Anda di halaman 1dari 10

Edisi 026, Oktober 2011

Kolom

Pro
MENGAITKAN
je ISLAM
DENGAN DEMOKRASI
ct
ital
ig
D

n
kaa

Bahtiar Effendy
1
Kolom | Edisi 026, Oktober 2011
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom

a cy
Mengaitkan Islam c r
dengan Demokrasi

o
Dem
T idak mudah mengaitkan-ngaitkan
Islam dengan demokrasi.
Meskipun demikian, tidak sedikit
Muslim yang berpandangan bahwa
Pe

Islam sejalan dengan demokrasi.


rp
Dalam kaitannya dengan ini, biasanya
sejumlah prinsip Islam dikemukakan, u s
ditafsirkan, untuk kemudian ta
disimpulkan bahwa nilai-nilai itu
suatu semangat dengan pandangan
profetik Francis Fukuyama—
demokrasi. Prinsip-prinsip umum
yang ditawarkan adalah keadilan
(‘adl), persamaan (musawah),
musyawarah (syura), volustarisme,
dan sebagaianya.

2
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom

Sering dilupakan bahwa tak


sekedar mendakwahkan prinsip-
prinsip tersebut, tetapi juga yang
lain—dan tidak semuanya mudah
diakurkan dengan elemen-elemen
dasar kehidupan yang demokratis.
Bahkan, tergantung bagaiamana
Pro orang menafsirkan, prinsip- prinsip
je umum di atas –yang secara taken
for granted dianggap memiliki
ct

“kemiripan kekeluargaan” (family


resemblances) dengan demokrasi.
Di sana-sini misalnya, ada Muslim
yang berpandangan bahwa syura
ital

itu beda dengan demokrasi. Dalam


perspektif ini, yang menjadi
acuan adalah bahwa Muslim tidak
ig

dibolehkan untuk menciptakan


kesepakatan- kesepakatan yang
D

n dinegosiasikan terhadap segala


kaa sesuatu yang dipercaya bertentangan
dengan hukum Allah. Karena
itulah, Mohammad Natsir tidak bisa
sepenuhnya menerima pandangan
Barat tentang demokrasi. Sebagai
pembanding, ia mencetuskan apa
yang disebutnya teo-demokrasi—
demokrasi yang berketuhanan.

3
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom

Merujuk pada apa yang telah


dikemukakan, diperlukan kehatian-
hatian yang secukupnya untuk
membangun pandangan yang
bersahabat antara Islam dan
demokrasi. Ini antara lain juga
disebabkan oleh kenyataan sejarah
yang tak terbantahkan bahwa apa
a cy
yang dikenal dewasa ini sebagai
c r
demokrasi lahir bukan di dunia

o
Timur, di mana Islam dilahirkan dan

Dem
dibesarkan. Menurut George Kennan
“ demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan yang berkembang pada
abad kedelapan belas dan kesembilan
belas di Eropa Barat (Laut).” Yang
demikian itu, menurut ilmuwan
Pe

politik konser vatif lainnya, Samuel


P. Huntington, hanya bisa tumbuhr
p
karena dukungan “sikap, nilai, us
kepercayaan, dan pola-pola tingkah ta
laku yang berkaitan yang kondusif
bagi perkembangan demokrasi.”
Kalau pemikiran seperti ini diikuti,
maka memang ada persyaratan-
persyaratan budaya tertentu yang
diperlukan guna mendukung
tumbuhnya demokrasi. Beberapa
karya besar mengenai hal ini, yang

4
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom

dikemas dalam civic culture hanya


meneguhkan pandangan tertentu.

Dapatkah Islam, sebagaimana


agama mayoritas di Republik ini
memberikan topangan budaya
bagi berkembangnya demokrasi?
Pro Sebagaimana telah dikemukakan,
je jawabannya bisa afirmarif atau
negatif artinya memang tidak ada
ct

jawaban yang bersifat kata putus


(clear cut) dalam hal ini. Bergantung
kepada Muslim dalam memahami
ajaran agamanya –apakah doktrin-
ital

doktrin teologis yang ada akan


dicarikan kesejajaran atau dengan
demokrasi atau tidak.
ig

Tapi, yang lebih penting dari


D

itu adalah bagaimana demokrasi


n
kaa dipahami oleh komunitas Islam, dan
seperti apa pula para pendukung
demokrasi pada tingkat global
melihat praktik-praktik demokrasi
di dunia Islam. Posisi seperti ini
diperlukan, karena tak jarang apa
yang dipraktekkan sebagai demokrasi
oleh satu komunitas dipandang lain
oleh komunitas yang lain. Misalnya

5
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom

demikian gigihnya Robert N. Bellah


mendeskripsikan dinamika politik
masa Muhammad sebagai suatu
fenomena demokratis, tapi justru
dipandangan sebaliknya oleh banayak
pihak—hatta di lingkungan Muslim
sendiri.
a cy
r
mulai pasang pada akhir dasawarsa c
Ketika gelombang demokratisasi

o
1970-an dan sepanjang 1980-an

Dem
tak ada satu karya yang bersedia
melihat potensi dunia Islam di dalam
mempraktekkan demokrasi. Alasan
utamanya adalah bahwa dunia Islam
tidak memiliki pengalaman yang
memadai dalam mengembangakan
Pe

demokrasi dan menurut kacamata


waktu itu tidak ada isyarat sedikit r p
pun bahwa kawasan ini mampu us
menerima gagasan-gagasan ta
demokratik. Apa yang pernah di
praktekkan oleh Libanon dengan
demokrasi bagi-bagi kekuasaanya
berdasarkan kelompok etnis-religius
yang ada (consociational democracy)
tidak dianggap sebagai demokrasi
yang sebenarnya (genuine) demikian
pula yang terjadi dengan Indonesia.

6
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom

Apa yang pernah berlangsung


di negeri ini pada 1950 sampai
1957/1959 bukan merupakan
pengalaman demokratik yang cukup.
Mungkin karena semuanya berakhir
dengan kegagalan, maka pengalaman-
pengalaman demokratik yang
Pro memang sulit itu tidak masuk dalam
je hitungan!
ct

Jika pola pandangan seperti ini


yang dipakai, maka memang tidak
ada di dunia Islam yang berhasil
bersentuhan dengan kehidupan
ital

demokratis secar cukup memadai.


Kenyataan seperti ini setidaknya
mempunyai implikasi besar. Pertama,
ig

apa manfaatnya mencari dukungan


teologis dari Islam bagi demokrasi?
D

n Islam sudah ada sejak empat belas


kaa abad lebih dan tidak menghasilkan
tatanan sosial-kemasyarakatan
demokratis. Kedua, realitas seperti
ini hanya membenarkan posisi
argumen kulturalis, bahwa dunia
Islam memang tidak memiliki
struktur budaya yang kondusif bagi
demokrasi.

7
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom
TJ. Pimple memberi harapan ketika
menggulirkan gagasan mengenai
gagasan demokrasi yang tidak
lazim (uncommon democracy).
Praktik demokrasi di negara-negara
Skandinavia, Israel, dan Jepang
berbeda secara cukup berarti
dengan Eropa Barat dan Amerika
a c y
Utara. Menjadi demikian, karena
c r
demokrasi mengalami proses “

o
pribumisasi” atau kontekstualisasi

Dem
yang secukupnya. Dengan cara
itu, demokrasi disesuaikan dengan
struktur budaya masyarakat setempat,
sehingga memungkinkan proses
akomodasi atau adaptasi timbal balik.

Bukankah berbicara mengenai


Pe

r
sesuatu yang “lain”, termasuk Islam,
kita sering menekankan perlunya p u
pribumisasi dan kontekstualisasi? sta
Abdurrahman Wahid, Munawir
Syadzali, Djohan Effendi, Ahmad
Wahid, atau Nurcholish Madjid fasih
berbicara mengenai hal ini. Untuk
itu, bukankah sudah waktunya kita
berbicara mengenai demokrasi dalam
konteks (budaya) Indonesia? Tanpa
itu, tak mungkin demokrasi yang kita

8
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom
dakwahkan memperoleh dukungan
budaya yang berarti. Tanpa itu, tak
mungkin demokrasi akan mendapat
dukungan Islam sebagian besar
umatnya masih menganut faham
feodalistis dan paternalistik, bersikap
mau menang sendiri dan tidak
Pro berjiwa kesatria.
je
ct
ital
ig
D

n
kaa

9
Edisi 026, Oktober 2011
Kolom

a cy
c r

o
© 2011

Dem
Kolom ini diterbitkan oleh
Democracy Project,
Yayasan Abad Demokrasi.
Untuk berlangganan, kunjungi
www.abad-demokrasi.com
Kode kolom: 026K-BAH001
Pe

rp
us
ta

10

Anda mungkin juga menyukai