Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sebuah konstruksi bangunan akan sangat baik dan kuat apabila seluruh

elemen pentingnya terpenuhi dengan baik, tak terkecuali pada mortar. Mortar

merupakan salah satu material yang memiliki peran penting dalam bidang

konstruksi. Mortar berfungsi untuk menambah lekatan dan ketahanan ikatan dengan

elemen penyusun konstruksi lainnya. Mortar juga berfungsi sebagai susunan

pengikat suatu konstruksi, baik yang bersifat struktural maupun non-struktural.

Penggunaan mortar untuk konstruksi yang bersifat struktural misalnya mortar untuk

pasangan batu belah pada struktur pondasi, bendungan atau tanggul penahan.

Sedangkan yang bersifat non-struktural contohnya adalah mortar untuk dinding

pengisi atau pasangan batu bata, dsb.

Mortar merupakan hasil dari bahan penyusunnya yang terdiri dari semen

hidrolik (portland cement), pasir, dan air. Pencampuran bahan – bahan penyusun

tersebut akan menghasilkan adukan mortar yang mudah dicetak sesuai dengan

wadah atau bentuk yang diinginkan. Fungsi mortar adalah sebagai matrik pengikat

bagian penyusun suatu konstruksi baik yang bersifat struktural maupun non

struktural. Untuk mendapatkan kualitas plesteran yang baik, harus dilakukan

perawatan plesteran yang baik pula. Perawatan ini dilakukan untuk menjaga

kelembaban dan suhu plesteran agar tidak terjadinya proses dehidrasi semen yang

cepat, yang akan menyebabkan muai susut pada plesteran.


Air digunakan sebagai pemicu reaksi hidrasi semen. Air berfungsi untuk

membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan plesteran. Air

yang dapat digunakan untuk campuran mortar plesteran umumnya adalah air yang

dapat diminum/ bersih, oleh karena itu kualitas dan sifat mortar akan berbeda

seiring dengan senyawa yang ada pada air yang digunakan.

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang juga

memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu sepanjang 54.716 km. Oleh

karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat bangunan – bangunan yang

terletak di daerah pantai seperti dermaga, talud dan bahkan rumah tinggal. Dalam

kondisi tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan air yang tidak

mengandung garam atau senyawa lain yang terbawa oleh laut akan sulit didapat,

bahkan bisa dikatakan terdapat beberapa daerah yang terisolir dari air bersih.

Melihat potensi sumber air laut yang mencapai 2/3 bagian dari bumi, maka ada

pemikiran untuk menggunakan air laut sebagai bahan perawatan mortar plesteran,

khususnya pada lokasi bangunan yang berada di daerah pantai yang air tanahnya

sudah mengalami ekstrusi dengan air laut/ mengandung NaCl, sehingga penting

untuk mengetahui pengaruh perawatan plesteran menggunakan air laut dan air

tawar dengan penambahan NaCl terhadap sifat dan kinerjanya.

Penggunaan mortar harus sesuai dengan standar spesifikasi SNI 03-6882-

2002. Standar spesifikasi ini mengacu pada kuat tekan mortar dalam menerima

beban. Kekuatan mortar dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor air

semen dan kepadatan, jenis semen, jumlah semen, sifat agregat dan umur mortar.

Tidak efektif apabila menguji kualitas kuat tekan beton hanya pada umur 28 hari

saja, karena pembebanan mortar terhadap konstruksi diatasnya bahkan terjadi


ketika belum mencapai umur 28 hari. Oleh karena itu, uji kuat tekan pada

perkerasan mortar yaitu pada tahapan umur 1, 3, 7 dan 28 hari perlu dilakukan untuk

mengendalikan kualitas kuat tekan mortar, agar sesuai dengan yang diharapkan,

yaitu tidak kurang dari persyaratan kuat tekan. Maka dari itu, akan dilakukan

penelitian mengenai pengaruh perendaman menggunakan air laut dan air garam

(NaCl) terhadap kuat tekan mortar untuk plesteran.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasi

permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh air laut sebagai air perawatan (curing) terhadap kuat

tekan mortar untuk plesteran disetiap tahapan umur?

2. Bagaimana pengaruh penambahan natrium klorida (NaCl) terhadap kuat

tekan mortar untuk plesteran disetiap tahapan umur?

1.3. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran dengan apa

yang ingin dicapai, maka penelitian ini diberikan batasan masalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan Universitas Negeri Jakarta

2. Benda uji yang akan digunakan berbentuk kubus berukuran 15 x 15 cm.

3. Semen yang digunakan adalah semen portland komposit (PCC)

4. Air pencampur menggunakan air tawar. Air perawatan (curing) yang

digunakan adalah air laut dan air garam (NaCl). Air laut yang digunakan

berasal dari Pantai Ancol, Jakarta Utara.


5. Jenis perendaman yang digunakan adalah menggunakan air tawar, air laut dan

air garam (NaCl). Untuk perendaman air garam, menggunakan penambahan

NaCl sebanyak 3% terhadap berat semen.

6. Uji kuat tekan dilakukan pada umur 1, 3, 7 dan 28 hari.

7. Jumlah benda uji dibatasi masing – masing 3 sampel untuk setiap variasi.

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan

masalah, maka didapatkan perumusan masalah sebagai berikut; “Bagaimana

pengaruh perendaman menggunakan air laut dan air garam (NaCl) terhadap kuat

tekan mortar untuk plesteran?”

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh air laut sebagai perawatan (curing) terhadap kuat

tekan mortar untuk plesteran disetiap tahapan umur?

2. Menganalisis pengaruh penambahan NaCl sebagai perawatan (curing)

terhadap kuat tekan mortar untuk plesteran disetiap tahapan umur?

1.6. Kegunaan Penelitian

Diharapkan dalam penelitian ini akan bermanfaat untuk:

1. Dijadikan sebagai acuan dan informasi untuk para peneliti dalam

mengembangkan penelitian yang berhubungan dengan perawatan

menggunakan air laut dan air garam (NaCl) pada mortar sebagai plesteran.

2. Referensi para pekerja konstruksi yang berada di daerah pantai atau bahkan

yang terisolir dari air bersih, sehingga dapat mempertimbangkan untuk

menggunakan air laut.


BAB II

KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1. Kerangka Teoritik

2.1.1. Mortar

Mortar merupakan campuran material yang terdiri dari agregat halus

(pasir), bahan perekat (tanah liat, kapur, semen portland) dan air dengan

komposisi tertentu. Hasil pengikatan diantara bahan – bahan tersebut bereaksi

secara kimia, sehingga membuat suatu bahan yang padat dan tahan lama (SNI

03-6825-2002).

Fungsi utama mortar adalah menambah lekatan dan ketahanan ikatan

dengan bagian – bagian penyusun suatu konstruksi. Kekuatan mortar

tergantung pada nilai kohesi pasta semen yang digunakan terhadap partikel

agregat halusnya. Mortar mempunyai nilai penyusutan relatif kecil. Mortar

harus tahan terhadap penyerapan air, jika penyerapan air pada mortar terlalu

cepat/ besar, maka mortar akan mengeras dengan cepat dan kehilangan ikatan

adhesinya.

Menurut Tjokrodimuljo (2004), sifat mortar yang baik adalah sebagai

berikut:

1. Murah

2. Tahan lama (Awet)

3. Mudah dikerjakan (diaduk, diangkat, dipasang, diratakan)

4. Melekat dengan baik dengan bata merah, batu dan sebagainya

5. Cepat mengering/ mengeras

6. Tahan terhadap rembesan air


7. Tidak timbul retak – retak setelah mengeras

Adukan mortar dibagi menjadi dua berdasarkan tujuannya, diantaranya

yaitu:

1. Mortar untuk pasangan, yang biasa digunakan untuk merekatkan bata

merah, batu dan sebagainya pada pembentukan konstruksi dinding atau

bendungan.

2. Mortar untuk plesteran, yang biasa digunakan untuk meratakan atau

menutup permukaan dinding, sehingga kedap air.

Berdasarkan tujuan tersebut, menyebabkan susunan bahan untuk

membuat setiap peruntukkan adukan mortar akan berbeda. Mortar untuk

pasangan akan lebih banyak menerima beban, sehingga selain kuat untuk

menahan beban tekan, juga harus tahan terhadap beban tarik dan lentur.

Sedangkan mortar untuk plesteran akan menahan beban tekan yang relatif

lebih kecil, namun sifat keawetan dan ketahanannya sangat diperhatikan agar

dapat kedap air, tahan perubahan suhu, dan pengaruh lainnya yang akan

mengubah kekuatan dinding yang dilapisinya.

2.1.2. Bahan Penyusun Mortar

2.1.2.1. Semen

Fungsi utama semen adalah mengikat butir – butir agregat

hingga membentuk suatu massa padat dan mengisi rongga – rongga

udara diantara butir – butir agregat (Sjafe’i Amri, 2005). Adapun

semen yang digunakan dalam pembuatan mortar adalah semen

portland komposit (PCC). Semen portland komposit adalah semen

hidrolis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak semen portland


terutama yang terdiri atas kalsium silikat yang bersifat hidrolis dan

digiling bersama – sama dengan bahan tambahan berupa satu atau

lebih bentuk kristal senyawa kalsium sulfat dan boleh ditambah

dengan bahan tambahan lain (SNI 2049-2015).

Menurut SNI 2049-2015, ada lima jenis semen portland

berdasarkan penggunaannya, diantaranya sebagai berikut:

1. Jenis I, yaitu semen portland untuk penggunaan umum yang

tidak memerlukan persyaratan – persyaratan khusus seperti

yang disyaratkan pada jenis – jenis lain.

2. Jenis II, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya

memerlukan ketahanan terhadap sulfat atau kalor hidrasi

sedang.

3. Jenis III, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya

memerlukan kekuatan tinggi pada tahap permulaan setelah

pengikatan terjadi.

4. Jenis IV, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya

memerlukan kalor hidrasi rendah.

5. Jenis V, yaitu semen portland yang dalam penggunaannya

memerlukan ketahanan tinggi terhadap sulfat.

Semen portland memiliki unsur senyawa didalamnya, yaitu:

1. Dikalsium Silikat (2CaO.SiO2)

2. Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2)

3. Trikalsium Aluminat (3CaO.Al2O3)

4. Trikalsium Aluminoferrit (4CaO.Al2O3.Fe2O3)


Menurut SNI 15-7064-2004, semen portland komposit memiliki

dua syarat mutu, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Syarat Kimia

Syarat kimia untuk semen portland komposit adalah kadar sulfat

(SO3) tidak boleh lebih dari 4,0 %.

2. Syarat Fisika

a. Kehalusan dengan alat blaine minimal 280 m2/kg

b. Kekekalan bentuk dengan autoclave:

- Pemuaian maksimal 0,8 %

- Penyusutan maksimal 0,2 %

c. Waktu pengikatan dengan alat vicat:

- Pengikatan awal minimal 45 menit

- Pengikatan akhir maksimal 375 menit

d. Kuat tekan:

- Umur 3 hari minimal 125 kg/cm2

- Umur 7 hari minimal 200 kg/cm2

- Umur 28 hari minimal 250 kg/cm2

e. Pengikatan semu:

- Penetrasi akhir minimal 50 %

f. Kandungan udara dalam mortar maksimal 12 % dari total

volume.

2.1.2.1. Agregat Halus

Berdasarkan pada SNI 03-2847-2002, agregat halus adalah pasir

alam sebagai hasil dari disintegrasi alami batuan atau pasir yang
dihasilkan oleh industri pemecah batu dan mempunyai ukuran butir 5

milimeter. Agregat halus dapat berupa pasir, baik berupa pasir alami

yang diperoleh langsung dari sungai atau tanah galian, atau dari hasil

pemecahan batu. Agregat yang butir – butirnya lebih kecil dari 1,2

mm atau lolos saringan no. 4 disebut pasir halus, sedangkan butir –

butir yang lebih kecil dari 0,075 mm disebut dengan silt, dan butir –

butir yang lebih kecil dari 0,002 mm disebut clay.

Agregat biasanya menempati 75% dari isi total mortar, oleh

karena itu sifat agregat ini mempunyai pengaruh besar terhadap

perilaku dari mortar yang sudah mengeras. Sifat agregat bukan hanya

mempengaruhi sifat mortar, akan tetapi juga mempengaruhi

ketahanan mortar tersebut. Persyaratan agregat halus terdapat dalam

SNI 03-2847-2002, yaitu dapat dilihat pada tabel 2.1:

Tabel 2.1 Syarat Mutu Agregat Halus

Ukuran Lubang Persentase Lolos


Ayakan (mm) Kumulatif
10 100
4,8 90-100
2,4 85-89
1,2 75-84
0,6 60-74
0,3 12-40
0,15 0-10

Sedangkan persyaratan agregat halus menurut ASTM C.33,

yaitu:
1. Modulus halus butir 2,3 sampai 3,1

2. Kadar lumpur atau bagian yang lebih kecil dari 70 mikron

(0,074 mm atau ayakan No. 200) dalam persen maksimum,

- Untuk beton atau mortar yang mengalami abrasi sebesar 3%

- Untuk beton atau mortar jenis lainnya 5%

3. Kadar gumpalan tanah liat dan partikel yang mudah dirapikan

maksimum 3%

4. Kandungan arang dan lignit

- Bila tampak permukaan beton atau mortar dipandang penting

(diekspos), maksimum 0,5%

- Beton atau mortar jenis lainnya, maksimum 1,0%

5. Kadar zat organik yang ditentukan dengan mencampur agregat

halus dengan larutan natrium sulfat (NaSO4) 3%, tidak

menghasilkan warna yang lebih tua daripada warna standar. Jika

warnanya lebih tua maka ditolak, kecuali:

- Warna lebih tua timbul karena sedikit adanya arang lignit

atau sejenisnya.

- Ketika diuji dengan uji perbandingan kuat tekan yang dibuat

dengan pasir standar silika hasilnya menunjukkan nilai lebih

besar dari 90%. Uji tekan sesuai dengan cara ASTM C.87.

6. Tidak boleh bersifat reaktif terhadap alkali jika dipakai untuk

beton atau mortar yang berhubungan dengan basah dan lembab

atau yang berhubungan dengan bahan yang bersifat reaktif


terhadap alkali semen, dimana penggunaan semen yang

mengandung natrium oksida tidak lebih dari 0,6%.

7. Kekekalan jika diuji dengan natrium sulfat bagian yang hancur

maksimum 10%, dan jika dipakai magnesium sulfat maksimum

15%.

Untuk menghitung jumlah air yang diperlukan dalam campuran

mortar dan untuk mengetahui berat satuan agregat, harus mengetahui

kandungan air yang ada pada agregat tersebut. Keadaan kandungan air

didalam agregat dibedakan menjadi beberapa kondisi, diantaranya

sebagai berikut:

1. Kering oven, yaitu keadaan yang benar – benar tidak berair

sedikitpun, sehingga dapat dikatakan menyerap air secara

penuh.

2. Kering udara, yaitu butiran agregat kering permukaan namun

mengandung sedikit air didalam porinya, sehingga dapat

dikatakan pasir dalam kondisi tersebut masih dapat menghisap

air.

3. Keadaan SSD (Saturated Surface Dry) atau keadaan jenuh

kering permukaan, yaitu tidak adanya air dipermukaan namun

butiran agregat pada kondisi tersebut tidak menyerap dan juga

tidak menambah jumlah air bila dipakai dalam campuran

adukan mortar.
4. Basah, yaitu agregat mengandung banyak air, baik dipermukaan

maupun didalam butiran, sehingga bila digunakan dalam

campuran adukan mortar akan menambah jumlah air.

Hanya dua dari empat kondisi diatas yang biasa digunakan

sebagai dasar hitungan, yaitu kering oven dan keadaan SSD, karena

memiliki sifat yang konstan untuk agregat tertentu. Kondisi SSD

digunakan dalam perhitungan dan sebagai standar, karena kondisi

tingkat kebasahan agregat SSD hampir menyerupai dengan agregat

dalam mortar, sehingga agregat tidak menambah atau mengurangi

jumlah air dari adukan. Selain itu kadar air di lapangan relatif lebih

mendekati kondisi SSD daripada kondisi kering oven.

Oleh karena itu, agregat dianggap dalam kondisi SSD pada saat

perhitungan kebutuhan air, agar jika kondisi di lapangan kering udara,

adukan mortar akan menyerap air, namun jika agregat dalam kondisi

basah, maka adukan pasta mortar akan bertambah jumlah airnya.

2.1.2.2. Air

Air dibutuhkan pada pembuatan mortar atau beton agar terjadi

reaksi kimiawi dengan semen, membasahi agregat dan memberikan

kemudahan dalam pekerjaan mortar atau beton. Kualitas air

mempengaruhi kekuatan mortar, oleh karena itu kemurnian air

sebagai bahan pencampur mortar atau beton perlu diperhatikan.

Umumnya air yang digunakan dalam campuran pasta merupakan air

yang dapat diminum. Air yang mengandung senyawa – senyawa yang

berbahaya, yang tercemar garam, minyak, gula, atau bahan kimia


lainnya bila digunakan dalam campuran mortar atau beton akan

menurunkan kualitas mortar atau beton, bahkan dapat mengubah sifat

– sifat mortar atau beton yang dihasilkan (Tri Mulyono, 2004).

Berdasarkan SNI 03-2847-2002, persayaratan air yang

digunakan sebagai campuran beton atau mortar, yaitu:

1. Tidak boleh mengandung ion klorida dalam jumlah yang

membahayakan.

2. Air yang tidak dapat diminum tidak boleh digunakan pada beton

atau mortar, kecuali pemilihan proporsi campurannya harus

didasarkan pada campuran yang menggunakan air dari sumber

yang sama, dan hasil pengujian pada umur 7 dan 28 hari pada

kubus uji mortar yang dibuat dari adukan dengan air yang tidak

dapat diminum harus mempunyai kekuatan sekurang –

kurangnya sama dengan 90% dari kekuatan benda uji yang

dibuat dengan air yang dapat diminum.

3. Bebas dari bahan – bahan perusak yang mengandung oli, asam,

alkali, garam, bahan organik, atau bahan – bahan lainnya yang

merugikan terhadap beton atau mortar dan tulangan.

3.1.2. Perawatan Mortar

3.1.2.1. Air Laut

Air laut merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5%

material lainnya seperti garam – garaman, gas – gas terlarut, bahan –

bahan organik dan partikel – partikel tak terlarut. Air laut terasa asin
karena memiliki kadar garam rata – rata 3,5%. Hal tersebut berarti

dalam 1 liter air laut, terdapat kandungan 35 gram garam didalamnya.

Air laut sebenarnya tidak dianjurkan dalam penggunaannya

pada beton atau mortar, karena kandungan garam yang tinggi yang

dapat merusak kekuatan dan daya tahan beton atau mortar. Hal ini

disebabkan oleh senyawa klorida (Cl) yang terdapat pada air laut,

yaitu merupakan garam yang bersifat agresif terhadap bahan lain

termasuk mortar. Penggunaan air laut dimungkinkan untuk digunakan

dengan syarat menggunakan semen campur dan memberikan

kekebalan pada baja tulangan atau inhibitor (Nobuaki Otsuki. dkk,

2011).

3.1.2.2. Pengaruh Air Laut pada Mortar

Kerusakan mortar disebabkan klorida (Cl) yang terkandung

pada air laut, yaitu NaCl dan MgCl. Senyawa ini bila bertemu dengan

senyawa semen dapat menyebabkan gypsum dan kalsium

sulphoaluminat (ettringite) dalam semen mudah larut (Neville, 1981).

Air laut pada umumnya mengandung 35.000 ppm (3,5%) larutan

garam, sekitar 78% adalah sodium klorida dan 15% adalah

magnesium sulfat. Namun bila air bersih tidak tersedia, air laut dapat

digunakan meskipun sangat tidak dianjurkan. Meskipun pada

kekuatan awal dalam menggunakan air laut ini lebih tinggi daripada

mortar biasa, namun setelah 28 hari kekuatannya akan lebih rendah.

Pengurangan kekuatan ini dapat dihindari dengan mengurangi faktor

air semen (Paul Nugraha dan Antoni, 2007).


3.1.2.3. Air Garam (NaCl)

3.1.2.4. Pengaruh Air Garam pada Hidrasi Semen

3.1.3. Pengujian Mortar

3.1.3.1. Kuat Tekan Mortar

3.2. Penelitian Relevan

3.3. Kerangka Berpikir

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2 Metode Penelitian

3.3 Data dan Sumber Data

3.4 Teknik dan Produser Pengumpulan Data

3.5 Prosedur Analisa Data

3.6 Instrumen Penelitian

Anda mungkin juga menyukai