Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PERENCANAAN PENDIDIKAN BAHASA DI INDONESIA

1. Pendahuluan

Indonesia didiami oleh berbagai suku bangsa dengan aneka ragam bahasa dan
kebudayaannya. Secara etnis ia beraneka, ada 30 kelompok bahasa yang pokok dan 400
dialek setempat (Oteng Sutisna, 1977 : 64-65).

Sumpah Pemuda tahun 1928 mengikrarkannya hanya ada satu bahasa nasional, yakni
bahasa Indonesia, namun Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV, Pasal 36 dan
penjelasannya, menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara dan bahasa
daerah. Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat No. 4/MPR/1978 bahwa pembinaan
dan pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mewajibkan penggunaannya.

Pertimbangan politik yang pokok yang bertalian dengan pendidikan dan kebudayaan
adalah bahasa nasional. Sistem pendidikan telah menjadi lembaga yang paling
berpengaruh dalam mempersatukan kebudayaan-kebudayaan local tradisional ke dalam
suatu kebudayaan Indonesia modern yang sedang tumbuh.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai


(1) bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan,
(3) alat perhubungan pada tingkat nasional,
(4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
(Halim, 1976 : 5)

Sementara di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, yaitu


(1) lambang kebanggan kebangsaan,
(2) lambang identitas nasional,
(3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai-bagai,
(4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya
(Halim, 1976 : 4).

Bahasa yang diapakai di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi bahasa daerah,


bahasa nasional (bahasa Indonesia), dan bahasa asing. Bahasa daerah dipakai untuk
komunikasi intrasuku, bahasa nasional dipakai untuk komunikasi antarsuku, dan bahasa
asing dipakai dalam komunikasi antarbangsa.

2. Perencanaan Bahasa

Perencanaan bahasa pertama kali digunakan oleh Haugen (1959). Perencanaan bahasa
merupakan usaha untuk menuntun perkembangan bahasa ke arah perkembangan bahasa
yang diinginkan oleh para perencana. Usaha perencanaan itu berupa pembuatan kamus,
tata ejaan yang normatif, penyusunan tata bahasa yang akan menjadi acuan bagi pemakai
bahasa.

Beberapa ahli mengatakan mengenai perencanaan bahasa masa kini, Ray (1961)
mengatakan bahwa tujuan perencanaan bahasa terbatas pada rekomendasi yang aktif
untuk mengatasi masalah penggunaan bahasa dengan cara yang paling baik. Tauli (1964)
mendefinisikan perencanaan bahasa yaitu mencari norma yang ideal yang didasarkan atas
prinsip kejelasan, kehematan, dan keindahan. Haugen (1971) berpendapat bahwa bahasa
merupakan alat ekspresi kepribadian dan lambang identitas yang tidak otomatis takluk
pada hukum logika dan matematika.

Usaha menangani masalah kebahasaan diusulkan dalam dua cara yakni pendekatan
kebijakan (policy approach) dan pendekatan pembinaan (cultivation approach). Rubin
dan Jernud (1971) mengadopsi pendekatan kebijakan dan pembinaan dalam konsep
perencanaan bahasa yang dilakukan oleh badan yang khusus. Garvin (1973) mengatakan
bahwa dalam perencanaan bahasa sebaiknya dibedakan dua hal yakni pemilihan bahasa
untuk tujuan dan maksud yang direncanakan. Kloos (1969) membedakan dua hal dalam
perencanaan status bahasa dan korpus bahasa. Gorman (1973) membedakan perencanaan
bahasa dari alokasi bahasa yang berhubungan dengan pendekatan kebijakan kebahasaan.
Haugen menganjurkan agar perencanaan bahasa dimulai dengan pengetahuan keadaan
bahasa lalu disusun program kegiatan yang mencakup sasaran, penetapan pendekatan
kebijakan untuk mencapai sasaran dan pelaksanaan program, dan langkah terakhir yaitu
penyebaran secara aktif norma yang telah disulkan sehingga diterima oleh khalayak
sasaran atau masyarakat pemakai bahasa. Moeliono (1981) menyimpulkan bahwa
perencanaan bahasa, seperti juga perencanaan di bidang ekonomi pembangunan,
bertujuan dalam waktu satu dua generasi, mencapai suatu taraf pengembangan yang di
dalam masyarakat.
3. Pengembangan Bahasa dan Pembangunan Nasional

Oleh Moeliono (1981), hopitesis Ferguson dan Dil diikhtisarkan sebagai berikut:
1) proses pembangunan masyarakat penggunaan bahasa pembangunan seperti di
bidang pemerintah, pendidikan, dan dunia usaha,
2) proses pembangunan cenderung pada pengutamaan penggunaan satu bahasa
pembangunan di dalam negara,
3) proses pembangunan cenderung menciptakan jaringan komunikasi berdasarkan
satu bahasa demi penghindaran ketegangan social yang dapat menghambat proses
itu,
4) proses pembangunan menjurus ke pembakuan bahasa pembangunan dan bahasa
yang secara resmi digunakan untuk komunikasi pada tingkat nasional,
5) bahasa menjadi sarana utama bagi penemuan cara baru di bidang teknik dan di
dalam pengambilan putusan kemanajemenan lambat-laun akan menjadi bahasa
pembangunan yang dominan,
6) ragam bahasa yang merupakan saran utama bagi penemuan cara baru di bidang
teknik dan di dalam pengambilan putusan kemanajemenan cenderung mengalami
perluasan kosakata,
7) bahasa yang dominan cenderung menjadi bahasa komunikasi pada taraf nasional,
8) ragam bahasa yang dominan memilki kecondongan untuk menjai patokan bagi
ragam bahasa lain di negara itu,
9) proses pembangunan menjurus ke arah pemekaran fungsional bahasa yang
menghasilkan perluasan kosakata teknis dan berjenis-jenis ragam wacana,
10) proses pembangunan cenderung meningkatkan pemakaian bahasa klasik,
11) proses pembangunan cenderung menciptakan ketegangan social antara kalangan
pemakai bahasa tradisional dan bahasa modern,
12) pembangunan yang dipertalikan dengan identitas keetnisan yang cenderung
meningkatkan status bahasa etnis kelompok tersebut,
13) proses pembangunan cenderung meningkatkan laju kegiatan pengembangan dan
pembinaan bahasa,
14) proses pembangunan cenderung menghasilkan orang yang mampu menggunakan
laras (register) bahasa.
4. Pembakuan Bahasa
a. Variasi Bahasa Indonesia
Secara umum variasi suatu bahasa dapat dilihat dalam 3 dimensi yakni
dimensi regional, dimensi sosial, dan dimensi temporal. Berdasar dimensi ini
maka variasi suatu bahasa dibagi atas tiga jenis, yakni variasi regional, variasi
social, dan variasi temporal. Masyarakat bahasa dan variasinya benar-benar secara
keseluruhannya merupakan suatu sistem yang saling berhubungan. Variasi bahasa
merupakan seperangkat butir-butir kebahasaan distribusi sosial yang sama. Variasi
itu meliputi bahasa, dialek, dan register.
Perilaku kebahasaan anggota suatu masyarakat bahasa ditentukan oleh
berbagai faktor sosial, yakni umur, jenis kelamin, hubungan kekeluargaan,
kedudukan, status ekonomi, pendidikan, peristiwa sosial, tempat, waktu, topik,
tujuan, dan tingkat keakraban.
b. Variasi Baku Bahasa Indonesia
Proses yang dilalui bahasa baku adalah seleksi, kodifikasi, elaborasi fungsi,
dan keberterimaan. Usaha pembakuan yang dilakukan oleh pemerintah melalui
pusat bahasa telah menghasilkan pembakuan di bidang ejaan (Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, 1972), di bidang tata bahasa (Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia, 1988), dan di bidang kosakata (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1988).
Oleh Baradja (1975) dikemukakan bahwa ada lima cara yang dapat dipakai
pembakuan bahasa yakni otorita, bahasa penulis-penulis terkenal, demokrasi,
logika, dan bahasa orang-orang yang dianggap terkemuka oleh masyarakat.

5. Implikasi dalam Pengajaran Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah umumnya adalah variasi baku.
Kemahiran dan kemampuan menggunakan variasi baku bahasa Indonesia, baik lisan
maupun tulisan diharapkan dapat dilakukan oleh murid, pelajar, dan mahasiswa. Mereka
perlu menyadari bahwa bahasa yang baik dan benar adalah bahasa baku.

6. Penutup
Dari uraian di atas jelaslah bahwa perencanaan pendidikan bahasa di Indonesia,
sasaran utamanya ialah pembakuan bahasa. Perencanaan pendidikan bahasa di Indonesia
sebaiknya dilandasi oleh hasil-hasil penelitian. Dan setiap perencanaan pendidikan harus
dikaitkan dengan perencanaan ekonomi, sosial, dan politik.
BAB II
PEMODERNAN BAHASA INDONESIA DAN
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
MENYONGSONG ERA GLOBALISASI

1. Pendahuluan

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia adalah bahasa
resmi pemerintahan, bahasa pengantar, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, serta alat pengembangan
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bangsa Indonesia memiliki nilai


politik yang sangat penting karena telah menjadi lambang kebulatan semangat kebangsaan
Indonesia, alat penyatuan berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang kebahasaan,
kebudayaan, dan kesukuannya ke dalam suatu masyarakat nasional Indonesia, dan alat
perhubungan antarsuku, antardaerah, serta budaya .

2. Era Globalisasi dan Pemordenan Bahasa Indonesia

Era informasi dan teknologi canggih ini kian mempercepat pergaulan tingkat global.
Komunikasi dan transportasi telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap etnis dan setiap bangsa, yang semula terbatas pada etnis dan bangsa itu
sendiri, cenderung mengarah kepada globalisai dan menjadi peradaban dunia, yang
melibatkan seluruh umat manusia. Sehubungan dengan itu, kita ditantang untuk memberikan
kontribusi yang signifikan dalam perspektif interaksi dan interelasi masyarakat global itu.
Pengembangan kualitas SDM menjadi sangat penting karena kemampuan kompetitif suatu
bangsa bergantung pada kualitas SDM dan bukan semata-mata pada SDA.

Kualitas sumber daya manusia yang prima ditandai oleh kecekatan berfikir dan
menggunakan bahasa karena berfikir dan berbahasa merupakan dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan. Untuk itu, peningkatan kualitas SDM Indonesia tidak terpisahkan dengan
pemodernan bahasa Indonesia.

3. Korelasi Pengembangan Bahasa dan Pengembangan Nasional

Ferguson dan Dil (1979) (dalam Moeliono, 1981:158-161) mengemukakan 14


hipotesis tentang hubungan dan pengembangan bahasa, sebagai berikutt :
a. Proses pembangunan mensyaratkan penggunaan bahasa pembangunan, seperti di
bidang pemerintahan, pendidikan, dan dunia usaha, dapat ditunjukkan dengan
semakin banyaknya kosakata di bidang tersebut.
b. Proses pembangunan cenderung pada pengutamaan satu bahasa pembangunan di
dalam negara, dapat ditunjukkan dengan berkurangnya penggunaan bahasa daerah
di Indonesia.
c. Proses pembangunan cenderung menciptakan jaringan komunikasi berdasarkan
satu bahasa demi penghindaran ketegangan sosial, dapat ditunjukkan dengan
semakin banyaknya penggunaan bahasa Indonesia yang menyebabkan
berkurangnya ketegangan sosial antaretnis yang ada di Indonesia.
d. Proses pembangunan menjurus kepembakuan bahasa pembangunan dan bahasa
yang secara resmi digunakan untuk komunikasi pada tingkat nasional, dapat
ditunjukkan dengan semakin mantapnya pembakuan bahasa Indonesia dan
penggunaan bahasa Indonesia baku, baik lisan maupun tulisan.
e. Bahasa yang menjadi sraana utama bagi penemuan cara baru di bidang teknik
akan menjadi bahasa pembangunan yang dominan, ditunjukkan dengan semakin
banyaknya kosakata teknik yang diserap oleh bahasa Indonesia.
f. Ragam bahasa teknik pada mulanya mengalami perluasan kosakata. Ditunjukkan
pada bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yang secara historis merupakan satu
bahasa yaitu bahasa Melayu karena terjadi dua pusat pembangunan dalam dua
negara yaiu Negara Indonesia dan Malaysia maka terdapat kosakata teknis yang
berbeda pula.
g. Bahasa yang dominan di pusat pembangunan cenderung menjadi bahasa resmi
yang dominan untuk komunikasi pada taraf nasional, ditunjukkan dengan
pengaruh dialek Betawi dan bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia.
h. Ragam bahasa yang dominan di pusat pembangunan memiliki kecondongan untuk
menjadi patokan bagi ragam lain di negara itu, ditunjukkan dengan pemakaian
bahasa Indonesia di kota-kota besar.
i. Proses pembangunan menjurus ke arah pemekaran fungsional bahasa, yang
menghasilkan perluasan kosakata teknis dan berjenis-jenis ragam bahasa.
j. Proses pembangunan cenderung meningkatkan pemakaian bahasa klasik, yang
dirasakan menjadi penanda identitas keetnisan atau kepribadian nasional yang
kuat, ditunjukkan dengan mengalirnya kosakata Sansekerta dan Kawi ke dalam
bahasa Indonesia.
k. Proses pembangunan cenderung menciptakan ketegangan sosial di antara
kalangan penutur yang lebih suka menggunakan bahasa nasional dan bahasa
modern.
l. Pembangunan yang bertalian dengan keetnisan cenderung meningkatkan status
bahasa kelompok etnis itu, ditunjukkan semakin banyaknya kosakata bahasa Jawa
yang masuk ke dalam bahasa Indonesia karena pusat pembangunan berada di
Jawa.
m. Proses pembangunan cenderung meningkatkan laju kegiatan pengembangan dan
pembinaan bahasa, ditunjukkan dengan digalakkannya melalui Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
n. Proses pembangunan cenderung menghasilkan orang yang tergolong
dwibahasawan atau orang yang mampu menggunakan berbagai laras bahasa,
ditunjukkan dengan banyaknya orang yang dapat menggunakan bahasa Indonesia
disamping orang yang menggunakan bahasa daerah.

4. Pemodernan Bahasa Indonesia dan Pengembanagan Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi

Michael Halliday (1973) mengemukakan fungsi bahasa, yakni :

1) Fungsi Instrumental, yaitu melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan beberapa


peristiwa terjadi.
2) Fungsi Pengaturan / Regulasi, yaitu mengendalikan peristiwa, tingkah laku, hukum &
kaidah.
3) Fungsi Representasional, yaitu membuat pernyataan, meliput kejadian dan peristiwa,
memberi pengetahuan, menjelaskan, dan melaporkan.
4) Fungsi Interaksional, yaitu memantapkan ketahanan dan memelihara komunikasi
sosial.
5) Fungsi Personal, yaitu memungkinkan seseorang mengemukakan perasaan dan
kepribadian.
6) Fungsi Heuristik, digunakan untuk memperoleh pengetahuan dan belajar tentang
lingkungan.
7) Fungsi Imaginatif, digunakan berimajinasi dan mengembangkan gagasan seperti
dalam bahasa sastra.
Bahasa Indonesia perlu dimutakhirkan sehingga mampu dipakai sebagai sarana
komunikasi dalam segala bidang kehidupan dunia modern, yang ditandai oleh kepesatan
ilmu dan teknologi.

Upaya yang menonjol dalam proses pemodernan bahasa Indonesia telah dilakukan
dengan cara pemekaran kosakata dan pengembangan laras-laras bahasa.

Pemekaran kosakata dapat dilakukan dengan cara memilih kata dalam bahasa Indonesia
sendiri dan memberinya makna baru melalui proses perluasan atau penyempitan makna
asalnya dan menghidupkan kembali unsur lesikal lama dengan makna yang sama atau makna
yang baru.

Cara lain pemekaran kosakata ialah mengambil kosakata bahasa serumpun yang
pemakaiannya berdampingan dengan bahasa Indonesia. Pemungutan unsur leksikal dalam
bahasa serumpun mempunyai kemiripan dalam bidang fonologi, morfologi, dan semantik
sehingga medan makna leksikal yang dipungut digunakan (Moeliono 1981).

Sumber lain dalam perluasan kosakata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Dalam
tradisi bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya menyerap kosakata asing misalnya:
kosakata Sansekerta, Arab, Belanda, Inggris, Tamil, Persia, dan lain-lain.

Bahasa Indonesia yang memiliki kosakata dan laras-laras bahasa yang kaya dapat
mengantar bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah yang menghendaki bentuk penyajian
yang padat, singkat, tetapi lugas, dan tidak bermakna ganda. Bahasa Indonesia yang
dimutakhirkan ini mampu dipakai sebagai sarana komunikasi dalam segala bidang kehidupan
modern yang ditandai oleh kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi.

5. Penutup

Bahasa sebagai wahana komunikasi dapat berperan secara mangkus dan sangkil
apabila bersungguh- sungguh mencerminkan perasaan dan pikiran para pemakainya.

Upaya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmiah dilakukan dengan
cara memodernkan dan mencendikiakannya melalui pengembangan kosakata teknis dan
pemekaran laras-laras bahasa. Pemodernan dan pencendikiaan bahasa Indonesia dalam era
globalisasi ini merupakan prasyarat yang utama dalam memacu pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
BAB III
KAIDAH BAHASA INDONESIA BAKU DALAM PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH

1. Pendahuluan
Ragam bahasa orang yang berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan pokok yang
banyak ditelaah orang. Ragam baku tidak saja ditelaah dan diberikan, tetapi juga
diajarkan di sekolah. Ragam itulah yang dijadikan tokok bandingan bagi pemakaian
bahasa yang benar.
Ciri pertama ragam bahasa baku mamiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa
kaidah dan aturan yang tetap. Ciri kedua yang menandai bahasa baku adalah sifat
kecendikaannya. Ciri ketiga pembakuan bahasa ialah adanya penyeragaman kaidah,
bukan penyamaan ragam bahasa atau variasi bahasa.

2. Fungsi Bahasa Baku


Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga diantaranya bersifat pelambang
sedangkan, yang satu lagi bersifat objektif : (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi
kekhasan, fungsi pembawa kewibawaan, (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku memperbedakan bahasa itu
dari bahasa yang lain. Karena fungsi itu bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian
nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Pemilik bahasa baku membawa serta wibawa. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan
dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat
pemerolehan bahasa baku sendiri.
Bahasa baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakaian bahasa dengan adanya
norma dan kaidah yang jelas. Norma dan kaiah itu menjadi tolak ukur bagi betul
tidaknya pemakaian bahasa orang seorang atau golongan.
Bahasa indonesia baku digunakan dalam komunikasi resmi, wacana teknis,
pembicaraan di depan umum.

3. Ciri bahasa Indinesia baku


a) Pemakaian prefiks me- dan ber- bila ada secara eksplisit dan konsisten.
Contoh : penyakit menyerang kampung itu (baku).
Penyakit serang kampung itu (non baku).
b) Pemakaian fungsi gramatikan secara eksplisit dan konsisten.
Contoh : ia pergi ke kantor (baku)
Ia ke kantor (non baku)
c) Terbatasnya unsur-unsur leksikal dan gramatikal dari dialek-dialek regional dan
bahasa-bahasa daerah yang belum dianggap unsur bahasa indonesia
Contoh : cari sendiri dalam surat kabar dan majalah.
d) Pemakaian konjungsi bahwa dan karena – bila ada- secara eksplisit dan
konsisten.
Contoh : saya tau bahwa saya tidak lulus (baku)
Saya tahu, saya tidak lulus ( non baku )
e) Pemakaian pola frase verbal aspek + agen + verbal – bila ada- secara konsisten
Contoh : sudah engkau baca surat ini ( baku ).
Engkau sudah baca surat ini ( non baku ).
f) Pemakaian kontruksi sintesis
Contoh : harganya ( baku )
Dia punya harga (non baku )
g) Pemakaian partikel –kah dan pun –bila ada –secara konsisten
Contoh : mereka pun pergi (baku )
Mereka pergi ( non baku )
h) Pemakaian unsur-unsur leksikal berikut berbeda dari unsur-unsur yang
menandai bahasa indonesia non baku.
Contoh : tetapi ( baku )
Tapi (non baku )
i) Pemakaian polaritas tutur sapa yang konsisten, seperti saya –tuan, saya –
saudara, dan sebagainya
j) Pemakaian istilah resmi
k) Pemakaian ejaan yang di sempurnakan (EYD)

4. Sifat Bahasa Tulis


Seperti diketahui bahwa sistem tulisan merepresentasikan bahasa yang berupa kesan
bunyi menjadi bentuk grafis, yang merupakan kesan visual. Dengan demikian, apabila
bahasa itu diwujudkan dalam bentuk grafis, akan muncul bahasa tulis.
Bahasa tulis tidak dapat diwujudkan seluruh aspek bahasa lisan secara sempurna.
Walaupun dalam bahasa tulis telah diusahakan berbagai macam tanda baca misalnya
tanda tanya, tanda seru, tanda koma, tanda titik, dan sebagainya yang mewujudkan aspek-
aspek bahasa lisan , namun bahasa tulis tetap belum bisa mewujudkan keseluruhan aspek
bahasa lisan. Tekanan, nada, dan lagu kalimat sering tidak dinyatakan dalam tulisan.
Di samping kekurangan bahasa tulis sebagaimana dikemukakan diatas, bahasa tulis
mempunyai kelebihan. Bentuk grafis kata-kata yang dirangkaikan dalam kalimat secara
gramatikal terlihat sebagai sesuatu yang tetap dan stabil. Dibandingkan dengan bunyi,
bentuk-bentuk grafis itu lebih cocok menerapkan kesatuan bahasa sepanjang bahasa
sepanjang masa. Walaupun bentuk-bentuk grafis benar-benar menciptakan kesatuan
bentuk fiktif, namun ikatan- ikatan tulisan yang bersifat dangkal itu, lebih mudah
ditangkap dari pada ikatan-ikatan bahasa yang berupa ikatan-ikatan bunyi.

5. Sifat Bahasa Ilmiah


Bahasa yang digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan mempunyai sifat pemakaian
yang khas sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa dalam bidang ilmu pengetahuan
merupakan ragam bahasa tersendiri, yang berbeda dengan ragam bahasa yang lain.
Sifat bahasa ilmiah, yang merupakan sifat yang umum berhubungan dengan fungsi
bahasa sebagai alat untuk menyampaikan informasi dalam peristiwa komunikasi. Dalam
hal ini, fungsi bahasa ilmiah menyampaikan informasi pada peristiwa komunikasi yang
terjadi antara penulis dengan pembaca atau pembicara dengan mendengar.
Sifat bahasa ilmiah yang khusus, terlihat dalam pemilihan dan pemakaian kata serta
bentuk-bentuk gramatika, terutama dalam sintaksis. Kosa kata dalam bahasa ilmiah
bersifat donotatif, artinya setiap kata hanya mempunyai satu makna yang paling sesuai
dengan konsep yang disampaikan.

6. Jenis Wacana Tulis


a. Wacana narasi
Wacana narasi menyajikan peristiwa-peristiwa dalam satu rangkaian kesatuan
dalam urutan waktu tertentu. Tujuan utamanya bukan untuk memberikan
gambaran tentang masalah atau objek menurut pengamatan penulis, melainkan
memberikan suatu kisah yang terjadi dalam suatu rangkain waktu.
Ada tiga prinsip penting dalam narasi yaitu keutuhan, koherensi, dan
penekanan.

b. Wacana Deskripsi
Wacana deskripsi memberikan gambaran hasil pengamatan penulis terhadap
suatu objek. Oleh karena itu, wacana deskripsi bersifat objektif. Wacana deskripsi
memberikan penjelasan tentang sesuatu masalah atau objek yang disajikan.
Wacana deskripsi memberikan objek seperti apa adanya, maka wacana deskripsi
bersifat statis.
c. Wacana Eksposisi
Wacana eksposisi memberikan penjelasan mengenai suatu masalah atau objek
secara mendalam. Tujuannya supaya pembaca memperoleh pengertian yang jelas
terhadap masalah yang disajikan.
d. Wacana Argumentasi
Wacana argumentasi mengarahkan pembaca kepada suatu sikap tertentu
terhadap suatu masalah atau objek yang dikehendaki oleh penulis.

7. Kegiatan Keterampilan Menulis


Menulis karangan adalah kegiatan yang dilakukan melalui proses yang berawal dari
timbulnya ide untuk menulis sampai terwujudnya karangan yang disusun. Dalam makalah
yang diuraikan hanya yang menyangkut pemilihan dan pemakain kata, penyusun kalimat,
dan penyusun serta pengembangan paragraf.
a) Pemilihan dan Pemakain kata
Pengertian kata
Kata menduduki posisi yang penting dalam setiap bahasa. Oleh karena itu,
pembahasan pengertian kata menarik perhatian para ahli bahasa. Salah satu
definisi tentang kata adalah bentuk minimal yang bebas, yang secara keseluruhan
tidak terdiri atas dua atau lebih bentuk bebas yang lebih kecil.
Kesalahan dalam pemilihan dan pemakain kata
Pemilihan dan pemakain kata seharusnya memperhatikan aspek-aspek
kebenaran kata yang dipakai, kejelasan, keefektifan, kesesuaian, kata, dan ragam
bahasa yang digunakan.
Kebenaran pemilihan dan pemakain kata
Kebenaran pemilihan dan pemakain dalam karangan terganggu karena adanya
beberapa kesalahan berbahasa yakni kesalahan pemilihan dan pemakaian kata
sehubungan dengan arti kata, kesalahan pemilihan kata fungsi, dan kesalahan
pembentukan kata.
b) Penyusunan kalimat
Wujud karangan secara fisik dapat dilihat sebagai rangkain wujud kalimat
yang membentuk paragraf yang menyajikan pikiran utama dan tambahan sehingga
terbentuk suatu karangan yang utuh.
Pengertian kalimat
Dalam tata bahasa tradisional pengertian kalimat dinyatakan sebagai suatu
pernyataan pikiran yang utuh
Kesalahan dalam pemilihan dan pemakain kaliamat
Dilihat dari aspek strukturnya, kalimat yang digunakan dalam karangan
haruslah benar. Suatu kalimat dikatakan benar strukturnya apabila kalimat tersebut
dibangkitkan dengan menggunakan kaidah bahasa yang bersangkutan, baik kaidah
struktur frasa maupun kaidah struktur transformasi.
Kejelasan kalimat
Kejelasan suatu kalimat yang disusun oleh seorang pengarang terganggu
karena kesalahan penyusunan kesatuan sintaksis serta penempatannya dalam
kalimat dan kesalahan yang berkenaan dengan penggabungan kalimat.

c) Penyusunan dan Pengembangan Paragraf


Pengertian paragraf
Pengertian paragraf dapat dilihat dari dua segi, yakni isi dan struktur. Dilihat
dari isi, paragraf adalah suatu pernyataan tentang suatu pokok pikiran yang
dinyatakan secara lengkap dan merupakan satu kesatuan.
Penyajian isi paragraf
Dilihat dari isinya suatu paragraf mengemukakan isi yang lengkap dan
merupakan suatu kesatuan. Paragraf dikatakan lengkap apabila menyatakan hal
yang seharusnya disampaikan agar pikiran utama dalam paragraf itu menjadi lebih
jelas. Hal yang dinyatakan untuk kelengkapan isi paragraf itu harus relevan
dengan pikiran utama sehingga keseluruhan isi paragraf tetap merupakan satu
kesatuan.

Penyusunan Struktur Paragraf


1) Urutan kalimat dalam paragraf
Rangkaian kalimat dalam paragraf disusun dalam urutan logis dan teratur.

2) Kohesif
Untuk menjaga keutuhan paragraf, kalimat harus disusun secara teratur dan
logis, dan kalimat-kalimatnya saling berhubungan dalam jalinan yang erat.
Keeratan hubungan antara kalimat yang satu dan kalimat yang lain secara
visual dapat dilihat dengan adanya kata-kata atau frasa yang menjalin kalimat
tersebut.
3) Koherensi
Hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain dalam suatu paragraf
tanpa memakai alat penjalin hubungan disebut koherensi.
4) Proporsi
Proporsi ialah pengembangan ide dalam paragraf sesuai dengan kepentingan
jika dilihat dari hubungannya dengan ide yang lain dalam keseluruhan
karangan.
BAB IV
PENDEKATAN, METODE, DAN TEKNIK PENGAJARAN BAHASA

1. Pendahuluan
Para ahli bahasa sering membicarakan dan menulis tantang pendekatan aural
(aural approach), metode audio lingual, pendekatan terjemahan, metode langsung,
metode tata bahasa, dan metode alamiah.
2. Pendekatan, Metode, dan Teknik Pengajaran Bahasa
Jika dilihat dari suatu perangkat asumsi yang berhubungan dengan hakikat
belajar mengajar bahasa, maka suatu pendekatan adalah bersifat aksiomatkia
digambarkan sebagai hakikat pokok masalah tentang apa-apa yang diajarkan. Dari
sudut pandang tertentu, pendekatan adalah suatu filsafat , suatu keyakinan, namun
tidak perlu di uji kebenarannya.
Asumsi linguistik yang perlu dikemukakan, yakni
a. Bahasa adalah human, aural-oral, bersifat simbolik dan penuh dengan makna
b. Suatu bahasa tersusun secara unik dan dapat dikatakan bahwa tidak ada dua
bahasa yang mempunyai struktur yang sama
c. Struktur suatu bahasa dapat diketahui dan dapat digambarkan secara sistematik,
meskipun deskripsi yang ada akan berbeda-beda menurut tingkatan dan tujuan.
Jika bahasa itu diterima sebagai aural-oral maka hal itu adalah akibat yang
wajar dari asumsi yang di berikan. Aspek utama pendekatan aural-oral yakni
menyimak dan berbicara, yang harus diajarkan terlebih dahulu sebelum membaca dan
menulis. Aspek membaca dan menulis yang menurut urutannya sebaiknya
didahulukan sebelum pengajaran menulis dilaksanakan karena simbol –simbol grafik
harus dilihat terlebih dahulu sebelum dihafalkan. Aspek penutur bahasa lain yang
dalam hal pengajaran sastra dan seni, dan secara padagogik sebaiknya di tunda.
Asumsi yang perlu diperhatikan : bahasa adalah pembiasan-pembiasan,
kebiasaan tertanam melalui ulangan, bahasa harus diajarkan melalui ulangan melalui
dengan berbagai cara.
Dalam pendekatan Community Language Learning (CLL) pelajar tidak
diberikan kesempatan mendengarkan contoh ucapan atau kalimat sebelum ia disuruh
berbicara.
Pendekatan Total Physical Response (TPR), Silent Way (SW), Audio Visual
Lingual (AVL), dan Communicative Competence Approach (CCA) memberi
kesempatan pelajar untuk mendengarkan terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya
contoh yang diberikan oleh guru.
Pendekatan alamiah yang dipelopori oleh Teller (1977) memberikan
kesempatan yang lama pada pelajar untuk mendengarkan. Pada pendekatan
suggestopedia, situasi kelas dibuat sedemikian rupa sehingga pelajar merasa santai
dan nyaman dalam menerima pelajaran. Pendekatan CCL tidak menggunakan guru,
tetapi menggunakan konselor.
Tugas konselor adalah pendamping dalam belajar, konselor pada mulanya
dekat pada pelajar dan mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh pelajar.
Pendekatan TPR yang dipopuleri oleh Asher (1966) memberikan pelajaran dengan
teknik yang berbeda pula, Asher mengatakan bahwa duduk, mendengarkan,
menirukan, dan menghafalkan saja pelajaran bahasa di kelas tidak memberikan
perangsang yang memadai untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajari.
Kelemahan pendekatan TPR ini apabila ditinjau dari sudut lain, misalnya
neurofisiologi, tidak diragukan lagi bahwa semua gerakan itu dikendalikan oleh otak,
tetapi pengendalian alat-alat motoris ini jauh lebih berbeda dengan pengendalian alat-
alat suara.
Pendekatan SW yang dipelopori Gattegno (1963) tidak menggunakan teknik
gerak badan seperti pada TPR, pada minggu pertama, SW banyak menggunakan alat
peraga yang mempunyai ukuran, bentuk, dan warna yang berlain-lain.
Penyajian bahan-bahan pelajaran yang diberikan oleh guru-guru secara bertahap,
yakni dari kata dan frase, dan dari frase ke kalimat, pelajar mendengarkan terlebih
dahulu, lalu menirukan dan memanipulasikan bahan pelajaran yang baru diterima,
tugas guru hanya mengangguk dan mengggelengkan kepala untuk mengiakan dan
menolak apa yang diucapkan oleh pelajar, karena itulah maka apa yang di
perkenalkan oleh Gettegno disebut juga pendekatan silent way.
Pendekatan SW, di samping memanfaatkan daerah wernicke juga mencoba
mengaktifkan daerak osipital (bagian belakang otak sebelah kiri), yakni daerah tempat
indera penglihatan pertama-tama dianggapi.
Pendekatan AVL memanfaatkan daerah pendengaran dan penglihatan pada
saat belajar mengajar bahasa. Urutan pendengaran yang diikuti oleh pengucapan
merupakan urutan normal dalam proses berbicara.
Sehubungan dengan penggunaan istilah pendekatan, metode dan teknik, maka di
perlukan satu kesatuan pengertian tentang istilah-istilah pendekatan, metode, dan
teknik akan di tempatkan dalam satu skema definisi. Susunannya bersifat hierarkik.
BAB V
METODE PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR

1. Pendahuluan
Dalam proses belajar-mengajar, termasuk proses belajar-mengajar bahasa Indonesia,
salah satu aspek yang sering mendapat perhatian adalah segi metode. Para guru perlu
memahami bahwa dalam proses belajar-mengajar banyak aspek yang terlibat dan semua
aspek tersebut turut menentukan keberhasilan dalam proses belajar-mengajar.

2. Pendekatan Metode dan Tekhnik Mengajar


Istilah-istilah yang digunakan dalam konsep-konsep pengajaran bahasa sebaiknya
tepat dan disetujui oleh semua pihak yang berprofesi dalam bidang pengajar bahasa. Sekaitan
dengan pemahaman yang sama tentang istilah-istilah yang digunakan dalam pengajaran
bahasa, maka dianggap perlu diadakan pembedaan penggunaan istilah pendekatan, metode,
dan teknik. Ketiga istilah tersebut mempunyai hubungan hierarkik, yakni teknik adalah
penjabaran dari metode, sedangkan metode merupakan penjabaran dari pendekatan, bersifat
aksiomatik. Metode mengajar bahasa mengutamakan penguasaan bahasa lisan, seperti
metode langsung, metode Mimicry Memorization, dan metode Audio-lingual.
Di kalangan para guru bahasa dikenal pendekatan tradisional. Pendekatan tradisional
beranggapan bahwa bahasa adalah seperangkat kaidah, sistem atau aturan dan bahasa
digambarkan sebagai tulisan. Atas dasar asumsi tersebut dikembangkanlah Metode
Gramatika, Metode Gramatika-Terjemahan, yang menggunakan bahasa tulisan dan
menjelaskan secara rinci kaidah-kaidah tata bahasa dan penerjemahan.
Keterampilan berbahasa terwujud melalui latihan yang berkali-kali atau repetisi. Satu
metode dapat dibedakan dengan metode lainnya dengan seleksi, gradasi, presentasi, dan
repetisi. Pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan pengajaran bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua atau bahasa asing akan berbeda secara metodologik. Usia
subjek didik, latar belakang sosiokulturalnya, dan pengalaman bahasa yang diperoleh
sebelumnya merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan metode belajar-
mengajar bahasa. Perbedaan pemerian bahasa dan perbedaan tentang pemerolehan bahasa
juga perlu mendapat perhatian dalam menentukan metode. Perbedaan pemerian bahasa
(language description) akan melahirkan analisis fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantic
yang berbeda. Dengan memahami konse-konsep tentang pendekatan, metode, dan teknik,
maka dapatlah dipahami mengapa metode yang sama dapat berhasil di tangan guru A dan
gagal di tangan guru B padahal mereka mengajar dengan bahasa yang sama dan kurikulum
yang sama pula.

3. Asumsi-asumsi tentang Bahasa


Dalam memilih dan menentukan sebuah metode belajar-mengajar bahasa, tentu perlu
diketahui asumsi-asumsi berikut :
a. Bahasa hanya dimiliki oleh manusia, bersifat aural-oral, dan secara simbolis
mempunyai makna
b. Setiap bahasa memiliki strukturnya sendiri-sendiri dan tidak ada dua bahasa yang
memiliki struktur yang sama.
c. Struktur suatu bahasa dapat dikenal, digunakan, dan diuraikan secara sistematik,
walaupun penguraiannya berbeda-beda sesuai tujuannya.

4. Konsep Dasar Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar


Konsep dasar bahasa Indonesia di sekolah dasar sebagai berikut :
a. Bahasa Indonesia, bahasa pertama atau bahasa kedua bagi sebagian subjek didik
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah hidup berdampingan. Pada waktu subjek
didik memasuki sekolah dasar (SD) sebagian belum menguasai bahasa Indonesia
karena sebagian subjek didik menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
b. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
Pengajaran bahasa Indonesia dapat menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa
Indonesia. Menyadari bahwa bahasa Indonesia alat pemersatu dan kesatuan bangsa,
dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa.
c. Bahasa Indinesia sebagai bahasa resmi Negara
Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa
Indonesia ”. Pasal ini mengisyaratkan bahwa dalam setiap kegiatan kenegaraan,
bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar.
d. Pengajaran bahasa Indonesia menunjang mata pelajaran lain
Guru perlu memahami, bahwa pengajaran bahasa Indonesia menunjang mata
pelajaran lainnya. Dalam kedudukannya sebagai alat komunikasi, materi pengajaran
bahasa Indonesia dapat berupa pengetahuan social, eksakta, agama, dan lain-lain.
e. Tujuan pengajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan berbahasa
Sebelum Kurikulum 1975 tujuan pengajaran bahasa Indonesia dititikberatkan pada
pengetahuan tentang bahasa, sedangkan pada kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984
dititkberatkan pada keterampilan berbahasa. Apabila diteliti tujuan berbahasa
Indonesia di SD maka ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yakni kemampuan
berbahasa Indonesia’ dan ‘menghayati bahasa dan sastra Indonesia.
5. Fungsi bahasa

Bahasa sebagai alat komunikasi penting. Sekaitan dengan itu, pengajaran bahasa
hendaknya lebih menekankan fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut :

A. Fungsi instrumental
Fungsi instrumental bahasa mengendalikan dan melayani pengelolaan
lingkungan dan menyebabkan peristiwa tertentu terjadi. Misalnya, ‘jangan mencuri
uang itu’.
B. Fungsi regulasi
Fungsi regulasi bahasa mengendalikan peristiwa. Fungsi regulasi bahasa
mempertemukan manusia setuju, mengendalikan tingkah laku, dan menentukan
hukum / kaidah. Misalnya, ‘kalau engkau merokok, maka engkau mudah terserang
penyakit kanker paru-paru’.
C. Fungsi representasional
Fungsi represetasioal bahasa digunakan membuat pernyataan, meliput
peristiwa, dan pengetahuan, menjelaskan dan melaporkan. Misalnya, ‘Matahari
panas’, ‘Presiden Soeharto membuka KTT X GNB’, dan lain-lain.
D. Fungsi interaksioanal
Fungsi interaksional bahasa memantapkan ketahanan dan kelangsungan
komunikasi sosial. Fungsi bahasa ini memelihara kontrak antara anggota masyarakat
dan membuka seluruh komunikasi. Fungsi interaksional bahasa menuntut penguasaan
bahasa slang, jargon lawak, kesopan santunan, dan semua kunci hubungan pertukaran
sosial.
E. Fungsi personal
Fungsi personal bahasa memungkinkan pembicara atau penulis mengemukakan
perasan, emosi, kepribadian, dan reaksi yang mendalam.
F. Fungsi heuristik
Fungsi heuristik bahasa mencakup bahasa yang digunakan untuk memperoleh dan
mengembangkan pengetahuan dan belajar tentang alam sekitar. Fungsi heuristik
bahasa diwujudkan dalam bentuk pertanyaan yang memerlukan jawaban.
G. Fungsi imaginatif
Fungsi imaginatif bahasa menghadirkan daya cipta imaginasi dan gagasan. Berita,
berlelucon, dan menulis novel menyatakan praktik fungsi imaginatif bahasa sehingga
dapat diciptakan mimpi yang indah atau hal-hal belum dan mugkin / tidak terjadi.

Ketujuh fungsi bahasa ini saling isi dan tidak saling membedakan, dan
berfungsi agar seseorang dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.

6. Hakikat metode pengajaran bahasa

Metode mencakup pemilihan bahan, urutan bahan, penyajian bahan, dan pengulangan bahan.

Apabila bahasa dianalisis maka dikemukakan adanya bunyi-bunyi : bunyi bahasa ini
mempunyai arti; bunyi-bunyi bahasa yang berarti muncul bersama-sama dalam kesatuan
tertentu dan perubahan tertentu; adanya bentuk yang berarti.

Analisis bahasa yang dilakukan ini merupakan dasar untuk menyusun suatu metode bahasa.

7. Metode-metode pengajaran bahasa

Metode mengajar adalah cara mengajar yang telah disusun berdasarkan prinsip dan sistem
tertentu. Hekikat metode pengajaran bahasa tidak lain persoalan pemilihan bahan yang akan
diajarkan, penentuan urutan bahan, penentuan cara penyajian, dan cara evaluasi. Kesemuanya
harus bermuara kepada tujuan pengajaran yang telah ditentukan lebih dahulu.

8. Metode pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

Dari sekian banyak metode pengajaran bahasa, pada dasarnya semuanya dapat digunakan
dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.

Metode linguistik dan metode berbahasa dapat dipertimbangkan untuk diangkat menjadi
metode pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.

9. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :


a. Dalam proses belajar-mengajar bahasa, metode bukanlah satu-satunya aspek yang
menentukan keberhasilan pengajaran bahasa.
b. Pendekatan, metode, dan teknik perlu dipahami sehingga istilah tersebut tidak
dikacaukan penggunaannya.
c. Konsep dasar pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar mencakup bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional,
bahasa resmi negara, pengajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan berbahasa.
d. Fungsi berbahasa, yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi
representasional, fungsi interaksional, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi
imaginatif perlu mendapat perhatian dalam pegajaran bahasa.
e. Lusinan metode pengajaran bahasa yang perlu diketahui oleh seorang guru
bahasa. Beberapa diantara metode tersebut dapat dipakai untuk pengajaran bahasa
Indonesia di sekolah dasar.
BAB VI

METODE LINGUISTIK KONTRASTIF

1. Pendahuluan
2. Beberapa Pengertian tentang Analisis Kontrasif
a. Penyebab lahirnya analisis kontrasif
Hal-hal yang mendorong lahirnya analisis kontrastif antara lain berkembangnya
ilmu bahasa deskriptif-sinkronik dan kajian-kajian kedwibahasaan bahasa serta
berkembangnya teori pemindahan belajar (transfer of learning).

Dalam karyanya Sapir menekankan bahwa seorang penutur asli menguasai sistem
pola yang tersusun secara teratur dan bukan menguasai butir-butir secara lepas,
serta pengertian fonem (point in pattern) berbeda dengan suara-suara biasa
(phonetic entities). Kemudian idenya ini dikembangkan lagi oleh Fries yang
menghasilkan sebuah gagasan yang dikenal dengan nama contrastive analysis
(analisis kontrastif).

Perkembangan linguistik-sinkronik dibarengi dengan perkembangan kajian


kedwibahasaan, dimana kedua kajian tersebut memberikan sumbangan dalam
bentuk intervensi. Hal ini didukung pula oleh teori pemindahan belajar (transfer of
learning), yang mencari cara belajar efektif dan efisien.

b. Kelemahan analisis kontrasif


Seiring berjalannya waktu, analisis kontrastif mulai mendapat kritikan dan mulai
diragukan oleh beberapa ahli karena menganggap memiliki kekurangan.
Kekurangan itu antara lain : adanya anggapan bahwa dapat meramalkan semua
kesulitan si belajar dalam proses belajar bahasa; semua kesulitan dan kesalahan
dalam belajar B2 bersumber pada B1; dan hasilnya dapat dibuat urutan kesulitan
belajar bahasa B2.
c. Asumsi yang melandasi analisis kontrasif
Namun, ada beberapa asumsi yang mendasari analisis kontrastif antara lain:
unsur-unsur yang sama antara B1 dan B2 tidak akan menimbulkan interferensi;
unsur-unsur yang berbeda antara B1 dan B2 akan menyebabkan kesukaran bagi si
belajar dan dapat menimbulkan interferensi; kesalahan si belajar dalam proses
belajar disebabkan oleh sebahagian besar oleh adanya interferensi yang datang
dari B1; unsur-unsur yang serupa dan yang berbeda antara B1 dan B2 dapat
ditemukan dari usaha membandingkan antara sistem B1 dengan B2.
Ada beberapa ahli yang tidak menerima analisis kontrastif sebagai peramal
kesalahan-kesalahan yang dibuat si belajar. Misalnya, Catford yang berpendapat
bahwa para peneliti bahasa yang menganut teori analisis kontrastif jangan hanya
mendasarkan analisis kontrastif sebagai teori belajar bahasa belaka, tetapi juga
para peneliti bahasa sebaiknya mengumpulkan data kesalahan yang dibuat oleh si
belajar dan dikelompokkan kesalahan itu dengan tehnik yang biasa digunakan
oleh analisis kesalahan (error analysis), kemudian membandingkannya.
d. Manfaat teori analisis kontrasif dalam buku teks pelajaran
Data akurat yang ditemukan dalam teori analisis kontrastif dapat dimanfaatkan
dalam menyusun buku teks pelajaran, dapat membantu guru memecahkan
kesulitan yang dialami oleh siswa, dan guru dapat menyiapkan buku teks yang
dapat menggantikan buku-buku paket.
3. Metode Pengajaran Bahasa Indonesia dan Analisis Kontrasif
a. Masalah Bahasa di Indonesia
Metode pengajaran bahasa Indonesia dan analisis ini mendapat beberapa masalah
dalam penerapannya karena Indonesia yang didiami berbagai suku dengan
berbagai bahasa dan budaya pula. Hal ini dapat menguntungkan namun dapat juga
merugikan, misalnya dalam Sumpah Pemuda telah mengikrarkan hanya ada satu
bahasa nasional yakni bahasa Indonesia.

Namun hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yang menyatakan


bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara, dan bahasa daerah yang dipakai
sebagai alat perhubungan dan dipelihara oleh masyarakat pemakainya, dipelihara
juga oleh negara sebagai bagian kebudayaan nasional yang hidup. Dan diperjelas
oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, menggariskan bahwa
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dilaksanakan dengan
mewajibkan pengunaannya secara baik dan benar dan bahwa pembinaan bahasa
daerah dilakukan dalam rangka pengembangan bahasa Indonesia sebagai salah
satu sarana identitas nasional.

Bahasa yang dipakai di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi : bahasa daerah,


bahasa nasional, dan bahasa asing. Penggunaan bahasa ini juga berbeda-beda
misalnya bahasa daerah yang dipakai untuk komunikasi intrasuku, yakni
percakapan, sedangkan bahasa asing digunakan dalam komunikasi antar bangsa.

b. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengajaran bahasa


Hal yang perlu diperhatikan dalam pengajaran bahasa yakni perbedaan teori
bahasa yang dijadikan tumpuan pengajaran bahasa memengaruhi pengajaran
bahasa dalam analisis bahasa yang di jadikan tumpuan dalam pemilihan bahan dan
pemilihan teknik pengajaran dan penyajian. Hal ini akan berpengaruh atas luas
dan sempitnya bahan yang di ajarkan dalam pengajaran bahasa. Dalam suatu
metode perlu diperhatikan beberapa banyak dari bahagian bahan yang disajikan
dalam metode itu benar-benar dapat disajikan oleh metode itu sendiri dan berapa
banyak yang dapat disajikan .

Belajar dan mengajar adalah hal yang berbeda, sehingga belajar yang baik
belumlah merupakan jaminan mengajar yang baik karena belajar dilaksanakan
oleh murid. Belajar yang buruk memengaruhi kebaikan mengajar yang baik, sama
halnya mengajar yang buruk dapat mengurangi kebaikan atau keunggulan suatu
metode. Mengajar yang baik seharusnya memperhitungkan belajar yang dilakukan
oleh murid karena pada hakikatnya tujuan dari mengajar yang baik dan belajar
yang baik. Perlu diingat bahwa mengajar yang baik dan belajar yang baik dapat
saja terjadi secara sendiri-sendiri tanpa ada hubungan satu dengan yang lainnya.

c. Keadaan pengajaran bahasa Indonesia


Keadaan pengajaran bahasa Indonesia mulai dari masalah pengajaran tidak dapat
hanya ditinjau secara mikro tapi juga pendekatan makro. Pengajaran bahasa
merupakan suatu sistem yang berarti setiap unsur yang membentuknya
mempunyai fungsi dan peranan masing-masing dalam mencapai tujuan. Untuk itu
diperlukan perubahan atau penyesuaian terhadap unsur-unsur tersebut. Sehingga
dapat disesuaikan dengan perubahan yang terjadi untuk mencapai tujuan tersebut.

d. Metode pengajaran bahasa Indonesia


Metode pengajaran bahasa Indonesia sering disoroti sebab keberhasilan atau
kegagalan suatu program pengajaran bahasa sering dilihat dari segi metode
mengajar. Ada pula yang menganggap bahwa metode mengajar itu tidak penting
dan semuanya tergantung dari gurunya. Untuk itu konsep-konsep pengajaran
bahasa perlu dinyatakan dalam istilah yang tepat agar tidak terjadi
kesimpangsiuran dan disetujui oleh semua pihak.

Faktor kedudukan bahasa yang diajarkan turut pula memengaruhi metode


sehingga pengajaran bahasa Indonesia untuk murid Indonesia berbeda dengan
murid yang menggunakan bahasa asing. Dengan demikian berkembanglah
bermacam-macam metode pengajaran bahasa Indonesia dan jelaslah bahwa amat
sulit menentukan suatu metode. Untuk mempermudah hal ini dipilihlah metode
linguistik kontrastif (analisis kontrastif), dengan asumsi sebagai berikut :

1) Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi sebahagian besar murid sekolah
di Indonesia.
2) Murid yang ada di Indonesia di samping memakai bahasa ibunya juga memahami
bahasa Indonesia (bilingual/dwibahasa)
3) Bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang ada di Indonesia adalah serumpun.
Dengan demikian sistem bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai
kesamaan.
4) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa
Indonesia berbeda dengan yang berbahasa daerah.
5) Lingkungan murid turut berpengaruh dalam proses belajar-mengajar. Untuk itu
buku-buku yang digunakan perlu bervariasi.
6) Buku pelajaran bahasa Indonesia untuk sekolah dasar seharusnya mengindahkan
dan memperhatikan masalah interferensi yang ditimbulkan oleh pengaruh bahasa
daerah dan dialek.

Dengan asumsi tersebut diatas, murid yang berbahasa ibu bahasa daerah atau bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua sebaiknya menggunakan metode linguistik
kontrastif. Sedangkan yang berbahasa ibu bahasa Indonesia menggunakan metode
lain. Metode linguistik kontrastif didasarkan atas analisis kontrastif.
Untuk melaksanakan metode ini terlebih dahulu harus dipelajari bahasa ibu murid dan
bahasa Indonesia, sehingga diketahui perbedaan dan persamaan kedua bahasa
tersebut. Hampir semua kesalahan yang dibuat oleh murid akibat interferensi dari
kedua bahasa itu serta mereka tidak mengatahui persamaan dan perbedaan antara
bahasa ibu dan bahasa Indonesia.
Seperti di awal, masih ada kelemahan-kelemahan dari metode ini. Sehingga metode
ini dan metode lainnya yang ingin digunakan dalam bahasa Indonesia sebaiknya
terlebih dahulu harus diadakan penelitian karena tanpa penelitian metode apa pun
yang digunakan pasti tidak dapat diaandalkan kesahihan dan kebenarannya.

4. Penutup

Untuk menyukseskan pengajaran bahasa Indonesia, perlu diperhatikan hal-hal berikut :

1) Pengajaran bahasa Indonesia jangan hanya dilihat dari segi mikro, yakni hanya
membatasi perhatian pada masalah belajar-mengajar disekolah, tetapi juga dari segi
makro yakni memperbaiki dan meningkatkan pengajaran bahasa Indonesia dalam
konteks yang lebih luas.
2) Tugas guru bahasa Indonesia ialah meningkatkan motivasi murid untuk belajar bahasa
Indonesia dalam semua kesempatan yang ada dan melengkapi murid dengan
pengetahuan kebahasaan menurut teori-teori linguistik, teori pendidikan, dan
psikologi.
3) Semua guru harus berusaha memakai bahasa memakai bahasa Indonesia yang baik
dan benar yang patut dicontoh oleh murid karena pada hakikatnya semua guru di
kelas adalah guru bahasa Indonesia.
4) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa daerah
dan bahasa ibu bahasa Indonesia harus berbeda.
5) Metode pengajaran bahasa Indonesia bagi murid yang berbahasa ibu bahasa daerah
disarankan menggunakan metode linguistik kontrastif, dan bagi yang berbahasa ibu
bahasa Indonesia disarankan menggunakan menggunakan metode lain.
6) Buku-buku pelajaran untuk sekolah dasar perlu bervariasi sesuai dengan lingkungan
sosial/kebudayaan.
7) Para penulis buku teks pelajaran sebaiknya memperhatikan pengaruh interfensi dan
dialek setempat.
8) Semua buku teks pelajaran perlu diteliti ketepatan dalam penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
9) Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan metode apa yang cocok dalam
pengajaran bahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun sebagai bahasa
kedua.
BAB VII
PRAGMATIK
1. Pendahuluan
Penyemprnaan Kurikulum 1975 telah melahirkan Kurikulum 1984. Dalam
Kurikulum 1984 mata pelajaran bahasa Indonesia dipilih menjadi enam pokok
bahsaba, yakni (1) membaca, (2) kosakata, (3) struktur, (4) menulis, (5) pragmatic,
dan (6) apresiasi bahasa dan sastra.
Ada beberapa konsep dasar dalam Kurikulum 1975 yang dikembangkan dalam
Kurikulun 1984 tapi ada pula yang tetap dipertahankan. Konsep yang tetap
dipertahankan ialah konsep yang menganut pendekatan berorientasi pada tujuan,
pendekatan integrative, pendekatan spiral, dan pendekatan pengembangan rana
kognitif, afektif, dan psikomotor. Konsep dasar yang baru mencakup pendekatan
keterampilan proses, pendekatan lintas materi, dan pendekatan komunikatif.

2. Pragmatik Sebagai Suatu Teori


Pragmatik telah banyak dibicarakan namun kajian ini belum jelas sehingga
dimasukkan dalam kajian aspek penggunaan bahasa, analisis wacana, filsafat bahasa,
teori tindak tutur, dan lain-lain. Karena ketidakjelasan istilah pragmatik ini ada
pulapara pakar yang memasukkannya sebagai kajian sosiolinguistik.
Suatu hal yang disepakati oleh para pakar ialah bahwa pragmatik berkembang
sebagai reaksi terhadap cara penelitian bahasa yang berdasarkan aliran Chomsky yang
menganggap bahasa sebagai suatu yang abstrak, suatu kemampuan mental, yang
terpisah dari pemakaian dan fungsi bahasa.

3. Pragmatik Sebagai Pendekatan Pengajaran


Dengan pendekatan pengajaran bahasa yang bersifat komunikatif atau
fungsional, para ahli pengajaran bahasa berusaha membawa pandangan prinsip
pemakaian bahasa ke dalam pengajaran bahasa.
Pendekatan komunikatif tidak lain daripada mengajar siswa untuk berbahasa
dan bukan untuk mengajrakan tentang bahasa. Dengan pendekatan komunikatif
diinginkan agar siswa dapat menggunakan bahasa yang baik dan benar.pendekatan
komunikatif disebut juga pendekatan pragmatik dalam pengajaran bahasa.
Kalimat ‘Sudah pukul dua belas’, dapat dianalisis dari berbagai sudut
pandangan. Dari sudut pandangan struktural kalimat itu disebut kalimat yang tidak
memiliki subjek dan jenis kalimatnya disebut kalimat berita (deklaratif). Dari sudut
pandangan pragmatik, yang ditelusuri dari kalimat itu ialah segi penggunaannya di
dalam komunikasi yang nyata. Faktor penentu ialah siapa yang berbicara dengan
siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, dengan jalur mana,
media apa, dan dalam peristiwa apa.

4. Pragmatik Sebagai Bahasa Pengajaran


Dalam kurikulum 1975 praktik pengajaran bahasa sering dilupakan fungsi
komunikasi bahasa, yakni menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Yang diajarkan
ialah pengetahuan tentang bahasa dan bukan keterampilan menggunakan bahasa
untuk tujuan komunikasi. Kurikulum 1984 ingin memperbaiki pengajaran bahsa
dengan memperhatikan fungsi komunikasi.
James R. Hurford dan Brenden Heasley (1983) membagi makna atas dua
bagian, yakni makna kalimat (sentence meaning) dan makna tutur (utterance
meaning). Makna kalimat adalah makna bebas konteks dan makna tutur adalah makna
yang tergantung pada konteks. Dalam hubungan ini makna kalimat adalah bagian
kajian semantik, sedangkan makna tutur adalah kajian pragmatik.
Pengajaran bahasa perlu dipusatkan pada keterampilan menggunakan bahasa
dan bukan pengetahuan tentang bahasa. Pemasukan pragmatik dalam Kurikulum 1984
dinilai sebagai satu upaya memperbaiki proses belajar-mengajar bahasa Indonesia.
Untuk mencapai keterampilan pragmatik itu dipersyaratkan pengetahuan dan
keterampilan unsur bahasa yang mencakup unsur-unsur bahasa dan kegiatan
berbahasa sesuai dengan tingkat dan sekolahnya.
1) Unsur-unsur bahasa:
a. Lafal/ejaan, megajarkan lafal yang baik ejaan yang disempurnakan
b. Struktur, mengajarkan bentuk-bentuk kata, frase, dan kalimat yang baik dan
berterima
c. Kosakata, mengajarkan kata-kata dari berbagai rana kebahasaan dalam jumlah
yang diperlukan
2) Kegiatan berbahasa
a. Membaca, mengajarkan kemampuan pemahaman dengan tepat dan cepat
berbagai macam wacana, seperti narasi, persuasi, eksposisi, khayal, dan
sebagainya
b. Menulis/mengarang, mengajarkan kemampuan membuat kalimta-kalimat yang
baik, benar dan sesuai, dan merakitnya menjadi paragraf dan berbagai macam
wacana (surat, cerita, laporan, dan sebagainya)
c. Berbicara, mengajarkan berbagai macam kemampuan menggunakan bahasa
lisan dalam berbagai peristiwa berbahasa
d. Pragmatik, mengajarkan kemampuan memilih bentuk bahasa secara lisan dan
tulisan yang sesuai dengan keadaan berbahasa, dan kemampuan memahami
bentuk bahasa dan situasi.

Bahan pragmatik melatih siswa agar terampil menggunakan bahasa secara


lisan (dan tulisan) sesuai dengan situasi. Latihan ditekankan pada penggunaan bahsa
dalam situasi takzim (tata karma, sopan-santun)

5. Penutup
Dalam Kurikulum bahasa Indonesia yang direncanakan, pengajaran pragmatik
sebaiknya tidak merupakan satu pokok bahasan, tetapi bagian yang tidak terpisahkan
dengan semua pokok bahasan lainnya dalam kurikulum bahasa Indonesia. Cara yang
paling tepat untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa Indonesia ialah dengan
menggunakan prinsip-prinsip pragmatik, baik sebagai pendekatan maupun sebagai
pokok bahasan untuk seluruh jenjang pendidikan mulai dari SD sampai SMA.
BAB VIII
MEMASYARAKATKAN PENGGUNAAN KAMUS

1. Pendahuluan
Tanpa ada bahasa sebagai alat komunikasi, maka tidaklah mungkin IPTEKS itu dapat
bertumbuh dan berkembang dengan baik. Oleh karena itu, bahasa dan IPTEKS dapat
bertumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
yang memilikinya. Untuk itu, perlu adanya sarana bahasa yang berupa kamus yang dapat
dijadikan sumber acuan bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan IPTEKS.
Apabila seorang pembaca ingin memahami apa yang dibacanya sebaiknya ia
memahami makna leksikal kata tersebut. Karena dalam memahami makna referensial, ia
terlebih dahulu harus memahami makna leksikal.
2. Tugas Leksikograf
Leksikograf merupakan terapan leksikologi. Untuk keperluan praktis dalam
penyusunan kamus, prinsip-prinsip leksikologi tidak dilaksanakan sepenuhnya.
Seorang leksikograf apabila ia ingin membuat suatu kamus maka tahap-tahap yang
perlu dipersiakan dalam penyusunan kamus tersebut ialah :
1. Persiapan
2. Penetapan korpus data
3. Pengumpulan data
4. Penyeleksian data
5. Pengaturan data
6. Klasifikasi data (penetapan label)
7. Pemberian definisi
8. Penyuntingan hasil pemberian definisi
9. Pengetikan kartu induk
10. Penyusunan kartotek
11. Pengetikan naskah
12. Koreksi naskah
13. Cetak coba
14. Koreksi cetak coba
15. Produksi kamus
Dalam menyusun kamus (khususnya kamus bahasa baku), leksikograf sebaiknya
memperhatikan hal-hal berikut :

a. Entri yang dibuat dalam kamus adalah kosakata bahasa yang memiliki ciri-ciri
kebakuan
b. Label-label, seperti label kelas kata, label pembidangan kata dan label lain
hendaknya menunjang pembinaan, pengembangan, dan pembakuan bahasa.
c. Batasan setiap entri hendaknya memberikan kejelasan makna.
d. Batasan terhadap entri yang dibuat hendaknya memiliki kesejajaran kategori
gramatikal dengan entri yang diberi batasan.
e. Batasan entri hendaknya menunjukkan ketepatan makna.
f. Batasan entri hendaknya dapat menggantikan kedudukan entri di dalam contoh
pemakaian tanpa mengganggu struktur yang ada.
g. Contoh kalimat hendaknya mendukung makna entri.
h. Kaidah ejaan hendaknya diterapkan dalam penyusunan kamus.
i. Kaidah gramatikal hendaknya mendapat perhatian.
j. Petunjuk pemakaian kamus hendaknya dibuatkan pengantar dalam menggunakan
kamus.
3. Jenis (Tipe) Kamus
Seorang pembaca yang ingin mengetahui makna sebuah kata sebaiknya mengetahui
jenis (tipe) kamus apa saja yang perlu dibaca bila ingin mencari makna kata tersebut. Jenis
(tipe) kamus dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Berdasarkan bahasa
Berdasarkan bahasnya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus ekabahasa, kamus
dwibahasa, dan kamus multibahasa.
b. Berdasarkan usia pemakai
Berdasarkan usia pemakainya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus anak-anak
(kamus SD) dan kamus orang dewasa.
c. Berdasarkan penggunaan atau tujuannya
Berdasarkan penggunaan atau tujuannya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus
ucapan, kamus sinonim, kamus antonim, dan kamus ungkapan.
d. Berdasarkan bidang ilmu
Berdasarkan bidang ilmunya, kamus dapat digolongkan ke dalam kamus istilah-istilah,
misalnya kamus linguistik, kamus kedokteran, kamus psikologi, dan lain-lain.
e. Berdasarkan ukuran
Berdasarkan ukurannya, kamus dapat digolongkan ke dalam saku dan kamus besar.

4. Fungsi Dan Peran Kamus


Kamus yang baik hendaknya berfungsi dan berperan sebagai :
1. Buku petunjuk mengenai cara penulisan penyukuan kata.
2. Buku petunjuk mengenai kata.
3. Buku petunjuk mengenai pelafalan kata.
4. Buku tata bahasa sederhana.
5. Buku petunjuk mengenai pemakaian kata dalam kalimat dan pemakaian kata
tingkat, bidang, daerah tertentu.
6. Buku sumber data yang dipilih untuk dimanfaatkan.
7. Kamus sinonim dan antonim.
8. Kamus frasa, ungkapan, dan pribahasa.
9. Kamus istilah.
10. Buku sumber ilmu pengetahuan yang sederhana.
Pada dasarnya seseorang yang ingin menggunakan kamus ia terlebih dahulu harus
memahami petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam pendahuluan kamus tersebut. Kamus yang
baik biasanya memberikan petunjuk sebagai berikut :
a. Kata kepala dan ejaannya
b. Petunjuk pelafalannya
c. Rincian penggolongan kata
d. Morfologi : kata jadian menimbulkan kesulitan
e. Sintaksis : potensi sintaksis kata kepala yang membatasinya
f. Keterangan tentang kata kepala
g. Kiasan, pemakaian bahasa, termasuk kata majemuk dan ungkapan baku
h. Daftar kata jadian dan kata kepala
i. Acuan silang
j. Semantik (pembatasan selektif), yang merujuk makna khusus
k. Stilistik
l. Bahan-bahan pemakaian bahasa, bahasa untuk menjelaskan padanan dan perbedaan
makna kata
m. Etimologi, bila dianggap perlu
BAB IX
PERANAN VARIABEL AFEKTIF DALAM PROSES
BELAJAR MENGAJAR BAHASA
( suatu Kajian tentang Mentalitas Masyarakat Pengguna Bahasa )

1. Pendahuluan

Periode inovasi teknologi yang mempesona, peluang ekonomi yang tidak


pernah terjadi sebelumnya, reformasi politik yang menakjubkan, dan kelahiran
kembali kultur besar ( Naisbitt dan Abuderne, 1990:1 ). Hal tersebut merupakan salah
satu refleksi globalisasi dunia yang terjadi, yang tidak terhindarkan, yang
mempercepat proses pembangunan dunia yang sedang menghadapi berbagai
tantangan, yang memerlukan respons kehati-hatian.

Kalau kita mencermati sejarah maka globalisasi itu telah mulai berkembang
dengan terjadinya revolusi dalam komunikasi dan meningkat ketika teknologi canggih
berkembang secara meleset dalam bentuk teknologi perkembangan dan ruang
angkasa, teknologi energi alternatif, bioteknologi, teknologi elektronika, dan
informasi.

Kemajuan teknologi canggih yang menata dan mewujudkan masyarakat


global, masyarakat pascaindustri, masyarakat dengan peradaban informasi yakni
masyarakat yang diadabi oleh pengguna elektronika, komputer, robot, sinar laser,
serat optik, komunikasi, genetika, energi alternatif, ilmu samudra, manufaktur di
angkasa luar, rekayasa ekologi, pertanian ekosistem, yang merefleksikan loncatan
kualitatif pengetahuan manusia, yang diejawnatahkan ke dalam penghematan waktu,
tempat, tenaga, dan bahan (M. Ide Said D.M., 1996:27 )

Faktor yang mempercepat era globalisasi ialah ‘bahasa’, yang digunakan


berkomunikasi. Bahasa adalah agen homogenesasi yang hebat. Bahasa adalah
frekuensi dimana kultur ditransmisikan.

2. Bahasa dan Masyarakat

Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat pengguna bahasa.


Masyarakat dalam mengatur warganya berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat
menyediakan berbagai pedoman, yang berupa adat kebiasaan, norma, nilai, dan
berbagai peraturan yang ditetapkan bersama oleh anggota masyarakat yang saling
bersangkutan untuk dipergunakan dan dipatuhi bersama. Kecuali peraturan yang
biasanya ditetapkan oleh lembaga yang tumbuh dan terus hidup di dalam masyarakat,
pedoman-pedoman itu biasanya tidak tertulis.

Tingkah laku berbahasa yang telah tertanam itu membentuk kebiasaan dalam
berbahasa. Hakikat bahasa adalah pemerolehan dan pembelajaran. Aturan-aturan dan
kebiasaan-kebiasaan manusia ini diwariskan dalam kegiatan belajar-mengajar, dan
bukan melalui gen-gen yang dibawa lahir ( Subyakto-N., 1988:5 ). Kebiasaan inilah
yang membentuk variaebel ranah afektif, yang berupa sikap dan motivasi, yang
membentuk mentalitas masyarakat pengguna bahasa.

3. Variabel Afektif dalam Proses Belajar-Mengajar Bahasa

Variabel afektif memegang peranan dalam belajar. Variabel afektif


mempengaruhi perilaku manusia dalam belajar termasuk proses belajar-mengajar
bahasa. Hilgard ( 1963:267 ) mengatakan “ purely cognitive theories of learning will
be rejected unless a role is assigned to affectivity”. Teori belajar-mengajar bahasa
harus melihat berbagai variabel, baik variabel afektif, variabel kognitif, maupun
variabel psikomotorik. Teori belajar-mengajar bahasa yang melihat variabel afektif,
inteligensi, dan psikomotorik lebih komprehensif dibandingkan dengan teori belajar-
mengajar bahasa yang melihat salah satu variabel.

Dalam tiga dasawarsa terakhir ini banyak dilakukan penelitian tentang belajar-
mengajar bahasa, yang dikaitkan dengan konsep kepribadian, misalnya tentang rasa
warga diri (self-esteem), empati (emphaty), dan penerawangan diri-aku
(egopermeability).

Guiro, dkk : (1967 ; 1972a ; 1972b) meneliti hubungan konsep kepribadian


dan belajar-mengajar bahasa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa larangan dapat
menghambat dalam proses belajar-mengajar bahasa. Pendapat Guirora, dkk. Di
benarkan oleh Schumann (1974:225-226). Ia mengatakan bahwa kapasitas empati
mencakup semua aspek dalam belajar-mengajar bahasa, yakni fonologi, morfologi,
sintaksis, dan kosakata.
4. Faktor Sikap

Sikap merupakan hasil proses sosialisasi yang sangat berpengaruh pada


respons seseorang terhadap objek. Sikap, situasi, dan bakat seseorang dapat
digunakan untuk menjelaskan reaksi seseorang pada sesuatu objek.

a. Definisi Sikap
Definisi sikap (attitude) menurut Oppenheim (1966:105) adalah suatu keadaan
kesiapan (a state of readiness), suatu kecenderungan bertindak atau bereaksi
dengan cara tertentu bila dihadapkan dengan rangsangan tertentu. Ada teori yang
melihat sikap sebagai sifat umum seseorang. Teori lainnya melihat bahwa sikap
memiliki referensi yang khusus pada objek tertentu. Krech, dkk. (1962 ) dan
Brown (1966) mengatakan bahwa sikap itu terdiri atas tiga komponen, yaitu
afektif, kognitif, dan perilaku. Triandis (1972:2-4) mengatakan bahwa pada
umumnya yang terdapat dalam batasan sikap itu adalah kesiapan bereaksi
terhadap sesuatu keadaan Allport (1955:2) mengatakan bahwa sikap adalah
kesiapan mental yang dibentuk melalui pengalaman yang memberikan pengaruh
yang dinamis pada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang
menyangkut sikap itu.
b. Konsep Sikap
Konsep sikap dapat dijelaskan dengan mengemukakan ciri-cirinya, yakni
sikap memiliki sifat kognitif dan referensinya spesifik, yang berbeda dengan
kebanyakan konsep kepribadian lainnya. Sikap lebih berpengaruh sebagai keadaan
yang mudah terpengaruh oleh rangsangan dan sikap adalah satu faktor yang
berpengaruh dan mendasari tingkah laku. Sikap hanya dapat diukur secara tidak
langsung.
Newcomb (1950) mengatakan bahwa konsep sikap tidak ditandai oleh
dorongan, tetapi hanya mengacu kepada kemungkinan bahwa sesuatu dorongan
tertentu dapat mewarnai sikap. Sikap menimbulkan motivasi. Motivasi yang
berinteraksi dengan ciri-ciri situasional dan keadaan lainnya yang mudah
terpengaruh, menentukan tingkah laku yang dapat diamati.
Skala yang digunakan untuk menaksir sikap dapat mengukur satu dimensi
afektif yang mencerminkan sikap yang mengevaluasi objek secara negative dan
positif. Hovland, dkk (1953) mengatakan bahwa perbedaan pendapat dan sikap
adalah bahwa pendapat dapat dikemukakan secara lisan atau tertulis, sedangkan
sikap kadang-kadang diantarai oleh proses nonverbal dan sering tidak disadari.
‘Pendapat’ adalah respons, sedangkan ‘sikap’ adalah keadaan yang mudah
berpengaruh pada respons.
Thurstone (1927, dalam M. Ide Said D.M. 1987:53) mengartikan konsep
pendapat sebagai ekspresi verbal sikap. Dari segi ‘pengukuran pendapat’ tidak
dicari skor total (Sumadi Suryabrata, 1979:10). Sikap yang terletak pada satu sisi
kontinum negatif menunjukkan reaksi afektif yang negatif, yang menimbulkan
respons negatif. Sabaliknya, sikap yang terrletak pada sisi kontinum positif
menimbulkan reaksi afektif positif, yang menimbulkan respons positif. Titik netral
agak sukar diinterprestasi karena menunjukkan keseimbangan antara positif dan
negatif.
Sikap banyak diperoleh melalui proses belajar atau hasil proses perkembangan
atau kematangan (McGrath, 1964). Sikap memiliki referensi spesifik yang dapat
berbentuk konkret atau abstrak. Sikap lebih stabil dan tahan lama. Sikap dapat
merupakan kontak langsung dengan objek dan situasi melalui hubungan langsung
dengan orang lain (Sherif dan Sherif, 1956). Sikap saling berhubungan dengan
satu terhadap yang lain dalam taraf yang kekuatannya yang berbeda atau
bervariasi (Krech, dkk,:1962 ; McGrath, 1956). Sikap dapat menduduki periferik
dan sentral, yang bervariasi dalam subsitemnya. Sikap yang interelasinya kuat
memiliki stabilitas maksimum. Sikap yang memiliki stabilitas maksimum
melibatkan banyak perubahan sikap periferik dan memiliki nilai yang penting
dalam tingkah-laku.
c. Sikap Bahasa
Sikap bahasa merupakan salah satu di antara berbagai sikap yang ada.
Anderson (1974:47) membagi sikap atas dua jenis yakni sikap bahasa dan
nonbahasa. Sikap nonbahasa adalah sikap politik, sikap sosial, dan sikap estetis.
Baik bahasa maupun sikap nonbahasa dapat menyangkut keyakinan atau kognisi
terhadap bahasa. Anderson mengatakan bahwa sikap bahasa adalah tata keyakinan
atau kognisi yang relative panjang, sebagaian mengenai bahasa dan sebagian lagi
mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk
bereaksi menurut gayanya sendiri.
Sikap memiliki beberapa komponen yakni komponen kognitif, afektif, dan
motif. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan yang biasanya digunakan
dalam proses berfikir. Komponen afektif menyangkut perasaan dan emosi, yang
mewarnai pengetahuan dan gagasan kita yang terdapat dalam komponen kognitif.
Komponen afektif ini menyangkut nilai rasa, baik dan tidak baik, dan suka atau
tidak suka.
Perilaku berbahasa dilakukan dalm pendidikan bahasa karena orang yang
terbiasa menggunakan bahasa yang baik dan benar akan menimbulkan
kedisiplinan dalam menggunakan bahasa. Factor yang memengaruhi penggunaan
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing bukan hanya ditentukan oleh
pengetahuan tentang bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing,
melainkan jug ditentukan oleh kebiasaan menggunakan bahasa yang baik dan
benar. Perilaku berbahasa, yakni adanya kedisiplinan menggunakan bahasayang
baik dan benar merupakan hal yang sebaiknya dtumbuhkan dalam masyarakat
bahasa.
Triandis (1971:6-16) mengatakan bahwa asumsi yang selama ini dipegang
bahwa sikap merupakan factor perbuatan seseorang, tidaklah benar. Ia
berpendapat bahwa hubungan antara perbuatan dan sikap lemah. Menurut
Triandis, yang mengutip hasil penelitian La Piere (1934, dalam M. Ide Said D.M.,
1987:57), mengatakan bahwa tidak ada hubungan apa pun antara sikap dengan
perbuatan (Halim, 1978:15).
Triandis sendiri tidak sependapat dengan La Piere. Ia masih mengakui adanya
hubungan antara sikap dengan perbuatan, walaupun hubungan itu lemah. Sikap
menyangkut apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh seseorang, sedangkan
perbuatan adalah fungsi sikap, norma, sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin
terjadi. Factor terbesar pengaruhnya pada perbuatan adalah kebiasaan dan factor
yang paling kecil ialah sikap (Halim, 1978:15).
Penelitian Sugar (1967, dalam M. Ide Said D.M., 1987:58) membuktikan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dan perbuatan dalam
hubungannya kegemaran merokok di kalangan mahasiswa. Lambert (1967)
mengemukakan bahwa kegiatan dan keberhasilan belajar bahasa sangat
terpengaruh oleh motivasi si belajar yang bersangkutan, dan motivasinya
ditentukan oleh pandangan dan sikapnya mengenai belajar bahasa.
Sikap bahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (1972) adalah
kesetiaan bahasa yang mendorong suatu masyarakat bahasa mempertahankan
bahasanya, kebanggaan bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya
dengan santun merupakan factor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
perbuatan, yakni kegiatan penggunaan bahasa (Halim, 1978:6)
Gardner, dkk (1974). Menemukan bahwa motivasi sebagai konstruk
(construct) ditentukan oleg variabel sikap tertentu. Para penelitian tersebut
mengembangkan baterai tes, yang digunakan untuk menentukan peranan yang
dimainkan oleh variabel-variabel sikap dalam hubungannya dengan variabel motif
integrative dalam proses belajar mengajar bahasa prancis.
Schumann (1974:128) mengatakan bahwa ada sejumlah sikap yang berperan
dalam proses belajar-mengajar bahasa, yakni apa yang disebut kelompok sokap
khusus (specific attitudes) dan kelompok sikap umum generalized attitudes).
Sikap umum adalah sikap yang secara tidak langsung berhubungan dengan
masyarakat bahasa yang menggunakan bahasa sasaran, namun variabel tersebut
tetap disebutkan variabel sikap. Variabel adalah etnosentrisitas (etnocentricity),
autoritarianisme ( authoritarianism), anomie, dan hasrat untuk maju (need
achievement). Para peneliti menyimpulkan bahwa si belajar bahasa yang
nonetnosentrik dan nonautoritariabisne lebih baik penguasaan bahasanya daripada
si belajar yang memiliki sifat etnosentrik dan autoritarianisme terhadap
kebudayaan sasaran.
5. Factor motivasi
Motivasi adalah salah satu variabel yang menentukan keberhasilan proses
belajar-mengajar.
a. Definisi motivasi
Para ahli pernah memberikan definisi motivasi antara lain ialah Hebb (1955)
dan Young (1961). Motivasi menurut Hebb adalah suatu kemudi yang berupa
energy atau tenaga yang dapat menggerakkan sesuatu tindakan.
Young (1961:24) mengatakan bahwa motivasi adalah semua faktor yang
menentukan (all determinants) aktivitas manusia dan bintang, suatu proses yang
memacu tindakan untuk mencapai suatu kemajuan, dan mengatur pola-pola
tindakan.
Dari definisi Hebb dan Young dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu
tenaga atau kekuatan yang mendorong suatu tindakan. Motivasi memacu,
menopang, dan mengatur pola-pola tindakan sehingga terjadi keaktifan dalam
bertindak.
b. Motivasi bahasa
Motivasi dibagi atas dua tipe yakni motivasi intrinsic dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah keinginan seseorang untuk mencapai tujuan yang bukan
pemberian atau ganjaran dari luar (no external reward). Ganjaran adalah kepuasan
seseorang karena kemampuan melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik adalah
motivasi yang ditimbulkan oleh factor eksternal.

Pada hakikatnya motivasi adalah dikotomi, yakni motivasi integratif dan


motivasi instrumental. Motivasi integratif adalah kemauan yang dimilikinya untuk
mempelajari bahasa sasaran karena ia berkomunikasi dengan masyarakat pemakai
bahasa sasaran dan menjadi anggota yang dihargai dalam kelompok etnolinguistik
bahasa itu. Motivasi instrumental adalah suatu ciri khas yang berupa keinginan
untuk mempelajari bahasa kedua, semata-mata karena suatu tujuan yang
bermanfaat.

Penelitian Gardner dan Lambert menunjukkan bahwa orientasi integrative


merupakan prediktor yang sangat kuat dalam keberhasilan belajar mengajar
bahasa. Kesimpulan yang dilakukan oleh Spolsky (1969:281-282). Ia mengatakan
bahwa seseorang yang belajar bahasa kedua akan lebih baik penguasaannya
apabila ia ingin menjadi pengikut kelompok tersebut, yang menjadi faktor penting
daalam proses belajar-mengajar bahasa.

Penelitian yang dilakukan oleh Gardner dam Lambert (1972) di Maine


(Amerika Serikat), Feenstra dan Santos (1970) serta Gardner dan Santos (1972)
di pilipina, Lukmani (1972) di india, dan Jayatilaka (1982) di Malaysia
menunjukkan bahwa orientasi instrumental lebih banyak berperan dalam proses
belajar-mengajar bahasa kedua apabila dibandingkan dengan orientasi integratif.

6. Penutup
Simpulan
a. Variabel ranah kognitif, afektif, dan psikomotor memegang peranan dalam
mentalitas masyarakat pengguna bahasa.
b. Era globalisasi pada hakikatnya merupakan era informasi dan informasi adalah
komunikasi yang wahana utamanya adalah bahasa.
c. Dalam proses belajar mengajar bahasa diperlukan suatu kiat yang dapat
mempermudah keberhasilan dalam belajar. Kiat tersebut ialah memahami peranan
ranah afektif yang didalamnya tercakup faktor sikap dan motivasi.
d. Sikap dan motivasi berperan dalam proses belajar mengajar bahasa. Orang yang
memiliki sikap positif dalam proses belajar mengajar bahasa, yakni orang yang
memiliki sifat empati, kurang memiliki sifat etnosentrisitas, autoritarianisme, dan
anomi lebih berhasil dalam proses belajar mengajar bahasa.
e. Orang yang memiliki motif integrative dan instrumental lebih berhasil dalam
proses belajar mengajar bahasa daripada orang yang tidak memiliki motif tersebut.
f. Sikap dan motif bahasa yang positif mendorong kebanggaan berbahasa dan
penggunaan bahasa yang baik dan benar.

Saran

a. Bahasa sebaiknya memperhatikan pelajaran bahasa dalam era globalisasi karena


siapa yang menguasai informasi harus menguasai bahasa.
b. Bahasa sebaiknya memanfaatkan ranah afektif dalam proses belajar mengajar
bahasa.
c. Sikap empati, etnosentrisitas, autoritarianisme, dan anomi perlu mendapat
perhatian karena sifat-sifat sangat berpengaruh dalam keberhasilan proses belajar
mengajar bahasa.
d. Penguasaan bahasa-bahasa daerah dan bahasa Indonesia perlu mendapat perhatian
dalam proses belajar mengajar bahasa karena bahasa-bahasa tersebut adalah jati
diri bangsa yang merupakan bahagian kebudayaan yang perlu
ditumbuhkembangkan.
e. Bahasa asing (khususnya bahasa Inggris), harus dipelajari dan dikuasai karena
merupakan kunci era globalisasi, dimana kultur Negara-negara berbahasa Inggris
tersebut mendominasi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dewasa
ini.
BAB X
PERANAN INTELEGENSI DALAM BELAJAR BAHASA

1. Pendahuluan
Peranan intelegensi dalam belajar bahsa belum banyak diketahui. Untuk itu, dalam
tulisan ini diuraikan tentang konsep intelegensi, hakikat intelegensi, dan kaitan
intelegensi dengan bahasa.

2. Konsep Intelegensi
Moskowitz dan Orgel (1969:246) menyatakan bahwa intelegensi bukanlah perkataan
yang menyatakan sebuah substansi, melainkan suatu kualitas tingkah laku perorangan
pada suatu waktu. Suatu perbuatan dapat dikatakan intelegen apabila perbuatan itu
dapat dilakukan dengan cepat, tepat, dan mudah apabila dibandingkan dengan orang
lain.
Vernon (dalam Chauhan, 1978 : 276-278; Baharuddin, 1982 : 64) mendeskripsikan
intelegensi atas tiga pendekatan.
a. Pendekatan Biologis
Pendekatan biologis ini melihat manusia sebagai suatu makhluk hidup di antara
makhluk hidup lainnya sehingga apabila psikologi dianggap sebagai salah satu
disiplin ilmu pengetahuan biologi, intelegensi juga dapat dikatakan sebagai
adaptasi dari lingkungannya.
b. Pendekatan Psikologis
Hebb menytakan adanya dua macam intelegensi, yakni intelegensi tipe A dan
intelegensi tipe B. Intelegensi tipe A adalah potensi atau kapasitas untuk
perkembangan, sdangkan intelegensi tipe B adalah fungsi otak yang telah
diwarnai oleh pengalaman.
c. Pendekatan Operasional
Suatu defenisi disebut operasional apabila menyatakan kondisi yang dapat
diamati. Misalnya, untuk menciptakan IQ seseorang, ia harus diberi tes IQ dan
kemudian dihitung hasilnya. Hal ini memberikan batasan tentang arti IQ yang
terkandung dalam sebuah kalimat: “Si Muhammad Ide Said D. M. memiliki IQ
140”. Definisi operasional ini penting untuk mengetahui apa yang disebut konsep
intelegensi.
Freeman mendefinisikan intelegensi sebagai
a) Kemampuan Beradaptasi
b) Kemampuan Belajar
c) Kemampuan Berpikir Abstrak

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah


kemampuan dasar yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan segala tindakan dan
mampu mengantisipasi dirinya menghadapi tantangan lingkungannya.
Charles Spearman mengatakan bahwa tiap orang memiliki faktor intelegensi
umum yang disebut faktor “g” dan kemampuan-kemampuan khusus disebut faktor
“s”. oleh karena itu, teori Spearman disebut teori dua faktor.
Thurstone mengatakan bahwa intelegensi dapat dipecah menjadi sejumlah
kemampuan primer. Dengan menggunakan analisis faktor pada sejumlah tes,
Thurstone mendapatkan 7 faktor kemampuan primer dalam intelegensi, yakni:
1) Komprehensi verbal (kemampuan memahami arti kata)
2) Kefasihan kata (kemampuan memikirkan kata secara tepat)
3) Memori (kemampuan mengingat kembali rangsangan verbal)
4) Kemampuan bekerja dalam bilangan
5) Kemampuan melakukan visualisasi hubungan antara bentuk dan ruang
6) Kecepatan perceptual (kemampuan memahami visual secara terinci dengan cepat
dan melihat persamaan dan perbedaan antara objek yang digambarkan)
7) Kemampuan menyusun batasan umum berdasarkan contoh yang diberikan

Guilford mengatakan bahwa bentuk fungsi intelektual dapat dimasukan ke


dalam salah satu bahagian dimensi intelek, yakni operasi, isi, dan produk. Untuk itu,
tes intelegensi harus mencakup ketiga dimensi tersebut. Model struktur intelek
meperlihatkan 4 isi (figural, simbolik, semantic, dan behavioral), 5 operasi (kognisi,
memori, berpikir konvergen, dan evaluasi), dan 6 produk (unit, kelas, relasi, sistem,
transformasi, dan implikasi).

3. Kaitan Intelegensi dengan Bahasa


Berbicara dalam berpikir adalah dua hal yang independen. Sebaliknya, ada pendapat
yang mengatakan bahwa berpikir dan berbahasa merupakan dua hal yang berbeda,
tetapi tidak dapat dipisahkan. Tidak ada bahasa tanpa pikiran dan tidak ada pikiran
tanpa bahasa. Frei (dalam Tallei, 1983) mengatakan bahwa bahasa adalah manifestasi
pikiran dan kegiatan berbicara adalah manifestasi bahasa. Kemampuan-kemampuan
yang menjadi atribut intelegensi yang penting dalam bahasa, yaitu: (1) kemampuan
berpikir abstrak (kemampuan menggunakan simbol-simbol dan konsep-konsep), (2)
komprehensi verbal (kemampuan memahami arti atau makna kata-kata), (3)
kemampuan analogi (kemampuan argument dengan cara analogi)

4. Penutup
Dapat disimpulkan bahwa intelegensi mempunyai peranan yang penting dalam belajar
bahasa. Untuk itu, para guru bahasa perlu mengetahui tingkat intelegensi siswa-
siswanya agar pengajaran bahasa lebih berhasil sebagaimana yang diharapkan.s

Anda mungkin juga menyukai