Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep teori

1. Kepatuhan

a. Pengertian kepatuhan

Kepatuhan (compliance) dalam pengobatan dapat

diartikan sebagai perilaku pasien yang mentaati semua nasihat

dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis

mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan untuk

mencapai tujuan pengobatan, salah satu diantaranya adalah

kepatuhan dalam minum obat, dan banyak faktor yang

mempengaruhi kepatuhan tersebut. (Saragi, 2011).

Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh, yang berarti

disiplin dan taat, kepatuhan adalah sejauh mana perilaku

pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh

professional kesehatan (Syakira, 2009).

b. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga

penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya

8
9

sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-

faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut Carpenito L.J

diantaranya :

1) Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorangpun mematuhi instruksi jika ia salah paham

tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spleman

tahun 1967 menemukan bahwa lebih dari 60% responden

yang di wawancarai setelah bertemu dengan dokter salah

mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka.

Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan

professional kesalahan dalam memberikan informasi

lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan

banyak instruksi yang harus di ingat penderita.

2) Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan

kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut

merupakan pendidikan yang aktif diperoleh secara mandiri,

lewat tahapan-tahapan tertentu.

3) Umur

Usia adalah umur individu yang terhitung sejak

seseorang dilahirkan sampai saat berulang tahun (Nursalam,

2011).
10

Pengelompokan umur terdiri dari usia

Masa Remaja Akhir 17-25 tahun, masa dewasa awal 26-35

tahun, masa dewasa akhir 36-45 tahun, masa lansia awal

46-55 tahun, masa lansia akhir 56-65 tahun. (Depkes, 2009)

Singgih D. Gunarso (1990) mengemukakan bahwa

semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan

mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur-umur

tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini

tidak secepat ketika berusia belasan tahun, dengan

demikian dapat disimpulkan faktor umur akan

mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan

mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan

menurun kemampuan penerimaan atau meningkat sesuatu

seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang

dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah.

4) Kesakitan dan pengobatan

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis

(karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau

resiko yang jelas), sasaran mengenai gaya hidup dan

kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan

dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.


11

5) Keyakinan, sikap dan kepribadian

Orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami

depresi, ansietas, memiliki ego yang lebih lemah. Variabel-

variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan

ketidakpatuhan.

6) Dukungan keluarga

Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat

berpengaruh dalam menentukan program pengobatan yang

akan mereka terima. Keluarga memberi dukungan dan

membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga

yang sakit.

7) Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finasial untuk

memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya

penderita yang sudah pensiun dan tidak bekerja namun

biasanya ada sumber keuangan lain yang bias digunakan

untuk membiayai sesuai program pengobatan dan

perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah

kebawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya

tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.


12

8) Dukungan sosial

Sarafino (1990) dalam Smet (1994) menyebutkan

pengertian dukungan sosial sebagai bantuan yang diterima

individu dari orang lain atau kelompok di sekitarnya, yang

membuat penerima merasa nyaman, dicintai dan dihargai.

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari

anggota keluarga, teman, waktu, dan uang merupakan

faktor penting dalam kepatuahan, contoh yang sederhana,

jika tidak ada transportasi dan biaya dapat mengurangi

kepatuhan penderita. Keluarga dan teman dapat membantu

mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyait tertentu,

mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan

dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok npendukung

untuk mencapai kepatuhan. Dukungan sosial nampaknya

efektif di Negara seperti Indonesia yang memiliki status

sosial lebih kuat, dibandingkan dengan Negara-Negara

barat (Meichnbaun, 1997).

9) Perilaku sehat

Perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh

karena itu perlu dipertimbangkan suatu strategi yang bukan

hanya untuk mengubah perilaku tetapi juga dapat


13

mempertahankan perubahan tersebut. Sikap pengontrolan

diri membutuhkan pemantauan.

10) Dukungan profesi keperawatan (kesehatan)

Dukungan petugas kesehatan terutama berguna pada

saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat

yang baru itu merupakan hal yang penting. Begitu juga

mereka dapat mempengaruhi perilaku penderita dengan

cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan

tertentu dari penderita dan secara terus menerus

memberikan yang positif bagi penderita yang telah mampu

beradaptasi dengan program pengobatannya.

c. Kepatuhan Berobat

Kepatuhan berobat adalah tingkah perilaku penderita

dalam mengambil suatu tindakan atau upaya untuk secara

teratur menjalani pengobatan (Muzaham, 1995). Menurut

penelitian Rusmani (2002) menyebutkan bahwa kepatuhan

adalah suatu perbuatan untuk bersedia melaksanakan aturan

pengambilan dan minum obat sesuai jadwal yang telah

ditetapkan.

Penderita yang patuh berobat adalah yang

menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa


14

terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan

sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat bila

frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang

telah ditetapkan (Depkes RI, 2013).

Menurut Snider dikutip Aditama (1997) menyatakan

bahwa salah satu indikator kepatuhan penderita adalah datang

atau tidaknya penderita setelah mendapat anjuran kembali

untuk kontrol. Seorang penderita dikatakan patuh menjalani

pengobatan apabila minum obat sesuai aturan paket obat dan

ketepatan waktu mengambil obat smapai selesai masa

pengobatan.

Penderita dikatakan lalai jika datang lebih 3 hari - 2 bulan

dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2

bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi

petugas kesehatan (Depkes RI, 2013).

1) Faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat

Menurut teori Green Dikutip Nukman (1997), perilaku

kepatuhan berobat dipengaruhi oleh:

a) Faktor yang mendasar atau faktor yang ada dalam diri

individu yang mempengaruhi perilaku kepatuhan

(predisposing factors) antara lain :


15

(1) Pengetahuan mengenai penyakitnya, sikap dan tekad

untuk sembuh dari penderita

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini

terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata

dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

(2) Tingkat pendidikan penderita

Makin rendahnya pengetahuan dan pendidikan

penderita tentang bahaya penyakitnya, dan

pentingnya berobat secara tuntas untuk dirinya,

makin besar pula bahaya penderita menjadi sumber

penularan baik di rumah maupun di lingkungan

sekitar (Entjang, 2000).

b) Faktor yang memperkuat atau faktor yang mendorong

(reinforcing factors) antara lain adanya dukungan atau

motivasi dari keluarga, masyarakat dan lingkungan

sekitar. Keluarga sangat berperan dalam mengawasi

keteraturan seorang penderita TB dalam meminum

obat. Bila kemudian tidak ada anggota keluarga yang


16

peduli, maka tidak ada yang memotivasi pasien (Akin,

2012).

Dukungan dari keluarga untuk memotivasi pasien

minum obat sangat diperlukan dalam pengobatan TB.

Tidak hanya itu, keluarga juga dapat berpartisipasi

sebagai pengawas menelan obat (PMO). Begitu pun

dengan elemen masyarakat terutama tokoh-tokoh

masyarakat juga harus berperan aktif dalam

mensosialiasikan penyakit TB dan menghilangkan

stigma yang ada bahwa TB merupakan penyakit

kutukan (Fathia, 2014).

Menurut Becher (1997) dukungan keluarga dan

masyarakat mempunyai andil yang besar dalam

meningkatkan kepatuhan pengobatan penderita.

Program pengendalian penderita (case holding) berupa

usaha pengobatan secara teratur sampai mencapai

kesembuhan, salah satu upayanya adalah menentukan

seorang pengawas bagi tiap penderita, dipilih dari

anggota keluarganya yang berwibawa atau seseorang

yang tinggal dekat rumah yang bertugas untuk

memantau dan memotivasi penderita. Motivasi

Keluarga, motivasi adalah keadaan pribadi seseorang


17

yang mendorong keinginan individu melakukan

kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi

dalam intensitas yang cukup akan memberikan arah

pada individu untuk melakukan suatu secara tekun dan

kontinyu. Prilaku yang terjadi secara kontinyu untuk

tujuan tertentu. Keadaan ini terlihat dari keteraturan

minum obat untuk mengetahui apakah penderita teratur

dalam minum obat. Dukungan sosial terdiri dari

informasi atau nasihat verbal atau nonverbal

(Rachmawati, 2006).

Menurut Friedman (1998), dalam Erfandi (2009)

keluarga mempunyai sistem motivasi yaitu berupa

dukungan bagi anggota keluarganya dan anggota

keluarga memandang bahwa orang yang bersifat

mendukung, selalu siap memberi pertolongan dan

bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga sendiri ini

tentunya sangat penting perannya untuk

meningkatkan motivasi dalam melakukan suatu

tindakan yang positif. Adapun beberapa fungsi

keluarga sebagai fungsi dukungan diantaranya adalah

:
18

(1) Dukungan Informasi

Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti,

informasi, yang dapat mengungkapkan suatu

masalah. Manfaatnya adalah dapat menekan

stressor karena informasi yang diberikan akan

menyumbangkan sugesti pada penderita atau

anggota keluarga yang lain.

(2) Dukungan Penilaian atau Penghargaan

Bertindak sebagai sebuah bimbingan, umpan balik,

membimbing dan menengahi masalah diantaranya;

memberikan support, penghargaan,perhatian.

(3) Dukungan Instrumental

Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis

dan konkrit, diantaranya; kesehatan penderita,

dalam hal kebutuhan makan, minum, istirahat, dan

terhindarnya penderita dari kelelahan.

(4) Dukungan Emosional

Berisi tentang pemberian empati, cinta, kejujuran,

dan perawatan serta memiliki kekuatan yang

berhubungan konsisten dengan status kesehatan.


19

c) Faktor yang mendukung (enabling factors)

(1) Tersedianya fasilitas kesehatan

Moenir ( 2002 ) mengemukakan bahwa sarana

adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja

dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama /

pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan.

(2) Kemudahan untuk menjangkau sarana kesehatan

Selain itu faktor yang mempengaruhi pasien TB

dalam pengobatannya antara lain yang pertama dari

petugas kesehatan karena diagnosis yang tidak

tepat, pengobatan tidak menggunakan paduan yang

tepat, dosis, jenis dan jumlah obat dan jangka waktu

pengobatan yang tidak adekuat penyuluhan kepada

pasien juga tidak adekuat. Kedua adalah pasien

tidak mematuhi anjuran dokter/petugas kesehatan,

tidak teratur menelan paduan OAT, menghentikan

pengobatan secara sepihak sebelum waktunya,

gangguan penyerapan obat. Ketiga program

pengendalian TB, yaitu karena persediaan OAT

yang kurang dan kualitas OAT yang tersedia rendah

(Depkes RI, 2013).


20

Jarak dapat mempengaruhi frekuensi kunjungan

ditempat pelayanan kesehatan , makin dekat tempat

tinggal dengan pelayanan kesehatan makin besar

jumlah kunjungan dipusat pelayanan tersebut, begitu

pula sebaliknya makin jauh jarak rumah dari tempat

pelayanan kesehatan makin kecil pula jumlah

kunjungan kepusat pelayanan tersebut (Azwar,

1996).

Sutarji (2008) Faktor yang berkaitan dengan

kepatuhan penderita tuberkulosis paru untuk minum

obat anti tuberkulosis adalah jarak pelayanan

berkaitan secara signifikan dengan kepatuhan

penderita Tuberkulosis Paru untuk minum Obat Anti

Tuberkulosis pada pengobatan tahap insentif.

Menurut penelitian Aditama (1997), menyebutkan

bahwa lingkungan atau jarak yang jauh dari tempat

pelayanan kesehatan memberikan kontribusi

rendahnya kepatuhan, sebagai responden memilih

fasilitas kesehatan yang relative dekat dengan

rumahnya. Keadaan sosial ekonomi yang rendah

dapat menghambat keteraturan berobat, hal ini

dapat diperberat dengan jarak yang jauh dari


21

pelayanan kesehatan sehingga memerlukan biaya

transportasi.

Sementara itu menurut Niven (2002), bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan digolongkan

menjadi 4 bagian, yaitu:

1) Pemahaman klien terhadap instruksi

Jika klien tidak paham terhadap instruksi yang diberikan

padanya maka klien tidak dapat mematuhi instruksi

tersebut dengan baik. Terkadang hal ini dapat disebabkan

oleh kegagalan professional kesehatan dalam

memberikan informasi yang lengkap, banyak

menggunakan istilah medis dan banyak memberikan

instruksi yang harus diingat oleh klien.

2) Kualitas interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan klien

merupakan bagian yang penting dalam menentukan

derajat kepatuhan dari hasil penelitiannya dikemukakan

adanya kaitan yang erat antara kepuasan konsultasi

dengan kepatuhan.

3) Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh

dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu


22

serta dapat juga menentukan tentang program

pengobatan yang mereka terima. Keluarga juga

memberikan dukungan dan membuat keputusan

mengenai perawatan dari anggota yang sakit, serta

menentukan keputusan untuk mencari dan mematuhi

anjuran pengobatan.

4) Keyakinan, sikap dan kepribadian

Klien yang tidak patuh adalah orang-orang yang

mengalami depresi, ansietas, memiliki kekuatan ego lebih

lemah dan kehidupan sosialnya lebih memusatkan

perhatian kepada dirinya sendiri.

d. Meningkatkan kepatuhan

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuahan pasien

ditemukan oleh Nicola dan Dimatteo dalam Niven N (2000):

1) Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah

diinterprestasikan

2) Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan

hal-hal ini. Jika seseorang diberi suatu daftar terrulis tentang

hal-hal yang harus diingat.

3) Maka akan ada “efek keunggulan”, yaitu mereka berusaha

mengingat hal-hal yang pertama kali tertulis. Efek


23

keunggulan ini telah terbukti mampu menguatkan ingatan

tentang informasi-informasi medis.

4) Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non

medis) dan hal-hal penting perlu ditekankan.

e. Cara mengetahui ketidakpatuhan

Beberapa cara untuk mengetahui ketidakpatuhan pasien

adalah:

1) Melihat hasil yang dicapai secara berkala.

2) Memonitor pasien kembali datang untuk membeli obat pada

periode selanjutnya setelah obat habis diminum.

3) Melihat jumlah sisa obat pasien dalam jangka waktu

pengobatan maupun secara berkala.

4) Langsung bertanya kepada pasien mengenai kepatuhannya

terhadap pengobatan (Saragi, 2011).

f. Metode pengukuran kepatuhan

Pengukuran kepatuhan dikategorikan menjadi :

1) Patuh : bila perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang

diberikan oleh profesional kesehatan.

2) Tidak patuh : bila pasien menunjukkan ketidakpatuhan

terhadap instruksi yang diberikan (Suparyanto, 2011).


24

2. Tuberculosis Paru

a. Pengertian

Tuberculosis adalah penyakit infeksius yang terutama

menyerang parenkim paru. Tuberculosisi dapat juga di tularkan

ke bagian tubuh lainya, termasuk meninges, ginjal dan nodus

limfe. Agen infeksius utama mycobacterium tuberculosis adalah

batang aeorobik tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan

sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Brunner &

Suddarth, 2001).

Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan kuman tuberculosis (mycobacterium tuberculosis).

Sebagian besar kuman tuberculosis menyerang paru, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainya. Klasifikasi TB ada 2,

yaitu:

1) TB paru

TB paru adalah tuberculosis yang menyerang

jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura dan

kelenjar limfe pada hilus. TB paru dikenal 2 macam

klasifikasi yaitu tuberculosis paru BTA positif dan

tuberculosis paru BTA negatif.


25

2) TB ekstra paru

TB ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang

organ tubuh selain paru misalnya: pleura, kelenjar limfe,

selaput otak, selaput jantung, tulang, kulit, persendian,

usus dan lain-lain (Depkes RI, 2013).

b. Penularan Kuman Tuberculosis

Banyaknya kuman dalam paru-paru penderita menjadi

satu indikasi tercepat penularan penyakit tuberculosis ini

kepada seseorang. Penyebaran kuman tuberculosis ini terjadi

di udara melalui dahak yang berupa droplet. Bagi penderita

tuberculosis paru yang memiliki banyak sekali kuman, dapat

terlihat langsung dengan mikroskop pada pemeriksaan

dahaknya. Hal ini tentunya sangat menular dan berbahaya bagi

lingkungan penderita.

Pada saat penderita batuk atau bersin, kuman TB paru

dan BTA positif yang berbentuk droplet sangat kecil ini akan

berterbangan di udara. Droplet yang sangat kecil ini kemudian

mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang

mengandung kuman tuberculosis. Kuman ini dapat bertahan di

udara selama beberapa jam lamanya, sehingga cepat atau

lambat droplet yang mengandung unsur kuman tuberculosis


26

akan terhirup oleh orang lain. Apabila droplet ini di dalam paru-

paru seseorang, maka kuman ini akan mulai membelah diri

atau berkembang biak. Dari sinilah akan terjadi infeksi dari

penderita ke calon penderita lain (mereka yang telah terjangkit

penyakit) (Sholeh S. Naga, 2013).

c. Gejala dan Tanda

Tanda dan gejala yang paling umum pada penderita

tuberculosis paru adalah :

1) Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih

2) Demam yang terlampau tinggi dan hilang timbul

3) Berkeringat pada malam hari meski tanpa aktifitas, Anoreksia,

malaise dan berat badan menurun (Depkes RI, 2013).

d. Pencegahan TB

Cara pencegahan yang utama adalah tidak kontak

dengan penderita TBC dan penderita harus meminum obat

secara teratur sampai selesai. Cara pencegahan yang paling

mendasar adalah diberikan imunisasi BCG kepada bayi dan

makan makanan yang bergizi.

Dalam upaya pencegahan inilah petugas harus lebih

berperan aktif, karena sesuai paradigma pelayanan kesehatan


27

bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati, untuk

mengurangi penderita TBC maka perlu dilibatkan anggota

keluarga sebagai ujung tombak dalam upaya pencegahan dan

pemberantasan penyakit tesebut. Cara pencegahan tersebut

antara lain :

1) Membuka jendela setiap hari agar sinar matahari bias

masuk ke dalam rumah, karena ventilasi yang baik akan

membuat udara dalam ruangan selalu berganti dan tidak

lembab.

2) Menyarankan penderita untuk menutup mulut saat bersin

atau memakai masker untuk mengurangi percikan kuman

ke udara atau lantai rumah.

3) Jemur tempat tidur, bantal penderita secara teratur

seminggu sekali untuk membunuh kuman yang menempel

pada tempat tidur saat pasien bersin.

4) Mengurangi jumlah hunian dalam satu kamar tidur tidak

lebih dari tiga orang keluarga saat tidur, karena saat tidur

tidak disadari apabila penderita batuk / bersin yang akan

dihirup oleh anggota keluarga lainnya.

5) Menggunakan alat makan yang berbeda dengan penderita,

karena kontak dengan air liur melalui alat makan bias

menularkan penyakit ke anggota keluarga lainnya.


28

6) Menganjurkan penderita untuk tidak meludah sembarang

tempat, atau sediakan kaleng tertutup yang berisi tanah /

pasir dan diganti setiap hari, atau diberikan lisol pada

tempat berludah.

7) Menjalankan pola hidup bersih dan sehat, tidak merokok

dan minum minuman keras, karena kedua hal tersebut

dapat memperberat kondisi penyakit.

8) Makan makanan yang bergizi seimbang untuk

meningkatkan daya tahan tubuh.

9) Menggunakan genteng kaca disetiap ruangan agar sinar

matahari dapat masuk kedalam ruangan, sinar matahari

dapat membunuh kuman dan membuat udara didalam

ruangan tidak lembab.

10) Istirahat yang cukup akan membuat kondisi tubuh menjadi

lebih baik .

11) Menggunakan masker saat interaksi dengan penderita TBC

(Depkes, 2002).

e. Tujuan pengobatan tuberculosis dan Prinsip pengobatan TB

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan


29

rantai penularan dan mencegah terjadinya resisten kuman obat

anti tuberculosis (obat anti tuberculosis).

Oleh karena itu, pengobatan TB harus diberikan dalam

bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat dengan dosis yang

tepat dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kategori

pengobatan. Apabila paduan obat yang digunakan tidak

adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan tidak

adekuat), kuman tuberculosis akan berkembang menjadi kuman

yang kebal obat (resisten).

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat,

pengobatan harus dilakukan dengan pengawasan langsung

(directly observed treatmen/DOT) oleh seorang pengawas

menelan minum obat (PMO). Pengawasan langsung menelan

minum obat ini dapat dilakukan di rumah sakit, puskesmas,

klinik, balai pengobatan, pos kesehatan, tempat kerja seperti

perusahaan, di rumah pasien, rumah petugas kesehatan atau

rumah POM. Pengobatan TB diberikan dalam tahap awal dan

tahap lanjutan (Depkes RI, 2013).

1) Tahap awal

Paduan obat pada tahap awal terdiri dari 4 atau 5

macam obat, diberikan setiap hari selama 2 atau 3 bulan.

Bila pengobatan tahap awal tersebut diberikan secara tepat,


30

biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA

negatif (konversi) pada akhir tahap awal. Pengawasan ketat

dalam tahap awal sangat penting untuk mencegah terjadinya

kekebalan obat.

2) Tahap lanjutan

Paduan obat pada tahap lanjutan terdiri dari 2 atau 3

macam obat diberikan tiga kali seminggu selama 4 sampai 5

bulan (jenis obat lebih sedikit, tapi jangka waktu pengobatan

lebih lama).

f. Kategori pengobatan dan dosis OAT

Penulisan nama obat dalam paduan OAT disingkat

dengan menggunakan kode huruf tertentu, yaitu:

1) Isoniazid (INH) H

2) Rifampisin R

3) Pirazinamid Z

4) Etambutol E

5) Streptomisin S

Pada pengobatan TB mempunyai kode standar yang

menunjukkan :
31

1) Tahap pengobatan

2) Lama pengobatan

3) Jenis OAT

4) Cara pemberian (harian atau 3x seminggu) dan paduan OAT

misalnya KDT: 2(HRZE)/4 (HR)3

a) Garis miring menunjukkan pemisahan tahapan

pengobatan

b) Angka 2 dan 4 menunjukkan lama tahap dalam bulan

c) Huruf dalam tanda kurung berarti OAT lepas atau

kombipak

d) Angka setelah huruf atau tanda kurung menunjukkan

jumlah dosis obat per minggu

e) Jika tidak angka setelah huruf atau tanda kurung

menunjukkan pengobatan dilakukan setiap hari.

Paduan OAT yang digunakan pada program nasional

pengendalian tuberculosis di Indonesia :

1. Kategori 1 atau 2(HRZE)/4(HR)3

Paduan OAT kategori 1 diberikan untuk semua pasien baru:

a. Pasien baru TB paru BTA positif

b. Pasien TB paru BTA negatif thoraks positif

c. Pasien TB ekstra paru


32

2. Kategori 2 atau (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT kategori 2 diberikan untuk BTA positif yang

telah diobati sebelumnya:

a. Pasien kambuh

b. Pasien setelah gagal kategori 1

c. Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Dosis OAT kategori 2 diberikan sesuai berat badan pasien

seperti terlihat pada tabel 3 dibawah ini:

3. OAT sisipan (HRZE)

Di samping OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan

juga OAT paket sisipan. Paket sisipan isinya sama seperti

paduan paket untuk tahap awal kategori 1. Paket sisipan

diberikan selama sebulan (28 dosis).

Paket sisipan digunakan pada pasien TB BTA positif

yang pada akhir tahap awal belum mengalami konversi

(pemeriksaan follow-up dahak pada akhirnya tahap awal

belum menjadi negatif). Pasien tersebut diberikan tambahan

OAT tahap awal selama 1 bulan yang dikenal sebagai paket

sisipan.Dosis OAT sisipan seperti pada tabel 4 dibawah ini:

Penggunaan OAT lini kedua (second line drug ) misalnya

golongan aminoglikosida (contoh kanamisin) dan golongan

kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa


33

indiasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih

rendah dibandingkan OAT lini pertama. Di samping itu dapat

juga meningkatkan terjadinya resiko resistensi pada OAT lini

kedua.

g. Efek samping OAT

1) Efek samping ringan OAT

a) Tidak ada nafsu makan

b) Nyeri sendi

c) Kesemutan sampai dengan rasa terbakar dikaki

d) Warna kemerahan pada air seni (urine)

2) Efek samping berat OAT

a) Gatal dan kemerahan kulit

b) Tuli

c) Gangguan keseimbangan

d) Ikterus tanpa penyebab lain

e) Bingung dan muntah-muntah (permulaan ikterus karena

obat)

f) Gangguan pengelihatan

g) Purpura dan rejatan


34

h. Diagnosis penyakit tuberculosis

Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan

dengan ditemukannya kuman TB (Basil Tahan Asam = BTA)

pada pemeriksaan dahak. Pada program pengendalian TB

nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan mikroskopis

dahak merupakan cara utama untuk mendiagnosis TB.

Pemeriksaan lain seperti foto thoraks, biakan dan uji kepekaan

dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak dikenal 2 macam

TB paru, yaitu TB paru BTA positif dan TB paru BTA negatif.

1. TB paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif

b. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto

thoraks menunjukkan gambaran TB.

c. Satu spesimen dahak hasilnya BTA positif dan biakan

kuman TB positif

d. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya pasitif setelah

3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan setelah

pemberian antibiotika non OAT


35

2. TB paru BTA negatif

Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

negatif

b. Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran TB

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

OAT

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

i. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif

Hasil pengobatan TB BTA positif menurut Depkes (2007)

dikategorikan menjadi :

1) Sembuh adalah pasien telah menyelesaikan pengobatannya

secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up)

berturut-turut paling sedikit 2 kali hasilnya negatif yaitu pada

akhir pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up

sebelumnya.

2) Pengobatan Lengkap adalah pasien yang telah menyelesaikan

pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi

persyaratan sembuh atau gagal.


36

3) Meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa

pengobatan karena sebab apapun.

4) Pindahadalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan

register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak

diketahui.

5) Default (Putus berobat) adalah pasien yang tidak berobat 2

bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya

selesai.

6) Gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap

positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau

lebih selama pengobatan.


37

B. Kerangka konsep

Faktor yang
mempengaruhi
ketidakpatuhan pasien TB
dalam mengkonsumsi OAT

1. Faktor pasien
a. Pendidikan
b. Pengetahuan
2. Faktor mendorong
a. Dukungan keluarga
3. Faktor mendukung
a. Tersedianya
fasilitas kesehatan patuh
b. Kemudahan untuk
menjangkau sarana
kesehatan Kepatuhan
pasien
dalam
minum obat
4. Faktor petugas
TB
a. Penyuluhan yang
tidak adekuat Tidak patuh

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 1 Modifikasi teori Numan (1997) dan Depkes RI (2013).

Gambar 2.1 Kerangka konseptual gambaran faktor yang

mempengaruhi pasien TB dalam mengkonsumsi OAT di

Kabupaten Lombok Barat.

Anda mungkin juga menyukai