Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia.
Pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker. Kanker paru, hati,
perut, kolorektal, dan kanker payudara adalah penyebab terbesar kematian akibat kanker
setiap tahunnya. Lebih dari 30% dari kematian akibat kanker disebabkan oleh lima faktor
risiko perilaku dan pola makan, yaitu: (1) Indeks massa tubuh tinggi, (2) Kurang
konsumsi buah dan sayur, (3) Kurang aktivitas fisik, (4) Penggunaan rokok, dan (5)
Konsumsi alkohol berlebihan. Merokok merupakan faktor risiko utama kanker yang
menyebabkan terjadinya lebih dari 20% kematian akibat kanker di dunia dan sekitar 70%
kematian akibat kanker paru di seluruh dunia. Kanker yang menyebabkan infeksi virus
seperti virus hepatitis B/hepatitis C dan virus human papilloma berkontribusi terhadap
20% kematian akibat kanker di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Lebih dari
60% kasus baru dan sekitar 70% kematian akibat kanker di dunia setiap tahunnya terjadi
di Afrika, Asia dan Amerika Tengah dan Selatan. Diperkirakan kasus kanker tahunan akan
meningkat dari 14 juta pada 2012 menjadi 22 juta dalam dua dekade berikutnya. Lebih
dari 30% penyakit kanker dapat dicegah dengan cara mengubah faktor risiko perilaku dan
pola makan penyebab penyakit kanker. Kanker yang diketahui sejak dini memiliki
kemungkinan untuk mendapatkan penanganan lebih baik. Oleh karena itu, perlu
dilakukan upaya pencegahan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
mengenali gejala dan risiko penyakit kanker sehingga dapat menentukan langkah-langkah
pencegahan dan deteksi dini yang tepat (Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI, 2015).
Berdasarkan konsep Blum mengatakan bahwa derajat kesehatan individu, kelompok
atau masyarakat ditentukan oleh empat faktor utama yaitu: lingkungan, pelayanan
kesehatan, herediter dan perilaku. Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor
lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, intervensi
terhadap perilaku adalah langkah strategis dalam rangka menurunkan angka kesakitan
(morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) pada wanita usia reproduksi. Wanita usia
reproduksi memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mencegah terjadinya
penyakit yang disebabkan oleh perilakunya sendiri. Lembaga kesehatan dunia
menyatakan kanker merupakan pembunuh nomor dua di dunia setelah penyakit jantung.
Setiap tahun ada 12 juta manusia di dunia terkena kanker dan 7,6 juta meninggal dunia.
Di Indonesia, ditemukan penyakit tidak menular seperti kanker cenderung meningkat.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukan, prevalensi tumor atau kanker di
Indonesia 4,3 per 1.000 penduduk. Angka tertinggi di Yogyakarta (9,6 per 1.000) dan
terendah di Maluku (1,5 per 1.000). Prevalensi kanker lebih tinggi pada perempuan, 5,7
per 1.000 dibandingkan lakilaki 2,9 per 1.000 penduduk. Sistem Informasi RS 2008
menunjukkan kanker payudara sekitar 18,4 persen, menempati urutan pertama pada
pasien rawat inap Indonesia. Disusul kanker serviks sekitar 10,3 persen, kanker hati 8,2
persen dan leukemia 7,3 persen. Guna menekan sebaran kanker serviks, sejak 2007,
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengembangkan program deteksi dini kanker
serviks dan payudara di 14 provinsi mencakup 63 kabupaten dan kota. Menurut data
Globocan, (2002) diseluruh dunia 493.243 perempuan di diagnosa terkena kanker serviks
setiap tahunnya, dan di seluruh dunia, 273.505 perempuan meninggal karena kanker
serviks setiap tahun dan lebih dari 700 perempuan meninggal setiap hari karena kanker
serviks. 80% kasus dan kematian terjadi di negara berkembang. Faktor risiko kanker
serviks terjadi jika para penderita sering berganti pasangan seksual, melakukan hubungan
seksual pada usia kurang dari 20 tahun, kebiasaan merokok, kondisi saat menurunnya
sistem kekebalan tubuh, dan adanya riwayat dari ibu maupun saudara perempuan yang
terkena kanker serviks sebelumnya.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang utuh
dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi-fungsi dan proses reproduksi.
Masalah kesehatan reproduksi yang dihadapi oleh wanita pada saat ini adalah
meningkatnya infeksi pada organ reproduksi, yang pada akhirnya menyebabkan kanker.
Salah satu kanker yang menyebabkan kematian nomor dua pada wanita adalah kanker
serviks (Umriaty, 2017).
Banyaknya kejadian yang menimpa wanita Indonesia dalam kasus kanker serviks itu
dibandingkan dengan para wanita di negara maju, karena kurangnya kesadaran para
wanita untuk mencegah berkembangnya penyakit itu. Kanker serviks merupakan salah
satu jenis kanker yang paling dapat dicegah dan disembuhkan dari semua jenis kanker,
asalkan penyakit tersebut diketahui pada stadium dini, sehingga deteksi dini merupakan
hal yang sangat penting. Meskipun pada stadium dini penyakit itu tidak tampak dan tidak
dirasakan gejalanya, pada stadium lanjut penderita kanker serviks dapat melihat gejala
seperti terjadinya perdarahan setelah melakukan hubungan seksual, munculnya keputihan,
perdarahan setelah menopause, keluar cairan kekuningan berbau yang bercampur dengan
darah (Ahmad, 2017).
Kanker serviks atau kanker leher rahim saat ini masih menjadi momok menakutkan
bagi perempuan. Hal itu diperparah dengan masih minimnya pengetahuan masyarakat,
khususnya perempuan Indonesia tentang kanker serviks. Kanker Leher Rahim (Kanker
Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh didalam leher rahim/ serviks (bagian terendah
dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks biasanya menyerang
wanita berusia 35-55 tahun. 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang
melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran
servikal yang menuju ke dalam rahim. Kanker leher rahim adalah kanker penyebab
kematian nomor satu di Indonesia, setiap tahun, terdapat lebih dari 15.000 kasus kanker
serviks baru dan kurang lebih 8.000 kematian. Sedangkan setiap hari sekitar 40-45 kasus
baru ditemukan dan 20-25 perempuan meninggal dunia akibat penyakit tersebut. Penyakit
ini telah merenggut lebih dari 250.000 perempuan di dunia dan terdapat lebih 15.000
kasus Kanker Serviks baru, yang kurang lebih merenggut 8.000 kematian di Indonesia
setiap tahunnya (Ahmad, 2017).
Penelitian WHO tahun 2005, menyebutkan terdapat lebih dari 500.000 kasus baru
dan 260.000 kematian karena kanker leher rahim, 90% diantaranya terjadi di negara
berkembang. Kanker leher rahim di Indonesia merupakan keganasan yang banyak
ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama dalam tiga dasa warsa terakhir.
Diperkirakan kejadian penyakit ini 100 per 100.000 penduduk (Nuranna, 2008). Setiap
tahun di Indonesia terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks, dan sekitar 8000
kasus diantaranya meninggal dunia. Angka kejadian kanker serviks di Indonesia tahun
2011 mencapai angka 100 per 100.000 penduduk per tahun, dan penyebarannya terlihat
terakumulasi di Jawa dan Bali. Angka ini di prediksikan akan terus meningkat 25% dalam
kurun waktu 10 tahun mendatang jika tidak segera di lakukan pencegahan (Junainah,
2017).
Kanker serviks adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada leher rahim,
sehingga jaringan disekitarnya tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya.
Keadaan tersebut biasanya disertai dengan adanya perdarahan dan pengeluaran cairan
vagina yang abnormal yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (Mayasari, 2017
dalam Farid, 2010).
Menurut Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO), terdapat
490.000 perempuan di dunia setiap tahun didiagnosis terkena kanker serviks dengan
angka kematian sebanyak 231.000 dengan persentasi (47%) jiwa per tahun. Menurut
WHO, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks yang
tertinggi di dunia (mayasari, 2017 dalam Arum, 2014).
Kanker leher rahim atau kanker serviks merupakan suatu penyakit yang disebabkan
oleh HPV atau Human Papilloma Virus onkogenik, mempunyai persentase yang cukup
tinggi dalam menyebabkan kanker serviks, yaitu sekitar 99,7%.3 Kanker serviks
merupakan penyakit kanker perempuan yang menimbulkan kematian terbanyak akibat
penyakit kanker. Di Indonesia hanya 5% yang melakukan penapisan atau deteksi dini
kanker leher rahim, sehingga 76,6% pasien ketika terdeksi sudah memasuki stadium
lanjut (IIIB ke atas). Rendahnya deteksi dini atau screening kanker serviks merupakan
salah satu alasan semakin berkembangannya kanker serviks. Rendahnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi
penyakit-penyakit yang terjadi dalam masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan
diobati penyakitnya. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sangat diperlukan dalam tahap
ini terutama deteksi dini. Deteksi dini ialah usaha untuk mengidentifikasi atau mengenali
penyakit atau kelainan yang secara klinis belum jelas, dengan menggunakan tes (uji),
pemeriksaan, atau prosedur tertentu. Pentingnya deteksi dini dilakukan untuk mengurangi
prevelensi jumlah penderita dan untuk mencegah terjadinya kondisi kanker stadium
lanjut. Pap smear dan Inspeksi Visual Asam asetat (IVA) merupakan alat skrining atau
deteksi dini untuk mengetahui penyakit kanker serviks (Umriaty, 2017).
Informasi mengenai kanker serviks masih kurang dipahami oleh sebagian besar
wanita usia subur (WUS) di Indonesia. Rendahnya pengetahuan mengenai kanker serviks
secara umum berhubungan dengan masih tingginya angka kejadian kanker serviks. Hal
ini sangat memprihatinkan mengingat kanker serviks merupakan salah satu kanker yang
dapat dicegah sejak dini dengan deteksi dini salah satunya adalah pap smear
(Kusumaningrum, dkk., 2017).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan salah satunya yaitu pendidikan,
pengalaman, dan status ekonomi. Seseorang setelah mengetahui sesuatu objek, lalu
mengorganisasikan dan menginterprestasikan berbagai macam informasi yang ia terima,
dan setelah tahu, proses selanjutnya mereka kemudian bersikap terhadap objek tersebut.
Faktor pembentukan sikap sendiri salah satunya yaitu dipengaruhi oleh pengetahuan.
Pengetahuan seseorang berhubungan dengan sikap terhadap sesuatu objek, dengan
pengetahuan yang baik, akan membentuk sikap yang mendukung pula dan diharapkan
dapat terwujud dalam tindakan nyata untuk pap smear (Kusumaningrum, dkk., 2017)
Studi yang dilakukan oleh Wijaya (2000) membuktikan bahwa wanita yang
berhubungan seksual pada usia kurang dari 20 tahun mempunyai risiko terkena kanker
serviks dua kali lipat dibandingkan dengan yang berhubungan seks setelah usia 20 tahun.
Selain itu, terjadinya kanker serviks juga dipicu oleh kebersihan daerah kewanitaan yang
kurang. Kebersihan genital yang buruk memiliki risiko terkena kanker serviks 38,965 kali
dibandingkan dengan kebersihan genital yang baik (Kusumawati, 2016 dalam Has, 2009).
Personal hygiene yang tidak baik dan penggunaan pembalut tidak berkualitas dengan
kandungan bahan pemutih (dioksin) dapat menghambat sirkulasi udara pada daerah
kewanitaan. Dioksin dapat menguap apabila bereaksi dengan darah menstruasi, sehingga
hal ini juga dicurigai merupakan faktor risiko kanker serviks (Kusumawati, 2016 dalam
Kartikawati, 2012). Organ kewanitaan akan menjadi lembab dan merangsang tumbuhnya
berbagai bakteri patogen yang dapat menyebabkan kanker serviks apabila menggunakan
pantyliner terus menerus (Kusumawati, 2016 dalam Wijaya, 2010).
Faktor perilaku seperti melakukan hubungan seksual pertama pada usia dini (kurang
dari16 tahun), berganti-ganti pasangan seksual yang menyebabkan infeksi herpes
genetalis atau infeksi klamidia menahun, pemakaian DES (dietilstilbestrol) untuk
mencegah keguguran, gangguan sistem kekebalan tubuh, pemakaian pil KB jangka lama,
merokok, dan kelompok ekonomi lemah juga telah diketahui sebagai faktor risiko kanker
serviks (Kusumawati, 2016 dalam Kartikawati, 2013). Penelitian yang telah dilakukan
Indrawati (2012), juga menyimpulkan hasil personal hygiene yang kurang baik, memiliki
risiko terkena kanker serviks 19,386 kali dibandingkan dengan wanita yang memiliki
personal hygiene yang baik. Menurut Bustan (2007), wanita dengan personal hygiene
yang buruk berisiko lebih besar untuk terkena kanker serviks daripada wanita dengan
personal hygiene yang baik. Personal hygiene yang buruk meliputi penggunaan pembalut
dengan dioksin, penggunaan kloset umum yang kurang saniter, dan penggunaan
antiseptik pada serviks (Kusumawati, 2016 dalam Wijaya, 2010).
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 796 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim menyebutkan bahwa terdapat
empat komponen penting yang menjadi pilar dalam penanganan kanker leher rahim.
Komponen penting tersebut terdiri atas: tindakan pencegahan infeksi HPV dengan
menghindari faktor risiko dan vaksinasi HPV, deteksi dini melalui peningkatan
kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan tata laksana, serta
perawatan paliatif untuk kasus lanjut. Saat ini upaya pencegahan sekunder dengan
skrining masih menjadi fokus utama untuk menurunkan angka kejadian kanker serviks
(sari, 2014).
Skrining kanker serviks dapat dilakukan melalui beberapa metode, diantaranya
metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA), dan tes pap smear. Skrining dilakukan untuk
orang yang sudah pernah berhubungan seksual (Sari, 2014 dalam Nurwijaya et al., 2010).
Namun program skrining tersebut belum dapat menurunkan angka kejadian kanker secara
optimal. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih tingginya insiden kanker serviks di
Indonesia termasuk Jawa Timur (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013). Hal
tersebut kemungkinan dikarenakan skrining dengan metode IVA memang cukup mudah
dilakukan tetapi metode IVA masih terdapat kekurangan yakni spesifisitas dan sensitivitas
rendah serta kurangnya tenaga kesehatan yang terlatih (Sari, 2014 dalam Depkes RI,
2008).
Selain itu pencegahan sekunder tidak mampu mencegah terjadinya lesi prakanker dan
terapi lesi prakanker yang terdeteksi pada skrining seringkali menimbulkan morbiditas
terhadap fungsi fertilitas pasien. Selain itu wanita cenderung enggan dan malu untuk
melakukan pemeriksaan terutama kesehatan reproduksi. Hal ini mengakibatkan cakupan
skrining kanker serviks di Indonesia masih rendah (Sari, 2014 dalam Andrijono, 2007).
Oleh karena itu pencegahan primer saat ini semakin digalakkan. Pencegahan primer
terdiri atas dua upaya yakni dengan menghindari faktor risiko dan vaksinasi HPV
(Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 796 tahun 2010).
Vaksinasi HPV merupakan bentuk perlindungan spesifik terhadap kanker serviks.
Tindakan vaksinasi HPV saja dapat menurunkan kemungkinan kejadian kanker yang
lebih besar dibandingkan dengan hanya melakukan skrining selama dua tau tiga kali
seumur hidup dan lebih cost effective. Namun tindakan vaksinasi HPV yang diberikan
saat belum terinfeksi HPV dan melakukan skrining kanker serviks selama tiga kali
seumur hidup dapat mengurangi kemungkinan kejadian kanker serviks yang lebih
signifikan walaupun membutuhkan biaya yang lebih banyak (Sari, 2014 dalam WHO,
2007).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mukhlisiana. 2017. Persepsi Tentang Kanker Serviks, Promosi Kesehatan, Motivasi
Sehat Terhadap Perilaku Pencegahan Kanker Serviks Pada Bidan Di Wilayah Depok. Jurnal
Ilmiah Kesehatan. 16(2): 32-41
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia [diakses tanggal 10 April 2018]

Junainah, Nena. 2017. Keikutsertaan Sosialisasi dan Tingkat Ekonomi Terhadap


Keikutsertaan Inspeksi Visual Asam Asetat. Higeia Journal Of Public Health . 1(3): 129-139

Kusumaningrum, Amalia Ratna, Siti Tyastuti, dan Hesty Widyasih. 2017. Hubungan Tingkat
Pengetahuan Tentang Kanker Serviks dengan Sikap Terhadap Pemeriksaan Pap Smear Pada
WUS di Dusun Pancuran Bantul Tahun 2017. Jurnal Teknologi Kesehatan. 13 (2) : 105-109

Kusumawati, Yuli, RidhiyaWiyasa N, dan EkaNurul Rahmawati. 2016. Pengetahuan, Deteksi


Dini dan Vaksinasi HPV Sebagai Faktor Pencegah Kanker Serviks Di Kabupaten Sukoharjo.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 11(2): 204-213

Mayasari, Endang. 2017. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Wanita Usia Subur yang
Tidak Berminat dalam Pelaksanaan Tes Inspeksi Visual Asam Asetat (Iva) Di Wilayah Kerja
Puskesmas Rawat Inap Simpang Tiga Kota Pekanbaru Tahun 2017. Jurnal Doppler
Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai. 1(2): 93-98

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pusat Data dan Informasi.
Jakarta Selatan : Kemenkes

Sari, Adelia Perwita, dan Fariani Syahrul. 2014. Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan
Vaksinasi HPV Pada Wanita Usia Dewasa. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 3 : 321–
330

Umriaty, dan Rapita Setia Ningrum. 2017. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Tentang Kanker
Serviks dengan Niat Melakukan Deteksi Dini Kanker Serviks Pada Wanita Usia Subur Di
Kelurahan Kagok Slawi Kabupaten Tegal Tahun 2016. Jurnal Siklus. 6 (2): 245-251

Anda mungkin juga menyukai