Anda di halaman 1dari 5

TUGAS UAS FILSAFAT DAN ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK

Nama: Muhammad Hilman Fikri


NIM: 7775170010

Ironi Pembangunan Tol Jokowi

Presiden Joko Widodo tersenyum lebar saat meresmikan Jalan Tol Surabaya-Mojokerto 19
Desember 2017 lalu. Ini adalah jalan tol kesembilan yang diresmikan Joko Widodo selama tahun
2017. Dua pekan sebelumnya, Jokowi baru saja meresmikan ruas tol Soreang-Pasir Koja di
Bandung, Jawa Barat. Total panjang tol yang diresmikan selama tiga tahun pemerintahan Jokowi
mencapai 300,94 kilometer dari target 1.000 kilometer. Jokowi bernafsu untuk terus membangun
tol dengan alasan meningkatkan laju perekonomian masyarakat. Selama ini ia beranggapan
bahwa rasio pembangunan jalan di Indonesia terlalu rendah dibandingkan dengan negara-negara
lain. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara di Asia pertama yang membangun jalan tol di
tahun 1977 yakni ruas Jakarta-Bogor-Ciawi sepanjang 64 kilometer. Saat itu, konon negara-
negara lain seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Tiongkok menaruh perhatian besar dengan
pembangunan yang dilakukan di Indonesia. Sayangnya, perkembangan pembangunan jalan
mentok dan hanya mencapai 780 kilometer setelah 35 tahun lebih. Padahal, negara lain seperti
Malaysia bisa membangun 2,5 kali lebih banyak dibandingkan Indonesia. Padahal sebelumnya
tertinggal. Tiongkok apalagi. Dalam setahun bisa membangun sampai 4.000 kilometer dan kini
sudah memiliki panjang tol lebih dari 200.000 kilometer.

Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan
nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol (UU Jalan Nomor 38 Tahun 2004). Tujuan
pembangunan jalan tol tersebut adalah untuk memperlancar lalulintas di daerah yang telah
berkembang, meningkatkan pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan serta meringankan beban
dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan. Selanjutnya, manfaat penyelenggaraan jalan
tol itu juga adalah: mempengaruhi perkembangan wilayah dan peningkatan perekonomian,
meningkatkan mobilitas dan aksesibilitas orang dan barang, memberikan keuntungan kepada
pengguna berupa penghematan biaya operasi kendaraan (BOK) dan waktu dibanding apabila
melewati jalan non tol, serta memberikan pengembalian pembiayaan investasi, pemeliharaaan,
dan pengembangan jalan tol untuk badan usaha yang terlibat. Pendanaan proyek pembangunan
jalan tol di Indonesia dapat berasal dari pemerintah, bantuan luar negeri ataupun sumber lain.
Badan Usaha dapat ikut serta membangun dan mengoperasikan jalan tol dalam jangka waktu
tertentu serta berhak menarik biaya pemakaian layanan dari pengguna untuk mengembalikan
modal investasi, biaya pengoperasian dan pemeliharaan serta keuntungan yang wajar. Setelah
berakhirnya perjanjian pengusahaan, maka jalan tol tersebut harus diserahkan kepada pemerintah
tanpa penggantian biaya apapun (Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2013). Menurut BPJT
(2006), prinsip dasar penyelenggaraan pembangunan jalan tol ditetapkan oleh pemerintah di
antaranya dengan menyusun rencana induk jaringan jalan tol dan ruas jalan tol. Kewenangan
penyelenggaraan itu sebagian dilimpahkan pada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang
berkaitan dengan pengaturan, pengusahaan dan pengawasan badan usaha. Pembiayaan yang
berasal dari badan usaha diperuntukkan bagi ruas jalan tol yang layak secara ekonomi dan
finansial. Peran swasta dan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan jalan tol dilakukan
dalam bentuk kerja sama, korporatisasi, privatisasi, divestasi asset, dan lain-lain, sedangkan
peran pemerintah dalam mendorong peningkatan pembangunan jalan tol di Indonesia dilakukan
dengan menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan investasi swasta, memperbaiki kerangka
peraturan perundang-undangan, melakukan pemberian insentif, dan mengembangkan partisipasi
peran aktif pihak swasta dalam kerjasama pemerintah swasta.

Masalahnya, pembangunan tol ternyata tidak lantas menyelesaikan semua permasalahan yang
ada. Peneliti senior Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia Yusuf Wibisono
mengatakan bahwa pembangunan tol tidak akan berdampak banyak pada perekonomian
masyarakat kecil jika yang diinginkan oleh Jokowi adalah pertumbuhan ekonomi mikro. Yang
diuntungkan dalam pembangunan jalan bebas hambatan adalah kelompok kaya yang memiliki
hambatan di jalur distribusi barang. Jika kemudian Jokowi berharap tol bisa menurunkan biaya
distribusi sehingga harga barang akan lebih murah, maka hal itu bisa dikatakan keliru. Sistem
ekonomi di Indonesia kurang memungkinkan pemerintah untuk campur tangan dalam urusan
harga di pasar. Harga sembako di pasar naik saja misalnya, pemerintah selalu kesulitan untuk
mengendalikan. Paling banter, hanya melakukan operasi pasar dengan prinsip, ketika barang
diperbanyak, maka harga akan turun. Dampaknya ya tidak pernah maksimal. Artinya yang
mengendalikan harga tetap sektor swasta yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, meski jalur
distribusi barang akan lebih mudah dengan adanya jalan tol, tetap yang mengendalikan harga
adalah swasta. Mau murah, mau mahal, yang mengatur adalah yang memiliki produksi.

Selain itu, dampak pembangunan jalan tol berbeda dengan pembangunan jalan arteri. Jalan tol
memiliki konsep isolasi karena merupakan jalan bebas hambatan. Masyarakat yang terlewati
oleh jalan tol tidak bisa mengakses tol begitu saja kecuali melalui pintu tol. Oleh karena itu,
pertumbuhan ekonomi tidak muncul di sepanjang jalan tol. Pertumbuhan ekonomi di sepanjang
jalur Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang yang dibangun tahun 2002 tidak terlihat kecuali
daerah yang memiliki akses pintu tol. Atau tol Tangerang-Merak yang dibangun tahun 1984 juga
tidak mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat yang ada di sepanjang jalan tol. Yang
tumbuh adalah sektor-sektor ekonomi tertentu seperti di antaranya kawasan industri. Tapi akan
berbeda jika yang dibangun adalah jalan raya yang bukan tol, atau jalur arteri. Jalan Lingkar
Selatan Kota Cilegon yang memangkas jalur dari pintu tol Cilegon Timur langsung menuju
Anyer menumbuhkan titik-titik ekonomi di sepanjang jalan tersebut. Muncul berbagai usaha
masyarakat mulai dari warung rokok, warung bensin, karaoke, rumah makan dan sebagainya.
Artinya, realita seperti ini menegaskan bahwa pembangunan jalan tol tidak akan berdampak
terlalu banyak terhadap sektor ekonomi mikro yang itu sebenarnya menjadi tulang punggung
ekonomi masyarakat Indonesia. Di tahun 1997, ketika krisis moneter menerjang Indonesia, yang
terpukul adalah di sektor ekonomi makro. Pabrik, perusahaan ekspor impor, dan sebagainya.
Tetapi di sektor ekonomi mikro, dampak terjangan krisis moneter tidak terlalu terasa. Warung-
warung masyarakat tetap berjalan seperti biasanya. Pasar tetap ramai setiap pagi.

Tak heran jika kemudian Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X menolak rencana
pembangunan jalan tol Bawen-Yogyakarta yang jalurnya akan membelah Kota Yogyakarta. Ia
khawatir pembangunan tol tersebut akan mengganggu stabilitas ekonomi masyarakat. Kehadiran
jalan tol yang melintas kota, kata Hamengkubuwono akan mematikaan usaha rakyat kecil
terutama yang bergerak di sektor perdagangan. Oleh karena itu, ia kemudian mengusulkan
kepada pemerintah hanya membuat jalan biasa. Perekonomian masyarakat Yogyakarta saat ini
tumbuh dari sektor perdagangan dan pertanian lokal, maka jika ada jalan tol berbayar, akses
masyarakat pun akan tertutup.
Problem dampak ekonomi jalan tol terhadap ekonomi kecil setidaknya juga diungkapkan oleh
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ganjar menyebut bahwa semenjak jalan tol dibangun
menembus Jawa Tengah, pedagang oleh-oleh dan pelaku UMKM mengeluhkan penurunan
pendapatan mereka. Pengendara mobil yang biasanya melintas jalur Pantai Utara, kini beralih ke
jalan tol. Dampaknya, jalur Pantura menjadi sepi. Untuk mengatasi hal tersebut, Ganjar meminta
pemerintah pusat untuk mengakomodasi pedagang lokal di rest area atau tempat peristirahatan
yang ada di jalan tol. Kasus Ganjar ini semakin menunjukan bahwa pembangunan jalan tol tidak
berdampak begitu banyak terhadap ekonomi masyarakat kecil. Pemerintah menginginkan adanya
efisiensi dengan pembangunan tol, ada percepatan pembangunan, ada kesejahteraan yang
muncul. Akan tetapi ketidakadilan juga mencuat dari pembangunan yang mayoritas dibiayai dari
pinjaman luar negeri itu.

Catatan lainnya soal jalan tol adalah adalah jalan tol tidak bisa dinikmati semua kalangan. Hanya
pengendara roda empat atau lebih yang bisa mengakses jalan tol. Pengendara roda dua tidak bisa
masuk karena regulasi yang ada. Padahal bisa jadi, pembiayaan jalan tol juga berasal dari pajak
atau pendapatan negara lain yang berasal dari produksi kendaraan roda dua. Selain itu, jalan tol
di Indonesia terutama tol dalam kota di Jakarta tidak banyak berperan sebagai jalan bebas
hambatan sebagaimana diharapkan pengendara. Kemacetan berkilo-kilometer sangat sering
terjadi dan membuat konsumen yang awalnya ingin efisien dari sisi waktu, malah lebih boros
dan terhambat. Horor kemacetan di jalan tol pernah terjadi saat arus mudik 2016. Ketika itu,
kemacetan mencapai 20 kilometer dari pintu keluar di Brebes Timur. Sebanyak 14 orang
meninggal dunia karena dampak kemacetan yang mencapai lebih dari tiga hari tersebut. Ada
yang kepanasan, ada yang terkena serangan jantung, tapi terlambat penanganan karena
kemacetan parah yang terjadi, dan beberapa penyebab lainnya. Ironis memang, jalan tol yang
semestinya menjadi jalan berbayar bebas hambatan, menjadi jalan penuh hambatan. Sehari-hari,
kemacetan di jalan tol juga kerap kita saksikan. Apalagi semenjak pemerintah menerapkan
pembayaran non tunai di gerbang masuk atau keluar tol. Di Tol Tangerang-Merak, kemacetan
akan setiap hari kita saksikan di pintu tol Cilegon Timur, Serang Timur, atau gerbang Tol
Cikupa. Bukan satu meter atau dua meter. Kemacetan bisa sampai berkilo-kilometer. Setiap sore,
di pintu Tol Cilegon Timur, kemacetan akan tembus sampai ke jalan Lingkar Selatan Cilegon
yang jaraknya mencapai lebih dari kilometer. Hal itu terjadi karena proses tempel kartu nontunai
yang lebih memakan waktu. Meski pembayaran nontunai sudah diujicobakan sejak tahun 2014,
ternyata tidak sepenuhnya pengelola jalan tol siap dengan sistem tersebut. Malah, transaksi
pembayaran di jalan tol lebih cepat dengan transaksi tunai. Berbagai kendala kerap terjadi mulai
dari alat pembaca kartu yang error, atau rusak, atau pengendara yang kehabisan saldo. Jika
sebelumnya penjaga tol ditarget bisa transaksi dalam tujuh detik dalam pembayaran tunai,
dengan mekanisme pembayaran nontunai bisa mencapai 30 detik. Pengendara harus berkali-kali
mentap kartu pembayaran nontunai karena mesin pembaca lambat membaca kartu. Maksudnya,
dengan kasus seperti ini, pemerintah semestinya melakukan banyak evaluasi. Mulai dari
meredefinisikan kembali pembangunan infrastruktur jalan tol, sampai mengevaluasi sistem
infrastruktur jalan tol. Jangan sampai, sudah mahal, sudah mengorbankan ekonomi mikro, sudah
mengorbankan kehidupan warga yang lahannya tergusur, sudah bayar mahal, operasionalisasi
jalan tol ternyata tidak seperti yang diharapkan. Dalam konsepsi awal pembangunan jalan tol,
jalan tol semestinya gratis diberlakukan untuk masyarakat setelah konsesi pembangunan jalan tol
yang keuntungannya diambil dari pembayaran pengguna tol selesai. Tapi sampai saat ini, arah ke
sana ternyata belum tampak sama sekali. Di negara luar, seperti Rusia, jalan tol sudah bisa
dinikmati gratis oleh masyarakat. Entah di kita apakah bisa sampai seperti itu. ***

Anda mungkin juga menyukai