1. Pendahuluan
Indonesia didiami oleh berbagai suku bangsa dengan aneka ragam bahasa dan
kebudayaannya. Secara etnis ia beraneka, ada 30 kelompok bahasa yang pokok dan 400
dialek setempat (Oteng Sutisna, 1977 : 64-65).
Sumpah Pemuda tahun 1928 mengikrarkannya hanya ada satu bahasa nasional, yakni
bahasa Indonesia, namun Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV, Pasal 36 dan
penjelasannya, menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara dan bahasa
daerah. Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat No. 4/MPR/1978 bahwa pembinaan
dan pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mewajibkan penggunaannya.
Pertimbangan politik yang pokok yang bertalian dengan pendidikan dan kebudayaan
adalah bahasa nasional. Sistem pendidikan telah menjadi lembaga yang paling
berpengaruh dalam mempersatukan kebudayaan-kebudayaan local tradisional ke dalam
suatu kebudayaan Indonesia modern yang sedang tumbuh.
2. Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa pertama kali digunakan oleh Haugen (1959). Perencanaan bahasa
merupakan usaha untuk menuntun perkembangan bahasa ke arah perkembangan bahasa
yang diinginkan oleh para perencana. Usaha perencanaan itu berupa pembuatan kamus,
tata ejaan yang normatif, penyusunan tata bahasa yang akan menjadi acuan bagi pemakai
bahasa.
Beberapa ahli mengatakan mengenai perencanaan bahasa masa kini, Ray (1961)
mengatakan bahwa tujuan perencanaan bahasa terbatas pada rekomendasi yang aktif
untuk mengatasi masalah penggunaan bahasa dengan cara yang paling baik. Tauli (1964)
mendefinisikan perencanaan bahasa yaitu mencari norma yang ideal yang didasarkan atas
prinsip kejelasan, kehematan, dan keindahan. Haugen (1971) berpendapat bahwa bahasa
merupakan alat ekspresi kepribadian dan lambang identitas yang tidak otomatis takluk
pada hukum logika dan matematika.
Usaha menangani masalah kebahasaan diusulkan dalam dua cara yakni pendekatan
kebijakan (policy approach) dan pendekatan pembinaan (cultivation approach). Rubin
dan Jernud (1971) mengadopsi pendekatan kebijakan dan pembinaan dalam konsep
perencanaan bahasa yang dilakukan oleh badan yang khusus. Garvin (1973) mengatakan
bahwa dalam perencanaan bahasa sebaiknya dibedakan dua hal yakni pemilihan bahasa
untuk tujuan dan maksud yang direncanakan. Kloos (1969) membedakan dua hal dalam
perencanaan status bahasa dan korpus bahasa. Gorman (1973) membedakan perencanaan
bahasa dari alokasi bahasa yang berhubungan dengan pendekatan kebijakan kebahasaan.
Haugen menganjurkan agar perencanaan bahasa dimulai dengan pengetahuan keadaan
bahasa lalu disusun program kegiatan yang mencakup sasaran, penetapan pendekatan
kebijakan untuk mencapai sasaran dan pelaksanaan program, dan langkah terakhir yaitu
penyebaran secara aktif norma yang telah disulkan sehingga diterima oleh khalayak
sasaran atau masyarakat pemakai bahasa. Moeliono (1981) menyimpulkan bahwa
perencanaan bahasa, seperti juga perencanaan di bidang ekonomi pembangunan,
bertujuan dalam waktu satu dua generasi, mencapai suatu taraf pengembangan yang di
dalam masyarakat.
3. Pengembangan Bahasa dan Pembangunan Nasional
Oleh Moeliono (1981), hopitesis Ferguson dan Dil diikhtisarkan sebagai berikut:
1) proses pembangunan masyarakat penggunaan bahasa pembangunan seperti di
bidang pemerintah, pendidikan, dan dunia usaha,
2) proses pembangunan cenderung pada pengutamaan penggunaan satu bahasa
pembangunan di dalam negara,
3) proses pembangunan cenderung menciptakan jaringan komunikasi berdasarkan
satu bahasa demi penghindaran ketegangan social yang dapat menghambat proses
itu,
4) proses pembangunan menjurus ke pembakuan bahasa pembangunan dan bahasa
yang secara resmi digunakan untuk komunikasi pada tingkat nasional,
5) bahasa menjadi sarana utama bagi penemuan cara baru di bidang teknik dan di
dalam pengambilan putusan kemanajemenan lambat-laun akan menjadi bahasa
pembangunan yang dominan,
6) ragam bahasa yang merupakan saran utama bagi penemuan cara baru di bidang
teknik dan di dalam pengambilan putusan kemanajemenan cenderung mengalami
perluasan kosakata,
7) bahasa yang dominan cenderung menjadi bahasa komunikasi pada taraf nasional,
8) ragam bahasa yang dominan memilki kecondongan untuk menjai patokan bagi
ragam bahasa lain di negara itu,
9) proses pembangunan menjurus ke arah pemekaran fungsional bahasa yang
menghasilkan perluasan kosakata teknis dan berjenis-jenis ragam wacana,
10) proses pembangunan cenderung meningkatkan pemakaian bahasa klasik,
11) proses pembangunan cenderung menciptakan ketegangan social antara kalangan
pemakai bahasa tradisional dan bahasa modern,
12) pembangunan yang dipertalikan dengan identitas keetnisan yang cenderung
meningkatkan status bahasa etnis kelompok tersebut,
13) proses pembangunan cenderung meningkatkan laju kegiatan pengembangan dan
pembinaan bahasa,
14) proses pembangunan cenderung menghasilkan orang yang mampu menggunakan
laras (register) bahasa.
4. Pembakuan Bahasa
a. Variasi Bahasa Indonesia
Secara umum variasi suatu bahasa dapat dilihat dalam 3 dimensi yakni
dimensi regional, dimensi sosial, dan dimensi temporal. Berdasar dimensi ini
maka variasi suatu bahasa dibagi atas tiga jenis, yakni variasi regional, variasi
social, dan variasi temporal. Masyarakat bahasa dan variasinya benar-benar secara
keseluruhannya merupakan suatu sistem yang saling berhubungan. Variasi bahasa
merupakan seperangkat butir-butir kebahasaan distribusi sosial yang sama. Variasi
itu meliputi bahasa, dialek, dan register.
Perilaku kebahasaan anggota suatu masyarakat bahasa ditentukan oleh
berbagai faktor sosial, yakni umur, jenis kelamin, hubungan kekeluargaan,
kedudukan, status ekonomi, pendidikan, peristiwa sosial, tempat, waktu, topik,
tujuan, dan tingkat keakraban.
b. Variasi Baku Bahasa Indonesia
Proses yang dilalui bahasa baku adalah seleksi, kodifikasi, elaborasi fungsi,
dan keberterimaan. Usaha pembakuan yang dilakukan oleh pemerintah melalui
pusat bahasa telah menghasilkan pembakuan di bidang ejaan (Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, 1972), di bidang tata bahasa (Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 1988), dan di bidang kosakata (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1988).
Oleh Baradja (1975) dikemukakan bahwa ada lima cara yang dapat dipakai
pembakuan bahasa yakni otorita, bahasa penulis-penulis terkenal, demokrasi,
logika, dan bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka oleh masyarakat.
6. Penutup
Dari uraian di atas jelaslah bahwa perencanaan pendidikan bahasa di Indonesia,
sasaran utamanya ialah pembakuan bahasa. Perencanaan pendidikan bahasa di Indonesia
sebaiknya dilandasi oleh hasil-hasil penelitian. Dan setiap perencanaan pendidikan harus
dikaitkan dengan perencanaan ekonomi, sosial, dan politik.
BAB II
PEMODERNAN BAHASA INDONESIA DAN
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
MENYONGSONG ERA GLOBALISASI
1. Pendahuluan
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi pemerintahan, bahasa pengantar, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta alat pengembangan
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Era informasi dan teknologi canggih ini kian mempercepat pergaulan tingkat global.
Komunikasi dan transportasi telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap etnis dan setiap bangsa, yang semula terbatas pada etnis dan bangsa itu
sendiri, cenderung mengarah kepada globalisai dan menjadi peradaban dunia, yang
melibatkan seluruh umat manusia. Sehubungan dengan itu, kita ditantang untuk memberikan
kontribusi yang signifikan dalam perspektif interaksi dan interelasi masyarakat global itu.
Pengembangan kualitas SDM menjadi sangat penting karena kemampuan kompetitif suatu
bangsa bergantung pada kualitas SDM dan bukan semata-mata pada SDA.
Kualitas sumber daya manusia yang prima ditandai oleh kecekatan berfikir dan
menggunakan bahasa karena berfikir dan berbahasa merupakan dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan. Untuk itu, peningkatan kualitas SDM Indonesia tidak terpisahkan dengan
pemodernan bahasa Indonesia.
Upaya yang menonjol dalam proses pemodernan bahasa Indonesia telah dilakukan
dengan cara pemekaran kosakata dan pengembangan laras-laras bahasa.
Pemekaran kosakata dapat dilakukan dengan cara memilih kata dalam bahasa Indonesia
sendiri dan memberinya makna baru melalui proses perluasan atau penyempitan makna
asalnya dan menghidupkan kembali unsur lesikal lama dengan makna yang sama atau makna
yang baru.
Cara lain pemekaran kosakata ialah mengambil kosakata bahasa serumpun yang
pemakaiannya berdampingan dengan bahasa Indonesia. Pemungutan unsur leksikal dalam
bahasa serumpun mempunyai kemiripan dalam bidang fonologi, morfologi, dan semantik
sehingga medan makna leksikal yang dipungut digunakan (Moeliono 1981).
Sumber lain dalam perluasan kosakata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Dalam
tradisi bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya menyerap kosakata asing misalnya:
kosakata Sansekerta, Arab, Belanda, Inggris, Tamil, Persia, dan lain-lain.
Bahasa Indonesia yang memiliki kosakata dan laras-laras bahasa yang kaya dapat
mengantar bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah yang menghendaki bentuk penyajian
yang padat, singkat, tetapi lugas, dan tidak bermakna ganda. Bahasa Indonesia yang
dimutakhirkan ini mampu dipakai sebagai sarana komunikasi dalam segala bidang kehidupan
modern yang ditandai oleh kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi.
5. Penutup
Bahasa sebagai wahana komunikasi dapat berperan secara mangkus dan sangkil
apabila bersungguh- sungguh mencerminkan perasaan dan pikiran para pemakainya.
Upaya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah dilakukan dengan
cara memodernkan dan mencendikiakannya melalui pengembangan kosakata teknis dan
pemekaran laras-laras bahasa. Pemodernan dan pencendikiaan bahasa Indonesia dalam era
globalisasi ini merupakan prasyarat yang utama dalam memacu pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
BAB III
KAIDAH BAHASA INDONESIA BAKU DALAM PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH
1. Pendahuluan
Ragam bahasa orang yang berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan pokok yang
banyak ditelaah orang. Ragam baku tidak saja ditelaah dan diberikan, tetapi juga
diajarkan di sekolah. Ragam itulah yang dijadikan tokok bandingan bagi pemakaian
bahasa yang benar.
Ciri pertama ragam bahasa baku mamiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa
kaidah dan aturan yang tetap. Ciri kedua yang menandai bahasa baku adalah sifat
kecendikaannya. Ciri ketiga pembakuan bahasa ialah adanya penyeragaman kaidah,
bukan penyamaan ragam bahasa atau variasi bahasa.
b. Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi memberikan gambaran hasil pengamatan penulis terhadap
suatu objek. Oleh karena itu, wacana deskripsi bersifat objektif. Wacana deskripsi
memberikan penjelasan tentang sesuatu masalah atau objek yang disajikan.
Wacana deskripsi memberikan objek seperti apa adanya, maka wacana deskripsi
bersifat statis.
c. Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi memberikan penjelasan mengenai suatu masalah atau objek
secara mendalam. Tujuannya supaya pembaca memperoleh pengertian yang jelas
terhadap masalah yang disajikan.
d. Wacana Argumentasi
Wacana argumentasi mengarahkan pembaca kepada suatu sikap tertentu
terhadap suatu masalah atau objek yang dikehendaki oleh penulis.
2) Kohesif
Untuk menjaga keutuhan paragraf, kalimat harus disusun secara teratur dan
logis, dan kalimat-kalimatnya saling berhubungan dalam jalinan yang erat.
Keeratan hubungan antara kalimat yang satu dan kalimat yang lain secara
visual dapat dilihat dengan adanya kata-kata atau frasa yang menjalin kalimat
tersebut.
3) Koherensi
Hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain dalam suatu paragraf
tanpa memakai alat penjalin hubungan disebut koherensi.
4) Proporsi
Proporsi ialah pengembangan ide dalam paragraf sesuai dengan kepentingan
jika dilihat dari hubungannya dengan ide yang lain dalam keseluruhan
karangan.
BAB IV
PENDEKATAN, METODE, DAN TEKNIK PENGAJARAN BAHASA
1. Pendahuluan
Para ahli bahasa sering membicarakan dan menulis tantang pendekatan aural
(aural approach), metode audio lingual, pendekatan terjemahan, metode langsung,
metode tata bahasa, dan metode alamiah.
2. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pengajaran Bahasa
Jika dilihat dari suatu perangkat asumsi yang berhubungan dengan hakikat
belajar mengajar bahasa, maka suatu pendekatan adalah bersifat aksiomatkia
digambarkan sebagai hakikat pokok masalah tentang apa-apa yang diajarkan. Dari
sudut pandang tertentu, pendekatan adalah suatu filsafat , suatu keyakinan, namun
tidak perlu di uji kebenarannya.
Asumsi linguistik yang perlu dikemukakan, yakni
a. Bahasa adalah human, aural-oral, bersifat simbolik dan penuh dengan makna
b. Suatu bahasa tersusun secara unik dan dapat dikatakan bahwa tidak ada dua
bahasa yang mempunyai struktur yang sama
c. Struktur suatu bahasa dapat diketahui dan dapat digambarkan secara sistematik,
meskipun deskripsi yang ada akan berbeda-beda menurut tingkatan dan tujuan.
Jika bahasa itu diterima sebagai aural-oral maka hal itu adalah akibat yang
wajar dari asumsi yang di berikan. Aspek utama pendekatan aural-oral yakni
menyimak dan berbicara, yang harus diajarkan terlebih dahulu sebelum membaca dan
menulis. Aspek membaca dan menulis yang menurut urutannya sebaiknya
didahulukan sebelum pengajaran menulis dilaksanakan karena simbol –simbol grafik
harus dilihat terlebih dahulu sebelum dihafalkan. Aspek penutur bahasa lain yang
dalam hal pengajaran sastra dan seni, dan secara padagogik sebaiknya di tunda.
Asumsi yang perlu diperhatikan : bahasa adalah pembiasan-pembiasan,
kebiasaan tertanam melalui ulangan, bahasa harus diajarkan melalui ulangan melalui
dengan berbagai cara.
Dalam pendekatan Community Language Learning (CLL) pelajar tidak
diberikan kesempatan mendengarkan contoh ucapan atau kalimat sebelum ia disuruh
berbicara.
Pendekatan Total Physical Response (TPR), Silent Way (SW), Audio Visual
Lingual (AVL), dan Communicative Competence Approach (CCA) memberi
kesempatan pelajar untuk mendengarkan terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya
contoh yang diberikan oleh guru.
Pendekatan alamiah yang dipelopori oleh Teller (1977) memberikan
kesempatan yang lama pada pelajar untuk mendengarkan. Pada pendekatan
suggestopedia, situasi kelas dibuat sedemikian rupa sehingga pelajar merasa santai
dan nyaman dalam menerima pelajaran. Pendekatan CCL tidak menggunakan guru,
tetapi menggunakan konselor.
Tugas konselor adalah pendamping dalam belajar, konselor pada mulanya
dekat pada pelajar dan mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh pelajar.
Pendekatan TPR yang dipopuleri oleh Asher (1966) memberikan pelajaran dengan
teknik yang berbeda pula, Asher mengatakan bahwa duduk, mendengarkan,
menirukan, dan menghafalkan saja pelajaran bahasa di kelas tidak memberikan
perangsang yang memadai untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajari.
Kelemahan pendekatan TPR ini apabila ditinjau dari sudut lain, misalnya
neurofisiologi, tidak diragukan lagi bahwa semua gerakan itu dikendalikan oleh otak,
tetapi pengendalian alat-alat motoris ini jauh lebih berbeda dengan pengendalian alat-
alat suara.
Pendekatan SW yang dipelopori Gattegno (1963) tidak menggunakan teknik
gerak badan seperti pada TPR, pada minggu pertama, SW banyak menggunakan alat
peraga yang mempunyai ukuran, bentuk, dan warna yang berlain-lain.
Penyajian bahan-bahan pelajaran yang diberikan oleh guru-guru secara bertahap,
yakni dari kata dan frase, dan dari frase ke kalimat, pelajar mendengarkan terlebih
dahulu, lalu menirukan dan memanipulasikan bahan pelajaran yang baru diterima,
tugas guru hanya mengangguk dan mengggelengkan kepala untuk mengiakan dan
menolak apa yang diucapkan oleh pelajar, karena itulah maka apa yang di
perkenalkan oleh Gettegno disebut juga pendekatan silent way.
Pendekatan SW, di samping memanfaatkan daerah wernicke juga mencoba
mengaktifkan daerak osipital (bagian belakang otak sebelah kiri), yakni daerah tempat
indera penglihatan pertama-tama dianggapi.
Pendekatan AVL memanfaatkan daerah pendengaran dan penglihatan pada
saat belajar mengajar bahasa. Urutan pendengaran yang diikuti oleh pengucapan
merupakan urutan normal dalam proses berbicara.
Sehubungan dengan penggunaan istilah pendekatan, metode dan teknik, maka di
perlukan satu kesatuan pengertian tentang istilah-istilah pendekatan, metode, dan
teknik akan di tempatkan dalam satu skema definisi. Susunannya bersifat hierarkik.
BAB V
METODE PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR
1. Pendahuluan
Dalam proses belajar-mengajar, termasuk proses belajar-mengajar bahasa Indonesia,
salah satu aspek yang sering mendapat perhatian adalah segi metode. Para guru perlu
memahami bahwa dalam proses belajar-mengajar banyak aspek yang terlibat dan semua
aspek tersebut turut menentukan keberhasilan dalam proses belajar-mengajar.
Bahasa sebagai alat komunikasi penting. Sekaitan dengan itu, pengajaran bahasa
hendaknya lebih menekankan fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut :
A. Fungsi instrumental
Fungsi instrumental bahasa mengendalikan dan melayani pengelolaan
lingkungan dan menyebabkan peristiwa tertentu terjadi. Misalnya, ‘jangan mencuri
uang itu’.
B. Fungsi regulasi
Fungsi regulasi bahasa mengendalikan peristiwa. Fungsi regulasi bahasa
mempertemukan manusia setuju, mengendalikan tingkah laku, dan menentukan
hukum / kaidah. Misalnya, ‘kalau engkau merokok, maka engkau mudah terserang
penyakit kanker paru-paru’.
C. Fungsi representasional
Fungsi represetasioal bahasa digunakan membuat pernyataan, meliput
peristiwa, dan pengetahuan, menjelaskan dan melaporkan. Misalnya, ‘Matahari
panas’, ‘Presiden Soeharto membuka KTT X GNB’, dan lain-lain.
D. Fungsi interaksioanal
Fungsi interaksional bahasa memantapkan ketahanan dan kelangsungan
komunikasi sosial. Fungsi bahasa ini memelihara kontrak antara anggota masyarakat
dan membuka seluruh komunikasi. Fungsi interaksional bahasa menuntut penguasaan
bahasa slang, jargon lawak, kesopan santunan, dan semua kunci hubungan pertukaran
sosial.
E. Fungsi personal
Fungsi personal bahasa memungkinkan pembicara atau penulis mengemukakan
perasan, emosi, kepribadian, dan reaksi yang mendalam.
F. Fungsi heuristik
Fungsi heuristik bahasa mencakup bahasa yang digunakan untuk memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan dan belajar tentang alam sekitar. Fungsi heuristik
bahasa diwujudkan dalam bentuk pertanyaan yang memerlukan jawaban.
G. Fungsi imaginatif
Fungsi imaginatif bahasa menghadirkan daya cipta imaginasi dan gagasan. Berita,
berlelucon, dan menulis novel menyatakan praktik fungsi imaginatif bahasa sehingga
dapat diciptakan mimpi yang indah atau hal-hal belum dan mugkin / tidak terjadi.
Ketujuh fungsi bahasa ini saling isi dan tidak saling membedakan, dan
berfungsi agar seseorang dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Metode mencakup pemilihan bahan, urutan bahan, penyajian bahan, dan pengulangan bahan.
Apabila bahasa dianalisis maka dikemukakan adanya bunyi-bunyi : bunyi bahasa ini
mempunyai arti; bunyi-bunyi bahasa yang berarti muncul bersama-sama dalam kesatuan
tertentu dan perubahan tertentu; adanya bentuk yang berarti.
Analisis bahasa yang dilakukan ini merupakan dasar untuk menyusun suatu metode bahasa.
Metode mengajar adalah cara mengajar yang telah disusun berdasarkan prinsip dan sistem
tertentu. Hekikat metode pengajaran bahasa tidak lain persoalan pemilihan bahan yang akan
diajarkan, penentuan urutan bahan, penentuan cara penyajian, dan cara evaluasi. Kesemuanya
harus bermuara kepada tujuan pengajaran yang telah ditentukan lebih dahulu.
Dari sekian banyak metode pengajaran bahasa, pada dasarnya semuanya dapat digunakan
dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.
Metode linguistik dan metode berbahasa dapat dipertimbangkan untuk diangkat menjadi
metode pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.
9. Penutup
1. Pendahuluan
2. Beberapa Pengertian tentang Analisis Kontrasif
a. Penyebab lahirnya analisis kontrasif
Hal-hal yang mendorong lahirnya analisis kontrastif antara lain berkembangnya
ilmu bahasa deskriptif-sinkronik dan kajian-kajian kedwibahasaan bahasa serta
berkembangnya teori pemindahan belajar (transfer of learning).
Dalam karyanya Sapir menekankan bahwa seorang penutur asli menguasai sistem
pola yang tersusun secara teratur dan bukan menguasai butir-butir secara lepas,
serta pengertian fonem (point in pattern) berbeda dengan suara-suara biasa
(phonetic entities). Kemudian idenya ini dikembangkan lagi oleh Fries yang
menghasilkan sebuah gagasan yang dikenal dengan nama contrastive analysis
(analisis kontrastif).
Belajar dan mengajar adalah hal yang berbeda, sehingga belajar yang baik
belumlah merupakan jaminan mengajar yang baik karena belajar dilaksanakan
oleh murid. Belajar yang buruk memengaruhi kebaikan mengajar yang baik, sama
halnya mengajar yang buruk dapat mengurangi kebaikan atau keunggulan suatu
metode. Mengajar yang baik seharusnya memperhitungkan belajar yang dilakukan
oleh murid karena pada hakikatnya tujuan dari mengajar yang baik dan belajar
yang baik. Perlu diingat bahwa mengajar yang baik dan belajar yang baik dapat
saja terjadi secara sendiri-sendiri tanpa ada hubungan satu dengan yang lainnya.
1) Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi sebahagian besar murid sekolah
di Indonesia.
2) Murid yang ada di Indonesia di samping memakai bahasa ibunya juga memahami
bahasa Indonesia (bilingual/dwibahasa)
3) Bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah serumpun.
Dengan demikian sistem bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai
kesamaan.
4) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa
Indonesia berbeda dengan yang berbahasa daerah.
5) Lingkungan murid turut berpengaruh dalam proses belajar-mengajar. Untuk itu
buku-buku yang digunakan perlu bervariasi.
6) Buku pelajaran bahasa Indonesia untuk sekolah dasar seharusnya mengindahkan
dan memperhatikan masalah interferensi yang ditimbulkan oleh pengaruh bahasa
daerah dan dialek.
Dengan asumsi tersebut diatas, murid yang berbahasa ibu bahasa daerah atau bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua sebaiknya menggunakan metode linguistik
kontrastif. Sedangkan yang berbahasa ibu bahasa Indonesia menggunakan metode
lain. Metode linguistik kontrastif didasarkan atas analisis kontrastif.
Untuk melaksanakan metode ini terlebih dahulu harus dipelajari bahasa ibu murid dan
bahasa Indonesia, sehingga diketahui perbedaan dan persamaan kedua bahasa
tersebut. Hampir semua kesalahan yang dibuat oleh murid akibat interferensi dari
kedua bahasa itu serta mereka tidak mengatahui persamaan dan perbedaan antara
bahasa ibu dan bahasa Indonesia.
Seperti di awal, masih ada kelemahan-kelemahan dari metode ini. Sehingga metode
ini dan metode lainnya yang ingin digunakan dalam bahasa Indonesia sebaiknya
terlebih dahulu harus diadakan penelitian karena tanpa penelitian metode apa pun
yang digunakan pasti tidak dapat diaandalkan kesahihan dan kebenarannya.
4. Penutup
1) Pengajaran bahasa Indonesia jangan hanya dilihat dari segi mikro, yakni hanya
membatasi perhatian pada masalah belajar-mengajar disekolah, tetapi juga dari segi
makro yakni memperbaiki dan meningkatkan pengajaran bahasa Indonesia dalam
konteks yang lebih luas.
2) Tugas guru bahasa Indonesia ialah meningkatkan motivasi murid untuk belajar bahasa
Indonesia dalam semua kesempatan yang ada dan melengkapi murid dengan
pengetahuan kebahasaan menurut teori-teori linguistik, teori pendidikan, dan
psikologi.
3) Semua guru harus berusaha memakai bahasa memakai bahasa Indonesia yang baik
dan benar yang patut dicontoh oleh murid karena pada hakikatnya semua guru di
kelas adalah guru bahasa Indonesia.
4) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa daerah
dan bahasa ibu bahasa Indonesia harus berbeda.
5) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa daerah
disarankan menggunakan metode linguistik kontrastif, dan bagi yang berbahasa ibu
bahasa Indonesia disarankan menggunakan menggunakan metode lain.
6) Buku-buku pelajaran untuk sekolah dasar perlu bervariasi sesuai dengan lingkungan
sosial/kebudayaan.
7) Para penulis buku teks pelajaran sebaiknya memperhatikan pengaruh interfensi dan
dialek setempat.
8) Semua buku teks pelajaran perlu diteliti ketepatan dalam penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
9) Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan metode apa yang cocok dalam
pengajaran bahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun sebagai bahasa
kedua.
BAB VII
PRAGMATIK
1. Pendahuluan
Penyemprnaan Kurikulum 1975 telah melahirkan Kurikulum 1984. Dalam
Kurikulum 1984 mata pelajaran bahasa Indonesia dipilih menjadi enam pokok
bahsaba, yakni (1) membaca, (2) kosakata, (3) struktur, (4) menulis, (5) pragmatic,
dan (6) apresiasi bahasa dan sastra.
Ada beberapa konsep dasar dalam Kurikulum 1975 yang dikembangkan dalam
Kurikulun 1984 tapi ada pula yang tetap dipertahankan. Konsep yang tetap
dipertahankan ialah konsep yang menganut pendekatan berorientasi pada tujuan,
pendekatan integrative, pendekatan spiral, dan pendekatan pengembangan rana
kognitif, afektif, dan psikomotor. Konsep dasar yang baru mencakup pendekatan
keterampilan proses, pendekatan lintas materi, dan pendekatan komunikatif.
5. Penutup
Dalam Kurikulum bahasa Indonesia yang direncanakan, pengajaran pragmatik
sebaiknya tidak merupakan satu pokok bahasan, tetapi bagian yang tidak terpisahkan
dengan semua pokok bahasan lainnya dalam kurikulum bahasa Indonesia. Cara yang
paling tepat untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa Indonesia ialah dengan
menggunakan prinsip-prinsip pragmatik, baik sebagai pendekatan maupun sebagai
pokok bahasan untuk seluruh jenjang pendidikan mulai dari SD sampai SMA.
BAB VIII
MEMASYARAKATKAN PENGGUNAAN KAMUS
1. Pendahuluan
Tanpa ada bahasa sebagai alat komunikasi, maka tidaklah mungkin IPTEKS itu dapat
bertumbuh dan berkembang dengan baik. Oleh karena itu, bahasa dan IPTEKS dapat
bertumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
yang memilikinya. Untuk itu, perlu adanya sarana bahasa yang berupa kamus yang dapat
dijadikan sumber acuan bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan IPTEKS.
Apabila seorang pembaca ingin memahami apa yang dibacanya sebaiknya ia
memahami makna leksikal kata tersebut. Karena dalam memahami makna referensial, ia
terlebih dahulu harus memahami makna leksikal.
2. Tugas Leksikograf
Leksikograf merupakan terapan leksikologi. Untuk keperluan praktis dalam
penyusunan kamus, prinsip-prinsip leksikologi tidak dilaksanakan sepenuhnya.
Seorang leksikograf apabila ia ingin membuat suatu kamus maka tahap-tahap yang
perlu dipersiakan dalam penyusunan kamus tersebut ialah :
1. Persiapan
2. Penetapan korpus data
3. Pengumpulan data
4. Penyeleksian data
5. Pengaturan data
6. Klasifikasi data (penetapan label)
7. Pemberian definisi
8. Penyuntingan hasil pemberian definisi
9. Pengetikan kartu induk
10. Penyusunan kartotek
11. Pengetikan naskah
12. Koreksi naskah
13. Cetak coba
14. Koreksi cetak coba
15. Produksi kamus
Dalam menyusun kamus (khususnya kamus bahasa baku), leksikograf sebaiknya
memperhatikan hal-hal berikut :
a. Entri yang dibuat dalam kamus adalah kosakata bahasa yang memiliki ciri-ciri
kebakuan
b. Label-label, seperti label kelas kata, label pembidangan kata dan label lain
hendaknya menunjang pembinaan, pengembangan, dan pembakuan bahasa.
c. Batasan setiap entri hendaknya memberikan kejelasan makna.
d. Batasan terhadap entri yang dibuat hendaknya memiliki kesejajaran kategori
gramatikal dengan entri yang diberi batasan.
e. Batasan entri hendaknya menunjukkan ketepatan makna.
f. Batasan entri hendaknya dapat menggantikan kedudukan entri di dalam contoh
pemakaian tanpa mengganggu struktur yang ada.
g. Contoh kalimat hendaknya mendukung makna entri.
h. Kaidah ejaan hendaknya diterapkan dalam penyusunan kamus.
i. Kaidah gramatikal hendaknya mendapat perhatian.
j. Petunjuk pemakaian kamus hendaknya dibuatkan pengantar dalam menggunakan
kamus.
3. Jenis (Tipe) Kamus
Seorang pembaca yang ingin mengetahui makna sebuah kata sebaiknya mengetahui
jenis (tipe) kamus apa saja yang perlu dibaca bila ingin mencari makna kata tersebut. Jenis
(tipe) kamus dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Berdasarkan bahasa
Berdasarkan bahasnya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus ekabahasa, kamus
dwibahasa, dan kamus multibahasa.
b. Berdasarkan usia pemakai
Berdasarkan usia pemakainya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus anak-anak
(kamus SD) dan kamus orang dewasa.
c. Berdasarkan penggunaan atau tujuannya
Berdasarkan penggunaan atau tujuannya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus
ucapan, kamus sinonim, kamus antonim, dan kamus ungkapan.
d. Berdasarkan bidang ilmu
Berdasarkan bidang ilmunya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus istilah-istilah,
misalnya kamus linguistik, kamus kedokteran, kamus psikologi, dan lain-lain.
e. Berdasarkan ukuran
Berdasarkan ukurannya, kamus dapat digolongkan ke dalam saku dan kamus besar.
1. Pendahuluan
Kalau kita mencermati sejarah maka globalisasi itu telah mulai berkembang
dengan terjadinya revolusi dalam komunikasi dan meningkat ketika teknologi canggih
berkembang secara meleset dalam bentuk teknologi perkembangan dan ruang
angkasa, teknologi energi alternatif, bioteknologi, teknologi elektronika, dan
informasi.
Tingkah laku berbahasa yang telah tertanam itu membentuk kebiasaan dalam
berbahasa. Hakikat bahasa adalah pemerolehan dan pembelajaran. Aturan-aturan dan
kebiasaan-kebiasaan manusia ini diwariskan dalam kegiatan belajar-mengajar, dan
bukan melalui gen-gen yang dibawa lahir ( Subyakto-N., 1988:5 ). Kebiasaan inilah
yang membentuk variaebel ranah afektif, yang berupa sikap dan motivasi, yang
membentuk mentalitas masyarakat pengguna bahasa.
Dalam tiga dasawarsa terakhir ini banyak dilakukan penelitian tentang belajar-
mengajar bahasa, yang dikaitkan dengan konsep kepribadian, misalnya tentang rasa
warga diri (self-esteem), empati (emphaty), dan penerawangan diri-aku
(egopermeability).
a. Definisi Sikap
Definisi sikap (attitude) menurut Oppenheim (1966:105) adalah suatu keadaan
kesiapan (a state of readiness), suatu kecenderungan bertindak atau bereaksi
dengan cara tertentu bila dihadapkan dengan rangsangan tertentu. Ada teori yang
melihat sikap sebagai sifat umum seseorang. Teori lainnya melihat bahwa sikap
memiliki referensi yang khusus pada objek tertentu. Krech, dkk. (1962 ) dan
Brown (1966) mengatakan bahwa sikap itu terdiri atas tiga komponen, yaitu
afektif, kognitif, dan perilaku. Triandis (1972:2-4) mengatakan bahwa pada
umumnya yang terdapat dalam batasan sikap itu adalah kesiapan bereaksi
terhadap sesuatu keadaan Allport (1955:2) mengatakan bahwa sikap adalah
kesiapan mental yang dibentuk melalui pengalaman yang memberikan pengaruh
yang dinamis pada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang
menyangkut sikap itu.
b. Konsep Sikap
Konsep sikap dapat dijelaskan dengan mengemukakan ciri-cirinya, yakni
sikap memiliki sifat kognitif dan referensinya spesifik, yang berbeda dengan
kebanyakan konsep kepribadian lainnya. Sikap lebih berpengaruh sebagai keadaan
yang mudah terpengaruh oleh rangsangan dan sikap adalah satu faktor yang
berpengaruh dan mendasari tingkah laku. Sikap hanya dapat diukur secara tidak
langsung.
Newcomb (1950) mengatakan bahwa konsep sikap tidak ditandai oleh
dorongan, tetapi hanya mengacu kepada kemungkinan bahwa sesuatu dorongan
tertentu dapat mewarnai sikap. Sikap menimbulkan motivasi. Motivasi yang
berinteraksi dengan ciri-ciri situasional dan keadaan lainnya yang mudah
terpengaruh, menentukan tingkah laku yang dapat diamati.
Skala yang digunakan untuk menaksir sikap dapat mengukur satu dimensi
afektif yang mencerminkan sikap yang mengevaluasi objek secara negative dan
positif. Hovland, dkk (1953) mengatakan bahwa perbedaan pendapat dan sikap
adalah bahwa pendapat dapat dikemukakan secara lisan atau tertulis, sedangkan
sikap kadang-kadang diantarai oleh proses nonverbal dan sering tidak disadari.
‘Pendapat’ adalah respons, sedangkan ‘sikap’ adalah keadaan yang mudah
berpengaruh pada respons.
Thurstone (1927, dalam M. Ide Said D.M. 1987:53) mengartikan konsep
pendapat sebagai ekspresi verbal sikap. Dari segi ‘pengukuran pendapat’ tidak
dicari skor total (Sumadi Suryabrata, 1979:10). Sikap yang terletak pada satu sisi
kontinum negatif menunjukkan reaksi afektif yang negatif, yang menimbulkan
respons negatif. Sabaliknya, sikap yang terrletak pada sisi kontinum positif
menimbulkan reaksi afektif positif, yang menimbulkan respons positif. Titik netral
agak sukar diinterprestasi karena menunjukkan keseimbangan antara positif dan
negatif.
Sikap banyak diperoleh melalui proses belajar atau hasil proses perkembangan
atau kematangan (McGrath, 1964). Sikap memiliki referensi spesifik yang dapat
berbentuk konkret atau abstrak. Sikap lebih stabil dan tahan lama. Sikap dapat
merupakan kontak langsung dengan objek dan situasi melalui hubungan langsung
dengan orang lain (Sherif dan Sherif, 1956). Sikap saling berhubungan dengan
satu terhadap yang lain dalam taraf yang kekuatannya yang berbeda atau
bervariasi (Krech, dkk,:1962 ; McGrath, 1956). Sikap dapat menduduki periferik
dan sentral, yang bervariasi dalam subsitemnya. Sikap yang interelasinya kuat
memiliki stabilitas maksimum. Sikap yang memiliki stabilitas maksimum
melibatkan banyak perubahan sikap periferik dan memiliki nilai yang penting
dalam tingkah-laku.
c. Sikap Bahasa
Sikap bahasa merupakan salah satu di antara berbagai sikap yang ada.
Anderson (1974:47) membagi sikap atas dua jenis yakni sikap bahasa dan
nonbahasa. Sikap nonbahasa adalah sikap politik, sikap sosial, dan sikap estetis.
Baik bahasa maupun sikap nonbahasa dapat menyangkut keyakinan atau kognisi
terhadap bahasa. Anderson mengatakan bahwa sikap bahasa adalah tata keyakinan
atau kognisi yang relative panjang, sebagaian mengenai bahasa dan sebagian lagi
mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk
bereaksi menurut gayanya sendiri.
Sikap memiliki beberapa komponen yakni komponen kognitif, afektif, dan
motif. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan yang biasanya digunakan
dalam proses berfikir. Komponen afektif menyangkut perasaan dan emosi, yang
mewarnai pengetahuan dan gagasan kita yang terdapat dalam komponen kognitif.
Komponen afektif ini menyangkut nilai rasa, baik dan tidak baik, dan suka atau
tidak suka.
Perilaku berbahasa dilakukan dalm pendidikan bahasa karena orang yang
terbiasa menggunakan bahasa yang baik dan benar akan menimbulkan
kedisiplinan dalam menggunakan bahasa. Factor yang memengaruhi penggunaan
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing bukan hanya ditentukan oleh
pengetahuan tentang bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing,
melainkan jug ditentukan oleh kebiasaan menggunakan bahasa yang baik dan
benar. Perilaku berbahasa, yakni adanya kedisiplinan menggunakan bahasayang
baik dan benar merupakan hal yang sebaiknya dtumbuhkan dalam masyarakat
bahasa.
Triandis (1971:6-16) mengatakan bahwa asumsi yang selama ini dipegang
bahwa sikap merupakan factor perbuatan seseorang, tidaklah benar. Ia
berpendapat bahwa hubungan antara perbuatan dan sikap lemah. Menurut
Triandis, yang mengutip hasil penelitian La Piere (1934, dalam M. Ide Said D.M.,
1987:57), mengatakan bahwa tidak ada hubungan apa pun antara sikap dengan
perbuatan (Halim, 1978:15).
Triandis sendiri tidak sependapat dengan La Piere. Ia masih mengakui adanya
hubungan antara sikap dengan perbuatan, walaupun hubungan itu lemah. Sikap
menyangkut apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh seseorang, sedangkan
perbuatan adalah fungsi sikap, norma, sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin
terjadi. Factor terbesar pengaruhnya pada perbuatan adalah kebiasaan dan factor
yang paling kecil ialah sikap (Halim, 1978:15).
Penelitian Sugar (1967, dalam M. Ide Said D.M., 1987:58) membuktikan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dan perbuatan dalam
hubungannya kegemaran merokok di kalangan mahasiswa. Lambert (1967)
mengemukakan bahwa kegiatan dan keberhasilan belajar bahasa sangat
terpengaruh oleh motivasi si belajar yang bersangkutan, dan motivasinya
ditentukan oleh pandangan dan sikapnya mengenai belajar bahasa.
Sikap bahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (1972) adalah
kesetiaan bahasa yang mendorong suatu masyarakat bahasa mempertahankan
bahasanya, kebanggaan bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya
dengan santun merupakan factor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
perbuatan, yakni kegiatan penggunaan bahasa (Halim, 1978:6)
Gardner, dkk (1974). Menemukan bahwa motivasi sebagai konstruk
(construct) ditentukan oleg variabel sikap tertentu. Para penelitian tersebut
mengembangkan baterai tes, yang digunakan untuk menentukan peranan yang
dimainkan oleh variabel-variabel sikap dalam hubungannya dengan variabel motif
integrative dalam proses belajar mengajar bahasa prancis.
Schumann (1974:128) mengatakan bahwa ada sejumlah sikap yang berperan
dalam proses belajar-mengajar bahasa, yakni apa yang disebut kelompok sokap
khusus (specific attitudes) dan kelompok sikap umum generalized attitudes).
Sikap umum adalah sikap yang secara tidak langsung berhubungan dengan
masyarakat bahasa yang menggunakan bahasa sasaran, namun variabel tersebut
tetap disebutkan variabel sikap. Variabel adalah etnosentrisitas (etnocentricity),
autoritarianisme ( authoritarianism), anomie, dan hasrat untuk maju (need
achievement). Para peneliti menyimpulkan bahwa si belajar bahasa yang
nonetnosentrik dan nonautoritariabisne lebih baik penguasaan bahasanya daripada
si belajar yang memiliki sifat etnosentrik dan autoritarianisme terhadap
kebudayaan sasaran.
5. Factor motivasi
Motivasi adalah salah satu variabel yang menentukan keberhasilan proses
belajar-mengajar.
a. Definisi motivasi
Para ahli pernah memberikan definisi motivasi antara lain ialah Hebb (1955)
dan Young (1961). Motivasi menurut Hebb adalah suatu kemudi yang berupa
energy atau tenaga yang dapat menggerakkan sesuatu tindakan.
Young (1961:24) mengatakan bahwa motivasi adalah semua faktor yang
menentukan (all determinants) aktivitas manusia dan bintang, suatu proses yang
memacu tindakan untuk mencapai suatu kemajuan, dan mengatur pola-pola
tindakan.
Dari definisi Hebb dan Young dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu
tenaga atau kekuatan yang mendorong suatu tindakan. Motivasi memacu,
menopang, dan mengatur pola-pola tindakan sehingga terjadi keaktifan dalam
bertindak.
b. Motivasi bahasa
Motivasi dibagi atas dua tipe yakni motivasi intrinsic dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah keinginan seseorang untuk mencapai tujuan yang bukan
pemberian atau ganjaran dari luar (no external reward). Ganjaran adalah kepuasan
seseorang karena kemampuan melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik adalah
motivasi yang ditimbulkan oleh factor eksternal.
6. Penutup
Simpulan
a. Variabel ranah kognitif, afektif, dan psikomotor memegang peranan dalam
mentalitas masyarakat pengguna bahasa.
b. Era globalisasi pada hakikatnya merupakan era informasi dan informasi adalah
komunikasi yang wahana utamanya adalah bahasa.
c. Dalam proses belajar mengajar bahasa diperlukan suatu kiat yang dapat
mempermudah keberhasilan dalam belajar. Kiat tersebut ialah memahami peranan
ranah afektif yang didalamnya tercakup faktor sikap dan motivasi.
d. Sikap dan motivasi berperan dalam proses belajar mengajar bahasa. Orang yang
memiliki sikap positif dalam proses belajar mengajar bahasa, yakni orang yang
memiliki sifat empati, kurang memiliki sifat etnosentrisitas, autoritarianisme, dan
anomi lebih berhasil dalam proses belajar mengajar bahasa.
e. Orang yang memiliki motif integrative dan instrumental lebih berhasil dalam
proses belajar mengajar bahasa daripada orang yang tidak memiliki motif tersebut.
f. Sikap dan motif bahasa yang positif mendorong kebanggaan berbahasa dan
penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Saran
1. Pendahuluan
Peranan intelegensi dalam belajar bahsa belum banyak diketahui. Untuk itu, dalam
tulisan ini diuraikan tentang konsep intelegensi, hakikat intelegensi, dan kaitan
intelegensi dengan bahasa.
2. Konsep Intelegensi
Moskowitz dan Orgel (1969:246) menyatakan bahwa intelegensi bukanlah perkataan
yang menyatakan sebuah substansi, melainkan suatu kualitas tingkah laku perorangan
pada suatu waktu. Suatu perbuatan dapat dikatakan intelegen apabila perbuatan itu
dapat dilakukan dengan cepat, tepat, dan mudah apabila dibandingkan dengan orang
lain.
Vernon (dalam Chauhan, 1978 : 276-278; Baharuddin, 1982 : 64) mendeskripsikan
intelegensi atas tiga pendekatan.
a. Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis ini melihat manusia sebagai suatu makhluk hidup di antara
makhluk hidup lainnya sehingga apabila psikologi dianggap sebagai salah satu
disiplin ilmu pengetahuan biologi, intelegensi juga dapat dikatakan sebagai
adaptasi dari lingkungannya.
b. Pendekatan Psikologis
Hebb menytakan adanya dua macam intelegensi, yakni intelegensi tipe A dan
intelegensi tipe B. Intelegensi tipe A adalah potensi atau kapasitas untuk
perkembangan, sdangkan intelegensi tipe B adalah fungsi otak yang telah
diwarnai oleh pengalaman.
c. Pendekatan Operasional
Suatu defenisi disebut operasional apabila menyatakan kondisi yang dapat
diamati. Misalnya, untuk menciptakan IQ seseorang, ia harus diberi tes IQ dan
kemudian dihitung hasilnya. Hal ini memberikan batasan tentang arti IQ yang
terkandung dalam sebuah kalimat: “Si Muhammad Ide Said D. M. memiliki IQ
140”. Definisi operasional ini penting untuk mengetahui apa yang disebut konsep
intelegensi.
Freeman mendefinisikan intelegensi sebagai
a) Kemampuan Beradaptasi
b) Kemampuan Belajar
c) Kemampuan Berpikir Abstrak
4. Penutup
Dapat disimpulkan bahwa intelegensi mempunyai peranan yang penting dalam belajar
bahasa. Untuk itu, para guru bahasa perlu mengetahui tingkat intelegensi siswa-
siswanya agar pengajaran bahasa lebih berhasil sebagaimana yang diharapkan.s