Anda di halaman 1dari 35

CASE REPORT

EPILEPSI

Dokter Pembimbing
dr. Sigit Prastyanto, M. Sc., Sp.A

Disusun Oleh:
Ireene Hillary Artauli Sinurat
1261050215

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN KALIMANTAN UTARA
PERIODE 24 JULI – 30 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerahNya Case Report Ilmu Kesehatan Anak yang berjudul
“Epilepsi” dapat diselesaikan. Case Report ini disusun sebagai bagian dalam
rangka memenuhi salah satu tugas sebagai mahasiswi kedokteran yang mengikuti
program studi profesi dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Kalimantan
Utara periode kepaniteraan 24 Juli – 30 September 2017.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat dr. Sigit
Prastyanto, M. Sc., Sp.A, sebagai pembimbing sehingga case report ini dapat
diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan case report ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi penulisan maupun keterbatasan referensi, oleh karena itu
kritik dan saran saya harapkan. Akhir kata, semoga case report ini dapat berguna
dan memberikan pengetahuan.

Tarakan, September 2017

2
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi
dan merupakan salah satu penyakit kronik yang berpotensi mengganggu tumbuh
kembang anak. Epilepsi berupa suatu kondisi yang ditandai dengan kejang yang
tiba-tiba dan berulang.1

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, dapat ditemukan


pada semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga
terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO, 2012). WHO
memperkirakan prevalensi (kasus baru dan lama) epilepsi yang membutuhkan
pengobatan sekitar 8,2 per 1000 penduduk dunia; 80% diantaranya terdapat di
negara berkembang. Puncak prevalensi epilepsi didapatkan pada awal usia remaja
hingga dewasa muda .1

Sebagian besar epilepsi terjadi pada masa anak-anak dan banyak anak yang
mengalami remisi ketika dewasa. Di Amerika Serikat, sebanyak 3 juta orang
mengalami epilepsi dan 200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya.
Prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi daripada di negara maju
khususnya pada usia produktif dibandingkan pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi
berdasarkan jenis kelamin di negara-negara Asia dilaporkan bahwa laki-laki sedikit
lebih tinggi daripada wanita.1, 2

Insidens (kasus baru) pada anak lebih tinggi dibanding dewasa dan sering
dimulai sejak usia bayi. Insidens epilepsi pada anak di negara berkembang berkisar
40 kasus/100.000 anak per tahun. Angka mortalitas akibat epilepsi di negara
berkembang dilaporkan lebih tinggi dibandingkan di negara maju. Epilepsi masih
menjadi perhatian bagi bangsa kita saat ini.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Epilepsi merupakan penyakit pada otak akibat peningkatan kerentanan sel


neuron terhadap kejadian kejang epileptik yang berdampak pada aspek
neurobiologis, psikologis, kognitif dan sosial individu.3 Epilepsi berupa suatu
kondisi yang ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang.1

Menurut ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada salah satu dari kondisi
berikut :1, 3

 Minimal terdapat 2 episode kejang tanpa diprovokasi.

2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan


kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan
sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/
bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan
setelah kejadian stroke, bangkitan 
pertama pada anak yang disertai
lesi struktural dan epileptiform dischargers).

3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi. 


Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang
terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan,
faktor pencetus dan kronisitas

B. Epidemiologi

Sebagian besar epilepsi terjadi pada masa anak-anak dan banyak anak yang
mengalami remisi ketika dewasa. Di Amerika Serikat, sebanyak 3 juta orang
mengalami epilepsi dan 200.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya.
Prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi daripada di negara maju
khususnya pada usia produktif dibandingkan pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi

4
berdasarkan jenis kelamin di negara-negara Asia dilaporkan bahwa laki-laki sedikit
lebih tinggi daripada wanita.1, 2

C. Faktor Risiko dan Etiologi

Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko terjadinya epilepsi seperti


retardasi mental, cerebral palsy, ayah atau ibu dengan epilepsi maupun
riwayat kejang tanpa demam dan tanpa provokasi sebelumnya.4

Epilepsi dapat disebabkan karena faktor genetik, kelainan struktur

metabolik dan unknown causes .4, 5

Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain :

 Defek genetik tertentu misalnya Dravet syndrome


 Kelainan kromosom misalnya sindrom fragile X, sindrom Rett
 Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum

Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara


lain :

 Trauma kepala
 Infeksi SSP; meningitis bakterial, malaria serebral, ensefalitis,
sistiserkosis
 Kelainan metabolik bawaan
 Cerebral palsy
 Tumor otak; astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma

Epilepsi digolongkan sebagai unknown cause bila penyebabnya belum


diketahui.

Beberapa faktor pencetus kejang telah diketahui dan perlu dihindari.


Faktor-faktor pencetus tersebut antara lain :5

 Deprivasi tidur (tidur larut malam atau pola tidur tidak normal)

5
 Kelelahan fisik
 Demam
 Konsumsi alkohol

D. Klasifikasi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy


(ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu kejang umum dan kejang parsial
serta bangkitan yang tak tergolongkan.5, 6

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Tipe Bangkitan (ILAE)

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Etiologi (ILAE)

1. Epilepsi dan sindrom epilepsi fokal

1.1 Idiopatik

 Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes


 Childhood epilepsy with occipital paroxysms
 Primary reading epilepsy

1.2 Simtomatik

 Chronic progressive epilepsia partialls continua of childhood (sindrom


Kojewnikow)
 Sindrom epilepsi yang ditandai presipitasi spesifik
 Epilepsi lobus temporal

6
 Epilepsi lobus frontal
 Epilepsi lobus parietal
 Epilepsi lobus oksipital

1.3 Kriptogenik

2. Epilepsi dan sindrom epilepsi umum

2. 1 Idiopatik

 Benign neonatal familial convulsions


 Benign neonatal convulsions
 Benign myoclonic epilepsy in infancy
 Childhood absence epilepsy (pyknolepsy)
 Juvenile absence epilepsy
 Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
 Epilepsy with grand mal (GTCS) seizures on awakening
 Epilepsi umum idiopatik lain yang belum dapat didefnisikan
 Epilepsi dengan kejang disebabkan oleh aktivasi spesifik

2.2 Simtomatik

1.2.1 Etiologi non spesifik

 Early myoclonic encephalopathy


 Early infantile epileptic encephalopathy with suppression-bursts
 Epilepsi umum simtomatik yang belum dapat didefinisikan

1.2.2 Sindrom spesifik

2. 3 Kriptogenik atau simtomatik

 West syndrome (infantile spasms)


 Lennox-Gastaut syndrome
 Epilepsy with myoclonic-astatic seizures
 Epilepsy with myoclonic absences

3. Epilepsi dan sindrom epilepsi tidak dapat ditentukan fokal atau umum

3.1 Dengan kedua bentuk kejang umum dan fokal

 Neonatal seizures
 Severe myoclonic epilepsy in infancy
 Epilepsy with continuous spike-waves during sleep
 Acquired epileptic aphasia (Landau-Kieffner syndrome)
 Epilepsi lain yang belum terdefinisi

3.2 Tanpa kedua gejala umum atau fokal

7
4. Sindrom epilepsi khusus

4.1 Kejang berhubungan dengan situasi

 Kejang demam
 Isolated seizures

Kejang yang timbul hanya karena masalah metabolik akut atau suatu kondisi toksik
(alkohol, eklampsia, obat-obatan)

E. Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,

8
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain.6

Secara normal aktivitas otak terjadi oleh karena perpindahan sinyal dari satu
neuron ke neuron yang lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu
neuron dengan dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area
yang penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang
berada di dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling
mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam
dan luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta keluar
masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktivitas tersebut akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi, hiperpolarisasi, dan repolarisasi sehingga
terjadi potensial eksitasi dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi
diproyeksikan oleh sel-sel neuron yang berada di korteks yang kemudian
diteruskan oleh akson, sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.6
Elektrolit yang berperan penting dalam aktivitas otak adalah natrium (Na+),
kalsium (Ca2+), kalium (K+), magnesium (Mg2+) dan klorida (Cl-).
Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat sedangkan
neurotransmitter utama pada proses inhibisi adalah asam aminobutirik (GABA)
yang masing-masing akan berikatan dengan reseptornya.6
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan
terjadi sekresi glutamat ke celah sinaps. Glutamat kemudian akan berikatan dengan
reseptornya dan Na+ akan masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya
depolarisasi cepat. Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial (10-20mV),
maka Na+ akan masuk ke dalam sel diikuti oleh Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+
akan memperpanjang potensial eksitasi.6
Ca2+ yang masuk ke dalam sel akan mendorong pelepasan neurotransmitter
GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptornya dan
mencetuskan potensial inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan
ambang potensial membran sel sampai ke ambang istirahat yang disebut sebagai
hiperpolarisasi.6
Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat, membran sel terhiperpolarisasi
di bawah ambang istirahatnya disebut sebagai after hyperpolaritation (AHP). AHP
terjadi sebagai hasil dari keseimbangan antara Ca2+ di dalam sel dan K+ di luar sel.

9
Pada masa ini, sel neuron mengalami fase refrakter dan tidak dapat terstimuli
sampai terjadi pertukaran Ca2+ ke luar sel dan K+ ke dalam sel. Keseimbangan ion
di dalam dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na+ - K+ dengan bantuan ATP.6
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan
hipereksitabilitas yang pada akhirnya akan menyebabkan bangkitan epileptik.
Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Penyebab internal antara lain berupa mutasi atau kelainan pada kanal-kanal
elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang sudah diketahui adalah mutasi kanal
Na+, Ca2+ dan K+. Mutasi ini menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel
secara terus menerus sehingga memperpanjang depolarisasi dan menghambat
repolarisasi.6
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamat ke celah
sinaps sehingga terjadi peningkatan jumlah Ca2+ di dalam sel dan juga
memperpanjang proses depolarisasi.
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit baik penyakit otak maupun
sistemik. Penyakit-penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan sel neuron, glia dan
sawar darah otak. Kerusakan sel glia akan menyebabkan kelebihan K+ dan
glutamate di celah sinaps karena tidak terhisap sehingga sel neuron akan mudah
tereksitasi. Keadaan tersebut juga akan mengaktivasi faktor-faktor inflamasi
kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk lingkaran
yang berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi terus-menerus dalam jangka waktu
yang lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur neuron dan
ekspresi gen.6
Hipereksibilitas satu sel neuron akan memengaruhi sel neuron di sekitarnya.
Sekelompok neuron yang mencetuskan aktivitas abnormal secara bersamaan
disebut sebagai hipersinkroni. Pada saat satu sel neuron teraktivasi, maka sel-sel
neuron di sekitarnya juga akan teraktivasi secara bersama-sama dan membentuk
suatu potensial eksitasi yang besar dan menimbulkan gejala klinis.6

10
F. Jenis Bangkitan Kejang

Manifestasi Klinis Bangkitan Epilepsi 5,6


Tipe Kejang Ciri Khas
Kejang Parsial
Parsial sederhana Kejang fokal tanpa disertai gangguan kesadaran.
Dapat disertai gejala motorik, sensorik, otonom
Parsial kompleks Kejang fokal disertai hilang atau perubahan
kesadaran.
- kejang parsial sederhana pada awal serangan
diikuti hilang kesadaran
- hilang kesadaran dimulai saat awal serangan
Kejang umum
Tonik-klonik Kontraksi tonik simetris diikuti dengan kontraksi
(grand mal) klonik bilateral.
Dapat disertai inkontinensia (fenomena otonom)
Absans Hilangnya kesadaran yang singkat (biasanya < 10
(petit mal) detik) dengan terhentinya aktivitas yang sedang
berlangsung. Tidak disertai aura.
Mioklonik Kontraksi tiba-tiba, aritmik dan singkat (<1 detik)
dari otot/sekelompok otot di berbagai bagian
tubuh
Atonik Hilangnya tonus otot yang singkat (1-2 detik)
Tonik Kontraksi otot yang berkepanjangan, ekstremitas
dan tubuh terlihat kaku
Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas
secara berulang-ulang

G. Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang teliti dan


detail, pemeriksaan fisik lengkap dan EEG serta dibantu oleh pemeriksaan
pencitraan bila ada indikasi.

11
Langkah - langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai
berikut:6

 Pastikan adanya bangkitan epileptik 



 Tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE
 Tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi 
ILAE

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis



adalah sebagai berikut: 


1. Anamnesis 4,5

Pada episode kejang pertama, anamnesis harus ditujukan untuk


menyingkirkan diagnosis banding lain sebagai penyebab kejang seperti infeksi
SSP, trauma kepala, kelainan metabolik, hipoglikemi, gangguan elektrolit,
keracunan obat atau toksin. Bila tidak ditemukan penyebab tersebut,
kecurigaan dapat mengarah pada epilepsi.

Jika curiga ke arah epilepsi, tanyakan hal-hal di bawah ini secara detail
kepada orangtua atau saksi:

 Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan :

 Sebelum bangkitan / gejala prodromal (pre- iktal)

Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan 
terjadinya


bangkitan (aura), misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat,
hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain. 


 Selama bangkitan (iktal)


 Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu
atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia,
lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila
keluarga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam

12
video saat bangkitan)

 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

 Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya ?
 Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat
terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain- lain.
 Berapa kali kejang dalam satu hari, berapa lama kejang berlangsung?
 Kesadaran antar bangkitan?

 Pasca bangkitan (post- iktal)

Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah.

 Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,


alkohol.

 Usia awitan

 Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya
 Riwayat epilepsi pada keluarga
 Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun
komorbiditas. 

 Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang 

 Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam 

 Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP),dll.

2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis

 
Pemeriksaan fisik umum


Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi


misalnya trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan kongenital, kecanduan
alkohol/napza, tanda-tanda keganasan.

13
 Pemeriksaan neurologis 


Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang


dapat berhubungan dengan epilepsi. Pemeriksaan neurologi perlu dilakukan
untuk mencari tahu apakah kejang disebabkan oleh infeksi SSP atau tidak.

3. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)5

EEG merupakan pemeriksaan penunjang standar yang harus dilakukan


pada setiap kejadian paroksismal bangkitan/kejang. Rekam EEG dilakukan
selama 30 menit terdiri dari rekaman tidur dan bangun tanpa menggunakan
obat premedikasi. Pemeriksaan EEG dilakukan setelah bangkitan kedua
namun bila dirasakan perlu dapat dilakukan setelah kejang pertama.
Pemeriksaan EEG dapat diulang bila pada pemeriksaan pertama hasilnya tidak
jelas.

Ditegaskan walaupun EEG secara rutin dilakukan pada kejang tanpa


provokasi pertama dan pada dugaan epilepsi, pemeriksaan ini bukanlah baku
emas untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Kelainan pada EEG dapat
ditemukan pada 2%-4% anak yang tidak pernah kejang; sebaliknya EEG
interiktal pertama dapat normal pada 55% anak dengan kejang pertama tanpa
provokasi. Gambaran EEG saja tanpa memandang informasi klinis tidak dapat
menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi.

Pada gambaran EEG perlu diperhatikan frekuensi dan amplitudo


gelombang irama dasar, ada tidaknya asimetri, serta ada tidaknya aktivitas
epileptiform yang dapat berupa gelombang paku, gelombang tajam, paku-
ombak, tajam-ombak, paku multiple, burst-suppression dan hipsaritmia.
Diperhatikan juga lokalisasi aktivitas abnormal, bila ada. Peran EEG pada
epilepsi adalah sebagai berikut :

 Membantu menentukan tipe kejang


 Menunjukkan lokalisasi fokus kejang apabila ada, serta penyebarannya
 Membantu menentukan sindrom epilepsi

14
 Pemantauan keberhasilan terapi
 Membantu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat
dihentikan

Beberapa hal yang dapat meningkatkan nilai diagnostik EEG adalah


sebagai berikut :

 Pemeriksaan EEG saat kejang/segera setelah kejang


 Pengulangan EEG
 Melakukan EEG pada saat tidur (sensitivitas 81 %) terutama apabila
dilakukan pengulangan siklus bangun-tidur (sensitivitas 92%)
 Hiperventilasi, terutama pada epilepsi absans

 Pemeriksaan pencitraan otak5, 7

Peran pencitraan untuk mendeteksi lesi otak yang mungkin menjadi


faktor penyebab epilepsi atau kelainan neurodevelopmental yang menyertai.
Pencitraan dilakukan untuk menentukan etiologi, memperkirakan prognosis
dan merencanakan tata laksana klinis yang sesuai. MRI merupakan pencitraan
pilihan untuk mendeteksi kelainan yang mendasari epilepsi. MRI lebih
superior dalam mengidentifikasi struktur anatomi dan proses patologis. CT
scan dapat digunakan bila MRI tidak tersedia.

Indikasi MRI pada anak dengan epilepsi adalah sebagai berikut :

 Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG


 Anak berusia kurang dari 2 tahun
 Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simtomatik
 Status epileptikus

 Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan hematologis dilakukan di awal pengobatan sebagai salah


satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding.

15
 Pemeriksaan penunjang lainnya


Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya pungsi lumbal.

H. Tatalaksana

 Saat Kejang
Pertama, pastikan jalan napas bebas, ventilasi dan sirkulasi dalam
keadaan baik. Longgarkan pakaian yang ketat, baringkan anak dalam posisi
miring agar lendir atau cairan dapat mengalir keluar. Leher dan rahang
hiperekstensi agar jalan napas bebas. Boleh masukkan handuk kecil ke dalam
mulut untuk mencegah lidahnya tergigit namun jangan dipaksa baik
menggunakan benda keras maupun jari agar tidak ada gigi yang tanggal dan
tertelan atau teraspirasi. 5

 Memilih Antikonvulsan
Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi atau sindrom
epilepsi harus pasti. Respon individu terhadap OAE tergantung dari tipe
kejang, klasifikasi dan sindrom epilepsi serta harus di evaluasi setiap kali
kunjungan.5
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Oleh karena
itu, untuk menjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik
antara dokter, pasien dan keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan
berobat.5, 8

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan


epilepsi (ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari
serangan kejang sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang
berlangsung sampai beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi,
maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila
serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan
obat-obatan.9

16
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4
bagian: penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi,
penghilangan faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas
fisik dan mental. Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi
dua, yaitu:9, 10

1. Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam


menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai
pengobatan, pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat
(start low, go slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan
epilepsi membutuhkan pengobatan jangka panjang.

 OAE diberikan bila
:


 Diagnosis epilepsi sudah dipastikan

 Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun

 Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan.

 Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul dari OAE
 Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari
(misalnya: alkohol, kurang tidur, stress, dll)

 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai


dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi

 Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai kejang terkontrol
atau timbul efek samping.
 Jika dengan obat lini pertama dosis maksimal kejang belum terkontrol,
evaluasi ulang: keteraturan minum obat, apakah diagnosis epilepsi sudah
benar, apakah serangan yang masih timbul memang manifestasi kejang
dan apakah ada faktor pencetus seperti kurang tidur atau kelelahan.
 Pada epilepsi yang baru terdiagnosis, semua kelompok usia dan semua
jenis kejang efektif ditangani dengan asam valproat, fenobarbital,
karbamazepin dan fenitoin.

17
Obat lini pertama :
 Asam valproat 10 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis
 Fenobarbital 4-5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis
 Karbamazepin 10-30 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis
 Fenitoin 5-7 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis

 Sekitar 70% epilepsi pada anak akan berespons baik terhadap OAE
pertama atau kedua. Jika OAE pertama dan kedua masing-masing
gagal sebagai monoterapi, peluang untuk mencoba monoterapi lain
dalam memberantas kejang sangat kecil sehingga terapi OAE
kombinasi patut dipertimbangkan.
Obat lini kedua :
 Topiramat. Dosis inisial 1-3 mg/kgBB/hari dinaikkan perlahan
dengan interval 1-2 minggu
 Lamotigrine. Dosis inisial 0.15 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis
selama 2 minggu lalu dinaikkan menjadi 0.3 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis
 Levetirasetam. Dosis inisial 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis


OAE diberikan berdasarkan tipe bangkitan.

Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

Tipe Kejang Lini Pertama Lini Kedua

Kejang parsial

Parsial sederhana, Karbamazepin Acetazolamide


parsial kompleks, Valproat Clonazepam
Umum sekunder Fenitoin Gabapentin

Kejang umum

Tonik-klonik, Karbamazepin Levetirasetam


Konik Valproat Topiramat
Fenitoin Lamotigrine

18
Fenobarbital

Absans Valproat Acetazolamide


Clonazepam

Absans atipikal, Valproat Acetazolamide


Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Topiramate

Mioklonik Valproat Acetazolamide


Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam
Piracetam

Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)8

Lamanya OAE diberikan bergantung pada jenis bangkitan kejang dan


gambaran klinis serta EEG yaitu :9

 Pada kejang neonatus, antikonvulsan dapat diberikan hingga 1 tahun


 Pada anak dengan kejang umum tonik-klonik, antikonvulsan
diberikan hingga 2 tahun bebas kejang, namun bila pada
pemeriksaan EEG masih ditemukan kelainan, terapi dilanjutkan
hingga 3 tahun bebas kejang
 Pada anak dengan kejang fokal, antikonvulsan dilanjutkan hingga 3
tahun bebas kejang
 Pada anak dengan kejang absance, antikonvulsan diberikan hingga 2
tahun bebas kejang

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai


berikut:

 Setelah minimal 2 atau 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG


normal 

 Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya. 


19
 Dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan 


Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar


kemungkinannya pada 
keadaan sebagai berikut: 


 Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi 



 Epilepsi simtomatis 

 Gambaran EEG yang abnormal 

 Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE 

 Penggunaan lebih dari satu OAE
 Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan
lebih kecil 
pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5
tahun, atau lebih dari lima tahun). 


Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir


(sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali. 
Rujukan
ke spesialis epilepsi perlu ditimbangkan bila: 


 Tidak responsif terhadap 2 OAE pertama 



 Ditemukan efek samping yang signifikan dengan terapi 

 Berencana untuk hamil 

 Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.



2. Terapi bedah epilepsi


Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan
meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi
dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2
tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau
jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat
diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau
memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko
kerusakan jaringan otak normal didekatnya (Consensus Guidelines on the
Management of Epilepsy, 2010).

20
I. Diagnosis Banding

Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik,


seperti pingsan (syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement
disorder. Hal ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis
dan pengobatannya. Tabel dibawah menunjukkan beberapa pembeda antara
kejang epileptik dengan berbagai kondisi yang menyerupainya.

21
J. Prognosis
Banyak jenis epilepsi berprognosis baik. Remisi didefinisikan sebagai periode
bebas kejang, minimal 5 tahun dengan penggunaan obat-obatan antikonvulsan.
Sebanyak 70% penderita epilepsi dapat mengalami remisi dengan terapi yang
optimal bahkan 75% diantaranya dapat berhenti menggunakan obat tanpa kembali
mengalami rekurensi.6

Pasien yang memiliki prognosis yang lebih buruk adalah pasien dengan defisit
neurologi sebelumnya (seperti retardasi mental, palsi serebral), usia saat onset
pertama lebih dari 12 tahun, riwayat kejang neonatus sebelumnya dan frekuensi
kejang yang tinggi sebelum kontrol optimal tercapai. Pada kelompok pasien ini,
angka remisi lebih rendah dan rekurensi lebih tinggi.6

22
BAB III
STATUS PASIEN

Tanggal pemeriksaan : 13/8/2017

DPJP : dr. Franky Sientoro, Sp.A

Dokter Bangsal : dr. Syaruni

Ko-assisten : Ireene H. A. Sinurat, S.Ked

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. A. E. Agama : Islam

Tanggal lahir : 12 Mei 2005 Pendidikan : SMP

Umur : 12 tahun Alamat : Kampung Satu

Jenis Kelamin : Laki-laki

ORANGTUA / WALI

Ayah

Nama Lengkap : Tn. B Agama : Islam

Umur : 35 thn Pendidikan : Sarjana (S1)

Suku bangsa : Tidung Pekerjaan : Karyawan Swasta

Alamat : Kampung Satu

Ibu

Nama Lengkap : Ny. S Agama : Islam

Umur : 33 thn Pendidikan : SMA

Suku bangsa : Bugis Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Kampung Satu

23
RIWAYAT PENYAKIT

Keluhan Utama : Kejang

Keluhan Tambahan :-

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang ke IGD RSUD Tarakan diantar oleh ibunya dengan keluhan kejang
sebanyak 4 kali sejak 1 hari SMRS. Kejang terakhir terjadi setengah jam SMRS. Kejang yang
dialami terjadi selama ± 2 menit di setiap kejangnya. Sebelum kejang, pasien merasa pusing
dan pandangannya kabur. Pasien tidak sadarkan diri saat kejang. Menurut ibu pasien, saat
kejang, seluruh tubuh pasien tiba-tiba tampak kaku/tegang lalu beberapa detik kemudian,
tampak gerakan kedua tangan dan kaki yang disentak-sentakan. Kedua mata pasien melirik ke
atas. Tidak tampak air liur, busa maupun darah yang keluar dari mulut pasien, lidah tampak
tidak tergigit. Setelah kejang, pasien sadarkan diri kemudian tertidur. Pola kejang yang
dialami sama. Menurut ibu pasien, akhir-akhir ini pasien sedang banyak kegiatan dan tugas
dari sekolah. Pasien memiliki riwayat epilepsi dan sudah mengkonsumsi depaken selama 1
tahun.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami hal yang sama 1 tahun yang lalu. Riwayat trauma kepala
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga/ Lingkungan

Riwayat penyakit yang sama terjadi di keluarga disangkal.

24
PEMERIKSAAN FISIK

PEMERIKSAAN UMUM

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

Tanda Vital

 Frekuensi nadi : 108x/menit, kuat angkat, isi cukup, reguler


 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Frekuensi nafas : 24 x/min
 Suhu : 36,5 oC
Data Antropometri

 Berat badan : 20 kg
 Tinggi badan : 130 cm
 IMT : 11,8 kg/m2 (underweight)

PEMERIKSAAN SISTEM

Kepala

 Bentuk : normocephali
 Rambut dan kulit kepala : hitam, pertumbuhan merata, rambut tidak
mudah dicabut
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Telinga : normotia, simetris, liang telinga lapang, sekret (-/-),
serumen (-), membran timpani intak
 Hidung : sekret (-), septum nasi ditengah, normosmia
 Mulut
o Bibir : sianosis (-), bibir kering (-)
o Gigi – geligi : lengkap, karies (-)
o Lidah : merah muda, licin, coated tongue (-), geographic
tongue (–)
o Tonsil : T1-T1, tidak tampak hiperemis
o Faring : Tidak tampak hiperemis

25
Leher : JVP Distended (-), kelenjar getah bening tidak

teraba

Thoraks

 Dinding thoraks : LL>AP, normal chest


 Paru
o Inspeksi : Pergerakkan dinding dada simetris, retraksi (-)
o Palpasi : Vocal Fremitus simetris
o Perkusi : Sonor/Sonor
o Auskultasi : BND vesikuler, Rh -/- , Wh -/-
 Jantung
o Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : Batas jantung kanan : Linea Parasternal dextra IC 4
Batas jantung kiri : linea midclavicula sinistra IC 5
o Auskultasi : Bunyi jantung I & II normal, murmur (-), Gallop (-)
 Abdomen
o Inspeksi : tampak datar
o Auskultasi : BU (+) 4x/min
o Perkusi : timpani, nyeri ketok (-), Pekak sisi – pekak alih (-)
o Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), Undulasi (-), hepar dan lien tidak
teraba

Anus dan Rektum : Tidak diperiksa (Tidak ada indikasi)

Genitalia : Tidak diperiksa (Tidak ada indikasi)

Anggota gerak

 Atas : Deformitas (-), ROM terbatas (-), edema (-/-)


 Batas : Deformitas (-), ROM terbatas (-), edema (-/-)

Tulang Belakang : Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-)

Kulit : Turgor baik

Kelenjar Getah Bening : Pembesaran (-)

26
Lain – lain : Akral hangat, CRT <2”

Pemeriksaan Neurologi

Rangsang meningeal

Kaku kuduk :-

Brudzinski I :-/-

Brudzinski II :-/-

Kernig :-/-

Laseque : > 70o / > 70o

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Darah lengkap
 Pasien sebelumnya sudah di EEG dan didapatkan aktivitas epileptiform berupa spike
wave pada periode interiktal

RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN

KEHAMILAN

Perawatan Antenatal : Trimester I 1x/bulan di Puskesmas

Trimester II 2x/bulan di Puskesmas

Trimester III 3x/bulan di Puskesmas

Penyakit Kehamilan :-

KELAHIRAN

Tempat lahir : Puskesmas

Penolong Persalinan : Bidan

Cara persalinan : Spontan

Penyulitan :-

Masa gestasi : Cukup bulan

Berat badan lahir : 3000 gram

27
Panjang badan : 50 cm

Lingkar kepala : Ibu pasien tidak mengetahui

Langsung menangis : (+)

Nilai APGAR : Ibu pasien tidak mengetahui

Kelainan bawaan : Tidak ada

RIWAYAT TUMBUH KEMBANG

Gigi pertama : 7 bulan

Psikomotor

 Tengkurap : 5 bulan
 Duduk : 8 bulan
 Berdiri : 16 bulan
 Berjalan : 17 bulan
 Berbicara : 16 bulan
 Membaca/ menulis : 5 tahun

RIWAYAT IMUNISASI

Vaksin DASAR UMUM ULANGAN (UMUR)

Hepatitis B 0 hari 2 bulan 3 bulan 4 bulan

POLIO (OPV) 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 18 bulan

BCG 1 bulan

DTP/DT 2 bulan 3 bulan 4 bulan

CAMPAK 9 bulan

28
RIWAYAT MAKANAN

Umur 0 – 6 bulan : Pemberian ASI Esklusif tiap kali anak menangis

Umur 7 - 9 bulan : ASI + bubur susu (SUN)

Umur 10-1 tahun : ASI + bubur nasi saring + sayur + ikan 3 kali sehari

Umur >1 tahun : susu formula + nasi + lauk + sayur 3 kali sehari dengan

biskuit sebagai selingan

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA

PENYAKIT UMUR PENYAKIT UMUR

Diare - Parotitis -

Otitis - Demam berdarah -

Radang paru - Demam tifoid -

Tuberculosis - Cacingan -

Kejang 11 tahun Alergi -

Ginjal - Kecelakaan -

Jantung - Operasi -

Difteri -

Morbili -

RINGKASAN

Anamnesis:

Pasien datang ke IGD RSUD Tarakan diantar oleh ibunya dengan keluhan kejang
sebanyak 4 kali sejak 1 hari SMRS. Kejang terakhir terjadi setengah jam SMRS. Durasi
kejang ±2 menit di setiap kejangnya. Sebelum kejang, pasien merasa pusing dan pandangan
kabur. Pasien tidak sadarkan diri saat kejang. Saat kejang, seluruh tubuh pasien tiba-tiba
tampak kaku/tegang lalu beberapa detik kemudian, tampak gerakan kedua tangan dan kaki

29
yang disentak-sentakan. Kedua mata pasien melirik ke atas. Tidak tampak air liur, busa
maupun darah yang keluar dari mulut pasien, lidah tampak tidak tergigit. Setelah kejang,
pasien sadarkan diri kemudian tertidur. Pola kejang yang dialami sama. Akhir-akhir ini pasien
sedang banyak kegiatan dan tugas dari sekolah. Riwayat epilepsi (+), konsumsi depaken
selama 1 tahun (+).

Pemeriksaan fisik :

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

Tanda Vital

 Frekuensi nadi : 108 x/menit, kuat angkat, isi cukup, reguler


 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Frekuensi nafas : 24 x/menit
 Suhu : 36,5 oC
Data Antropometri

 Berat badan : 20 kg
 Panjang badan : 130 cm
 IMT : 11,8 kg/m2 (underweight)

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


Hidung : Sekret (-), Septum nasi ditengah, normosmia
Mulut : bibir, gigi geligi, lidah, tonsil dan faring tidak ada kelainan
Toraks : tidak ditemukan kelainan

Abdomen : tidak ditemukan kelainan

Anggota gerak : tidak ditemukan kelainan

Kulit : Turgor baik

Pemeriksaan Neurologi

Rangsang meningeal

Kaku kuduk :-

Brudzinski I :-/-

30
Brudzinski II :-/-

Kernig :-/-

Laseque : > 70o / > 70o

DIAGNOSIS

Epilepsi dengan bangkitan tonik-klonik

DIAGNOSIS BANDING

 Infeksi SSP
 Serangan paroksismal non-epileptik (Syncope, panic attack)

PENATALAKSANAAN

Rawat inap

Diet : Biasa

Obat – obatan :

 IVFD : D5 ½ NS 20 tpm
 IV / IM : Midazolam 0.1-0.2 mg/kgBB IV (injeksi 2 mg)
 Mm/ : Fenobarbital 2 mg/kgBB per-oral (40 mg = 2 x II cth)
Lanjutkan Depaken 2 x I cth

PROGNOSIS

Ad Vitam : Bonam

Ad Sanationum : Dubia

Ad Fungsionum : Bonam

FOLLOW UP
Hari/ : Senin, 14 Agustus 2017
tanggal

31
Bagian S O Laboratorium A P

Dokter ( Kejang (+) 1 Komposmentis, Darah Epilepsi Diet : Biasa


09: 30) kali dengan pola dengan
yang sama TD : 110/70 Leukosit : 11.400 bangkitan IVFD : D5 ½ NS 20
mmHg tonik-klonik
Eritrosit : 3,61 juta tpm
Nadi : 85x/menit
Trombosit :
RR : 22x/menit 366.000 IV / IM : Midazolam
0.1-0.2 mg/kgBB IV
Suhu : 36,2°C Hb : 11,5 gr/dl
(injeksi 2 mg)
Berat badan : 20 Ht : 31,6 %
kg
MCV : 87,5 Mm/ :
Fenobarbital 2 x II cth
MCH : 31,9
Lanjutkan Depaken 2 x I
MCHC : 36,4
cth
Limfosit : 48,7 %

Monosit : 21,5 %

Neutrofil : 44, 4%

Hari/ : Selasa, 15 Agustus 2017


tanggal

Dokter ( Kejang (+) 1 Komposmentis, Darah Epilepsi Diet : Biasa


09: 30) kali dengan pola dengan
yang sama TD : Leukosit : 11.400 bangkitan IVFD : D5 ½ NS 20
110/60mmHg tonik-klonik
Eritrosit : 3,61 juta tpm
Nadi : 86x/menit
Trombosit :
RR : 22x/menit 366.000 IV / IM : Midazolam
0.1-0.2 mg/kgBB IV
Suhu : 36,3°C Hb : 11,5 gr/dl
(injeksi 2 mg)
Berat badan : 20 Ht : 31,6 %
kg
MCV : 87,5

MCH : 31,9 Mm/ :


Fenobarbital 2 x II cth
MCHC : 36,4
Lanjutkan Depaken 2 x I

32
Limfosit : 48,7% cth

Monosit : 21,5 %

Neutrofil : 44,4%

Hari/ : Rabu, 16 Agustus 2017


tanggal

Dokter ( Kejang (-) Komposmentis, Darah Epilepsi Diet : Biasa


09: 30) dengan
TD : 110/70 Leukosit : 11.400 bangkitan IVFD : D5 ½ NS 20
mmHg tonik-klonik
Eritrosit : 3,61 juta tpm
Nadi : 84x/menit
Trombosit :
RR : 21x/menit 366.000 IV / IM : Midazolam
0.1-0.2 mg/kgBB IV
Suhu : 36,4°C Hb : 11,5 gr/dl
(injeksi 2 mg)
Berat badan : 20 Ht : 31,6 %
kg
MCV : 87,5 Mm/ :
Fenobarbital 2 x II cth
MCH : 31,9
Lanjutkan Depaken 2 x I
MCHC : 36,4
cth
Limfosit : 48,7 %

Monosit : 21,5 % Rencana Pulang

Neutrofil : 44, 4%

PEMBAHASAN

33
Kejang yang dialami An. A. E. (12 tahun) ini merupakan rekurensi dari
epilepsi yang sudah dialami setahun sebelumnya. Kejang yang dialami terjadi secara
tiba-tiba dan berulang lebih dari dua kali dengan pola yang sama. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa epilepsi dapat ditegakkan jika terdapat minimal
dua episode kejang tanpa diprovokasi.

Kejang yang dialami terjadi selama ± 2 menit di setiap kejangnya dengan


gejala pre-iktal berupa pasien merasa pusing dan pandangannya kabur yang
menandakan adanya aura sebelum kejang terjadi. Untuk gejala iktal, pasien tidak
sadarkan diri saat kejang dan menurut ibu pasien, seluruh tubuh pasien tiba-tiba
tampak kaku/tegang lalu beberapa detik kemudian, tampak gerakan kedua tangan dan
kaki yang disentak-sentakan. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
bangkitan kejang jenis tonik-klonik diawali dengan kejang tonik yang berupa
peningkatan kontraksi otot yang menetap sehingga tampak kaku/tegang selama
beberapa detik yang diikuti dengan kejang klonik berupa gerakan sentakan
sekelompok otot (kelojotan) dengan pengulangan secara teratur lebih kurang 2-3
siklus per detik (repetitif) yang pada umumnya melibatkan kedua sisi tubuh. Pasien
tidak sadarkan diri dan hal ini sesuai untuk kejang umum yang melibatkan kedua
belah hemisfer dan menyebabkan hilangnya kesadaran.

Banyaknya kegiatan dan tugas yang sedang dihadapi pasien di sekolah dapat
menjadi faktor pencetus munculnya kejang yang disebabkan karena terjadinya
deprivasi tidur dan kelelahan fisik.

Pasien sudah didiagnosis epilepsi satu tahun yang lalu dan mengkonsumsi
depaken (asam valproat) sebagai monoterapi. Diberikan fenobarbital 2 mg/kgBB per-
oral (40 mg = 2 x II cth) sebagai terapi kombinasi bagi pasien ini.

DAFTAR PUSTAKA

34
1. Seizures and Epilepsy in Children. World Health Organization. 2012

2. National Institute for Health and Care Excellence. The epilepsies: the diagnosis
and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary
care. 2015

3. Fisher RS, Acevedo C, dkk. ILAE official report: a practical clinical definition of
epilepsy. Epilepsia. 2014 Apr; 55 (4):475-82

4. Kelompok Studi Epilepsi, Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia


(PERDOSSI) 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed 5. Airlangga University
Press.

5. Mangunatmadja, Irawan. Epilepsi pada Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). 2016

6. Buku Ajar Neurologi, Buku 1. Departemen Neurologi FK UI RSCM. Jakarta, 2017

7. Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.).
Harrison’s: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The McGraw-
Hill Companies, 222-245.

8. Malaysian Society of Neurosciences, 2010. Consensus Guidelines on the


Management of Epilepsy. Epilepsy Council.

9. Saint Louis, Erik K., Rosenfeld, William E., Bramley, Thomas, 2009. Antiepileptic
Drug Monotherapy: The Initial Approach in Epilepsy Management. Current
Neuropharmacology, 7: 77-82.

35

Anda mungkin juga menyukai