Anda di halaman 1dari 5

BIOGRAFI DAN AJARAN- AJARAN TASAWUF AL HAITAMI

A. BIOGRAFI IBNU ‘ARABI


1. Riwayat Hidup Ibnu ‘Arabi
Nama lengkap Ibnu Arabi[1] adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah
Ath-tha’I Al-Haitami. Namanya biasanya disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu
Bakar Ibnu Al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla . Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadan
560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu
kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy. Pada tahun 603
hijriah beliau Ibn ‘Arabi telah meninggal Dunia di Damaskkus dan beliau dimakamkan di
kaki Bukit Qasium.
2..Pendidikan

Setelah berumur 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan


kawasan Islam bagian barat. Di antara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama, seperti
Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan
wanita). Keduanya banyak memengaruhi ajaran Ibnu Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah
berjumpa dengan Ibnu Rusyd, filsuf muslim dan tabib istana dinasti Berbar dari Alomohad,
di Kordova. Ia pun di kabarkan mengunjungi Al-mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibnu
Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh banyak memperoleh banyak
pengaruh di Andalusia.

B. AJARAN-AJARAN TASAWUF IBNU ARABI

1. Wahdatul Wujud (kesatuan wujud).

Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdatul wujud. Meskipun demikian, istilah
wahdatul wujud ini bukan berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah, tokoh yang
paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut.
Menurut Ibnu Arabi, wujud[2]semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluq
pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khaliq dan
makhluq) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara keduanya ada
perbedaan, hal ini dilihat dari sudut pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya
dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu
berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu Arabi berikut :
“ Mahasuci Tuhan yang telah menjdikan segala sesuatu dan Dia adalah hakikat segala
sesuatu itu. ”
Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Dan Allah
adalah hakikat alam. Tidak ada peerbedaan antara wujud yang qodim (terdahulu) dengan
yang huduts (baru). Tidak ada perbedaan antara ‘abid (penyembah) dengan ma’bud (yang
disembah). Bahkan antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu
hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu.
Untuk pernyataan tersebut, Ibnu Arabi mengemukakan melalui syairnya :
“Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba
Demi syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf?
Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga
Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?”
Kalau antara khaliq dan makhluq bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua?
Ibnu Arabi menjawab, sebab manusia memandangnya tidak dari sisi satu, tetapi memandang
dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu, dan makhluq dari sisi
yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua
sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti dapat mengetahui hakikat keduanya, yaitu Dzat-
Nya satu yang tidak terbilang dan terpisah.
Sehubungan dengan hal ini, Ibnu Arabi pun menyatakan dalam syairnya[3] :
“ Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluq, maka pikirkanlah.
Siapa saja yang menangkap apa yang aku katakan, penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali orang yang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan bedakan, sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar “
Dalam syair tersebut, terkesan bahwa wujud Tuhan juga merupakan wujud alam dan wujud
Tuhan bersatu dengan wujud alam yang dalam istilah barat disebut panteisme.
Menurut Henry C. Theissen, definisi panteisme adalah teorimyang berpendapat
bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasiatau bagian dari satu wujud yang
kekal dan ada dengan sendirinya. Ia memandang Tuhan sebagai satu dengan natural (alam).
Tuhan adalah semuanya, dan semuanya adalah Tuhan.
Selanjutnya, Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam. Menurutnya, alam ini
adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki, dan alam ini tidak mempunyai
wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu, alam ii merupakan tempat tajalli dan mazhar
(penampakan) Tuhan.
Menurut Ibnu Arabi , ketika Allah SWT menciptakan alam ini, ia juga memberikan
sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti
badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu Allah menciptakan manusia untuk memperjelas
cermin itu. Dengan kata lain, alam ini merupakan mazhar dari asma dan sifat Allah SWT
yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya akan kehilangan maknanya dan
senantiasa dalam bentuk dzatyang tinggal dal kesendirian-Nya yang mutlak dan tidak dikenal
oleh siapapun.
Ibnu Arabi menjelaskan hal tersebut dengan unkapan syairnya :
“Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika anda perbanyak cermin, maka iapun menjadi
banyak”
Untuk memperkuat pendiriannya, Ibnu Arabi merujuk sebuah hadits qudsi
Artinya :
“Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal
maka kuciptakan makhluq. Lalu dengan itulah mereka mengenal aku.”

2. Al-Hakikat Muhammadiyyah

Konsep ini merupakan lanjutan atau cabang dari konsep “wahdatul wujud”.
Menurut[4] Ibnu Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta yang melalui proses penciptaan
sebagai berikut :

1 . Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.


2 . tanazzul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam realitas-realitas rohaniah , yaitu alam
arwah yang mujarrad (menyendiri).
3 . Tanazzul pada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4 . tanazzul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau
khayal
5 . Alam materi , yaitu alam indrawi.
Berhubungan dengan hal tersebut, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya alam ini
tidak tidak bisa dipisahkan dengan ajaran hakikat Muhammadiyyah atau Nur Muhammad.
Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan
kedua ajaran ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dn tidak berhajat pada suatu
apapun;
2. Wujud hakikat Muhammadiyyah merupakan emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud
Tuhan. Dari sini, kemudian muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapan seperti
yang telah disebutkan di atas.
Dengan demikian, Ibnu Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta
ini diciptakan dari yang tiada (cretio ex nihilio).Selanjutnya , ia mengatakan bahwa Nur
Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dari berbagai macam kesempurnaan
ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada diri para Nabi semenjak Adam sampai
Muhammad, dan terealisasikan dari Muhammad pada diri pengikutnya dari kalangan para
wali dan insan kamil (manusia sempurna). Bagi Ibnu Arabi, tegaknya alam ini karena adanya
manusia sempurna, dan alam ini akan tetap terpelihara selama manusia sempurna masih ada.
Ibnu Arabi membedakan manusia manusia sempurna menjadi dua : Pertama, manusia
sebagai kedudukannya sebagai manusia baru. Kedua, manusia sempurna dalam
kedudukannya sebagai manusia abadi. Karena itu, dalam deskripsinya, manusia sempurna
adalah manusia baru yang abadi, yang muncul bertahan dan abadi.
Ibnu Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyyah dengan quthb dan kadang-
kadang pula dengan ruh al-khatam.

3. Wahdatul Adyan[5] (kesatuan agama)

Konsep ini juga merupakan kelanjutan atau cabang dari konsep wahdatul wujud.
Ibnu Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyyah.
Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah SWT.
Dalam lirik sya’irnya ia mengucapkan :
“Dulu tidak kusenangi temanku jika agamanya lain dari agamaku
Kini kalbuku bisa menampung semua
Ilalang perburuan kijang atau biara pendeta
Kuil pemuja berhala atau ka’bah
Lauh taurah dan mushaf Al-Qur’an
Aku hanya memeluk agama cinta kemanapun kendaraan-kendaraanku menghadap.
Karena cinta adalah agamaku dan imanku”
Kemudian ucapannya yang lain pula :
“Terhadap Khaliq, makhluq pun memeluk semua yang dipercaya
Dan aku memeluk semua yang mereka percaya”
Berdasar ungkapan-ungkapan di atas, bisa diambil makna bahwa semua yang disembah oleh
semua penganut agama adalah Dia Yang Maha Esa. Adapun patung, batu, api, ka’bah
ataupun apapun namanya hanya sekedar lambang (simbol) saja. Ibnu Arabi mengakui Ka’bah
sebagai kiblat, tapi bukanlah syarat sahnya shalat. Oleh karenanya, tidaklah patut berselisih
antar agama karena tujuan dan isinya hanya satu yaitu menyembah dan mengagungkan Tuhan
Yang Maha Esa.

4. Ibn ‘Arabi Manusia Sempurna dan Manusia Hewani

Ibn Arabi secara mendetail menjelaskan pembentukan[6] universum dipandang dari sisi
empat elemen. Setelah menjelaskan sejauh kemunculan tumbuh-tumbuhan dan binatang, dia
menyimpulkan sebagai berikut, bahwa manusia adalah bayangan dari cahaya-cahayaTuhan
yang diibaratkan dengan manusia primordial. Ini semua adalah penampakan cahaya-cahaya
Tuhan secara berturut-turut menyinarinya dari semua sisi. Oleh karenanya banyak bayangan-
bayangan sesuai dengan jumlah penampakan terdapat banyak bayangan sesuai dengan jumlah
penampakan atau manifetasi Tuhan, karena setiap penampakan Tuhan mempunyai cahaya
yang menghasilkan sebuah bayangan bentuk manusia di dalam eksitensi material (wujud
unsurt). Dari pernyataan Ibnu Arabi kami dapat menyimpulkan bahwa:

1. Diantara manusia, hanyalah mereka yang mencapai tingkat kesempurnaan yang dapat disebut
sebagai manusia sempurna.

2. Selebihnya adalah manusia hewani, yang berbeda dengan berbagai hewan lainnya hanya
melalui ciri-ciri khusus yang merupakan sifat-sifat-Nya, sebagai mana kuda berbeda dengan
hewan lainnya melalui ciri-ciri khususnya.

3. Perbedaan antara manusia hewani dengan manusia sempurna berada pada kemampuan
manusia sempurna untuk memanipulasi (tasrif) nama-nama Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai