Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Abortus

2.1.1. Pengertian Abortus

Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi


sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil,
yang dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram
waktu lahir. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat
badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai
pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari
20 minggu (Prawirohardjo, 2005).

2.1.2 Etiologi

Abortus yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan umumnya


disebabkan oleh faktor ovofetal, pada minggu-minggu berikutnya (11 – 12 minggu),
abortus yang terjadi disebabkan oleh faktor maternal (Sayidun, 2001).

Faktor ovofetal:

Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya menunjukkan bahwa pada


70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau terjadi
malformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar belakang
kejadian abortus adalah kelainan chromosomal. Pada 20% kasus, terbukti adanya
kegagalan trofoblast untuk melakukan implantasi dengan adekuat.

Faktor maternal:

Sebanyak 2% peristiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit sistemik maternal


(systemic lupus erythematosis) dan infeksi sistemik maternal tertentu lainnya. 8%
peristiwa abortus berkaitan dengan abnormalitas uterus ( kelainan uterus
kongenital, mioma uteri submukosa, inkompetensia servik). Terdapat dugaan
bahwa masalah psikologis memiliki peranan pula dengan kejadian abortus
meskipun sulit untuk dibuktikan atau dilakukan penilaian lanjutan. Penyebab
abortus dapat dibagi menjadi 3 faktor, yaitu:

1. Faktor janin
Faktor janin penyebab keguguran adalah kelainan genetik, dan ini terjadi
pada 50%-60% kasus keguguran.
2. Faktor ibu:

a. Kelainan endokrin (hormonal) misalnya hipotiroid, diabetes mellitus.

b. Faktor imunologi, misalnya pada penyakit lupus, Anti phospholipid


syndrome.

c. Infeksi, diduga akibat beberapa virus seperti cacar air, campak jerman,
toksoplasma , herpes, klamidia.

d. Kelemahan otot leher rahim (servix incompetence)

e. Kelainan bentuk rahim, misalnya: pada kasus mullerian ducts anomaly.

3. Faktor Ayah

Kelainan kromosom dan infeksi sperma diduga dapat menyebabkan abortus.

Selain 3 faktor di atas, faktor penyebab lain dari terjadinya abortus adalah:
1. Faktor genetik

Sekitar 5 % abortus terjadi karena faktor genetik. Paling sering


ditemukannya trisomi 16. Penyebab yang paling sering menimbulkan
abortus spontan adalah abnormalitas kromosom pada janin. Lebih dari 60%
abortus spontan yang terjadi pada trimester pertama menunjukkan beberapa
tipe abnormalitas genetik. Abnormalitas genetik yang paling sering terjadi
adalah aneuploidi (abnormalitas komposisi kromosom) contohnya trisomi
autosom yang menyebabkan lebih dari 50% abortus spontan. Poliploidi
menyebabkan sekitar 22% dari abortus spontan yang terjadi akibat kelainan
kromosom. Sekitar 3-5% pasangan yang memiliki riwayat abortus spontan
yang berulang salah satu dari pasangan tersebut membawa sifat kromosom
yang abnormal. Identifikasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan kariotipe
dimana bahan pemeriksaan diambil dari darah tepi pasangan tersebut.
Tetapi tentunya pemeriksaan ini belum berkembang di Indonesiadan
biayanya cukup tinggi.

2. Faktor anatomi

Faktor anatomi kogenital dan didapat pernah dilaporkan timbul pada 10-15
% wanita dengan abortus spontan yang rekuren.

a. Lesi anatomi kogenital yaitu kelainan duktus Mullerian (uterus bersepta).


Duktus mullerian biasanya ditemukan pada keguguran trimester kedua.

b. Kelainan kogenital arteri uterina yang membahayakan aliran darah


endometrium.

c. Kelainan yang didapat misalnya adhesi intrauterin (synechia), leimioma,


dan endometriosis.

Abnormalitas anatomi maternal yang dihubungkan dengan kejadian abortus


spontan yang berulang termasuk inkompetensi serviks, kongenital dan
defek uterus yang didapatkan (acquired). Malformasi kongenital termasuk
fusi duktus Mulleri yang inkomplit yang dapat menyebabkan uterus
unikornus, bikornus atau uterus ganda. Defek pada uterus yang acquired
yang sering dihubungkan dengan kejadian abortus spontan berulang
termasuk perlengketan uterus atau sinekia dan leiomioma. Adanya kelainan
anatomis ini dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi (USG),
histerosalfingografi (HSG), histeroskopi dan laparoskopi (prosedur
diagnostik).

Pemeriksaan yang dapat dianjurkan kepada pasien ini adalah pemeriksaan


USG dan HSG. Dari pemeriksaan USG sekaligus juga dapat mengetahui
adanya suatu mioma terutama jenis submukosa. Mioma submukosa
merupakan salah satu faktor mekanik yang dapat mengganggu implantasi
hasil konsepsi. Jika terbukti adanya mioma pada pasien ini maka perlu
dieksplorasi lebih jauh mengenai keluhan dan harus dipastikan apakah
mioma ini berhubungan langsung dengan adanya ROB pada pasien ini. Hal
ini penting karena mioma yang mengganggu mutlak dilakukan operasi.

3. Faktor endokrin:

a. Faktor endokrin berpotensial menyebabkan aborsi pada sekitar 10-20 %


kasus.

b. Insufisiensi fase luteal ( fungsi corpus luteum yang abnormal dengan


tidak cukupnya produksi progesteron).

c. Hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, diabetes dan sindrom polikistik


ovarium merupakan faktor kontribusi pada keguguran. Kenaikan insiden
abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidismus, diabetes melitus dan
defisisensi progesteron. Hipotiroidismus tampaknya tidak berkaitan dengan
kenaikan insiden abortus (Sutherland dkk, 1981). Pengendalian glukosa
yang tidak adekuat dapat menaikkan insiden abortus (Sutherland dan
Pritchard, 1986). Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon
tersebut dari korpus luteum atau plasenta, mempunyai kaitan dengan
kenaikan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan
desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi
pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa
kematiannya.

4. Faktor infeksi

Infeksi termasuk infeksi yang diakibatkan oleh TORC (Toksoplasma,


Rubella, Cytomegalovirus) dan malaria. Infeksi intrauterin sering
dihubungkan dengan abortus spontan berulang. Organisme-organisme yang
sering diduga sebagai penyebab antara lain Chlamydia, Ureaplasma,
Mycoplasma, Cytomegalovirus, Listeria monocytogenes dan Toxoplasma
gondii. Infeksi aktif yang menyebabkan abortus spontan berulang masih
belum dapat dibuktikan. Namun untuk lebih memastikan penyebab, dapat
dilakukan pemeriksaan kultur yang bahannya diambil dari cairan pada
servikal dan endometrial.

5. Faktor imunologi
Terdapat antibodikardiolipid yang mengakibatkan pembekuan darah
dibelakang ari-ari sehingga mengakibatkan kematian janin karena
kurangnya aliran darah dari ari-ari tersebut. Faktor imunologis yang telah
terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus spontan yang berulang
antara lain: antibodi antinuklear, antikoagulan lupus dan antibodi
cardiolipin. Adanya penanda ini meskipun gejala klinis tidak tampak dapat
menyebabkan abortus spontan yang berulang. Inkompatibilitas golongan
darah A, B, O, dengan reaksi antigen antibodi dapat menyebabkan abortus
berulang, karena pelepasan histamin mengakibatkan vasodilatasi dan
peningkatan fragilitas kapiler.

6. Penyakit kronis

Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan


ibu, misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang
menyebabkan abortus; sebaliknya pasien penyakit tersebut sering
meninggal dunia tanpa melahirkan. Adanya penyakit kronis (diabetes
melitus, hipertensi kronis, penyakit liver/ ginjal kronis) dapat diketahui
lebih mendalam melalui anamnesa yang baik. Penting juga diketahui
bagaimana perjalanan penyakitnya jika memang pernah menderita infeksi
berat, seperti apakah telah diterapi dengan tepat dan adekuat. Untuk
eksplorasi kausa, dapat dikerjakan beberapa pemeriksaan laboratorium
seperti pemeriksaan gula darah, tes fungsi hati dan tes fungsi ginjal untuk
menilai apakah ada gangguan fungsi hepar dan ginjal atau diabetes melitus
yang kemudian dapat menimbulkan gangguan pada kehamilan seperti
persalinan prematur.

7. Faktor Nutrisi

Malnutrisi umum yang sangat berat memiliki kemungkinan paling besar


menjadi predisposisi abortus. Meskipun demikian, belum ditemukan bukti
yang menyatakan bahwa defisisensi salah satu/ semua nutrien dalam
makanan merupakan suatu penyebab abortus yang penting.

8. Obat-obat rekreasional dan toksin lingkungan.


Peranan penggunaan obat-obatan rekreasional tertentu yang dianggap
teratogenik harus dicari dari anamnesa seperti tembakau dan alkohol, yang
berperan karena jika ada mungkin hal ini merupakan salah satu yang
berperan.

9. Faktor psikologis.

Dibuktikan bahwa ada hubungan antara abortus yang berulang dengan


keadaan mental akan tetapi belum dapat dijelaskan sebabnya. Yang peka
terhadap terjadinya abortus ialah wanita yang belum matang secara
emosional dan sangat penting dalam menyelamatkan kehamilan. Usaha-
usaha dokter untuk mendapat kepercayaan pasien, dan menerangkan segala
sesuatu kepadanya, sangat membantu. Pada penderita ini, penyebab yang
menetap pada terjadinya abortus spontan yang berulang masih belum dapat
dipastikan. Akan lebih baik bagi penderita untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha mencari kelainan yang mungkin menyebabkan abortus
yang berulang tersebut, sebelum penderita hamil guna mempersiapkan
kehamilan yang berikutnya.

2.1.3. Mekanisme Abortus

Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh


bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi
plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan
terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang
dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian
desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian
dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis.
Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.

Pada kehamilan 8 – 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali dengan
pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang
cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah
berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri. Jenis
ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak. Pada kehamilan
minggu ke 14 – 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya
plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam
uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan
pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa
nyeri lebih menonjol. Dari penjelasan di atas jelas bahwa abortus ditandai dengan
adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam (Prawirohardjo,
2008).

2.1.4 Klasifikasi Abortus

Abortus sendiri dapat dibagi atas terjadinya dan klasifikasi medis.

Menurut terjadinya dibedakan atas:

1. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa


disengaja atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau
medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.

2. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja


tanpa indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan
alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi:

a. Abortus medisinalis (abortus therapeutica) yaitu abortus karena


tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat
membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu
mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.

b. Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena


tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis
dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional.

Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut :

1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya


abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan
hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.
2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai
dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi
hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.

3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari


kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.

4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum
uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari
500 gram.

5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus
telah meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil
konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.

6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih
berturut-turut.

7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.

8. Abortus Terapeutik adalah abortus dengan induksi medis (Prawirohardjo,


2008)

2.2 Abortus Spontan

2.2.1 Pengertian

Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan
uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas
digunakan adalah keguguran (miscarriage) (Cunningham, 2000). Keguguran adalah
setiap kehamilan yang berakhir secara spontan sebelum janin dapat bertahan.
Sebuah keguguran secara medis disebut sebagai aborsi spontan. WHO
mendefenisikan tidak dapat bertahan hidup sebagai embrio atau janin seberat 500
gram atau kurang, yang biasanya sesuai dengan usia janin (usia kehamilan) 20
hingga 22 minggu atau kurang.

2.2.2. Gejala-Gejala Abortus Spontan

Adapun gejala-gejala dari abortus spontan sebagai berikut:


1. Pendarahan bisa hanya sekedar bercak ataupun perdarahan yang masif.
Anamnesa harus digali ke pasien, apakah dia mendapati gumpalan darah atau
adanya jaringan yang keluar dari liang kemaluan.
2. Nyeri dan kram terjadi di perut bagian bawah. Bisa terjadi hanya di satu sisi,
kedua sisi, atau di tengah. Rasa sakit juga dapat masuk ke punggung bawah,
bokong, dan alat kelamin.
3. Pasien mungkin tidak lagi memiliki tanda-tanda kehamilan seperti mual atau
payudara bengkak/nyeri ketika telah mengalami keguguran (Vicken Sepilian,
2007).

2.2.3 Diagnosis Abortus Spontan

1. Anamnesis

a. Adanya amenore pada masa reproduksi.

b. Perdarahan pervaginam disertai jaringan hasil konsepsi bisa disertai


penggumpalan darah ataupun keluarnya jaringan.

c. Rasa sakit atau keram perut di daerah atas simpisis.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pengukuran tinggi fundus uterus hingga pemeriksaan dalam


perlu dilakukan untuk melihat kondisi mulut rahim.

3. Pemeriksaan penunjang:

a) Pemeriksaan USG (Ultrasonografi). Memastikan kondisi dalam rahim,


apakah janin masih bertahan dengan detak jantung yang baik dan normal
dan kelengkapan bagian-bagian nya, kondisi cairan ketuban dan selaput
ketuban.

b) Pemeriksaan darah. Jika mengalami keguguran, pengukuran hormon


kehamilan, HCG beta, kadang-kadang bisa berguna dalam menentukan
apakah Anda telah benar-benar melewati semua jaringan plasenta.

c) Pemeriksaan jaringan. Jika telah melewati jaringan, dapat dikirim ke


laboratorium untuk mengkonfirmasi bahwa keguguran telah terjadi - dan
bahwa gejala tidak berhubungan dengan penyebab lain dari perdarahan
kehamilan (Vicken Sepilian, 2007).

Aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi lima subkelompok, yaitu:

a) Threatened Miscarriage (Abortus Iminens).


Yang pertama kali muncul biasanya adalah perdarahan, dan beberapa jam
sampai beberapa hari kemudian terjadi nyeri kram perut. Nyeri abortus
mungkin terasa di anterior dan jelas bersifat ritmis; nyeri dapat berupa nyeri
punggung bawah yang menetap disertai perasaan tertekan di panggul; atau rasa
tidak nyaman atau nyeri tumpul di garis tengah suprapubis.
b) Inevitable Miscarriage (Abortus Tidak Terhindarkan).
Abortus tidak terhindarkan (inevitable) ditandai oleh pecah ketuban yang nyata
disertai pembukaan serviks.

c) Incomplete Miscarriage (Abortus tidak lengkap). Pada abortus yang terjadi


sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersama-sama,
tetapi setelah waktu ini keluar secara terpisah. Apabila seluruh atau sebagian
plasenta tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang
merupakan tanda utama abortus inkomplet.

d) Missed Abortion. Hal ini didefenisikan sebagai retensi produk konsepsi yang
telah meninggal in utero selama beberapa minggu. Setelah janin meninggal,
mungkin terjadi perdarahan per vaginam atau gejala lain yang mengisyaratkan
abortus iminens, mungkin juga tidak. Uterus tampaknya tidak mengalami
perubahan ukuran, tetapi perubahan-perubahan pada payudara biasanya kembali
seperti semula.

e) Recurrent Miscarriage (Abortus Berulang). Keadaan ini didefinisikan menurut


berbagai kriteria jumlah dan urutan, tetapi definisi yang paling luas diterima adalah
abortus spontan berturutturut selama tiga kali atau lebih (Cunningham, 2000).

2.2.4 Komplikasi Abortus Spontan

Komplikasi yang mungkin timbul (Budiyanto dkk, 1997) adalah:


a. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal,
diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan,
dapat pula timbul lama setelah tindakan.

b. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat


mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila setelah
seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat kemungkinan
adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan histologik harus dilakukan
dengan teliti.

c. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus. Hal
ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung udara
masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem vena di
endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil biasanya tidak
menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan sudah
dapat memastikan dengan segera.

d. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan tanpa
anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini dapat terjadi
akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan yang
terlalu panas atau terlalu dingin.

e. Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal


seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat
mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-obatan
seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb, pemeriksaan histologik
dan toksikolgik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

f. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi
memerlukan waktu.

g. Lain-lain seperti tersengat arus listrik saat melakukan abortus dengan


menggunakan pengaliran arus listrik.

2.2.5 Prognosis Abortus Spontan


Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan
sebelumnya (Manuaba, 1998).

1. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abotus yang


rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %.

2. Pada wanita keguguran dengan etiologi yang tidak diketahui,


kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %.

3. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung


janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih
aborsi spontan yang tidak jelas.

2.2.6 Penatalaksanaan Abortus Spontan

1. Memperbaiki keadaan umum. Bila perdarahan banyak, berikan transfusi darah


dan cairan yang cukup.

2. Pemberian antibiotika yang cukup tepat yaitu suntikan penisilin 1 juta satuan tiap
6 jam, suntikan streptomisin 500 mg setiap 12 jam, atau antibiotika spektrum luas
lainnya

3. 24 sampai 48 jam setelah dilindungi dengan antibiotika atau lebih cepat bila
terjadi perdarahan yang banyak, lakukan dilatasi dan kuretase untuk mengeluarkan
hasil konsepsi.

4. Pemberian infus dan antibiotika diteruskan menurut kebutuhan dan kemajuan


pasien.

Semua pasien abortus diberikan vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya
setelah tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali bila
ada komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat atau
infeksi.2 Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan
kembali ke dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri
setelah perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat. Tujuan perawatan
untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase keluarga terdekat
pasien menandatangani surat persetujuan tindakan (Maureen, 2002).
Terdapat berbagai metode bedah dan medis untuk mengobati abortus
spontan serta terminasi yang dilakukan pada keadaan lain, dan hal ini diringkas
sebagai berikut (Kenneth dkk, 2003).

1. Dilatasi serviks diikuti oleh evakuasi hasil konsepsi


a. Aspirasi vakum (kuretase isap)
b. Dilatasi dan evakuasi (D&E)
c. Dilatasi dan Curretase (D&C)
2. Aspirasi haid
3. Laparatomi
a. Histerotomi
b. Histerektomi
4. Teknik Medis
a. Oksitosin intravena
b. Cairan hiperosmotik intraamnion (saline 20%, urea 30%)
5. Prostaglandin E2, F2α, dan analognya
a. Injeksi intraamnion
b. Injeksi ekstraovular
c. Insersi vagina
d. Injeksi parenteral
e. Ingesti oral

Antiprogesteron─RU 486 (mifepriston) dan epostan.

Berbagai kombinasi dari di atas.

Dilatasi dan Kuretase

Aborsi bedah sebelum 14 minggu dilakukan mula-mula dengan


membuka serviks, kemudian mengeluarkan kehamilan dengan secara
mekanis mengerok keluar isi uterus (kuretase tajam), dengan aspirasi vakum
(kuretase isap), atau keduanya. Setelah 16 minggu, dilakukan dilatasi dan
evakuasi (D&E). Tindakan ini berupa pembukaan seviks secara lebar diikuti
oleh dekstruksi mekanis dan evakuasi bagian janin. Setelah janin
dikeluarkan secara lengkap maka digunakan kuret vakum berlubang besar
untuk mengeluarkan plasenta dan jaringan yang tersisa. Dilatasi dan
Curretase (D&C) serupa dengan D&E kecuali pada D&C, bahwa sebagian
dari janin mula-mula dikuretase melalui serviks yang telah membuka untuk
mempermudah tindakan

Dilator Higroskopik

Batang laminaria sering digunakan untuk membantu membuka


serviks sebelum aborsi bedah. Alat ini menarik air dari jaringan serviks
sehingga serviks melunak dan membuka. Dilator higroskopik sintetik juga
dapat digunakan. Lamicel adalah suatu spons polimer alkohol polivinil yang
mengandung magnesium sulfat anhidrosa. Trauma akibat dilatasi mekanis
dapat diperkecil dengan menggunakan dilator higroskopik. Wanita yang
sudah dipasangi dilator osmotik sebelum suatu aborsi elektif, tetapi
kemudian berubah pikiran umumnya tidak menderita morbiditas infeksi
setelah dilator dikeluarkan.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, Gary, F. dkk. 2006. Obstetri Williams Vol. 2. Jakarta: EGC, 951-964
Manuaba, I.B.G dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC, 683-697.
Rustam, Mochtar. 2012. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.
Jakarta: EGC.
Saifuddin, Abdul Bari. 2009. Perdarahan Kehamilan Muda. Dalam: Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi I. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sepilian, Vicken; Ellen W. 2012. Threatened miscarriage.
www.emedicinehealth.com/threatened_miscarriage/article_em.html
Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 246.

Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo, 302-312

Anda mungkin juga menyukai