Anda di halaman 1dari 18

Laporan Pendahuluan

KONSEP MEDIS

1. Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga
subdural. Dalam bentuk akut yang hebat, baik darah maupun cairan
serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau
robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas
langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang
subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh
cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang
menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda
fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

2. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada :
a. Trauma kapitis
b. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
c. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
d. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
e. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
f. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

3. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam
duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan
cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater
Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai
hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat
laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi
cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila
volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat
menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan
karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya
hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan
subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma
yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang
membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena
pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan
dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial
dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi
oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya
perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat
terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga
pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus
dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah
akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat
di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan
tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik
yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu
ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural
kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah.
Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik,
karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi
di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

4. Klasifikasi
a. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat
timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam – jam setelah trauma.
Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya
sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 – 14 hari sesudah
trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan
darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens
didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi
dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau
trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami
gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama
kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik,
didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada
yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi
robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena
dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya
dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat
pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang


dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi hipodens.

b. Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom,


perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)

Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada


tipe yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik
diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian
seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural
kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya
terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan.
c. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom,
perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).

2. Tipe basis cranial ( cranial base ).

3. Tipe interhemisferik

Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base


adalah tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah.
Pengelompokan perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur
internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan
resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.

5. Manifestasi Klinis
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang
memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-
tanda neurologik dari kompresi batang otak.

c. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan
secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya
selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,
terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek
membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling
sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik.
Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa
minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI
bisa menunjukkan adanya genangan darah.

1. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.

2. Penatalaksanaan
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak :
a. Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol 10¬-15% per
infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang
intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
c. Kortikosteroid, penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar
darah otak. Berupa Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat, digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga
akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih
terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen berkurang.
Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma :
a. Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang
dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta
fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000
mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena
sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
b. Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter
penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c. Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak.
Lecithin sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan
neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari
intravena.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi ), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak
akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d. Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
uri, ketidakmampuan menahan miksi.
e. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.

2. Diagnosa Keperawatan yang biasa muncul adalah :


1. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak.
2. Tidakefektifan kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum.
3. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kesadaran
6. Gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer
7. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien
3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Indikator (NOC) Intervensi (NIC)
1 Perfusi jaringan cerebral NOC NIC
tidak efektif berhubungan  Circulation status Manajemen Sensasi Perifer
 Tissue prefusion:cerebral 1. Kaji tingkat kesadaran dan respon.
dengan iskemia
2. Ukur vital sign, status neurologis.
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi
3. Monitor tanda-tanda kenaikan tekanan
keperawatan selama 3x24 jam, status intrakranial seperti iritabilitas, tangis
sirkulasi dan kemampuan kognitif dapat melengking, sakit kepala, mual muntah.
4. Instruksikan pasien dan keluarga untuk
di demostrasikan
menjaga posisi tubuh ketika sedang mandi,
duduk, berbaring atau merubah posisi
Indikator : 5. Observasi TTV
6. Immobilisasi kepala, leher, dan punggung
 Tekanna systole dan diastole dalam
yang tepat
rentang yang diharapkan 7. Penatalaksanaan pemberian analgetik
 Tidak ada ortosttik hipertensi
 Tidak ada tanda peningakatan TIK
2 Ketidakefektifan Bersihan Tujuan : Setelah dilakukan intervensi 1. Catat karakteristik luka:tentukan ukuran dan
jalan napas berhubungan keperawatan selama 3x24 jam, terjadi kedalaman luka, dan klasifikasi pengaruh
dengan penumpukan penyembuhan pada luka dan keutuhan ulkus.
sputum. struktur maupun fungsi fisiologis 2. Bersihkan dengan cairan anti bakteri.
normal kulit. 3. Bilas dengan cairan NaCl 0,9%.
4. Dressing dengan kasa steril sesuai
Indikator : kebutuhan
5. Lakukan pembalutan
6. Amati setiap perubahan pada balutan
7. Bandingkan dan catat setiap adanya
perubahan pada luka
8. Berikan posisi terhindar dari tekanan
3 Ketidakseimbangan nutrisi Tujuan : Setelah dilakukan intervensi 1. Pertahankan catatan intake dan output yang
kurang dari kebutuhan keperawatan selama 3x24 jam, akurat
tubuh yang berhubungan mempertahankan keseimbangan cairan 2. Monitor status hidrasi (kelembaban
dengan muntah sekunder dan dehidrasi membrane mukosa, nadi adekuat, tekanan
darah ortostatik
Indikator : 3. Monitor vital sign
 Tekanan darah, nadi, suhu tubuh
dalam batas normal 4. Monitor status nutrisi
 Tidak mengalami rasa haus yang 5. Kolaborasi pemberian cairan intravena
berlebihan
 Memiliki keseimbangan asupan
dan haluaran yang seimbang dalam
24 jam
 Menampilkan hidrasi yang baik
(membrane mukosa lembab,
mampu berkeringat
 Memiliki asupan cairan oral atau
intravena yang adekuat
4 Ketidakefektifan pola napas Tujuan : Setelah dilakukan intervensi 1. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit.
berhubungan dengan depresi keperawatan selama 3x24 jam, pernapasan yang cepat dari pasien dapat
pada pusat napas di otak. mempertahankan pola napas yang menimbulkan alkalosis respiratori dan
efektif melalui ventilator pernapasan lambat meningkatkan tekanan
Pa Co2 dan menyebabkan asidosis
Indikator : respiratorik.
 Penggunaan otot bantu napas tidak 2. Cek pemasangan tube, untuk memberikan
ada ventilasi yang adekuat dalam pemberian
tidal volume.
 Sianosis tidak ada atau tanda-tanda 3. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada
hipoksia tidak ada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang
dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang
 Gas darah dalam batas-batas
sebagai kompensasi terperangkapnya udara
normal
terhadap gangguan pertukaran gas.
4. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien
keadaan dehidrasi dapat mengeringkan
sekresi / cairan paru sehingga menjadi
kental dan meningkatkan resiko infeksi.
5. Cek selang ventilator setiap waktu (15
menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran
volume dan menimbulkan penyebaran udara
yang tidak adekuat.
1. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat
pasien, membantu membarikan ventilasi
yang adekuat bila ada gangguan pada
ventilator.
5 Hambatan mobilitas fisik Tujuan : Setelah dilakukan intervensi 1. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam, cidera/pengobatan dan perhatikan persepsi
kerusakan saraf motorik diharapkan klien menunjukkan pasien terhadap imobilisasi.
mobilitas optimal. 2. Awasi TD dengan melakukan aktivitas.
Indikator : Perhatikan keluhan pusing.
 Mempertahankan posisi fungsional. 3. Instruksikan pasien untuk/bantu dalam
 Menunjukkan teknik yang rentang gerak pasien/aktif pada ekstremitas
memampukan melakukan aktivitas yang sakit dan yang tidak sakit.
secara bertahap. 4. Dorong peningkatan masukan cairan sampai
2000-3000 ml/hari, termasuk air asam/jus.
5. Berikan diet tinggi protein, karbohidrat,
vitamin, dan mineral. Pertahankan
penurunan kandungan protein sampai
setelah defekasi pertama.
6. Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan
kursi roda, kruk, tongkat, sesegera mungkin.
Instruksikan keamanan dalam menggunakan
alat mobilitas.
7. Ubah posisi secara periodik dan dorong
untuk latihan batuk/napas dalam.
8. Kolaborasi, konsul dengan ahli terapi fisik

6 Gangguan integritas kulit Tujuan : Setelah dilakukan intervensi 1. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien
berhubungan dengan selama 3x24 jam, Gangguan integritas dan sirkulasi perifer untuk menetapkan
immobilisasi, tidak
kulit tidak terjadi. kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
adekuatnya sirkulasi perifer.
2. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi
Indikator : pada daerah yang tertekan.
3. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan
gunakan tempat kaki untuk daerah yang
menonjol.
4. Ganti posisi pasien setiap 2 jam
5. Pertahankan kebersihan dan kekeringan
pasien : keadaan lembab akan
memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
6. Massage dengan lembut di atas daerah
yang menonjol setiap 2 jam sekali.
7. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih
dan tegang.
8. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya
eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
9. Berikan perawatan kulit pada daerah yang
rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan
menggunakan H2O2.
7 Ansietas berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan intervensi 1. Kaji tingkat ansietas dan diskusikan
dengan perubahan status keperawatan selama 3x24 jam, penyebabnya bila mungkin.
kesehatan. diharapkan ansietas pasien dapat diatasi 2. Orientasikan pada aspek-aspek fisik dari
Indikator : fasilitas, jadwal dan aktivitas. Perkenalkan
 Pasien tampak rileks pada teman sekamar dan staf. Berikan
penjelasan tentang peran-peran.
3. Berikan informasi tertulis atau rekaman.
4. Berikan waktu untuk mendengarkan pasien
mengenai masalah dan dorong ekspresi
perasaan yang bebas, misalnya marah, ragu
atau takut.
DAFTAR PUSTAKA

Huda Nurarif, Amin, Hardi Kusuma.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan


berdasarkan diagnosa medis dan NANDA NIC-NOC Jilid
1&2.Yogyakarta:Mediaction.

Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian


Rakyat
R.Sjamsuhidayat,Wim de Jong. 2010. “ Trauma dan Bencana” Dalam:
R.Sjamsuhidayat, Warko Karnadiharja, Thaddeneus O.H.Prasetyono,
Reno Rudiman,editor: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC:
Doenges M.E. (2000) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2
nd ed). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A


Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.


Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.

Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press

Anda mungkin juga menyukai