Anda di halaman 1dari 24

TEORI BELAJAR KOGNITIF

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah startegi belajar mengajar di SD

disusun oleh:

1. Annisa Mursalina 5. Reddy Moch. Ridwan


6. Rina Komariah
2. Dinda Thahara
7. Shifa Rasdina Kurnia
3. Kiki Sopiyani
8. Tiara Rahayu Ambar Kanida
4. Metta Andaya Soliha
9. Wuri Nurmayanti

dosen

Rana Gustian N., M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) SEBELAS APRIL SUMEDANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini berjudul Teori Belajar Kognitif.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih atas
bantuan semua pihak yang telah memberikan dukungan dan dorongan kepada
penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Ucapan terima kasih yang seutuhnya
penulis haturkan kepada:
1. Bapak Rana Gustian N., M.Pd. selaku dosen mata kuliah strategi belajar
mengajar di SD yang telah membimbing dan mengarahkan dalam
penyusunan dan penulisan makalah ini.
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan moral maupun materi sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
3. Teman-teman 4B PGSD yang selalu setia menjadi rekan diskusi
4. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan makalah ini.
Semoga amal baik dan bantuan yang telah diberikan baik dukungan moral
maupun materil akan mendapat balasan dari Allah SWT.penulis berharap semga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan pengetahuan
khususnya dalam bidang pendidikan.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.

Sumedang, April 2018

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Teori-teori belajar bermunculan seiring dengan perkembangan teori
psikologi. Salah satu diantara teori belajar yang terkenal adalah teori belajar
behaviorisme. Dikatakan bahwa teori-teori belajar hasil eksperimen secara
principal bersifat behavioristic yang menekankan timbulnya perilku jasmaniah
yang nyata dan dapat diukur.
Namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu
pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa kelemahan yang menuntut
adanya pemikiran teori belajar yang baru. Dikatakan bahwa, teori-teori
behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot, padahal setiap manusia
memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan pengendalian diri
(self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak respon jika ia
tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan
proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit
diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara
manusia dan hewan. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai kelemahan teori
behaviorisme.
Karena kelemahan-kelemahan tersebut sehingga muncullah teori belajar lain
yaitu teori belajar kognitif. Berdasarkan tulisan-tulisan dalam berbagai literatur,
ditemukan bahwa para ahli telah menemukan teori baru tentang belajar yaitu teori
belajar kognitif yang lebih mampu meyakinkan dan menyumbangkan pemikiran
besar demi perkembangan dan kemajuan proses belajar sebagai lanjutan dari teori
behaviorisme tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah :
1.2.1 Apa pengertian teori belajar Kognitif ?
1.2.2 Bagaimana karakteristik teori belajar kognitif ?
1.2.3 Siapa tokoh-tokoh teori belajar Kognitif?
1.2.4 Apa kelebihan dan kekurangan teori kognitif?
1.2.5 Bagaimana implikasi teori kognitif?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalahini, antara
lain:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian teori belajar kognitif.
1.3.2 Untuk mngetahui karakteristik teori belajar kognitif.
1.3.3 Untuk mengetahui tokoh-tokoh teori belajar kognitif.
1.3.4 Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori kognitif.
1.3.5 Untuk mengetahui implikasi teori kognitif.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teori Kognitif


Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition artinya pengertian, mengerti.
Secara luas cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan dan penggunaan
pengetahuan.
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian,
mengerti. Pengertian secara luas, cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan,
dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah
kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia atau
satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap
perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan,
memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan
masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan
konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para
ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada
kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu
terjadi.

2.2 Karakteristik Teori Kognitif


Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil
belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
2.3 Tokoh Teori Kognitif
Adapun tokoh-tokoh teori belajar kognitif antara lain:
a. jean Piaget
Pada saat proses pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada berbagai
dinamika yang berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Perubahan dan
perkembangan tersebut harus mendapat perhatian dari guru, karena berdasarkan
perkembangan dan perubahan tersebutlah guru dapat menentukan dan memilih
strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik yang terlibat
dalam proses pembelajaran.
Secara umum Piaget mengemukakan bahwa semua anak berkembang
melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka
berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap
dari tahap yang paling rendah beranjak ke tahap yang lebih tinggi. Semua
perubahan yang terjadi merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah atau
meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya. Piaget memandang bahwa
bahwa kognitif merupakan hasil dari pembentukan adaptasi biologis.
Perkembangan kognitif terbentuk melalui interaksi yang konstan antara individu
dengan lingkungan.
Tahapan-tahapan kognitif menurut Piaget memiliki kaitan yang sangat erat
dengan empat karakteristik, yaitu:
1. Setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang
berbeda secara kualitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan
permasalahan yang sama.
2. Perbedaan cara berfikir antara anak satu dengan yang lain seringkali dapat
dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berfikir yang saling berbeda.
Dalam hal ini terdapat serangkaian langkah yang konsisten sesuai dengan
tingkat perkembangan usianya.
3. Setiap anak memiliki cara berfikir yang akan membentuk satu kesatuan
yang terstruktur. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap tahap yang dilalui
seorang anak akan diatur sesuai dengan cara berfikir.
4. Setiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu integrasi
hirarki dari apa yang telah dialami sebelumnya.

Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan berfikir logis dari masa


bayi hingga dewasa. Tahapan perkembangan menurut Piaget (Mohammad Surya:
2003) terbagi atas empat tahapan, yaitu:

1. Tahapan sensori-motor : 0 – 2 Tahun


Pada tahap sensori-motor (0 – 2 Tahun), Tahap ini diidentikkan dengan
kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana. Terbentuknya konsep
“kepermanenan objek” dan kemajuan gradual dari perilaku refleksif ke perilaku
yang mengarah kepada tujuan. Aktivitas kognitif berpusat pada aspek alat indra
dan gerak. Anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta
mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi sedikit
mengembangkan kemampuannya untuk membedakan dirinya dengan bena-benda
lain.
Pada tahap ini anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan
melalui alat indranya dan pergerakannya. Keadaan ini merupakan dasar bagi
perkembangan kognitif selanjutnya. Aktivitas sensori-motor terbentuk melalui
hasil dari interaksi dengan lingkungannya. Sebagai contoh anak belajar bicara
karena terbiasa melihat orang dewasa bicara dan mengikuti ucapannya.

2. Tahapan pra-operasional : 2 – 7 Tahun


Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya simbol atau bahasa
tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang
agak abstrak. Anak mulai memiliki kecakapan motorik. Pada masa ini anak
menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek. Pada tahap ini, anak telah
menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi berbagai hal di luar dirinya.
Anak sudah dapat memahami realitas di lingkungan dengan menggunakan tanda-
tanda dan symbol.
Cara berfikir anak pada tahapan ini belum sistematis, belum konsisten, dan
belum logis. Cara berfikir anak pada peringkat ini ditandai dengan ciri (a)
transductive reasoning, yaitu cara berfikir deduktif akan tetapi belum logis, (b)
ketidakjelasan hubungan sebab akibat, yaitu anak mengenal hubungan sebab
akibat tapi belum logis, (c) animism, yaitu menganggap bahwa benda itu hidup
seperti dirinya, (d) artificialism, yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu di
lingkungan itu mempunyai jiwa seperti manusia, (d) perceptually bound, yaitu
anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang ia lihat atau dengar, (e) mental
experiment, yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk menemukan jawaban
dari persoalan yang dihadapinya, (g) centration, yaitu anak memusatkan
perhatiannya kepada suatu ciri yang paling menarik dan mengabaikan ciri yang
lain, (h) egocentrism, artinya anak melihat dunia lingkungannya menurut
kehendaknya sendiri.
Sebagai contoh pada tahap perkembangan ini anak sudah mengenal dirinya
dan sifat ke-aku-annya sedang tinggi. Untuk itu dalam proses pembelajaran guru
sebaiknya memperhatikan kebutuhan siswa dan membantu siswa dalam
mengembangkan potensi yang dimilikinya, karena pada tahapan ini siswa sangat
ingin diperhatikan. Adapun contoh lain seorang anak melihat benda cair yang
sama banyak tetapi yang sat berada dalam gelas panjang dan satu lagi berada di
cawan datar, dia akan mengatakan bahwa air di gelas lebih banyak dari pada air di
cawan datar.

3. Tahapan operasional konkret : 7 – 12 Tahun


Pada tahap operasional kongkret (7- 12 tahun) anak telah dapat membuat
pemikiran tentang situasi atau hal konkrit secara logis. Anak mulai berpikir secara
logis tentang kejadian-kejadian konkret. Anak sudah dapat membedakan benda
yang sama dalam kondisi yang berbeda. Perkembangan kognitif pada tahap ini
memberikan kecakapan anak untuk berkenaan dengan konsep-konsep klasifikasi,
hubungan, dan kuantitas.
Konsep kualifikasi adalah kecakapan anak untuk melihat secara logis
persamaan-persamaan suatu kelompok objek dan memilihnya berdasarkan ciri-ciri
yang sama. Konsep hubungan adalah kematangan anak memahami hubungan
antara suatu perkara dengan perkara lainnya. Konsep kuantitas yaitu kesadaran
anak bahwa suatu kuantitas anak tetap sama meskipun bentuk fisiknya berubah.

4. Tahap Operasional formal : 12 tahun ke atas.


Pada tahap formal operasional (12 tahun ke atas), perkembangan kognitif
ditandai dengan kemampuan individu untuk berfikir secara hipotesis dan berbeda
dengan fakta, memahami konsep abstrak, dan mempertimbangkan kemungkinan
cakupan yang luas dari suatu perkara yang sempit. Perkembangan kognitif pada
tahap ini menuju ke arah proses berfikir ke arah yang lebih tinggi. Pada tahap
perkembangan ini siswa sudah dapat diajak berfikir abstrak, sehingga dalam
proses pembelajaran metode pembelajaran pemecahan masalah atau diskusi dapat
diterapkan.
Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap
tersebut berbeda dan tidak ada individu yang melompati salah satu dari tahap
tersebut. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuan-kemampuan
intelektual baru yang memungkinkan orang memahami dunia dengan cara yang
semakin kompleks (Trianto, 2007: 22). Hal ini berarti bahwa perkembangan
kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik. Artinya, perkembangan
kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dari
perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin
kompleks susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya
(Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya
setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai
subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan
yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi
pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat
sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006: 122).
Dalam pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya
terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi
terjadi jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di
kode ulang disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.Dalam teori
perkembangan kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan
(equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah
pengetahuan sekaligus menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat
dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga
seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses
perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium
melalui asimilasi dan akomodasi
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi
tiga tahapan, yaitu.
1. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke
struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik. Contoh : bagi
siswa yang sudah mengetahui prinsi penjumlahan, jika gurunya
memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara
prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa), dengan prinsip
perkalian (sebagai informasi baru ) itu yang disebut asimilasi.
2. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang
baru. Contoh, jika siswa diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian
(aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu
yang disebut akomodasi.
3. equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi. Contoh agar siswa tersebut dapat terus berkembang dan
menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental
dalam dirinya yang mmerlukan proses penyeimbangan antara “dunia dalam”
dan “dunia luar”
Uraian tersebut di atas memberi sebuah pemahaman bahwa inti dari
pemikiran Piaget tentang proses belajar seseorang adalah mengikuti pola dan
tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya (Muhaimin, 2002:
200).
Menurut Piaget (dalam slavin, 1994:145), perkembnagan kognitif sebagian
besar begantung pada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif
berinteraksi dengan lingkungannya. Berikut ini implikasi penting dalam model
pembelajaran dari teori Piaget.

a. Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekadar
pada hasilnya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami
proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
(bandingkan dengan teori belajar perilaku yang hanya memusatkan
perhatian kepada hasilnya, kebenaran jawaban, atau perilaku siswa yang
dapat diamati). Pengamatan belajar yang sesuai dikembangkan dengan
memperhatikan tahap kognitif siswa yang mutakhir, dan jika guru penuh
perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk smapai pada
kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi
memberikan pengalaman sesuai dengan yang dimaksud.
b. Memperhatikan perananan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif
dalam kegiatan pembelajaran. Dalam kelas piaget, penyajian pengetahuan
jadi (ready-made) tidak mendapat penekanan tetapi, anak didorong
menemukan sendiri pengetahuan itu (discovery maupun inquiry) melalui
interaksi spontan dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, guru dituntut
mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan
kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. Menerapkan teori piaget
berarti dalam pembelajaran fisika banyak mengguna penyelidikan.
c. Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan. Teori piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh
melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu, guru mampu
melakukan upaya untuk mengatur kegaiatan kelas dalam bentuk kelompok
kecil daripada bentuk kelas yang utuh,
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan
informasi yang melibatkan siswa menggunakan konsep, memberikan waktu
yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan menggunakan pola berpikir
formal.

b. Teori Gestalt (Koffka, Kohler, Werteimer)


Seperti yang telah dikemukakan, teori Gestalt termasuk pada kelompok
aliran kognitif holistik. Teori Gestalt dikembangkan oleh Koffka, Kohler dan
Wertheimer. Teori ini berbeda dengan teori-teori yang telah dijelaskan terdahulu.
Menurut teori Gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight
adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi
permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristic yang menganggap belajar atau
tingkah laku itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari
peranan Insight. Teori Gestalt Justru menganggap bahwa Insight adalah inti dari
pembentukan tingkah laku. Untuk memahami bagaimana sebenarnya insight itu
terjadi, kita ikuti percobaan yang dilakukan Kohler.
Kohler menyimpan simpanse pada sebuah jeruji. Di dalam jeruji itu
disediakan sebuah tongkat, dan di luar jeruji disimpan sebuah pisang. Setelah
dibiarkan beberapa lama, ternyata simpanse berhasil meraih pisang yang ada di
luar jeruji dengan tongkat yang disediakan itu.
Dari percobaan tersebut, simpanse mampu mengembangkan insight, artinya
ia dapat menangkap hubungan antara jeruji, tongkat, dan pisang. Ia paham bahwa
pisang adalah makanan, ia paham juga bahwa tongkat dapat digunakan untuk
meraih pisang yang berada di luar jeruji. Inilah hakikat belajar. Belajar terjadi
karena kemampuan menangkap makna dan keterhubungan antara komponen yang
ada di lingkungannya.
Insight yang merupakan ciri-ciri belajar menurut teori Gesralt, memilii ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Kemampuan insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang
tersebut, sedangkan kemampauan dasar itu tergantung kepada usia dan
posisi yang bersangkutan dalam kelompok (spesies)nya.
b. Insight dipengaruhi atau tergantung kepada pengalaman masa lalunya yang
relevan.
c. Insight tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya.
Simpanse tidak mungkin dapat meraih pisang yang ada di luar jerujinya
apabila tidak disediakan tongkat.
d. Pengertian merupakan inti dari Insight. Melalui pengertian individu akan
dapat memecahkan persoalan. Pengertia itulah yang bisa menjadi kendaraan
dalam memecahkan persoalan lain pada situasi yang berlainan.
e. Apabila insight telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi
persoalan dalam situasi lain. Di sini terdapat semacam transfer belajar,
namun yang ditransfer bukanlah materi yang dipelajari, tetapi relasi-relasi
dan generalisasi yang diperoleh melalui Insight.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang teori belajar ini, di
bawah ini disajikan beberapa prinsip penerapannya (Naution, 1982).

a. belajar itu berdasarkan keseluruhan


Teori Gestalt menganggap bahwa justru keseluruhan itu lebih memiliki
makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam
keseluruhan. Sebuah kata akan bermakna manakala ada dalam sebuah kalimat.
Demikian juga kalimat akan memiliki makna apabila ada dalam satu rangkaian
karangan.
Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat
dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melaui masalah
itu, siswa dapat memperoleh fakta.

b. anak yang belajar merupakan keseluruhan


Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah
hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak
seutuhnya. Apa artinya kemampuan intelektual manakala tidak diikuti sikap yang
baik atau tidak diikuti oleh pengembangan seluruh potensi yang ada dalam diri
anak. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan
fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada
dalam diri anak.

c. Belajar berkat insight


Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi
permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan
kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta.
Melalui persoalan yang dihadapi itu anak akan mendapat insight yang sangat
berguna untuk menghadapi setiap manusia.

d. belajar berdasarkan pengalaman


Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan amakna
kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi
pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus-menurus disempurnakan.
Apabila seorang anak kena api, maka kejadian itu akan memberikan pengalaman
setelah ia mengolah, menghubugkan dan menfsikannya bahwa api merupakan
sesuatu yang dapat menimbulkan rasa sakit sehingga ia bisa menyimpulkan dan
menentukan sikap bahwa api itu harus dihindari.
Akan tetapi, kemudian anak akan mengorganisasi pengalamannya bahwa
api itu ternyata besar juga manfaatnya dan tidak selalu berbahaya. Inilah hakikat
pengalaman. Dengan demikian proses membelajarkan adalah proses memberikan
pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan anak.

c. Teori Medan (Kurt Lewin)


Teori medan dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori Gestalt,
teori Medan menganggap bahwa belajar adalah proses pemecahan maslah.
Beberapa hal yang berkaitan proses pemecahan masalah menurut Lewin dalam
belajar adalah:
1. belajar adalah perubahan struktur kognitif.
Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mgubahstruktur
kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan contoh adalah sebagai berikut: ada
Sembilan buah titik. Hubungkan kesembilan buah titik tersebut dengan 4 buah
tarikan garis tanpa mengangkat tangan.

orang yang melihat Sembilan buah titik sebagai sebauah bujur sangkar akan
sulit memecahkan persoalan tersebut. Oleh karena itu, agar Sembilan buah titik
dapat dilewati dengan 4 buah tarikan garis, kita harus mengubah struktur kognitif
kita, bahwa kesembilan buah titik itu bukan bujur sangkar.

2. pentingnya motivasi. Motivasi adalah factor yang dapat mendorong setiap


individu untuk berperilaku.
Motivasi muncul karena adanya daya Tarik tertentu. Misalnya,
nilaimerupakan sesuatu yang dapat menjadi daya Tarik seseorang (motivator).
Akan tetapi, untuk mendapatkan nilai yang baik itu misalnya belajar dengan giat,
melaksanakan setiap tgas, merupakan hal yang tidak menarik.Oleh sebab itu,
sering untuk mengejar daya Tarik itu seseorang melakukan hal-hal yang tidak
seharusnya dilakukan, misalnya mencontek, menjiplak tugas dan lain sebagainya.
Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan factor pendorong melalui hadiah, juga
diperlukan hukuman terutama apabila terjadi gejala-gejala perilaku yang tidak
sesuai.
Di samping itu, motivasi itu juga bisa muncul karena pengalaman yang
menyenangkan, mislanya pengalaman kesuksesan. Seseorang yang mengalami
keberhasilan mencapai sukses seperti berhasil meraih angka tertinggi dari suatu
tes, maka yang bersangkutan termotivasi untuk melalkukam tindakan lebih bagus,
ia akan senag, gembira dan merasa puas. Sebaliknya seseorang yang gagal meraih
sukses akan merasa sedih, malu, tidakmerasa puas, yang pada gilirannya akan
melemahkan motivasi merka untuk bertindak lebih lanjut.

d. Teori Penemuan atau Discovery Learning (Jerome Bruner)


Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori
Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (discovery learning).
Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang
paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar
bermakna (Trianto, 2007: 26).
Bruner menekankan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu
konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai
dalam kehidupan
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka
memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari.
Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif di mana mereka
harus mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar
menerima penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah
yang mendorong peserta didik untuk melakukan kegiatan penemuan (Trianto,
2007: 33).
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga
berbicara tentang adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang.
Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan.
Pertama, tahap enaktif, dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya
memahami lingkungannya. Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu
dengan memanipulasi objek – melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya
memahaminya. Anak-anak didik sangat mungkin paham bagaimana cara
melakukan lompat tali („melakukan‟ kecakapan tersebut), namun tidak terlalu
paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata, bahkan
ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran.
Kedua, tahap ikonik, dimana individu melihat dunia melalui gambar-gambar
dan visualisasi verbal. Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang
melalui gambaran; dalam bentuk ini, anak-anak mempresentasikan pengetahuan
melalui sebuah gambar dalam benak mereka. Anak-anak sangat mungkin mampu
menciptakan gambaran tentang pohon mangga dikebun dalam benak mereka,
meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam kata-kata.
Ketiga, tahap simbolik, dimana individu mempunyai gagasan abstrak yang
banyak dipengaruhi bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini
dilakukan dengan pertolongan sistem simbol (Muhaimin, 2002: 200).
Pembelajaran simbolik, ini merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui
representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki
kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya,
membutuhkan pengetahuan
Jika dikorelasikan dengan aplikasi pembelajaran, Discoveri learningnya
Bruner dapar dikemukakan sebagai berikut:
1. Belajar merupakan kecenderungan dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity
(keingintahuan) untuk mengadakan petualangan pengalaman.
2. Belajar penemuan terjadi karena sifat mental manusia mengubah struktur
yang ada. Sifat mental tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai
kemungkinan pengenalan.
3. Kualitas belajar penemuan diwarnai modus imperatif kesiapan dan
kemampuan secara enaktif, ikonik, dan simbolik.
4. Penerapan belajar penemuan hanya merupakan garis besar tujuan
instruksional sebagai arah informatif.
5. Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung
jawab memungkinkan kemajuan.

e. Teori Belajar Bermakna (David ausebel)


Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah
menekankan pada belajar asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal
secara arbitrase. Padahal, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang
telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).
Ausebel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal.
Ketika seorang peserta didik melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan
berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang
dibaca tanpa makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam
belajar bermakna ini terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari,
dan struktur kognitif yang ada pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah,
kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai
oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus
bermakna: istilah yang mempunyai makna, konsep-konsep yang bermakna, atau
hubungan antara dua hal atau lebih yang mempunyai makna. Selain itu, bahan
pelajaran hendaknya dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial
dan dengan beraturan. Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau
sama substansinya dengan yang ada pada struktur kognitif. Beraturan berarti
mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata, 2007:
188)
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar
memerlukan persyaratan tertentu, yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan
potensi yang bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat perkembangan peserta
didik serta tingkat pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2)
diciptakan situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi
memegang peranan penting karena peserta didik tidak akan mengasimilasikan isi
pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh apabila peserta didik tidak
mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan
belajar (Muhaimin, 2002: 201). Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel
tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses dikaitkannya
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang (Trianto, 2007: 25).
Menurut Ausubel, Novak, dan Hanesin (dalam wisudawati dan
Sulistiyowati, 2013) terdapat dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna dan belajar
menghafal. Menurut teori ii, seorang peserta diidik belajar dengan cara
mengaitkan dengan pengertian yang sudah dimiliki oleh peserta didik. Jika
pengertian yang dimiliki peserta didik berbeda dengan konsep yang diberikan di
kelas maka informasi baru harus dipelajari melalui belajar menghafal. Dalam
proses ini, informasi baru tidak diasosiasikan dengan konsep yang telah ada di
struktur kognitif. Belajar menghafal ini perlu jika seseorang memperoleh
informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan
dengan apa yang telah diketahui.
Menurut Ausebel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena bau
ke dalam skema yang telah ia punya dan dalam prosesnya seseorang dapat
mengembangkan skema yang telah ada atau mengubahnya. Dalam proses belajar
ini, pesrta didik mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri (Suparno, 1997).
Berdasarkan teori ini dalam proses pembelajaran akan lebih bermakana jika
peserta didik membangun konsep yang ada dalam dirinya dengan melakukan
proses asosiasi terhadap pengalaman, fenomena-fenomena yang mereka jumpai
dan fakta-fakta baru ke dalam pengertian yang telah dimiliki.

f. Teori Belajar Sosial Bandura


Teori Bandura memiliki banyak implikasi dalam pendidikan dan apa yang
dikatakannya tentang PO misalnya, bisa disimpulkan bahwa segala sesuatu yang
dapat dipelajari dengan pengalaman langsung dapat juga dipelajari melalui
observasi.
Bandura mempercayai bahwa model akan mempunyai pengaruh yang paling
efektif apabila mereka dianggap atau dilihat sebagai orang yang mempunyai
kehormatan, kemampuan, status tinggi, dan juga kekuatan, sehingga dalam
banyak hal seorang guru bisa menjadi model yang paling berpengaruh. Melalui
perencanaan yang matang tentang apa yang harus disajikan, guru dapat
mengajarkan para siswanya tidak hanya informasi rutin dan keterampilan, tetapi
juga strategi-strategi pemecahan masalah, kode moral, standar penampilan, aturan
dan prinsip-prinsip umum, dan juga kreativitas.
Guru bisa memberi contoh tentang tindak-tanduk atau tingkah laku yang
baik, yang kemudian akan diinternalisasi oleh siswa dan kemudian menjadi
standar penilaian dirinya sendiri. Dengan kata lain, standar-standar yang diserap
tadi akan menjadi dasar untuk menilai dan menghargai dirinya sendiri. Ketika
siswa bertindak sesuai dengan standar dirinya, maka pengalaman tersebut akan
memberinya reinforcement. Tetapi jika sebaliknya, pengalaman itu akan
memberinya semacam hukuman.
Implikasinya terhadap belajar motorik Satu hal yang paling jelas dari
implikasi teori Bandura dalam pembelajaran motorik yakni perlunya kehadiran
seorang model yang bisa diamati. Pelatih yang mampu memberikan demonstrasi
gerak merupakan suatu hal yang penting. Namun jika tidak, maka hal itu bisa
diganti dengan mendayagunakan media pembelajaran seperti film, televisi, slide,
gambar-gambar dan lain-lain.
Bantulah siswa dengan keterangan-keterangan singkat tentang apa yang
harus diamati (attentional process) dan demonstrasi atau peragaan yang ada dalam
film. Bantu juga siswa untuk mencoba mengingat-ngingat prinsip dan gerakan
tadi (retentional proses). Ciptakan pentahapan yang memungkinkan siswa untuk
melakukannya dengan mudah, sehingga menghasilkan proses penghasilan
perilaku (behavioral production process). Dan terakhir, berikanlah informasi
tambahan yang bersifat reinforcement (motivasional process).

2.4 Kekurangan dan Kelebihan Teori Kognitif


Menurut Afid Burhanuddin (2014) kelebihan dan kekurangan teori kognitif,
antara lain:
a. Kelebihan
Adapun kelebihan-kelebihan teori kognitif, antara lain:
1. Sebagian besardalam kurikulum pendidikan Indonesia lebih menekankan
padateori kognitif yang mengutamakan pada pengembangan pengetahuan
yang dimiliki pada setiap individu.
2. Pada metode pembelajaran kognitif pendidik hanya perlu memberikan dasar-
dasar materi yangdiajarkan untuk pengembangan dan kelanjutannya
diserahkan pada peserta didik, dan pendidik hanya perlu memantau dan
menjelaskan alur pengembangan materi yang telah diberikan.
3. Dengan mnerapkan teori kognitif ini maka pendidik dapat memaksimalkan
ingatan yang dimiliki oleh peserta didik untuk mengingat semua materi-
materi yang diberikan karena pada pembelajaran kognitif salah satunya
menekankan pada daya ingat peserta didik untuk selalu mengingat akan
materimateri yangtelah diberikan.
4. Menurut para ahli kognitif itu sama artinya dengan kreasi atau pembuatan
satu hal baru atau membuat suatuyang baru dari hal yang sudahada, maka dari
itu dalam metode belajar kognitif pesertadidik harus lebih bisa mengkreasikan
hal-hal baru yang belum ada atau menginovasi hal yang sudah ada menjadi
lebih baik lagi.
5. Metode kognitif ini mudah untuk diterapkan dan juga telah banyak diterapkan
pada pendidikan di Indonesia dalam segala tingkatan.

b. Kelemahan
Adapun kelemahan teori kognitif, antara lain:
1. Pada dasarnya teori kognitifini lebih menekankan pada kemampuan ingatan
peserta didik, dan kemampuan ingatan masing-masing peseta didik,
sehingga kelemahan yang terjadi disini adalah selalu menganggap semua
peserta didik itu mempunayai kemampuan daya ingat yang samaa dan tidak
dibeda-bedakan
2. Adakalanya juga dalam metode ini tidak memperhatikan cara peserta didik
dalam mengeksplorasi atau mengembangkan pengetahuan dan cara-cara
peserta didiknya dalam mencarinya, karena pada dasarnya masing-masing
peserta didik memiliki cara yang berbeda-beda.
3. Apabila dalam pengajaran hanya menggunakan metode kognitif, maka di
pastikan peserta didik tidak akan mengerti sepenuhnya materi yang
diberikan.
4. Jika dalam sekolah kejuruan hanya menggunakn metode kognitif tanpa
adanya metode pembelajaran lain maka peserta didik akan kesulitan dalam
praktek kegiatana atau materi.
5. Dalam menerapkan metode pembelajaran kognitif perlu diperhatikan
kemampuan peserta didik untuk mengembangkan suatu materi yang telah
diterimanya.

2.5 Implikasi Teori belajar Kognitif


Menurut Ardani (2013) Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam
pembelajaran adalah :
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena
itu guru mengajar dengn menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara
berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak
asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
dan diskusi dengan teman-temannya.
DAFTAR PUSTAKA

Sanjaya, W. 2006. STRATEGI PEMBELAJARAN “Berorientasi Standar Proses


Pendidikan”. Jakarta: Prenadamedia Group.
Al-Tabany, T. 2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan
Kontekstual. Jakarta: Prenadamedia Group.
Burhanuddin, A. 2014. Kekurangan dan Kelebihan Teori Kognitif dan
Kontruktivistik.
[Online].Tersedia:https://www.google.co.id/amp/s/afidburhanuddin.wordpre
ss.com/2014/06/07/kekurangan-dan-kelebihan-teori-kognitif-dan-
kontruktivistik-4/amp/. [ 04 April 2018)
Ardani,R. 2013. Teori Kognitif dan Implementasinya dalam Proses Pembelajaran.
[Online].Tersedia:https://www.google.co.id/amp/s/beritaactual.wordpress.co
m/2012/12/09/teori-kognitif-dan-implementasinya-dalam-proses-
pembelajaran/amp/ [04 April 2018)

Anda mungkin juga menyukai