EPILEPSI
Dokter Pembimbing
dr. Sigit Prastyanto, M. Sc., Sp.A
Disusun Oleh:
Ireene Hillary Artauli Sinurat
1261050215
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerahNya Case Report Ilmu Kesehatan Anak yang berjudul
“Epilepsi” dapat diselesaikan. Case Report ini disusun sebagai bagian dalam
rangka memenuhi salah satu tugas sebagai mahasiswi kedokteran yang mengikuti
program studi profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Kalimantan
Utara periode kepaniteraan 24 Juli – 30 September 2017.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat dr. Sigit
Prastyanto, M. Sc., Sp.A, sebagai pembimbing sehingga case report ini dapat
diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan case report ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi penulisan maupun keterbatasan referensi, oleh karena itu
kritik dan saran saya harapkan. Akhir kata, semoga case report ini dapat berguna
dan memberikan pengetahuan.
2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi
dan merupakan salah satu penyakit kronik yang berpotensi mengganggu tumbuh
kembang anak. Epilepsi berupa suatu kondisi yang ditandai dengan kejang yang
tiba-tiba dan berulang.1
Sebagian besar epilepsi terjadi pada masa anak-anak dan banyak anak yang
mengalami remisi ketika dewasa. Di Amerika Serikat, sebanyak 3 juta orang
mengalami epilepsi dan 200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya.
Prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi daripada di negara maju
khususnya pada usia produktif dibandingkan pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi
berdasarkan jenis kelamin di negara-negara Asia dilaporkan bahwa laki-laki sedikit
lebih tinggi daripada wanita.1, 2
Insidens (kasus baru) pada anak lebih tinggi dibanding dewasa dan sering
dimulai sejak usia bayi. Insidens epilepsi pada anak di negara berkembang berkisar
40 kasus/100.000 anak per tahun. Angka mortalitas akibat epilepsi di negara
berkembang dilaporkan lebih tinggi dibandingkan di negara maju. Epilepsi masih
menjadi perhatian bagi bangsa kita saat ini.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada salah satu dari kondisi
berikut :1, 3
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus dan kronisitas
B. Epidemiologi
Sebagian besar epilepsi terjadi pada masa anak-anak dan banyak anak yang
mengalami remisi ketika dewasa. Di Amerika Serikat, sebanyak 3 juta orang
mengalami epilepsi dan 200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya.
Prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi daripada di negara maju
khususnya pada usia produktif dibandingkan pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi
4
berdasarkan jenis kelamin di negara-negara Asia dilaporkan bahwa laki-laki sedikit
lebih tinggi daripada wanita.1, 2
Trauma kepala
Infeksi SSP; meningitis bakterial, malaria serebral, ensefalitis,
sistiserkosis
Kelainan metabolik bawaan
Cerebral palsy
Tumor otak; astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma
Deprivasi tidur (tidur larut malam atau pola tidur tidak normal)
5
Kelelahan fisik
Demam
Konsumsi alkohol
D. Klasifikasi
1.1 Idiopatik
1.2 Simtomatik
6
Epilepsi lobus frontal
Epilepsi lobus parietal
Epilepsi lobus oksipital
1.3 Kriptogenik
2. 1 Idiopatik
2.2 Simtomatik
3. Epilepsi dan sindrom epilepsi tidak dapat ditentukan fokal atau umum
Neonatal seizures
Severe myoclonic epilepsy in infancy
Epilepsy with continuous spike-waves during sleep
Acquired epileptic aphasia (Landau-Kieffner syndrome)
Epilepsi lain yang belum terdefinisi
7
4. Sindrom epilepsi khusus
Kejang demam
Isolated seizures
Kejang yang timbul hanya karena masalah metabolik akut atau suatu kondisi toksik
(alkohol, eklampsia, obat-obatan)
E. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
8
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain.6
Secara normal aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan sinyal dari satu
neuron ke neuron yang lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu
neuron dengan dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area
yang penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang
berada di dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling
mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam
dan luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta keluar
masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktivitas tersebut akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi sehingga
terjadi potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi
diproyeksikan oleh sel-sel neuron yang berada di korteks yang kemudian
diteruskan oleh akson, sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.6
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah natrium (Na+),
kalsium (Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+) dan klorida (Cl-).
Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat sedangkan
neurotransmitter utama pada proses inhibisi adalah asam aminobutirik (GABA)
yang masing-masing akan berikatan dengan reseptornya.6
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan
terjadi sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat kemudian akan berikatan dengan
reseptornya dan Na+ akan masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya
depolarisasi cepat. Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial (10-20mV),
maka Na+ akan masuk ke dalam sel diikuti oleh Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+
akan memperpanjang potensial eksitasi.6
Ca2+ yang masuk ke dalam sel akan mendorong pelepasan neurotransmitter
GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptornya dan
mencetuskan potensial inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan
ambang potensial membran sel sampai ke ambang istirahat yang disebut sebagai
hiperpolarisasi.6
Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat, membran sel terhiperpolarisasi
di bawah ambang istirahatnya disebut sebagai after hyperpolaritation (AHP). AHP
terjadi sebagai hasil dari keseimbangan antara Ca2+ di dalam sel dan K+ di luar sel.
9
Pada masa ini, sel neuron mengalami fase refrakter dan tidak dapat terstimuli
sampai terjadi pertukaran Ca2+ ke luar sel dan K+ ke dalam sel. Keseimbangan ion
di dalam dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na+ - K+ dengan bantuan ATP.6
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan
hipereksitabilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan bangkitan epileptik.
Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Penyebab internal antara lain berupa mutasi atau kelainan pada kanal-kanal
elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang sudah diketahui adalah mutasi kanal
Na+, Ca2+ dan K+. Mutasi ini menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel
secara terus menerus sehingga memperpanjang depolarisasi dan menghambat
repolarisasi.6
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat ke celah
sinaps sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di dalam sel dan juga
memperpanjang proses depolarisasi.
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit baik penyakit otak maupun
sistemik. Penyakit-penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan sel neuron, glia dan
sawar darah otak. Kerusakan sel glia akan menyebabkan kelebihan K+ dan
glutamate di celah sinaps karena tidak terhisap sehingga sel neuron akan mudah
tereksitasi. Keadaan tersebut juga akan mengaktivasi faktor-faktor inflamasi
kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk lingkaran
yang berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi terus-menerus dalam jangka waktu
yang lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur neuron dan
ekspresi gen.6
Hipereksibilitas satu sel neuron akan memengaruhi sel neuron di sekitarnya.
Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas abnormal secara bersamaan
disebut sebagai hipersinkroni. Pada saat satu sel neuron teraktivasi, maka sel-sel
neuron di sekitarnya juga akan teraktivasi secara bersama-sama dan membentuk
suatu potensial eksitasi yang besar dan menimbulkan gejala klinis.6
10
F. Jenis Bangkitan Kejang
G. Diagnosis
11
Langkah - langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai
berikut:6
1. Anamnesis 4,5
Jika curiga ke arah epilepsi, tanyakan hal-hal di bawah ini secara detail
kepada orangtua atau saksi:
12
video saat bangkitan)
Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya ?
Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain- lain.
Berapa kali kejang dalam satu hari, berapa lama kejang berlangsung?
Kesadaran antar bangkitan?
13
Pemeriksaan neurologis
3. Pemeriksaan Penunjang
14
Pemantauan keberhasilan terapi
Membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat
dihentikan
Pemeriksaan laboratorium
15
Pemeriksaan penunjang lainnya
H. Tatalaksana
Saat Kejang
Pertama, pastikan jalan napas bebas, ventilasi dan sirkulasi dalam
keadaan baik. Longgarkan pakaian yang ketat, baringkan anak dalam posisi
miring agar lendir atau cairan dapat mengalir keluar. Leher dan rahang
hiperekstensi agar jalan napas bebas. Boleh masukkan handuk kecil ke dalam
mulut untuk mencegah lidahnya tergigit namun jangan dipaksa baik
menggunakan benda keras maupun jari agar tidak ada gigi yang tanggal dan
tertelan atau teraspirasi. 5
Memilih Antikonvulsan
Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi atau sindrom
epilepsi harus pasti. Respon individu terhadap OAE tergantung dari tipe
kejang, klasifikasi dan sindrom epilepsi serta harus di evaluasi setiap kali
kunjungan.5
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Oleh karena
itu, untuk menjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik
antara dokter, pasien dan keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan
berobat.5, 8
16
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4
bagian: penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi,
penghilangan faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas
fisik dan mental. Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi
dua, yaitu:9, 10
1. Terapi Medikamentosa
17
Obat lini pertama :
Asam valproat 10 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis
Fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis
Karbamazepin 10-30 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis
Fenitoin 5-7 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis
Sekitar 70% epilepsi pada anak akan berespons baik terhadap OAE
pertama atau kedua. Jika OAE pertama dan kedua masing-masing
gagal sebagai monoterapi, peluang untuk mencoba monoterapi lain
dalam memberantas kejang sangat kecil sehingga terapi OAE
kombinasi patut dipertimbangkan.
Obat lini kedua :
Topiramat. Dosis inisial 1-3 mg/kgBB/hari dinaikkan perlahan
dengan interval 1-2 minggu
Lamotigrine. Dosis inisial 0.15 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis
selama 2 minggu lalu dinaikkan menjadi 0.3 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis
Levetirasetam. Dosis inisial 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis
Kejang parsial
Kejang umum
18
Fenobarbital
19
Dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan
20
I. Diagnosis Banding
21
J. Prognosis
Banyak jenis epilepsi berprognosis baik. Remisi didefinisikan sebagai periode
bebas kejang, minimal 5 tahun dengan penggunaan obat-obatan antikonvulsan.
Sebanyak 70% penderita epilepsi dapat mengalami remisi dengan terapi yang
optimal bahkan 75% diantaranya dapat berhenti menggunakan obat tanpa kembali
mengalami rekurensi.6
Pasien yang memiliki prognosis yang lebih buruk adalah pasien dengan defisit
neurologi sebelumnya (seperti retardasi mental, palsi serebral), usia saat onset
pertama lebih dari 12 tahun, riwayat kejang neonatus sebelumnya dan frekuensi
kejang yang tinggi sebelum kontrol optimal tercapai. Pada kelompok pasien ini,
angka remisi lebih rendah dan rekurensi lebih tinggi.6
22
BAB III
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
ORANGTUA / WALI
Ayah
Ibu
23
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Tambahan :-
Pasien datang ke IGD RSUD Tarakan diantar oleh ibunya dengan keluhan kejang
sebanyak 4 kali sejak 1 hari SMRS. Kejang terakhir terjadi setengah jam SMRS. Kejang yang
dialami terjadi selama ± 2 menit di setiap kejangnya. Sebelum kejang, pasien merasa pusing
dan pandangannya kabur. Pasien tidak sadarkan diri saat kejang. Menurut ibu pasien, saat
kejang, seluruh tubuh pasien tiba-tiba tampak kaku/tegang lalu beberapa detik kemudian,
tampak gerakan kedua tangan dan kaki yang disentak-sentakan. Kedua mata pasien melirik ke
atas. Tidak tampak air liur, busa maupun darah yang keluar dari mulut pasien, lidah tampak
tidak tergigit. Setelah kejang, pasien sadarkan diri kemudian tertidur. Pola kejang yang
dialami sama. Menurut ibu pasien, akhir-akhir ini pasien sedang banyak kegiatan dan tugas
dari sekolah. Pasien memiliki riwayat epilepsi dan sudah mengkonsumsi depaken selama 1
tahun.
Pasien pernah mengalami hal yang sama 1 tahun yang lalu. Riwayat trauma kepala
disangkal.
24
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN UMUM
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital
Berat badan : 20 kg
Tinggi badan : 130 cm
IMT : 11,8 kg/m2 (underweight)
PEMERIKSAAN SISTEM
Kepala
Bentuk : normocephali
Rambut dan kulit kepala : hitam, pertumbuhan merata, rambut tidak
mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : normotia, simetris, liang telinga lapang, sekret (-/-),
serumen (-), membran timpani intak
Hidung : sekret (-), septum nasi ditengah, normosmia
Mulut
o Bibir : sianosis (-), bibir kering (-)
o Gigi – geligi : lengkap, karies (-)
o Lidah : merah muda, licin, coated tongue (-), geographic
tongue (–)
o Tonsil : T1-T1, tidak tampak hiperemis
o Faring : Tidak tampak hiperemis
25
Leher : JVP Distended (-), kelenjar getah bening tidak
teraba
Thoraks
Anggota gerak
26
Lain – lain : Akral hangat, CRT <2”
Pemeriksaan Neurologi
Rangsang meningeal
Kaku kuduk :-
Brudzinski I :-/-
Brudzinski II :-/-
Kernig :-/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap
Pasien sebelumnya sudah di EEG dan didapatkan aktivitas epileptiform berupa spike
wave pada periode interiktal
KEHAMILAN
Penyakit Kehamilan :-
KELAHIRAN
Penyulitan :-
27
Panjang badan : 50 cm
Psikomotor
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 16 bulan
Berjalan : 17 bulan
Berbicara : 16 bulan
Membaca/ menulis : 5 tahun
RIWAYAT IMUNISASI
BCG 1 bulan
CAMPAK 9 bulan
28
RIWAYAT MAKANAN
Umur 10-1 tahun : ASI + bubur nasi saring + sayur + ikan 3 kali sehari
Umur >1 tahun : susu formula + nasi + lauk + sayur 3 kali sehari dengan
Diare - Parotitis -
Tuberculosis - Cacingan -
Ginjal - Kecelakaan -
Jantung - Operasi -
Difteri -
Morbili -
RINGKASAN
Anamnesis:
Pasien datang ke IGD RSUD Tarakan diantar oleh ibunya dengan keluhan kejang
sebanyak 4 kali sejak 1 hari SMRS. Kejang terakhir terjadi setengah jam SMRS. Durasi
kejang ±2 menit di setiap kejangnya. Sebelum kejang, pasien merasa pusing dan pandangan
kabur. Pasien tidak sadarkan diri saat kejang. Saat kejang, seluruh tubuh pasien tiba-tiba
tampak kaku/tegang lalu beberapa detik kemudian, tampak gerakan kedua tangan dan kaki
29
yang disentak-sentakan. Kedua mata pasien melirik ke atas. Tidak tampak air liur, busa
maupun darah yang keluar dari mulut pasien, lidah tampak tidak tergigit. Setelah kejang,
pasien sadarkan diri kemudian tertidur. Pola kejang yang dialami sama. Akhir-akhir ini pasien
sedang banyak kegiatan dan tugas dari sekolah. Riwayat epilepsi (+), konsumsi depaken
selama 1 tahun (+).
Pemeriksaan fisik :
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital
Berat badan : 20 kg
Panjang badan : 130 cm
IMT : 11,8 kg/m2 (underweight)
Pemeriksaan Neurologi
Rangsang meningeal
Kaku kuduk :-
Brudzinski I :-/-
30
Brudzinski II :-/-
Kernig :-/-
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi SSP
Serangan paroksismal non-epileptik (Syncope, panic attack)
PENATALAKSANAAN
Rawat inap
Diet : Biasa
Obat – obatan :
IVFD : D5 ½ NS 20 tpm
IV / IM : Midazolam 0.1-0.2 mg/kgBB IV (injeksi 2 mg)
Mm/ : Fenobarbital 2 mg/kgBB per-oral (40 mg = 2 x II cth)
Lanjutkan Depaken 2 x I cth
PROGNOSIS
Ad Vitam : Bonam
Ad Sanationum : Dubia
Ad Fungsionum : Bonam
FOLLOW UP
Hari/ : Senin, 14 Agustus 2017
tanggal
31
Bagian S O Laboratorium A P
Monosit : 21,5 %
Neutrofil : 44, 4%
32
Limfosit : 48,7% cth
Monosit : 21,5 %
Neutrofil : 44,4%
Neutrofil : 44, 4%
PEMBAHASAN
33
Kejang yang dialami An. A. E. (12 tahun) ini merupakan rekurensi dari
epilepsi yang sudah dialami setahun sebelumnya. Kejang yang dialami terjadi secara
tiba-tiba dan berulang lebih dari dua kali dengan pola yang sama. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa epilepsi dapat ditegakkan jika terdapat minimal
dua episode kejang tanpa diprovokasi.
Banyaknya kegiatan dan tugas yang sedang dihadapi pasien di sekolah dapat
menjadi faktor pencetus munculnya kejang yang disebabkan karena terjadinya
deprivasi tidur dan kelelahan fisik.
Pasien sudah didiagnosis epilepsi satu tahun yang lalu dan mengkonsumsi
depaken (asam valproat) sebagai monoterapi. Diberikan fenobarbital 2 mg/kgBB per-
oral (40 mg = 2 x II cth) sebagai terapi kombinasi bagi pasien ini.
DAFTAR PUSTAKA
34
1. Seizures and Epilepsy in Children. World Health Organization. 2012
2. National Institute for Health and Care Excellence. The epilepsies: the diagnosis
and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary
care. 2015
3. Fisher RS, Acevedo C, dkk. ILAE official report: a practical clinical definition of
epilepsy. Epilepsia. 2014 Apr; 55 (4):475-82
5. Mangunatmadja, Irawan. Epilepsi pada Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). 2016
7. Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.).
Harrison’s: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The McGraw-
Hill Companies, 222-245.
9. Saint Louis, Erik K., Rosenfeld, William E., Bramley, Thomas, 2009. Antiepileptic
Drug Monotherapy: The Initial Approach in Epilepsy Management. Current
Neuropharmacology, 7: 77-82.
35