Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SWAMEDIKASI

Disusun Oleh:

Kelompok 9

Siti Hasanah, S.Farm. (201720471011033)

Norfadillah, S.Farm. (201720471011034)

Grandaes Yudistira, S.Farm. (201720471011035)

Irman Arii Putra, S.Farm. (201720471011036)

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2017/2018
KATA PENGANTAR

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan perubahan pola hidup
masyarakat yang saat ini cenderung kurang memperhatikan kesehatan, maka
berkembangnya penyakit dimasyarakat tidak dapat dielakkan lagi. Berkembangnya
penyakit ini mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pengobatan yang
efektif secara terapi tetapi juga efisien dalam hal biaya.

Berkenaan dengan hal tersebut, saat ini swamedikasi menjadi alternatif yang
diambil oleh masyarakat. Swamedikasi merupakan upaya pengobatan yang
dilakukan oleh diri sendiri. Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat
memerlukan pedoman yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan
(medication error). Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya
berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat
yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat yang termasuk dalam golongan
obat bebas dan bebas terbatas relatif aman digunakan untuk pengobatan sendiri
(swamedikasi).

Makalah ’’Swamedikasi‘’ ini disusun untuk membantu masyarakat dalam


melakukan upaya pengobatan yang dilakukan oleh diri sendiri. Mudah-mudahan
dengan adanya makalah ini akan bermanfaat bagi kita semua.

Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan berkontribusi didalam penyusunan tugas makalah ini. Saran serta
kritik yang membangun tentunya sangat kami harapkan untuk penyempurnaan dan
perbaikan dimasa mendatang.

ii
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
BAB II ISI ............................................................................................. 3
2.1 Pengertian Swamedikasi ...................................................... 3
2.2 Faktor Penyebab Swamedikasi............................................. 4
2.3 Obat dan Penggolongan Obat dalam Swamedikasi ............. 5
2.3.1 Obat Bebas .................................................................. 6
2.3.2 Obat Bebas Terbatas.................................................... 6
2.3.3 Obat Keras dan Psikotropika ....................................... 6
2.3.4 Obat Narkotika ............................................................ 7
2.3.5 Obat Wajib Apotek...................................................... 7
2.3.6 Obat Tradisional .......................................................... 7
2.3.7 Suplemen ..................................................................... 8
2.4 Informasi Kemasan, Etiket dan Brosur ................................ 8
2.5 Tanda Peringatan .................................................................. 9
2.6 Peran Apoteker dalam Swamedikasi ................................... 9
BAB III KESIMPULAN ...................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 13
DAFTAR HADIR KELOMPOK 9 ..................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Swamedikasi adalah penggunaan obat oleh masyarakat untuk tujuan


pengobatan tanpa resep atau intervensi dokter (Shankar, et al., 2002). Di Indonesia
obat yang dapat digunakan secara swamedikasi adalah obat dari golongan bebas
dan obat bebas terbatas. Keuntungan swamedikasi menggunakan obat bebas dan
obat bebas terbatas antara lain aman bila digunakan sesuai dengan aturan, efektif
untuk menghilangkan keluhan (karena 80% keluhan sakit bersifat self-limiting),
efisiensi biaya, efisiensi waktu, lebih mudah karena pengobatan dilakukan sendiri
menggunakan obat-obat yang mudah diperoleh, aman karena obat yang dipakai
adalah obat yang telah melewati serangkaian pengujian dan tertera aturan (dosis)
pemakaian obat, dan meringankan beban pemerintah dalam keterbatasan jumlah
tenaga dan sarana kesehatan di masyarakat (Widayati, et al., 2008).

Bila digunakan secara benar, obat bebas dan obat bebas terbatas seharusnya
bisa sangat membantu masyarakat dalam swamedikasi secara aman dan efektif.
Namun sayangnya, seringkali dijumpai bahwa swamedikasi menjadi sangat boros
karena menggunakan obat-obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan, atau malah bisa
berbahaya misalnya karena penggunaan yang tidak sesuai dengan aturan pakai.
Bagaimanapun, obat bebas dan obat bebas terbatas bukan berarti bebas efek
samping, sehingga pemakaiannya pun harus sesuai dengan indikasi, lama
pemakaian yang benar, disertai dengan pengetahuan tentang risiko efek samping
dan kontraindikasinya (Suryawati, 1997).

Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas yang sesuai dengan aturan
dan kondisi penderita akan mendukung upaya penggunaan obat yang rasional.
Kerasionalan penggunaan obat menurut WHO (2012) adalah ketepatan indikasi,
kesesuaian dosis, mempertimbangkan kontraindikasi, memperhatikan
kemungkinan tidak ada efek samping obat, memperhitungkan interaksi dengan obat
lain dan makanan, polifarmasi yang tidak diperlukan, harga obat yang terjangkau,
cara pemberian dan interval yang tepat, lama pemberian obat yang tepat, kepatuhan
pasien terhadap pengobatan, dan penggunaan obat yang terbukti efektif dengan

1
mutu terjamin dan aman. Di Indonesia, penduduk yang mengeluh sakit pada tahun
2011 sebanyak 29,31%. Upaya pencarian pengobatan pertama kali yang dilakukan
oleh masyarakat yang mengeluh sakit sebagian besar adalah pengobatan sendiri
(87,37%). Sisanya mencari pengobatan antara lain ke puskesmas, paramedis, dokter
praktek, rumah sakit, balai pengobatan, dan pengobatan tradisional. Di Provinsi
Lampung, penduduk yang mengeluh sakit selama 1 bulan terakhir pada tahun 2011
sebesar 30,59%, dan sebesar 88,59% pasien mencari pengobatan sendiri (BPS,
2012).

Informasi dari pabrik obat melalui iklan ada yang kurang mendidik
masyarakat, bahkan ada yang kurang benar. Ada beberapa metode intervensi yang
dapat dipilih sebagai upaya peningkatan pengetahuan dan perilaku dalam
swamedikasi common cold, diantaranya melalui konseling, edukasi secara
langsung ke pasien, ceramah, diskusi kelompok kecil, cara belajar insan aktif,
seminar, media masa, pameran, demonstrasi, dan sebagainya. Intervensi edukasi
yang dapat mengatasi masalah salah satunya adalah metode ceramah, dimana
metode ini merupakan metode yang banyak dan umum digunakan untuk
meningkatkan pengetahuan. Pemakaian metode ini tidak terlepas dari
keunggulannya karena sifatnya yang praktis, murah, lebih mudah dilakukan, dan
mudah disesuaikan.

2
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Swamedikasi

Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah kegiatan atau tindakan


mengobati diri sendiri dengan obat tanpa resep secara tepat dan bertanggung jawab.
Makna swamedikasi adalah penderita sendiri yang memilih obat tanpa resep untuk
mengatasi penyakit yang dideritanya. Obat-obatan yang digunakan untuk
pengobtan sendiri atau swamedikasi biasa disebut dengan obat tanpa resep/obat
bebas/obat OTC (over the counter). Biasanya obat-obat bebas tersebut dapat
diperoleh dekat rumah. Sedangkan obat-obat yang dapat diperoleh dengan resep
dokter biasa disebut dengan obat resep.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya
sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dirasa perlu ditunjang dengan sarana
yang dapat meningkatkan swamedikasi secara tepat, aman, dan rasional, maka
pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
919/MENKES/PER/X/1993 pasal 2 tentang obat tanpa resep, yang terdiri dari obat
bebas, obat bebas terbatas, dan obat wajib apotek (OWA) yang dapat diberikan oleh
apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Tujuan utama diterbitnya
Keputusan Menteri Kesehatan saat itu adalah untuk swamedikasi, pasien dapat
mengobati dirinya sendiri secara rasional dan ditunjang dengan adanya obat wajib
apotek tersebut.
Penting untuk dipahami bahwa swamedikasi yang tepat, aman,dan rasional
tidak dengan cara mengobati tanpa terlebih dahulu mencari informasi umum yang
bisa diperoleh tanpa harus melakukan konsultasi dengan pihak dokter. Adapun
informasi umum dalam hal ini bisa berupa etiket atau brosur. Selain itu, informasi
tentang obat bisa juga diperoleh dari apoteker pengelola apotek, utamanya dalam
swamedikasi obat keras yang termasuk dalam daftar obat wajib apotek (Depkes RI.,
2006; Zeenot, 2013).

3
Menurut Permenkes Nomor 919 tahun 1993, kriteria obat yang dapat dibeli
tanpa resep dokter adalah sebagai berikut:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak


dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun,
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit,
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan,
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia, dan
e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri (Zeenot, 2013).

Berdasarkan kriteria tersebut, golongan obat yang dapat digunakan dalam


proses swamedikasi adalah obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat
tradisionl, dan suplemen makanan.

2.2 Faktor Penyebab Swamedikasi


Beberapa faktor penyebab swamedikasi yang keberadaannya hingga saat ini
semakin megalami peningkatan. Beberapa faktor penyebab tersebut berdasarkan
hasil penelitian WHO, antara lain:

a. Faktor Sosial Ekonomi


Seiring dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, yang berdampak
pada semakin meningkatnya tingkat pendidikan, sekaligus semakin
mudahnya akses untuk memperoleh informasi, maka semakin tinggi pula
tingkat ketertarikan masyarakat terhadap kesehatan. Sehingga hal itu
kemudian mengakibatkan terjadinya peningkatan dalam upaya untuk
berpartisipasi langsung terhadap pengambilan keputusan kesehatan oleh
masing-masing individu tersebut.
b. Gaya Hidup
Kesadaran tentang adanya dampak beberapa gaya hidup yang bisa
berpengaruh terhadap kesehatan, mengakibatkan banyak orang memiliki

4
kepedulian lebih untuk senantiasa menjaga kesehatannya daripada harus
mengobati ketika sedang mengalami sakit pada waktu-waktu mendatang.

c. Kemudahan Memperoleh Produk Obat


Saat ini, tidak sedikit dari pasien atau pengguna obat lebih memilih
kenyamanan untuk membeli obat dimana saja bisa diperoleh dibandingkan
dengan harus mengantri lama di Rumah Sakit maupun klinik.
d. Faktor Kesehatan Lingkungan
Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang benar
sekaligus lingkungan perumahan yang sehat, berdampak pada semakin
meningkatnya kemampuan masyarakat untuk senantiasa menjaga dan
mempertahankan kesehatannya sekaligus mencegah terkena penyakit.
e. Ketersediaan Produk Baru

Semakin meningkatnya produk baru yang sesuai dengan pengobatan sendiri


dan terdapat pula produk lama yang keberadaannya juga sudah cukup populer dan
semenjak lama sudah memiliki indeks keamanan yang baik. Hal tersebut langsung
membuat pilihan produk obat untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia
(Zeenot, 2013).

2.3 Obat dan Penggolongannya dalam Swamedikasi


Obat merupakan zat yang dapat bersifat sebagai obat atau racun.
Sebagaimana terurai dalam definisi obat bahwa obat dapat bermanfaat untuk
diagnosa, pencegahan penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan, yang
hanya didapatkan pada dosis dan waktu yang tepat, namun dapat bersifat sebagai
racun bagi manusia apabila digunakan salah dalam pengobatan dengan dosis yang
berlebih atau tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan, dan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Pada dosis yang lebih kecil, efek pengobatan untuk
penyembuhan penyakit tidak akan didapatkan (Anief, 1997; Ditjen POM, 1997).
Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya
dianggap dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu membahayakan
jika mengikuti aturan memakainya (Anief, 1997).

5
Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah
golongan obat bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek.

2.3.1 Obat Bebas


Obat bebas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan bisa
diperoleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini
ditandai dengan lingkaran hitam dengan latar berwarna hijau.

Contoh Parasetamol (pereda nyeri dan demam), dan produk-produk vitamin.


2.3.2 Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter,
namun dalam penanganannya harus memperhatikan peringatan-peringatan
tertentu. Obat ini juga dapat diperoleh di apotek, toko obat, toko dan pedagang
eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan lingkaran hitam dengan latar
belakang berwarna biru. Juga disertai peringatan dengan latar belakang warna
hitam.

Contoh obat bebas terbatas adalah obat-obat flu.

2.3.3 Obat Keras dan Psikotropika


Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran
merah dengan garis tepi berwarna hitam.

Contoh : Asam Mefenamat

Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.
Contoh : Diazepam, Phenobarbita

6
2.3.4 Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.

Contoh : Morfin, Petidin

Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus
diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman.
Informasi tersebut dapat diperbolehkan dari etiket atau brosur pada kemasan
obat bebas dan bebas terbatas.

2.3.5 Obat Wajib Apotek


Keputusan Menteri Kesehatan No.347/MENKES/SK/VII/1990 tentang
Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada
pasien di apotek tanpa resep dokter.berikut beberapa ketentuan yang harus
dipatuhi apoteker dalam memberikan obat wajib apotek kepada pasien.
a. Apoteker berkewajiban untuk melakukan pencatatan yang benar
mengenai data pasien, mencakup nama, alamat, umur, dan penyakit
yang sedang dideritanya.
b. Apoteker berkewajiban untuk memenuhi ketentuan jenis sekaligus
jumlah yang bisa diserahkan kepada pasien, sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, yang diatur oleh Keputusan Pemerintah Kesehatan
tentang daftar obat wajib apotek (OWA).
c. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang
obat yang diserahkan, mencakup indikasi, kontra-indikasi, cara
pemakaian, cara penyimpanan, dan efek samping yang tidak
diinginkan yang paling dimungkinkan akan timbul sekaligus tindakan
yang disarankan apabila hal itu memang benar-benar terjadi.
2.3.6 Obat Tradisional
Pengobatan tradisional masih banyak digunakan sebagai alternatif
dalam masyarakat, hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat masih mengakui

7
khasiat dari pengobatan tradisional, dengan demikian jenis-jenis tanaman yang
dapat dijadikan obat harus tetap dilestarikan dan dijaga agar dapat dimanfaatkan
sebagai resep-resep tradisonal warisan orang tua terdahulu dalam upaya
menunjang pelayanan kesehatan (Wijayakusuma dan Dalimartha, 2001).

Pengobatan tradisonal dan obat tradisonal telah menyatu dengan


masyarakat, digunakan dalam mengatasi masalah kesehatan. Kemampuan
masyarakat untuk mengobati sendiri, mengenai gejala penyakit dan memelihara
kesehatan perlu ditingkatkan dalam rangka menjaga kesehatan bagi seluruh
lapisan masyarakat. Untuk ini obat tradisonal dan jamu merupakan potensi yang
besar karena sudah dikenal masyarakat, mudah diperoleh, harga relatif murah,
serta merupakan bagian dari sosial budaya masyarakat (Agoes dan Jacob, 2006).

2.3.7 Suplemen
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi ledakan besar dalam penggunaan
berbagai produk suplemen. Jutaan orang menggunakan vitamin dan suplemen
diet dengan harapan dapat mencapai kesehatan yang baik, meringankan penyakit
atau mencegah penuaan (NHS, 2011).

Beberapa penelitian di berbagai negara telah dilakukan untuk mengetahui


alasan masyarakat dalam menggunakan suplemen herbal, antara lain yaitu
dikarenakan harganya yang terjangkau, dapat dibeli tanpa resep dokter, dan
promosi yang sering menyebutkan bahwa suplemen herbal lebih aman untuk
dikonsumsi daripada menggunakan obat konvensional yang berasa dari senyawa
sintetik (King et al., 2009).

2.4 Informasi Kemasan, Etiket dan Brosur


Sebelum menggun akan obat, bacalah sifat dan cara pemakaiannya pada
etiket, brosur atau kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman.
Pada setiap brosur atau kemasan obat selalu dicantumkan:
 Nama obat
 Komposisi
 Indikasi
 Informasi cara kerja obat

8
 Aturan pakai Peringatan (khusus untuk obat bebas terbatas)
 Perhatian
 Nama produsen
 Nomor batch/lot
 Nomor registrasi
 Nomor registrasi dicantumkan sebagai tanda ijin edar absah yang diberikan
oleh pemerintah pada setiap kemasan obat.
 Tanggal kadaluarsa

2.5 Tanda peringatan


Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas,
berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima)
centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih
sebagai berikut :

2.6 Peran Apoteker dalam Swamedikasi


Dengan semakin banyak masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri
atau swamedikasi, maka informasi mengenai obat yang tepat & sesuai dengan
kebutuhan mereka juga semakin diperlukan. Dalam hal itulah maka apoteker
mempunyai peranan penting untuk memberikan informasi yang tepat tentang obat
kepada pasien atau konsumen.

9
Berikut adalah perana apoteker dalam pengobatan sendiri atau swamedikasi
berdasarkan WHO:

a. Peran Apoteker sebagai Komunikator


Apoteker harus menginisiasi dialog dengan pasien atau dokter
pasien tersebut bila diperlukan, untuk memperoleh riwayat pengobatan
sebelumnya.
Untuk dapat memberikan saran mengenai obat bebas yang sesuai,
maka apoteker harus bertanya pada pasien dan juga mampu memberikan
informasi penting yang dibutuhkan (seperti cara konsumsi obat atau indeks
keamanan obat).
b. Peran Apoteker sebagai Penyedia Obat
Apoteker harus dapat menjamin, bahwa obat-obatan yang
disediakannya berasal dari sumber resmi yang dapat dipercaya serta
mempunyai kualitas yang baik. Apoteker juga harus menyediakan
penyimpanan yang tepat untuk obat-obatan yang ada.

c. Peran Apoteker sebagai Pengajar dan Pengawas


Untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik, maka apoteker
juga disarankan untuk berpartisipasi dalam kegiatan peningkatan
kemampuan diri yang berkelanjutan, seperti melanjutkan pendidikan lagi.
Selain itu apoteker biasanya juga didampingi oleh staf non apoteker lain,
yang perlu untuk diawasi & diberikan pelatihan yang sesuai.

d. Peran Apoteker sebagai Sejawat


Untuk dapat memberikan informasi yang tepat, maka sangat penting
bagi apoteker untuk dapat memiliki kerjasama yang baik dengan berbagai
kalangan, seperti tenaga kesehatan lainnya, perkumpulan profesi, industri
farmasi, pemerintahan baik lokal maupun nasional, pasien serta masyarakat
umum.

Informasi tentang obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat
konseling untuk swamedikasi pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi
farmakoterapi yang disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien.

10
Informasi yang perlu disampaikan oleh apoteker pada masyarakat dalam
penggunaan obat antara lain:

1. Khasiat obat: apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat
yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan
kesehatan yang dialami pasien.
2. Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi
dari obat yang perlu diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki
kontraindikasi yang dimaksud.
3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu dieri
informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang
harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.
4. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan jelas kepada pasien
untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan,
dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
5. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, apoteker dapat
menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen
(sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat
menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
6. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan
jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan
tidur.
7. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan
kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara
berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah
memerlukan pertolongan dokter.
8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya
pantangan makanan atau tidak boleh tertentu dalam waktu bersamaan.
9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.
10. Cara penyimpanan obat yang baik.
11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.
12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak.

11
BAB III
KESIMPULAN

1. Swamedikasi adalah penggunaan obat oleh masyarakat untuk tujuan


pengobatan tanpa resep atau intervensi dokter
2. Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas yang sesuai dengan aturan dan
kondisi penderita akan mendukung upaya penggunaan obat yang rasional.
3. Informasi tentang obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat
konseling untuk swamedikasi pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi
farmakoterapi yang disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A., dan Jacob T, 1996, Antropologi Kesehatan Indonesia, jilid I, ECG,
Jakarta.

Anief, M., 1997, Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat, Cetakan Ketiga (Revisi),
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas
Terbatas Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Jakarta

Ditjen POM. (1997). Kompendia Obat Bebas. Edisi kedua. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

King AR, Russett FS, Generali JA, Grauer DW. Evaluation and implications of
natural product use in preoperative patients: a retrospective review. BMC
Complement Altern Med. 2009.

Menteri Kesehatan RI, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:


919/MENKES/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat
Diserahkan Tanpa Resep.Jakarta:1993.

NHS. 2011. Suplements, who needs them? (www.nhs.uk) diakses pada tanggal 28
Februari 2018.

Notoatmojo, S., 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, hal. 106-162, rineka
Cipta, Jakarta.

Wijayakusuma, H., dan Dalimartha, S., 2001, Ramuan Tradisional Untuk


Pengobatan Darah Tinggi, Cetakan ke-7, Penebar Swadaya, Jakarta.

Zeenot, S. (2013). Pengelolaan dan Penggunaan Obat Wajib Apotek. Jogjakarta: D-


Medika. Halaman 109-112, 139 dan 143.

13
DAFTAR HADIR KELOMPOK 9

NO NIM NAMA TTD

1 201720471011033 Siti Hasanah, S.Farm. 1.

2 201720471011034 Norfadillah, S.Farm. 2.

3 201720471011035 Grandaes Yudistira, S.Farm. 3.

4 201720471011036 Irman Arii Putra, S.Farm. 4.

14

Anda mungkin juga menyukai