Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM SARAF, GINJAL, DAN PERSENDIAN


(DEF4173T)

SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH KELOMPOK B3


ANGGOTA:
Kartika Zulfa (NIM. 155070501111030)
Kohita Rahma Perdana (NIM. 155070501111010)
Luh Made Wulan R (NIM. 155070501111024)
Made Prissila Prindani (NIM. 155070501111006)
Maradilla Laras Wilujeng (NIM. 155070501111022)
Mazaya Alma Ghaisani (NIM. 155070507111022)
Muhammad Panji Purnama (NIM. 155070500111012)
Nabila Aulia Yasmin K (NIM. 155070501111012)
Ni Luh Putu Gita Asriyanti (NIM. 155070501111026)
Ni Putu Ayu Rima Agustia (NIM. 155070501111034)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2017/2018
EPILEPSI

1. DEFINISI
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Epilepsi
adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih
dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan
bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan
epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau
gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron
yang terjadi di otak (Fisher et al, 2005).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak dan
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Kejang epilepsi harus dibedakan dengan
sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang
ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri.1 Sedangkan sindrom epilepsi adalah
sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang,
meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas
(Browne,2000).
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada, tetapi
tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi.1 Seorang anak terdiagnosa menderita
epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau
disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya
pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di
dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan
tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di
kemudian hari (Harsono,2007).

2. EPIDEMIOLOGI
WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal dari 108
negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang dengan epilepsi
per 1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per
1000 populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika mempunyai angka rata-rata 12,59,
11,29 di Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23 di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat.
Sementara itu, Asia Tenggara memiliki angka rata-rata sebanyak 9,97 (WHO, 2005).
Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan keseragaman pada
angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara maju adalah 24-53 per
100.000 populasi. Terdapat beberapa studi kejadian epilepsi di negara berkembang, tetapi
tidak ada yang cukup prospektif. Mereka menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi.
Tingkat insidensi tinggi di negara berkembang yang dianggap sebagai akibat dari infeksi
parasit terutama neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas perinatal sulit untuk
ditafsirkan karena masalah metodologis, terutama kurangnya penyesuaian usia, yang
penting karena epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia. Sedangkan di negara maju,
insidensi di kalangan orang tua meningkat dan menurun di kalangan anak-anak. Hal ini
diakibatkan karena meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular. Sebaliknya, perawatan
obstetrik yang lebih baik dan pengendalian infeksi dapat mengurangi angka kejadian pada
anak-anak. Tingkat insidensi di dunia lebih besar pada pria dibandingkan wanita (WHO,
2005).
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum diketahui.
Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi
sebagai suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan dan
membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang (Hawari, 2011).

3. ETIOLOGI
Kejang terjadi karena sekelompok neuron kortikal debit normal selaras . Apa pun
yang mengganggu homeostasis normal neuron dan stabilitas mereka dapat memicu
hyperexcitability dan kejang .Ada ribuan kondisi medis yang dapat menyebabkan
epilepsi, dari mutasi genetik untuk cedera otak traumatis . Sebuah genetik kecenderungan
untuk kejang telah diamati dalam berbagai bentuk umum epilepsi primer. Pasien dengan
keterbelakangan mental , cerebralpalsy , cedera kepala , stroke atau berada pada
peningkatan risiko untuk kejang dan epilepsi. Semakin mendalam derajat keterbelakangan
mental diukur dengan intelligence quotient ( IQ ) , lebih besar adalah kejadian epilepsi .
Pada orang tua , kejang terutama onset parsial terkait dengan cedera saraf fokal yang
disebabkan oleh stroke, gangguan neuro-degeneratif (misalnya, penyakit Alzheimer), dan
kondisi lain. Dalam beberapa kasus, jika etiologi kejang dapat ditemukan dan dikoreksi,
pasien mungkin tidak memerlukan obat antiepilepsi kronis (AED) pengobatan. Pasien
juga dapat hadir dengan kejang tak beralasan yang tidak memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasikan, dan dengan demikian menurut definisi memiliki idiopatik atau
kriptogenik epilepsi. Etiologi idiopatik adalah istilah yang digunakan untuk tersangka
kejang umum primer, sedangkan etiologi kriptogenik digunakan jika tidak ada penyebab
yang jelas ditemukan untuk kejang parsial onset. Kejadian epilepsi idiopatik lebih tinggi
pada anak anak. Banyak faktor telah ditunjukkan untuk mengendapkan kejang di rentan
individu. Hiperventilasi dapat memicu kejang adanya. Tidur, kurang tidur, rangsangan
sensorik, dan stres emosional meningkatkan frekuensi kejang. Perubahan hormon yang
terjadi sekitar waktu menstruasi, pubertas, atau kehamilan juga telah terkait dengan
timbulnya atau peningkatan frekuensi kejang. Perlu diperhatikan dari pasien dengan
kejang karena fenotiazin teofilin, alkohol, dosis tinggi, antidepresan (terutama
Maprotiline atau bupropion), dan jalan penggunaan narkoba telah dikaitkan dengan
memprovokasi kejang. Perinatal cedera dan berat kehamilan kecil saat lahir juga faktor
risiko untuk pengembangan kejang parsial onset. Imunisasi belum dikaitkan dengan
peningkatan risiko epilepsy (Dipiro, et.al, 2008).

4. PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsy dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsangan kimia dan listrik.
Tanda keadaan fisiologis yang berubah pada saat terjadi serangan epilepsy adalah
pelepasan ritmik dan hipersinkron secara berulang dari banyak neuron di daerah terbatas
dari otak. Hal ini dapat direkam dengan menggunakan EEG (elektriensefalogram).
Penyebab terjadinya epilepsy tergantung dari usia individu dan jenis serangan yang
dialami (Tambayang,2000).
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke,
tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak
normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi.
Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun
tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur
neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis
(Shorvon,2001).
Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan
epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi(focus ) di otak. Disisi lain
epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan
disfungsi fisik dan retardasi mental. (Shorvon, 2001).
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di
otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak
terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di
post-sinaptik.6 Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR)
disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsy (Shorvon, 2001).

5. TERAPI NON FARMAKOLOGI


a. Dilakukan head elevation : agara drynase, aliran vena ke otak lancar
b. Perlunya kepatuhan pengobatan pada pasien hingga 2 tahun. Sampai pasien
dinyatakan sembuh
c. Perlunya pemantauan ES yang mungkin timbul pada pasien karena potensi ES dapat
muncul pada obat
d. Pasien perlu menginformasikan kepada apoteker obat apa saja yang dikonsumsi
karena potensi interaksi obat dapat terjadi
e. Pasien perlu menjauhkan diri dari faktor pemicu terjadinya serangan. Misal
hipoglikemia karena DM yang juga di miliki oleh pasien, maka perlu mengontrol
kadar gula darah dan menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan kadar gula darah
menurun.
f. Makan makanan yang bergizi dan tinggi protein. Dianjurkan jangan terlalu banyak
lemak
g. Istirahat yang cukup serta berolahraga
h. Penjelasan mengenai efek samping dan apabila ada ES yang tidak diinginkan segera
menghubungi dokter.

6. TERAPI FARMAKOLOGI
a. Diberikan lorazepam 1,5 mg iv bolus karena mekanisme kerjanya meningkatkan
hambatan dari GABA oleh ikatan benozodiazepin-GABA dan kompleks reseptor
barbiturat. Sehingga kejangnya dapat dihentikan secara cepat.
b. Diberikan fosfenitoin 300 mg disuntikan dlm dextrose. Pemilihan fenitoin karena
dapat menghambat penyebaran aktivitas kejang melalui peningkatan pengeluaran natrium
dari neuron dan fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas
yang disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di mana
terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Efek samping dari fosfenitoin
termasuk parestesia dan pruritus, namun muncul jika diberikan dalam pemberian yang terlalu
cepat.
c. Diberikan dextrose 5% 500 ml iv sudah tepat untuk mempercepat pemulihan pada pasien
yang tidak sadar atau koma
d. Diberikan ceftriaxone 100 mg/kgBB, digunakan untuk membunuh bakteri. Karena
pasien terdapat infeksi meningitis
e. Diberikan propyretic supp 240 mg rectal (paracetamol). Karena pasien mengalami
demam tinggi sehingga dibutuhkan antipiretik. Digunakan secara rektal karena pasien
dalam keadaan tidak sadar.
f. Diberikan normal saline 1000 mL digunakan untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang. Karena selama pasien kejang akan mengeluarkan urine ataupun liur secara
tidak sadar sehingga banyak cairan tubuh yang hilang (Wibowo, S., dan Gofir, A.,
2006).

7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI


7.1. Subjective
 Profil pasien
o Nama : An. G
o Umur : 8 tahun
o BB : 15 Kg
o Alergi :-
o Riwayat penyakit : diabetes mellitus tipe I (sejak setahun yll). Pasien
mengalami batuk, pilek, dan demam tinggi sejak 3 hari yll disertai sakit kepala
dan mata menjadi sering melirik ke arah kiri
o Riwayat pengobatan : Insulin Humalog 2U tiap sebelum makan, Insulin
Lente 10U sebelum tidur
o Diagnosis : convulsive status epilepticus, susp meningitis bacterial
o Kepatuhan : Ibu pasien menyuntikkan insulin Humalog kurang
lebih 30 menit sebelum makan di bagian lengan
o Merokok / Alkohol : - / -
o Obat Tradisional : minyak habbatus sauda
o OTC : -
o Keluhan : kejang 2x hari ini : Kejang pertama berlangsung
selama 8 menit. kejang kedua terjadi 30 menit setelah kejang pertama dan
berlangsung 15 menit.(masuk status epileptikus : Kejang akibat area fokal
kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema
serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda
vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit
kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.). Selama jeda kejang pasien
mengantuk dan tidak bangun, Selama kejang berlangsung pasien mengalami
hentakan di seluruh tubuh, mata melirik ke atas, mulut berbusa .

7.2 Objective
a. Suhu : 40.2o C menandakan pasien demam yang cukup tinggi merupakan salah
satu penyebab kejang
b. Demam dapat disebabkan karena adanya infeksi meningitis dari pasien yang juga
merupakan penyebab kejang
c. Tekanan darah 110/70 mmHg normal
d. Nadi 110 kali per menit diatas normal karena pasien mengalami kejang
(takikardi)
e. RR 22 kali permenit dimana kenaikan ini karena pasien yang kejang sulit untuk
bernafas
f. Pasien kadang mengalami sesak karena adanya gangguan pernafasan selama
kejang
g. Pupil mata anisokor yang merupakan tanda bahwa terjadi peningkatan tekanan
intracarnial salah satu akibat dari adanya infeksi meningitis
h. WBC, RR, Nadi dan suhu tinggi
Hal ini menunjukkan kondisi SIRS. Dimana terjadi karena adanya bakteri dalam
darahnya (dilihat dari adanya sumber infeksi yaitu riwayat batuk dan pilek),
sehingga dicurigai pasien terserang sepsis. Kondisi sepsis memicu penyakit
meningitis karena bakteri bisa menuju kearah selaput otak. Kondisi SIRS
menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas pada vaskular sehingga cairan
dalam darah dapat berpindah ke luar vaskular dan mengakibatkan beresiko syok
hipovolemia. Kondisi sepsis pada pasien juga dapat menyebabkan hipoksia. Hal
ini dikarenakan kondisi sepsis menyebabkan cairan dalam vaskular keluar
sehingga vaskular membawa sedikit volume darah ke seluruh tubuh dan
mengakibatkan sel saraf hipoksia (karena darah yang menuju sel saraf
berkurang).
i. GDA rendah
Terjadi karena riwayat penyakit pasien yaitu DM, sehingga diobati dengan
insulin. Px menggunakan insulin yang bekerja cepat (yaitu insulin humalog),
sehingga dapat beresiko sangat tinggi terjadi hipoglikemia. Adanya hipoglikemia
dapat menjadi faktor pemicu terjadinya kejang pada pasien
j. Kalium rendah
Hal ini disebabkan oleh penggunaan insulin. Insulin masuk ke dalam tubuh, dan
menyebabkan kalium dalam darah masuk ke dalam sel. Perpindahan kalium dari
dalam darah menuju sel saraf menyebabkan sel saraf banyak mengandung
kalium. Akibatnya di dalam sel saraf bermuatan positif dan sel tereksitasi.
Sehingga terjadi kejang

7.3. Assesment
FORM PROFIL PENGOBATAN
Tgl. Nama Obat Rute Frekuensi Tgl. Indikasi Obat Monitoring
Mulai (Generik) Dosis Berhent
Terapi i Terapi
10/11/ Lorazepam i.v - 10/11/2 Untuk anti epilepsi Monitoring
2015 bolus 015 (status epilepticus) kejang pasien

1,5 mg

10/11/ Fosfenitoin iv infus 300 mg - 10/11/2 Untuk kejang akut Monitoring


2015 dalam 015 tonik-klonik umum kejang pasien
dekstro atau parsial
se 5%
10/11/ Dextrose 5% i.v 500 mL I flash 10/11/2 Untuk meningkatkan Monitoring
2015 015 kadar gula darah kadar gula
darah
10/11/ Ceftriakson iv drip 100 mg/Kg BB 2 dd 1 10/11/2 Golongan antibiotik Monitoring
2015 selama 015 cephalosporin yang dapat gangguan
30 digunakan untuk fungsi hati
mengobati akibat infeksi
menit atau ginjal
bakteri yaitu meningitis
10/11/ Deksametason i.v 2 mg 4 dd 1 10/11/2 Obat kortikosteroid jenis Monitoring
2015 015 glukokortikoid sintetis gangguan
yang digunakan sebagai fungsi hati
agen imunosupresan atau ginjal
karena pasien
merupakan DM tipe I
mengalami autoimun
10/11/ Propyretic supp Rektal 240 mg 3 dd 1 10/11/2 Obat yang mengandung Monitoring
2015 015 paracetamol memiliki suhu tubuh
aktivitas antipiretik pasien
(menurunkan suhu tubuh
pada waktu demam)

10/11/ Normal saline i.v 1000 mL - 10/11/2 Untuk melarutkan Monitoring


2015 015 fosfenitoin dan resusitasi rasa lemas
cairan serta elektrolit
agar pasien tidak lemas

10/11/ Head elevation - - - 10/11/2 Untuk menurunkan Monitoring


2015 300 015 tekanan intracranial pupil pasien

a. Lorazepam
Lorazepam diberikan sebagai obat lini pertama untuk kejang status epileptikus.
Penggunaan lorazepam lebih baik dibandingkan dengan diazepam karena
kelarutannya dalam lemak kecil sehingga volume distribusi besar dan efektivitas
tinggi. Selain itu waktu paruhnya 2-3 jam dibandingkan diazepam yang hanya 15
menit. Oleh karena itu, seharusnya memiliki durasi efek klinis yang lebih lama.
Efek antikonvulsan dari lorazepam berlangsung 6-12 jam. Dosis maksimumnya
0,2 mg/kgBB (Manno, 2011).
Lorazepam sesuai untuk mengatasi kejang status epilepticus pada pasien
An. G dengan dosis yang telah sesuai.
b. Fosfenitoin
Fosfenitoin merupakan obat lini kedua untuk mengatasi kejang tonik klonik
merupakan pro drug fosfat ester dari fenitoin yang akan berubah menjadi fenitoin
dalam waktu 15 menit. Penggunaannya lebih baik daripada fenitoin karena larut
dalam air, waktu paruhnya 14 jam, dapat diberikan secara IM atau IV drip dengan
laju infusi lebih cepat yaitu, 150 mg/min, dan iritasi vena lebih minimal. Sama
dengan fenitoin, fosfenitoin juga memerlukan loading dose 15-20 PE mg/kgBB
(Trinka et al., 2015).
Karena fosfenitoin memerlukan loading dose penggunaannya dikombinasi
dengan benzodiazepin (Lorazepam).
c. Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah antibiotik golongan cephalosporins generasi ketiga.
Pemberiaanya sebagai terapi empiris yang efektif bagi anak untuk dugaan
penyakit bacterial meningitis yang diderita An. G. Ceftiaxone mencapai titer
bakterisida tinggi dalam cairan serebrospinal karena mampu menembus blood
brain barrier dan bertahan di tempat infeksi lebih lama daripada antibiotik beta-
laktam lainnya (Smith, 2005). Dosis maksimalnya adalah 80 mg/kgBB via IV
infusi selama 30 menit. Pemberian ceftriaxone pada An. G perlu penyesuaian
dosis.
Ceftriaxone telah sesuai sebagai antibiotik empiris untuk dugaan bacterial
meningitis An. G sambil menunggu hasil kultur dan lumbal puncture
dengan dosis yang disesuaikan.
d. Dexamethasone
Dexamethasone adalah kortikosteroid yang pemberiannya untuk penanganan
autoimun karena pasien An. G menderita DM tipe I dan penanganan dugaan
bacterial meningitis yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Terapi dexamethasone digunakan sebagai ajuvan dalam bacterial
meningitis (Smith, 2005).
e. Propyretic supp.
Propyretic suppositoria yang mengandung 240 mg parasetamol sebagai antipiretik
karena An. G mengalami demam dengan suhu 40,2 oC. Pemeberian secara
suppositoria dilakukan karena pasien yang mengalami kejang tidak dapat
diberikan secara oral. Dosis untuk anak 1-12 tahun sehari 3-4 kali 250 mg,
maksimal 1 gram sehari.
Propyretic supp. sesuai untuk mengatasi demam pasien An. G dengan dosis
yang telah sesuai.
f. Posisi kepala pasien An. G ditinggikan atau dengan kemiringan 30° untuk tujuan
menurunkan tekanan intrakranial.

7.4 Plan
a. Melakukan monitoring EEG. Continuous EEG (cEEG) sangat berguna pada
penatalaksanaan SE di ruang intensive care unit (ICU), dilakukan dalam satu jam
sejak onset jika kejang masih berlanjut. Ini bermanfaat untuk mempertahankan
dosis obat antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi berulangnya kejang.
b. Melakukan monitoring kadar kalsium terkait efek samping dari penggunaan
kortikosteroid (deksametason) pada pasien An.G.
c. Melakukan monitoring jantung dan tekanan darah terkait efek samping dari
fosfenitoin yang dapat menyebabkan hipotensi.
d. Penggunaan deksametason sebaiknya diberikan 10-20 menit sebelum, atau
bersamaan dengan dosis pertama antibiotic (ceftriakson), dengan dosis 0,15
mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari (Dewanto, dkk. 2009)
e. Penggunaan fosfenitoin yang dilarutkan dalam dextrose 5% sudah tepat untuk
memberikan larutan yang mengandung 1,5-2,5 mg PSE / mL. (PSE : Phenytoin
Na Equivalents)
DAFTAR PUSTAKA
Browne TR., Holmes GL.2000.Epilepsy: Definitions and Background. In: Handbook of
Epilepsy, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Dewanto, George dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta. Penerbit BUku Kedokteran ECG
Dipiro, Joseph T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells dan
L.Michael Posey.2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh
Edition, New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Fisher RS., Boas WE., Blume W., Elger C., Genton P., Lee P., et al. 2005.Epileptic seizures and
epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the
International Bureau for Epilepsy (IBE), Epilepsia; 46 (4): 470-2.
Harsono.2007.Epilepsi, edisi kedua. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Hawari,Irawaty.2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-epsy.org/
[Accessed 9 September 2017].

Manno, Edward M. 2011. Status Epilepticus : Current Treatment Strategies. The


Neurohospitalist 1(1) : 23-31.

Rilianto, Beny. 2015. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus. Continuing Medical
Education. Vol 42 Nomor 10
Shorvon, s. 2001. Status EpilepticusL Program and Abstract of the 17 th World Congress of
Neurology. London : UK. K Neurol Sei.

Smith, Liz. 2005. Practice Guidelines : Management of Bacterial Meningitis: New


Guidelines from the IDSA. American Family Physician 71(10):2003-2008.
Trinka, Eugen, Julia Ho¨fler, Markus Leitinger, Francesco Brigo. 2015. Review Article :
Pharmacotherapy for Status Epilepticus. Drugs 75:1499–1521.
Tambayang, Jan. 2000. Patofisiologi keperawatan. Jakarta : Penerbit EGC

WHO.2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva:WHO.

Wibowo, S., dan Gofir, A. 2006. Obat Antiepilepsi.Pustaka Cendekia Press:Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai