Millenium Edition. New Jersey: Prentice-Hall
Manuaba, I.A Chandra Purnamasari. 2013. The Use of Pidginized English by Vendors in
Seminyak Beach Kuta Bali. Denpasar: Universitas Udayana
Parmita, I Ketut Gede. 2012. Persepsi Biro Perjalanan Wisata di Bali Terhadap Produk Nusa Dua
Beach Hotel & Spa. Denpasar: Universitas Udayana
Pemerintah Provinsi Bali Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2014. Data Bali
Membangun 2013. Denpasar: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication (3rd ed). UK: Blackwell
Publishing Ltd.
Sutjiati-Beratha, N.L. 1999. Variasi Bahasa Inggris pada Kawasan Pariwisata di Bali. Diunduh
pada: jurnal.ugm.ac.id, pada tanggal 14 April 2014
Thitthongkam, Thavorn dkk. 2010a. Roles of Language in Tourism Organisational Management.
Dalam Asian Journal Of Management Research. Diunduh dari:
http://ipublishing.co.in/ajmrvol1no1/EIJMRS1016.pdf pada tanggal 18 April 2015
Thitthongkam, Thavorn dkk. 2010b. Language Roles in Internal and External Communication in
the Thai Tourism Industry Competitiveness. Dalam Jurnal Acta Universitatis Danubius
No 2/2010. Diunduh dari: http://journals.univ-
danubius.ro/index.php/oeconomica/article/view/616/567 pada tanggal 18 April 2015
Thitthongkam, Thavorn. 2013. Roles of Language and Culture towards Customer Satisfaction in
the Competitiveness of the Thai Tourism Industry. Dalam International Journal of
Economics, Finance and Management. Vol. 2, No.1. Diunduh dari:
http://www.ejournalofbusiness.org/archive/vol2no1/vol2no1_9.pdf pada tanggal 18
April 2015
Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics (Fifth edition). Oxford: Blackwell
Publishing
TEKNIK PENULISAN ILMIAH

PERSEPSI WISATAWAN MANCANEGARA TERHADAP

PENGUASAAN BAHASA INGGRIS DI DESA MUNDUK

PUTU DEVI ROSALINA


1491061017

PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

Anda mungkin juga menyukai