Anda di halaman 1dari 49

Bagaimana teknik presentasi yang baik dan benar sehingga efektif?

Banyak cara, namun di bawah ini ringkasan semua teknik presentasi


yang dianggap paling efektif.

1. Use visual aids.


Gunakan Alat Bantu Visual. Menggunakan gambar, bukan kata-kata,
dapat melipatgandakan kemungkinan pencapaian tujuan presentasi.
Satu gambar bernilai 1.000 kata, bukan? A picture is worth a thousand
words!
2. Keep it short and sweet!
Ringkas dan “manis”. Pepatah lama mengatakan, “No one ever
complained of a presentation being too short”. Tidak ada yang pernah
mengeluhkan presentasi yang terlalu pendek. Tidak ada yang lebih
“membunuh” sebuah presentasi selain terlalu lama. Usahakan
presentasi Anda di bawah 22 menit!
3. Use the rule of three
Gunakan aturan tentang tiga hal. Sebuah teknik sederhana adalah
bahwa orang cenderung hanya mengingat tiga poin. Maka, gunakan
maksimum tiga poin pada slide!
4. Rehearse
Berlatih. Practice makes for perfect performance. Latihan menjadikan
penampian sempurna. Banyak ahli mengatakan, latihan adalah hal
terbesar yang dapat Anda lakukan untuk meningkatkan penampilan
Anda. Lakukan presentasi Anda dengan keras setidaknya empat kali.
Salah satunya harus di depan audiens yang benar-benar “menakutkan”
Anda (a real scary audience) –keluarga, teman, atau kolega. Even the
dog is better than nothing. Bahkan, di depan anjing pun ok. Iu lebih
baik daripada tidak.
5. Tell stories
Sampaikan cerita. Semua presentasi adalah jenis teater. Ceritakan
kisah dan anekdot untuk membantu mengilustrasikan poin. Ini akan
menjadikan presentasi Anda lebih efektif dan mengesankan.
6. Lose the bullet points – don’t put your speaker notes up on the
screen
Kehilangan pointer. Jangan menaruh catatan pembicaraan di layar.
Tampilkan di layar hanya poin-poin, bukan “naskah pidato” Anda.
Untuk membuat presentasi Anda lebih efektif menempatkan catatan
pembicara dalam catatan Anda dan tidak muncul di layar.
7. Video yourself
Video Anda sendiri. Atur kamera video dan video presentasi Anda
sendiri. Setting sendiri alat presentasi Anda –senyaman mungkin.
8 . Know what slide is coming next
Ketahui slide berikutnya. Anda harus selalu tahu kapan presentasi
slide yang muncul berikutnya. Terdengar “powerful” ketika Anda
mengatakan “pada slide berikutnya kita akan lihat….”. Di sinilah kian
terasa pentingnya persiapan dan latihan!
9. Have a back-up plan
Miliki rencana cadangan. Siapkan “materi cadangan” kalau-kalau
slide tidak muncul, listrik mati, tidak ada pengeras suara, “presentasi
menampilkan hal aneh pada laptop”, dan sebagainya. Miliki “hard
copy”, materi tercetak. Biasanya, jika Anda siapkan “back-up plan”,
Anda jarang harus menggunakannnya!
10. Check out the presentation room
Periksa ruang presentasi. Datanglah lebih awal dan periksa ruang
presentasi. Pastikan slide Anda dimuat di PC dan muncul di layar.

Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan Pendidikan Nasional

Pada artikel lain telah disebutkan beberapa tujuan pendidikan yang


pernah muncul dalam Sejarah. Plato sangat menekankan pendidikan
untuk mewujudkan negara idealnya. Ia mengatakan bahwa tugas
pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari
belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Aristoteles mempunyai
tujuan pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi ia mengaitkannya
dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan
haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang
harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan
hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi, yaitu
kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia). Tujuan
universitas di Eropah adalah mencari kebenaran. Pada era Restorasi
Meiji di Jepang, tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan
negara; pendidikan dirancang adalah untuk kepentingan negara.

Bagaimana tujuan pendidikan nasional dengan di republik ini? UUD


1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan,
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Pasal
31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia."

Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-


Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab."

Bila dibandingkan dengan undang-undang pendidikan sebelumnya,


yaitu Undang-Undang No. 2/1989, ada kemiripan kecuali berbeda
dalam pengungkapan. Pada pasal 4 ditulis, "Pendidikan Nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan." Pada Pasal 15, Undang-undang
yang sama, tertulis, "Pendidikan menengah diselenggarakan untuk
melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya
dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut
dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi."

Bila dipelajari, di atas kertas tujuan pendidikan nasional masih sesuai


dengan substansi Pancasila, yaitu menjadikan manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Namun, apakah tujuan
pendidikan ini dijabarkan secara konsisten di dalam kurikulum
pendidikan dan juga dalam sistem pembelajaran? Jawabannya masih
diragukan.
Kebangkitan nasional Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

Kebangkitan nasional adalah masa bangkitnya semangat persatuan,


kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah muncul
selama penjajahan 350 tahun. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa
penting, yaitu berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar
Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu
dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli.
Tokoh-tokoh kebangkitan nasional, antara lain: Sutomo, Gunawan, dr.
Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara),
dr. Douwes Dekker, dll.
Selanjutnya pada 1912 berdirilah partai politik pertama Indische
Partij. Pada tahun ini juga Haji Samanhudi mendirikan Sarekat
Dagang Islam (Solo), KH Ahmad Dahlan mendirikan
Muhammadiyah (Yogyakarta) dan Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan
mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera di Magelang.
Suwardi Suryoningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera,
menulis Als ik eens Nederlander was (Seandainya aku orang
Belanda), 20 Juli 1913 yang memprotes keras rencana pemerintah
jajahan Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di
Hindia Belanda. Karena tulisan inilah dr. Tjipto Mangunkusumo dan
Suwardi Suryoningrat dihukum dan diasingkan ke Banda dan Bangka,
tetapi “karena boleh memilih”, keduanya dibuang ke Negeri Belanda.
Di sana Suwardi justru belajar ilmu pendidikan dan dr. Tjipto karena
sakit dipulangkan ke Indonesia.
Saat ini, tanggal berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei, dijadikan sebagai
Hari Kebangkitan Nasional.
Analisis Kondisi Pendidikan di Indonesia
OPINI | 16 May 2012 | 01:57Dibaca: 1169 Komentar: 2 2 dari 2
Kompasianer menilai bermanfaat
Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh
pendidik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan untuk membantu
peserta didik mengalami proses diri ke arah tercapainya pribadi yang
dewasa-susila.[1] Sehingga diharapkan pendidik dapat melakukan
bimbingan serta pengajaran pada peserta didik hingga pada akhirnya
peserta didik menjadi pribadi yang dewasa.
Sejarah pendidikan merupakan uraian yang sistematis dari segala
sesuatu yang telah diuraikan dan dikerjakan dalam lapangan
pendidikan pada waktu yang telah lampau.[2] Sejarah pendidikan
menguraikan perkembangan pendidikan dari dahulu hingga sekarang.
Sejarah pendidikan termasuk ke dalam Ilmu Mendidik (pedagogik) di
bagi menjadi 2 bagian yaitu bagian teoritis ( sistematis dan historis)
dan bagian praktis ( didaktif dan administrasi sekolah ).
Dengan mempelajari sejarah pendidikan, kita akan sadar bahwa
pendidikan itu hendaknya disesuaikan dengan perubahan-perubahan
dalam keadaan, ilmu pengetahuan dan teknik.[3] Mengingat kondisi
pendidikan di masa sekarang, masih jauh dari yang diharapkan maka
diperlukan suatu reformasi pendidikan.
Pada masa sekarang, pendidikan berdasarkan pada UUD 1945 Pasal
31 dan UU No 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Salah satu prinsip gerakan reformasi dalam pendidikan adalah
pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta mereka dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pendidikan. Perubahan
mendasar menuju paradigma pendidikan masa depan adalah
pelaksanaan pendidikan berbasis sekolah atau madrasah pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi Perguruan Tinggi
pada tingkat pendidikan tinggi. Pembaharuan sistem pendidikan juga
meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola
oleh pemerintah dan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat, serta
perbedaan pengelolaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan
umum.
Beberapa faktor yang mengakibatkan mutu pendidikan sulit untuk
ditingkatkan antara lain:
1. Kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan educational production function yang tidak
konsekuen. Kebijakan ini hanya mengandalkan input yang baik untuk
menghasilkan output yang baik, masalah proses hampir diabaikan.
2. Penyelenggaraan pendidikan secara sentralistik dan Jawa sentris.
Keputusan birokrasi dalam hal ini hampir menyentuh semua aspek
sekolah, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi sekolah
tersebut. Akibatnya, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan
inisiatif untuk mengembangkan lembaganya.
3. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan masih
kurang. Partisipasi masyarakat dalam pendidikan hanya bersifat
dukungan dana. Padahal yang lebih penting adalah partisipasi dalam
hal proses pendidikan yang meliputi; (1) pengambil keputusan, (2)
monitoring, (3) evaluasi, dan (4) akuntabilitas. Dengan demikian,
sekolah dan masyarakat secara bersama-sama bertanggungjawab dan
berkepentingan terhadap hasil pelaksanaan pendidikan, bukan sekolah
yang bertanggungjawab kepada masyarakat terhadap hasil
pelaksanaan pendidikan itu sendiri.[4]
Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan yaitu:
1. Meningkatkan Anggaran Pendidikan
Pemerintah bertanggung jawab untuk menanggung biaya pendidikan
bagi warganya, baik untuk sekolah negeri maupun sekolah swasta.
2. Manajemen pengelolaan pendidikan
Manajemen pendidikan yang baik harus memperhatikan
profesionalisme dan kreativitas lembaga penyelenggara pendidikan
3. Bebaskan sekolah dari suasana bisnis
Sekolah bukan merupakan ladang bisnis bagi pejabat Dinas
Pendidikan, kepala sekolah, guru maupun perusahaan swasta. Tetapi
sekolah merupakan tempat untuk mencerdaskan bangsa.
4. Perbaikan kurikulum
Penyusunan kurikulum hendaknya mempertimbangkan segala potensi
alam, sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang ada.
Pendidikan demokratis harus membekali warga negara dengan dasar
yang teguh dalam sosio-ekonomis, mendorong tanggung jawab dan
tindakan yang berani di segala bidang, memerangi penyalahgunaan
propaganda
5. Pendidikan Agama
Pendidikan agama di sekolah bukan sebagai penyampaian dogma atau
pengetahuan salah satu agama tertentu pada siswa tetapi sebagai
penginternasionalisasian nilai-nilai kebaikan, kerendahan hati , cinta
kasih dan sebagainya.
6. Pendidikan yang melatih kesadaran kritis
Sikap yang kritis dan toleran, akan merangsang tumbuhnya kepekaan
sosial dan rasa keadilan. Oleh karena itu diharapkan bisa mengatasi
kemelut sosial, budaya, politik dan ekonomi bangsa ini.
7. Pemberdayaan Guru
Guru hendaknya lebih kreatif, inovatif, terampil, berani berinisiatif
serta memiliki sikap politik yang jelas. Selain itu, pemerintah
diharapkan memberdayakan guru dengan program-program latihan
sehingga mereka mampu mengembangkan model-model pengajaran
secara variatif.
8. Memperbaiki kesejahteraan Guru
Guru merupakan faktor dominan dalam penyelenggaraan
pendidikan.Oleh karena itu upaya perbaikan kesejahteraan guru perlu
ditingkatkan. Sehingga guru tidak hanya dituntut untuk meningkatkan
wawasan maupun mutu mengajarnya serta meghasilkan output yang
baik.
Masalah Pendidikan di Indonesia

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Masalah%20Pendidika
n%20di%20Indonesia&nomorurut_artikel=364
Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk
pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan
seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu
memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok
pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual
beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan


pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan
fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal
tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang
akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara
dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya,
pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan
negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa


sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah
pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar
kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU
Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri
kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat
dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat
nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara
terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang
sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada
kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber
Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah.
Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya
masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat
bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana
pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib
belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih
banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib
belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada
perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari
masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada
kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak


bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status
karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk
direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan.
Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan
antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya
saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk
bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari
sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas


yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang
tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan
tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah
gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh
dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan
sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis?
Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk


menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)
membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan
SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari


kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai
upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha
memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena
yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite
Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab
negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari
milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu
pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas
pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah
beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa
Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor


pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar
35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor
pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan
terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk
pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang
menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah
peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU
Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib
Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat
dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk


diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM
Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti
Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan
menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar.
Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk
menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu
saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu
untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara
yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut


dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang
telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank
Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan
hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah


status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi
momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal,
maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak
perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya,


tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk
cuci tangan.***
Penyusun : Muhammad Rifa'i
Tahun : 2011
Penerbit : AR-RUZMEDIA
Kategori 1.3 Resensi Buku
Keyword / tag Pendidikan Masa Kemerdekaan, Sejarah Pendidikan
Nasional

ABSTRAK

PENDIDIKAN MASA KEMERDEKAAN

Kebijakan Pendidikan Nasional di Masa Kemerdekaan 1945-1950

Mengenai pendidikan di Indonesia dalam kurun waktu antara 17


Agustus 1945 hingga 17 Agustus 1950 secara de jure (hukum)
wilayahnya meliputi seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda, tetapi
secara de facto (kenyataan), daerah yang secara nyata dikuasai oleh
pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Perjanjian Linggarjati
(November 1946), Perjanjian Renville (Januari 1948), dan Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Denhaag (November 1949).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,


perubahan-perubahan tidak hanya terjadi dalam bidang pemerintahan
saja, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi
dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat
mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan
pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa yang merdeka dan
negara yang merdeka. Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-
cita bangsa Indonesia yang merdeka itulah, bidang pendidikan
mengalami perubahan, terutama dalam landasan utamanya, tujuan
pendidikan, sistem persekolahan, dan kesempatan belajar yang
diberikan kepada rakyat Indonesia.

Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia, seperti yang


tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, kemudian
dijadikan landasan utama pendidikan di Indonesia. Walaupun dalam
kurun waktu 1945-1950 negara Indonesia mengalami beberapa kali
perubahan undang-undang dasar, dasar falsafah tidak mengalami
perubahan. Oleh karena itulah, Pancasila menjadi landasan utama
pendidikan di Indonesia (Gunawan, 1995: 31-32).

Saat itu KNIP juga bekerja keras untuk mengusahakan bentuk dan
pelaksanaan pendidikan nasional. Akhirnya, pada tangga 29
Desember 1945 hasil kerja KNIP diserahkan kepada pihak
Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Sedangkan
pokok-pokok pendidikan dan pengajaran baru di Indonesia sebagai
realisasi usaha pembaruan pendidikan dan pengajaran hasil kerja
KNIP tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:

Untuk menyusun masyarakat yang baru, perlu adanya perubahan


pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan yang
hingga kini berlaku haruslah diganti dengan paham kesusilaan dan
perikemanusiaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus
membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai
rasa tanggung jawab.
Untuk memperkuat persatuan rakyat, hendaknya sudiadakan satu
macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat, sesuai dengan dasar
keadilan sosial. Semua sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap
penduduk negara, baik laki-laki maupun perempuan.
Metode yang berlaku di sekolah-sekolah hendaknya berdasarkan
sistem. Sistem hendaklah diusahakan berlaku agar aktivitas rakyat
kepada pekerjaan dapat berkembang seluas-luasnya. Selain
perguruan-perguruan biasa, hendakanya diadakan perguruan untuk
orang dewasa yang memberikan pelajaran untuk pemberantasan buta
huruf dan seterusnya sehingga bersifat taman ilmu rakyat dengan
memerhatikan garis-garis besar seperti yang tersebut pada tujuan
pendidikan dan pengajaran. Harus ada perguruan-perguruan
pemimpin masyarakat untuk tiap lapangan usaha yang penting. Untuk
keperluan pengajaran orang dewasa hendaknya kantor pusat
dipisahkan.
Pengajaran agama hendaklah mendapat tempat yang teratur dan
saksama hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan
tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak
mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. Tentang cara melakukan ini,
kementerian mengadakan peundingan dengan bada pekerja. Madrasah
dan pesantren yang pada hakikatnya merupakan alat dan sumber
pendidikan pencerdas rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar
dalam masyarakat Indonesia pada umumnya hendaklah pula
mendapat perhatian dan bantuan materiil dari pemerintah.
Pengajaran tinggi hendaklah diadakan seluas-luasnya dan jika perlu
dengan menggunakan bantuan asing sebagai guru besar. Hendaklah
diusahakan berlakunya pengiriman pelajar-pelajar ke luar negeri
untuk keperluan negara.
Kewajiban belajar dengan lambat laun dijalankan dengan ketentuan
bahwa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya paling lama 10 tahun
dapat berlaku dengan sempurna dan merata (6 tahun sekolah untuk
tiap-tiap anak Indonesia).
Pengajaran dan ekonomi, terutama pengajaran pertanian, industri,
pelayaran dan perikanan, hendaklah mendapat perhatian yang
istimewa.
Pengajaran kesehatan dan olahraga hendaklah diatur sebaik-baiknya
sehingga kemudian terdapat kecerdasan rakyat yang harmonis.
Sekolah rendah tidak memungut uang sekolah. Untuk sekolah
menengah dan perguruan tinggi, hendaklah diadakan aturan
pembayaran dan tunjanggan yang luas sehingga soal keuangan jangan
menjadi halangan bagi pelajar-pelajar yang kurang mampu
(Gunawan, 1995: 32-34).
Secara garis besar, ruh tujuan pendidikan nasional disesuaikan dengan
situasi negara pada waktu itu, yaitu membutuhkan penanaman
semangat patriotisme untuk membangkitkan kembali kesadaran
nasional di dalam rakyat Indonesia, terutama pada remaja dan
pemudanya untuk negara dan masyarakat. Dengan kata lain tujuan
pendidikan nasional pada masa tersebut ditekankan kepada
penanaman semangat patriotisme dan peningkatan kesadaran nasional
sehingga dengan semangat itu kemerdekaan dapat dipertahankan dan
diisi.

Tujuan pendidikan nasioanl pada 1945 adalah pembentukan warga


negara yang sejati dan sanggup menyumbangkan tenaga dan
pikirannya untuk negara dan bangsa, sedangkan sifat-sifat warga
negara sejati yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan pada waktu
meliputi:

perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa,


perasaan cinta kepada alam,
perasaan cinta kepada negara,
perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak,
perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan nasional,
perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut
pembawaan dan kekuatannya,
keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
keluarga dan masyarakat,
keyakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada
tata tertib,
keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama harganya sebab itu
hubungan sesama anggota masyarakat harus bersifat hormat-
menghormati, berdasarkan rasa keadilan, dengan berpegang teguh
atas harga diri sendiri, dan
keyakinan bahwa negara memerlukan warga negra yang rajin bekerja,
tahu pada kewajibannya, jujur dalam pikiran dan tindakannya.
Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan yang
diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak
terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi
tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional Republik
Indonesia (Kemdiknas), dahulu bernama Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia (Depdikbud). Di Indonesia, semua
penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar
selama sembilan tahun, enam tahun di sekolah dasar/madrasah
ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah. Saat ini, pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan
artikel ini:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Pendidikan di Indonesia terbagi ke dalam tiga jalur utama, yaitu
formal, nonformal, dan informal. Pendidikan juga dibagike dalam
empat jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi.

KONDISI SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA


Disusun Oleh:
Ady Setiawan
111714043
Kelas 2011 A
Dosen:
Desi Nurhikmayanti, M.Pd.
Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)
Program Studi Manajemen Pendidikan
2011
A. KONDISI SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
Melihat kondisi real yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, kini
kita sering menemukan berbagai macam celotehan pendapat-pendapat
warga Negara yang begitu abstrak mengenai system pendidikan yang
sedang dianut oleh Indonesia. Ujian Negara (UN), mungkin
merupakan salah satu hal yang cukup disoroti banyak pihak,
pelaksanaannya yang masih controversial dan semu dimata para guru
dan wali murid. Sehingga memunculkan banyak gugatan tentang
penghapusan UN yang selama ini menjadi momok serius bagi setiap
siswa, untuk tidak diselenggarakan secara Nasional yang ditangani
Kemendiknas. Namun standarisasi penilaian dan kelulusan siswa
diserahkan sepenuhnya kepada guru yang bertindak sebagai ‘orang
tua’ mereka dalam habitat sekolah.
Satu hal menarik yang ingin penulis kupas mengenai controversial
tentang UN ini, yang mana akan memiliki garis hubung dengan
system pendidikan Indonesia sekarang dan beberapa tahun
mendatang.
Kami kembali ke masalah UN, mungkin tak salah bagi setiap dewan
guru yang mengusulkan hal diatas, tak salah untuk mereka karena
mereka tidak ingin anak didik mereka harus mendekam di sekolah
karena belum lulus UN yang berarti satu tahun tertunda dari waktu
normal karena tidak berhasil melewati ujian empat hari yang
menentukan masa belajar mereka selama tiga tahun. Namun, dilain
sisi kita harus mengamati kondisi lapangan yang tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa sebagian besar dari guru tersebut belum dapat
meng-adil-kan pemberian nilai dalam raport jika harus diserahkan
sepenuhnya tingkat kelulusan siswa. Banyak fakta mengatakan bahwa
guru rela mengkatrol nilai-nilai siswanya demi meraih anggapan akan
keberhasilan beliau dalam pendidikan dan pengajaran, atau agar siswa
dapat memenuhi persyaratan mendapatkan beasiswa sehingga dapat
menduduki bangku sekolah atau perguruan tinggi favorit, sedangkan
hal tersebut sangat bertolak belakang dengan pencapaian hasil belajar
siswa tersebut. Dalam hal ini, dewan guru menurut penulis, tengah
berada dalam posisi benar namun juga bisa salah. Benar karena ingin
memberikan yang terbaik pada siswa-siswa dan tentunya wali murid.
Namun juga salah, karena belum bertindak adil dengan kondisi nyata.
Hal ini disebabkan antara dua hal, pertama karena kegagalan guru
tersebut dalam pengajaran sehingga beliau melakukan hal tersebut,
atau kedua, karena kurang tepatnya system pendidikan Indonesia yang
dianut, yang memasok siswa dengan berbagai menu pelajaran yang
begitu abstrak (pada tingkat dasar) sedangkan secara kondisi siswa
belum dapat menampung karena banyaknya pelajaran dan tidak sesuai
dengan waktu yang ditargetkan serta kurang sesuai dengan kebutuhan.
Pada kesempatan kali ini, penulis lebih condong pada
kekurangtepatan peletakan system pendidikan Indonesia pada saat ini,
yang membuat seluruh elemen pendidikan membabi buta untuk
mencapai target terbaik sekalipun tidak sesuai dengan lapangan.
System memaksa siswa untuk menguasai sedemikian kompleksnya
ilmu pengetahuan dengan segabrek mata pelajaran. Hal ini yang
menurut penulis menjadi sebab utama ‘kenakalan’ siswa, menyontek
saat ujian, membolos, tawuran dsb, karena mereka tidak sanggup dan
merasa bosan dan jenuh dengan kesemuanya. Yang pada akhirnya,
mereka tidak dapat meraih nilai baik, padahal sudah diadakaannya
ujian susulan, bahkan bimbingan-bimbingan belajar exlusive selama
masa-masa mendekati ujian.
Setiap manusia dilahirkan dengan membawa karakteristik
(kelebihan/kekurangan tersendiri), jadi kurang tepat jika ada yang
berpendapat bahwa adanya manusia yang bodoh. Pada dasarnya tidak
ada manusia yang bodoh, hanya mungkin belum tergalinya potensi
anak tersebut,
sehingga yang patut mengarahkan adalah orang tua ataupun guru
untuk mendiagnosa kecenderungan anak dan segera menyalurkan
potensi yang ada. Bukan maksud penulis untuk langsung mendidik
anak-anak usia dasar pada tingkat pengkhususan penguasaan
skill/potensi diri, namun hal ini diperuntukkan bagi anak-anak
menjelang dewasa yang sudah harus mengetahuai dimana potensi
mereka. Bagi anak usia sekolah dasar, tidak salah jika harus diberikan
mata pelajaran abstrak layaknya sekarang, namun yang tidak penulis
setujui, Mengapa sebegitu banyaknya mata pelajaran yang diberikan
padahal mereka belum sanggup melaksanakannya. Jadi system
pendidikan Indonesia menurut penulis, masih perlu diperiksa dan
dievaluasi berdasar pada kondisi real agar pendidikan tidak berjalan
dalam dunia semu namun dapat benar-benar dirasakan sebagai
kebutuhan dan penuh kejujuran.
B. ARAH PENDIDIKAN NASIONAL
Arah pendidikan nasional menurut Undang-Undang No. 20/2003
tentang system Pendidikan Nasional adalah terwujudnya system
pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab
tantangan zaman yang selalu berubah.
Sejalan dengan visi tersebut diatas, maka Kementrian Pendidikan
Nasional berhasrat untuk tahun 2025 menghasilkan INSAN
INDONESIA CERDAS dan kompetitif. Kemudian dikuatkan kembali
dengan lahirnya UU. Pendidikan Nasional No. 31 Tahun 2010 tentang
Pendidikan Karakter, sebagai bentuk penyempurnaan dari pembinaan
anak bangsa.
C. KEKUATAN DAN KELEMAHAN
Pada artikel ini, penulis tidak ingin berpihak pada salah satu diantara
dua kubu (pemerintah atau masyarakat), namun penulis akan mencoba
untuk mengungkapkan isi hati mengenai kekuatan dan kelebihan dari
system pendidikan yang tengah dilaksanakan. Karena pada dasarnya
tidak ada suatu hal yang perfect, namun tetap saja ditemukan plot/titik
kekurangan dan kelemahan. Akan tetapi, setelah kita tahu akan
sebuah kekurangan, maka alangkah bijaknya jika kita dapat
mengganti celah tersebut menjadi lebih sempurna.
Beberapa kekuatan yang dapat kami simpulkan antara lain:
a. Telah ditargetkannya pembenahan dan pembentukan karakter siswa
b. Telah ditargetkan untuk penyiapan generasi yang selalu update
dengan perkembangan zaman
c. Penyiapan insane yang cerdas dan kompetitif, baik dalam kancah
nasional, regional atau bahkan internasional
d. Perencanaan pemerataan system untuk seluruh warga Negara.
Dilain sisi, adapula beberapa kelemahan dari berbagai macam
kekuatan system pendidikan Indonesia, antara lain:
a. Target pemerataan yang tidak kondisional dengan lapangan,
misalnya target persamaan ujian yang dilaksanakan di kota besar
dengan daerah yang tertinggal
b. Dengan semangat persiapan generasi yang update perkembangan
zaman, membuat semakin banyak dan abstraknya pelajaran yang
diberikan. Padahal, hal tersebut berefek negative pada diri siswa,
karena
menimbulkan rasa bosan dll, sehingga mendorong untuk bolos,
mencontek saat ujian dan lain sebagainya.
c. Pelaksanaan target pendidikan karakter, belum dimulai pada
pencontohan karakter seorang guru kepada siswa.
D. RENCANA SISDIKNAS
Sebagai sebuah lembaga pemerintahan yang berkewajiban untuk
membawa pendidikan ke arah yang lebih baik, maka pemerintah telah
menyiapkan beberapa langkah untuk menuju target tersebut,
diantaranya:
a. Menyiapkan potensi Kepala Sekolah yang fleksibel, dengan melalui
proses pembinaan dan pelatihan. Sehingga dapat mempersiapkan
Kepala yang mampu menyusun, mengatur, melaksanakan, dan
mengevaluasi visi dan misi dari sekolah yang mereka pimpin.
b. Menyiapkan proses rekrutmen siswa yang lebih selektif, baik tes
tulis maupun tes lisan.
c. Menyiapkan dan memperbaharui proses rekrutmen tenaga pengajar
yang lebih selektif .
d. Membenahi alur administrasi setiap jenjang pendidikan, baik
mengenai system informasi sarana dan prasarana, system keuangan,
system informasi siswa, sistem informasi akademik, dll.
E. SOLUSI
Sebagai penutup dari artikel penulis kali ini, kami akan mencoba
memberikan sedikit bayangan terang setelah mengkritik dan
mengungkap berbagai macam kelemahan-kelemahan system
pendidikan Indonesia saat ini. Karena sungguh tidak mulia, jika
penulis hanya mencela tanpa memberikan bayangan solusi dari
permasalahan yang ada.
Maka dari itu, penulis akan mencoba menawarkan beberapa solusi,
diantaranya:
a. Pelaksaan target siswa yang berkarakter, harus dimulai pada diri
pribadi seorang guru terlebih dahulu, yang setiap apa yang ia perbuat
merupakan tuntunan dan didikan pada siswanya.
b. Mata pelajaran (khususnya Sekolah Dasar) perlu diadakan
pengevaluasian karena dipandang masih belum dapat ditaklukkan
oleh siswa karena keanekaragaman yang begitu kompleks sedangkan
tidak sesuai dengan tingkat pemahaman siswa sehingga menimbulkan
perbuatan-perbuatan negative.
c. Diadakannya pembinaan dan pelatihan pada setiap Kepala Sekolah
agar lebih terarah, serta monitoring untuk mengevaluasi jalannya roda
pendidikan
d. Perlu kiranya pemerintah memasukkan mata pelajaran Agama
(Islam, dll) dalam Ujian Negara, karena didalamnya diajarkan budi
pekerti luhur yang dapat menyetir tingkah laku siswa. Sekalipun
menurut informasi yang berkembang, telah akan diadakan pada UN
tahun 2012 mendatang.
e. Perlu ditanamkan dalam konsep pendidikan Indonesia bahwa
keberhasilan pendidikan bukan dinilai dari hasil akhir, namun lebih
berpacu pada proses yang dialami. Kesuksesan bukan dinilai dari
keberhasilan seorang siswa yang berhasil masuk di sekolah atau
Universitas ternama dengan nilai baik dan prestasi beasiswa, akan
tetapi melalui proses penilaian yang kurang adil, karena ternyata nilai
tersebut sengaja dibuat oleh Guru agar tampak berhasil dalam
mengajar dan membanggakan sekolah. Namun, proses pembelajaran
yang siswa lalui selama di sekolah merupakan hal yang lebih patut
untuk dipertimbangkan.
f. Pemerintah hendaknya menghilangkan rasa kekhawatiran dan
ketidakpercayaan Guru atas hasil muridnya jika harus mengikuti UN
secara murni tanpa kecurangan. Yakinkan mereka bahwa mereka bisa
menyelesaikan ujian dengan mengeksplorasi kepampuan mereka
tanpa harus tercampuri dengan keandilan para Bapak/Ibu guru.
g. Perlu adanya pengakuan Pemerintah kepada Lembaga
penyelenggara pendidikan nonformal, setelah memenuhi ketentuan-
ketentuan tertentu. Selanjutnya tetap diadakan monitoring kegiatan
lembaga tersebut yang ditangani sebuah badan dibawah kemendiknas.
Karena pada perkembangannya, mungkin akan dapat kita temukan
bahwa pengkhususan pendidikan skill akan lebih dapat melahirkan
tenaga professional daripada pendidikan umum secara global. Dalam
tanda kutip, penulis tidak mengisyaratkan penghapusan formal,
namun kami ingin mengarahkan bahwa pendidikan informal tidak
dapat dipandang sebelah mata. Kesemuanya (pendidikan formal,
informal dan nonformal) harus senantiasa saling berkesinambungan
agar dapt saling melengkapi dalam setiap lini kehidupan.
h. Pelaksanaan ketetapan tentang ketentuan-ketentuan pendidikan
hendaknya disesuaikan dengan ketetapan yang telah disepakati
bersama. Misalnya mengenai penilaian yang harus diambil melalui
tiga aspek, yakni penilaian sikap (afektif), penilaian pengetahuan
(kognitif), serta penilaian keterampilan (psikomotorik), ketiga aspek
ini sering kali diabaikan pada lapangan yang tentunya bertentangan
dengan ketetapan. Sesuai dengan UU Sisdiknas No.20 tahun 2003
Bab V pasal 25.
Demikian, beberapa solusi yang dapat kami paparkan. Kiranya dapat
dijadikan pertimbangan dalam pengevaluasian perencanaan system
pendidikan Indonesia mendatang.
Kemudian, Penulis meminta ma’af bilamana terdapat goresan
pendapat yang kurang tepat dan belum sesuai menurut hemat para
pakar dan ahli dalam ilmu perancanaan pendidikan Indonesia.
Pendidikan Nasional sehingga kita bisa lebih tahu tentang perjalanan
pendidikan nasional di negeri kita Indonesia. Jadi silahkan di simak
dengan baik.

Setiap bulan Mei tiba, kita pasti teringat akan hari-hari bersejarah
yang selalu diperingati pada bulan ini. Salah satu diantaranya yang
mungkin semua orang akan mengingatnya adalah Hari Pendidikan
Nasional yang jatuh tepat pada tanggal 2 Mei. Pada Hari Pendidikan
Nasional ini, kita seolah disadarkan akan sejarah panjang tentang
perjalanan pendidikan negeri ini. Tapi, mengapa tanggal 2 Mei yang
dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional ?
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) memang identik dengan sosok
Bapak Pendidikan Nasional, yaitu Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar
Dewantara sangat besar pengabdiannya dalam memajukan bangsa
Indonesia di bidang pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Selain


aktif di bidang pendidikan, beliau juga aktif dalam bidang sosial dan
politik. Beliau aktif dalam organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908
dan Indische Partij pada tahun 1912. Sebuah momen yang kita kenal
menjadi Kebangkitan Nasional, dirayakan setiap 20 Mei.
Ki Hadjar Dewantara merupakan seorang penulis handal pada
jamannya. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik
sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya. Banyak karya beliau yang saat ini menjadi landasan
rakyat Indonesia dalam mengembangkan pendidikan, khususnya
kalimat-kalimat filosofis seperti ING NGARSO SUNTOLODO, ING
MADYO MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan
memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi
dorongan). Ada sebuah tulisan beliau yang bertujuan untuk
mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya Negeri Belanda dari
penjajahan Perancis pada bulan November 1913, dan dirayakan di
tanah jajahan Indonesia dengan menarik uang dari rakyat jajahannya
untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Judul tulisannya adalah Als
Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan
petikannya sebagai berikut:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan


pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak
adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan
perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk
pula kantongnya.

Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! "Kalau aku seorang
Belanda" Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander
diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak
ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat tulisan tersebut beliau dibuang tanpa proses pengadilan ke


Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg, namun atas tulisan
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo yang membela nya,
hukuman tersebut berganti menjadi dibuang ke negeri Belanda. Dan
setelah kembali ke Tanah Air, beliau mendirikan sebuah perguruan
yang bercorak nasional bernama Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Dari
sinilah lahir konsep pendidikan nasional, hingga Indonesia merdeka
Ki Hadjar Dewantara pun menjadi Menteri Pendidikan dan meninggal
pada 28 April 1959 di Yogyakarta.

Begitu besarnya perjuangan seorang Ki Hadjar Dewantara untuk


pendidikan Nasioanal. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya di
bidang pendidikan, maka tanggal 2 Mei yang merupakan tanggal
kelahiran Ki Hadjar Dewantara diabadikan sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Pada tahun 1959, Pemerintah menetapkan bahwa setiap
tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Peringatan Hardiknas ini jadikanlah sebuah perenungan bagi kita.
Semoga dengan memperingati Hardiknas, kita dapat memaknainya
sebagai usaha bangsa Indonesia dalam melakukan yang terbaik untuk
pendidikan nasional. Pendidikan itu seharusnya tidak dibatasi oleh
biaya atau uang.

“Praktik pendidikan sering memicu persoalan, baik karena kesalahan


praktik pendidikan maupun karena orientasi masyarakat yang mulai
bergeser dalam memandang hakikat dan realitas pendidikan. Di
beberapa daerah, guru tampak terkooptasi budaya birokrasi sehingga
mereka tidak dapat menjalankan tugas profesionalnya dengan baik.

“Di daerah lain, ada guru yang diadukan orang tua murid karena
tindakannya dinilai melanggar hak asasi manusia. Padahal dalam
pandangan sang guru tindakannya dilakukan semata-mata untuk
mendisiplinkan anak,” kata Rektor Universitas Pendidikan Indonesia
Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. saat membuka Masa Orientasi
Kampus dan Kuliah Umum (Mokaku) mahasiswa baru tahun
akademik 2012/2013 di Gedung Gymnasium UPI Jln. Dr. Setiabudhi
No. 2229 Bandung, Selasa (28/8/2012).

Diungkapkan, pada skala lokal pun masih sering terjadi perang


antarkampung dan berbagai bentuk main hakim sendiri. Perang batu
mengalahkan adu argumen. Emosi massa ibarat rumput kering yang
mudah terbakar. Padahal secara historis Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang santun dengan pranata musyawarah yang kuat dalam
menyelesaikan persoalan.
“Adalah hal yang amat memprihatinkan jika semua masalah yang
membelit remaja dicap sebagai bentuk kegagalan sekolah. Contoh
paling tragis ketika pasangan bulutangkis puteri Indonesia
didiskualifikasi dari ajang Olimpiade London, pada 1 Agustus 2012,
karena tidak bermain serius untuk menghindari lawan tangguh pada
babak berikutnya, dituding sebagai puncak kegagalan sekolah dalam
menanamkan sportivitas, kejujuran, kerja keras, dan percaya pada
kemampuan sendiri,” ujar Prof. Sunaryo.

Di sisi lain, kata dia, menguatnya etnosentrisme memunculkan


berbagai persoalan pada level nasional. Realitas kebangsaan
dipandang menurut perspektif, dan kepentingan sendiri, sambil
menegasikan cara pandang orang lain. Akibatnya, sebuah kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah sudah diprotes sebelum kebijakan
tersebut diimplementasikan karena dinilai merugikan kepentingan
kelompoknya. Undang-undang Pendidikan Tinggi misalnya, sudah
akan diuji materi sebelum perangkat perundangan (yakni Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri) yang akan mengakomodasi
pengaturan secara detail berbagai persoalan pendidikan tinggi dibuat.

“Kondisi yang dihadapi Indonesia dirasakan semakin merisaukan


karena banyak kalangan mencela bangsanya sendiri sambil berharap
meraup untung dari kondisi karut-marut tersebut. Kita, warga
Universitas Pendidikan Indonesia, tidak akan ikut-ikutan mencela
apalagi menghujat bangsa sendiri,” ujar Prof. Sunaryo.

Sebagai warga dari universitas yang menyandingkan ruh dan spirit


pendidikan dan kebangsaan Indonesia dalam namanya, kita memiliki
tanggung jawab moral dan akademis untuk mengambil peran
menyelesaikan persoalan kebangsaan sesuai dengan kapasitas dan
kewenangan yang dimiliki.

“Meminjam nasihat Ban Gu (pemikir Cina kuno), kita lebih baik


kembali dan menenun jaring, daripada hanya berdiri di tepi kolam
sambil berharap mendapatkan ikan.

Oleh karena itu, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan akademik
UPI, saya ingin menegaskan beberapa hal berikut,” ujar Prof. Sunaryo
selanjutnya.

Pertama, ia mengemukakan bahwa pemerintah melalui Kementrian


Pendidikan dan Kebudayaan telah mengambil langkah konkret dalam
meningkatkan kualitas pendidikan, terutama melalui pengalokasian
dana yang cukup besar. Alokasi dana yang dikucurkan untuk
sertifikasi guru dan dosen tidak sedikit. Jumlah guru dan dosen yang
lulus sertifikasi dan memperoleh tunjangan profesipun terus
bertambah.

“Dana BOS terus diluncurkan dalam jumlah yang cukup besar, dan
untuk PT dana BOPT walaupun pada saat ini belum meluncur.
Persoalannya, hingga mana proses ini berdampak nyata bagi
peningkatan kualitas pendidikan di tanah air? Mari setiap diri
bertanya, sudahkah kita memenuhi tuntutan profesi dalam
menjalankan tugas profesional kita. Adakah inovasi yang kita lakukan
untuk meningkatkan kualitas profesi yang menjadi kebutuhan seiring
perkembangan masyarakat dan tuntutan peserta didik yang kita
layani?” kata Prof. Sunaryo.
Betul bahwa biaya adalah instrumen penting dalam implementasi
kebijakan pendidikan, kata dia. Namun biaya bukan satu-satunya
variabel yang menentukan kualitas pendidikan. Paradigma yang
menjadikan isu biaya pendidikan sebagai instrumen politik untuk
memperoleh kepercayaan publik, kini paradigma itu harus berubah
dan menjadikan biaya pendidikan sebagai bahagian dari politik
pendidikan itu sendiri.

Oleh karena itu ketersediaan dana yang cukup besar bagi pendidikan
harus memberi kepastian terwujudnya mutu proses dan mutu hasil
pendidikan. Ketersediaan dana harus disertai dengan arah, tujuan, dan
kebijakan yang jelas dan terhayati oleh semua pengambil kebijakan
dan pemimpin pendidikan dan dilakaukan melalui strategi upaya yang
didasarkan kepada kaidah dan esensi pendidikan secara utuh, yang
memberikan kepastian terwujudnya mutu proses pendidikan yang
berujung dengan mutu hasil pendidikan.

“Peningkatan kualitas profesi dan pengabdian bertumpu pada


komitmen dan kesungguhan pribadi. Komitmen untuk memberikan
layanan terbaik dan komitmen untuk terus melakukan inovasi adalah
kekuatan yang memungkinkan perbaikan terus dilakukan meskipun
dorongan dan insentif dari luar dihentikan,” ujar Prof. Sunaryo.

Masalah kedua yang disampaikan Prof. Sunaryo adalah sebagaimana


digambarkan, wawasan kebangsaan tampaknya menjadi masalah
kritikal dalam pendidikan karakter bangsa. Adopsi teknologi dan
budaya baru yang belum mengenal bentuk di satu sisi, dan
melemahnya ikatan emosional terhadap pranata sosial yang menjadi
rujukan di sisi lain, menimbulkan kesenjangan nilai yang diikuti
disorientasi dan ketercerabutan sosial.

“Seiring dengan biaya pendidikan yang terus diupayakan


peningkatannya, adalah hal yang mesti menjadi kesadaran dan
tanggung jawab semua pihak bahwa pendidikan yang didanai besar
itu harus membangun warga negara yang memiliki nilai kebangsaan
yang kokoh,” kata Rektor menandaskan.

Penanaman nilai kebangsaan di sekolah dan masyarakat dapat


dilakukan melalui pembelajaran berbagai bidang studi dan even.
Sudah saatnya mengembalikan sekolah sebagai lembaga yang
menaruh perhatian pada pembiasaan hal-hal baik, seperti antre,
menghargai orang lain, toleran terhadap perbedaan, tidak buang
sampah sembarangan, tidak menyontek, dan sejenisnya. Ke dalamnya
termasuk memupuk kesabaran, keuletan, kerja keras, dan percaya
pada kemampuan sendiri dalam memperjuangkan cita-cita, sehingga
kelak tidak tergoda untuk menempuh jalan pintas.

“Rasanya tidak berlebihan apabila salah satu standar kebermutuan


pendidikan di sekolah adalah ketertanaman nilai kebangsaan
Indonesia dan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Kuasa pada para
peserta didik,” kata Rektor.

Masyarakat tidak bisa berharap perubahan kultur sekolah dapat


berlangsung tanpa melakukan perubahan dalam cara lembaga
pendidikan menyiapkan calon guru di UPI. Satu refleksi yang patut
direnungkan ialah bahwa fakta menunjukkan, sebagian besar guru
mengajar dalam cara seperti dosen mengajar mereka. Oleh karena itu,
pastikanlah apa yang diajarkan di UPI dan bagaimana cara
mengajarkannya akan membuahkan tindakan mendidik yang baik.

“Tugas utama guru adalah mengajarkan hal yang menjadi prinsip


hidup, membina keterampilan profesi, dan menghilangkan keraguan
atas pilihan nilai. Ini mengandung arti bahwa mendidik calon guru
harus didasarkan pada ilmu pendidikan guru yang akan harus menjadi
ciri dan kekuatan LPTK. Alhasil tidak bisa sembarang lembaga
mengklaim diri sebagai LPTK,” kata dia.

Pembudayaan hal-hal baik harus menjadi gerakan masif yang


didukung semua kalangan melalui penampilan sosok yang menjadi
teladan. Kegalauan seorang pendidik yang hidup dalam tiga zaman,
Winarno Surakhmad, yang juga alumni UPI di usianya yang
memasuki 80 tahun masih memendam mimpi membudayakan tanah
air. Ia menegaskan perlunya usaha serius untuk membudayakan
mengindonesiakan Indonesia, sehingga seorang WNI tidak hanya
akan singgah, lalu meninggal sebagai pemegang KTP yang
dikeluarkan Pemerintah Indonesia, tetapi tidak pernah merasa
menyatu, tidak pernah merasa terundang, tidak pernah merasa
tertantang, tidak pernah merasa bahagia, tidak pernah merasa
berkewajiban membela, tidak pernah merasa berbudaya Indonesia.

“Kepada para mahasiswa baru, saya ucapkan selamat, Anda menjadi


bagian dari keluarga besar UPI, universitas yang dikenal karena
kepeloporan dan keunggulannya. Teruslah pupuk bakat baik Anda
melalui serangkaian proses belajar secara sabar dan sungguh-
sungguh. Bersama Anda, kami akan terus melakukan inovasi dan
perbaikan terus-menerus sehingga kelak begitu lulus Anda akan
merasa bangga mengaku sebagai alumni UPI,” kata Rektor.
PARADIGMA PENDIDIKAN MASA DEPAN

PENDAHULUAN

Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara


kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah
sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru
sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi
150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat
Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar
30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu
perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun
sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan
peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul
berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat,
termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara
kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang
dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota,
antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin.
Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang
lain yang tidak dapat dipisah dari problem pendidikan yang telah
disebutkan di atas.

Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial.


Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada
peserta didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni
pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan
sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.

Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk


meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum
menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan
di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem
masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan
pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk
pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal
sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan
ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan
paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah
usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan
yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.

Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?

Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang


mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek
sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama
meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam
proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict


Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai :
a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b)
mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan,
kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan
kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi
politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi
ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional


muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan
dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional
dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa
keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak
mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan,
kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di
Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan
lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan
dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang
diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan
adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan
partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut
muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi
dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of
return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang
fisik.

Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat


peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan
kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum,
meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya
warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu,
berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas
secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa
menginginkan kemajuan.

Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan


pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal.
Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-
mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan
mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang
dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka
Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut
memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan
bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah
direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu
dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum,
kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan
rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan
untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks
prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.

Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah


bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input
dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan
sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input
baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik
pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan
tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai
sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial,
bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi
tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek
pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang
keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma
pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai
suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian
dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.

Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan


sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai
penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu
menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti
kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka
pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal
sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia
yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus
menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain,
khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi
menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan
formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori
akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan
tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.

Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan


penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem
pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir
secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan
pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga
pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang
dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan
etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid,
manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan
pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional
sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko
pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul
Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah
menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan
munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya
kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran
terdidik.

Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber


pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat
mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat
pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan
pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan
menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas
paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.

Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang


diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki
kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat
diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan
menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang
secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan
mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki
sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam
kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga
pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di
samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru
melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia
industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih
sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa
pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai
akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan
akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi
realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul
terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi,
melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi
sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan
kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth,
melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan
pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti,
karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata,
maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat,
sebagaimana terjadi dewasa ini.

Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi


bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang
bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan
produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah
dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa
kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa
economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat
tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain,
adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.

Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa


pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual,
tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan
kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas.
Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah
semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun,
Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf
Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini.
Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk
memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan
pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki
produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang
memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian
yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di
dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi
sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih.

Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik

Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan


pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional
yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa
sendiri.

Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat


linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma
Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan
dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional
dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi
semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of
growth, sebab kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan
formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada
khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga
pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi
tenaga kerja yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan
tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diperlukan berubah
dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.

Paradigma peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat


kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-
Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan
teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan
bahwa segala obyek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh.
Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan
dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan
dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi
dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam
suatu kesempatan berikutnya.

Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses


pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses
pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan
diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki
karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan
proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan
lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan
bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak
bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan
masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya.
Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya
ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah,
melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang
mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya.
Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan
bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus
melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja,
pelatihan dan pendidikan formal sistem persekolahan.

Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan mampu


menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas
yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang
senantiasa berubah dengan cepat.

Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya


ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja
yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya
kelemahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya
untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh
akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa
dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus
dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh
karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan
kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses
yang berlangsung di dunia kerja.
Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari
perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua
negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang
pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi
pada bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda.
Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub:
Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat
dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem
pendidikan Jepang.

Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan


erat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan.
Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada
persaingan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan harus merangsang
munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam
mewujudkan kompetisi adalah kebijakan desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi, diduga akan erat berkaitan dengan keberhasilan
peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menimbulkan
dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari
kepercayaan yang mereka peroleh.

Sudah barang tentu, desentralisasi yang memberikan otonomi lebih


luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula aktivitas pada level
kelas. Artinya, proses belajar mengajar juga harus berubah;
paradigma baru mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas
pada sub bab 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan
konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub bab
5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan
pada level sekolah.
Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya peran guru. Peran guru
tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya,
pekerjaan guru akan dapat dilakukan dengan baik dan benar apabila
seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang
untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu
kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski
andai kata tidakpun guru tetap akan dapat melaksanakan tugas
memenuhi standar minimal. Pada bab ini antara lain dibahas upaya
peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan usaha
para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi
berbagai arahan dan instruksi. Yang penting adalah perlu disusun
standar profesional guru 'yang akan dijadikan acuan pengembangan
mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada era
globalisasi ini. Sosok guru ini penting karena guru merupakan salah
satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter
atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru
akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua
bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan
tentang tantangan guru pada era globalisasi yang kita jelang.
Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan
budaya. Guru tidak mungkin menisbikan adanya berbagai perubahan
tersebut. Guru harus mengembangkan langkah-langkah proaktif untuk
menghadapi berbagai perubahan.

Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah


Indonesia. Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan
hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti
pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem
pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk
menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu
dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam
mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti
bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan
realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang
berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang
dapat dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif
reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi
dimasa depan dibahas pula pada bab ini. Tantangan yang mendasar
adalah bagaimana dapat melakukan reformasi pendidikan yang pada
akhirnya dapat mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya
menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu,
kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus
ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang mudah tetapi sekaligus
menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-
persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa
depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya tugas guru adalah
mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum
bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah
tubuhnya. Dibahas pula tentang bagaimana seharusnya kurikulum
dikembangkan. Dua landasan kurikulum adalah apa kata hasil-hasil
penelitian tentang otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas
permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud
prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret
pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi
ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan
dapat mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa
memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru
semata. Kultur sekolah oleh berbagai penelitian dipastikan ikut
memegang peran penting. Oleh karena itu, dalam bab ini secara
khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan
serta peran kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas
pendidikan tidak hanya dapat diartikan pencapaian prestasi akademik
semata, untuk itu perlu dibahas tentang prestasi atau hasil pendidikan
yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan tentang bagaimana
reformasi pendidikan harus dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai