Anda di halaman 1dari 27

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM


TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:
Nama: Debora Rika Angelita
NIM: 13.70.0041
Kelompok: D1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1. MATERI METODE

1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas,
kain saring.

1.1.2. Bahan
Limbah udang, HCl 0,75N; 1 N; dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.

1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 meshdan


ditimbang

1
2

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan


10:1

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24


jam
3

1.2.2. Deproteinasi

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan


perbandingan 6:1

dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada


suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin
4

1.2.3. Deasetilasi

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%


dengan perbandingan 20:1

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada


suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan


Rendemen Rendemen Rendemen
Kelompok Perlakuan
Kitin I (%) Kitin II (%) Kitosan (%)
HCl 0,75N + NaOH 40% +
D1 32,14 25 48,25
NaOH 3,5%
HCl 0,75N + NaOH 40% +
D2 32,14 31,38 39,43
NaOH 3,5%
HCl 1N + NaOH 50% +
D3 36,84 45,71 46,80
NaOH 3,5%
HCl 1N + NaOH 50% +
D4 34,78 37,78 39,20
NaOH 3,5%
HCl 1,25N + NaOH 60% +
D5 29,17 32,73 39,14
NaOH 3,5%

Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa hasil pengamatan pada masing-
masing kelompok menghasilkan data yang berbeda. Rendemen kitin I terbesar
dihasilkan oleh kelompok D3 sebesar 36,84%, sedangkan rendemen kitin I terkecil
dihasilkan oleh kelompok D5 sebesar 29,17%. Rendemen kitin II terbesar dihasilkan
oleh kelompok D3 sebesar 45,71%, sedangkan rendemen kitin II terkecil dihasilkan
oleh kelompok D1 sebesar 25%. Rendemen kitosan terbesar dihasilkan oleh kelompok
D1 sebesar 48,25%, sedangkan rendemen kitosan terkecil dihasilkan oleh kelompok D5
sebesar 39,14%.

5
3. PEMBAHASAN

Bahan baku utama dalam praktikum ini adalah limbah udang. Menurut Indra (1994),
udang termasuk dalam golongan Crustaceae yang mampu menghasilkan kitin. Sekitar
75% total berat dari udang atau kepiting merupakan bagian yang tidak dimakan 20-58%
dari total kering, dari bagian yang tidak dimakan ini dapat diperoleh kitin. Shahidi, et al.
(1999) mengatakan bahwa kitin merupakan polimer ikatan (1-4) 2-acetamido-2-deoxy
β-D glucan yang dapat diekstrak dari eksoskeleton Arthropoda, seperti crustacea dan
insect. Kitin juga dapat diperoleh dari kulit kerang, paruh burung, serta tulang rawan
(bagian tengah) cumi-cumi. Menurut Abdulkarim et al. (2013), kitin merupakan poli (b-
(1-4)-N-asetil-D-glukosamin) yang merupakan polisakarida alami. Kitosan merupakan
polisakarida alami yang terdiri dari kumpulan kopolimer glukosamin dan N-
asetilglukosamin yang dapat diperoleh dari proses deasetilasi kitin secara enzimatis
maupun dengan metode alkaline. Dalam bentuk kristalin, kitosan umumnya tidak larut
pada larutan dengan pH di atas 7.

Gambar 1. Struktur Kimia Kitin (Zaku et al. 2011)

Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan (Abdulkarim et al. 2013).

6
7

Pemanfaatan limbah udang untuk dijadikan kitin dan kitosan juga berguna untuk
mengurangi cemaran limbah. Sekitar 30% sampai 40% dari berat udang merupakan
limbah udang. bagian cangkang udang masih banyak mengandung protein, karbohidrat,
dan mineral dan apabila langsung dibuang ke lingkungan akan meningkatkan BOD air.
Selain itu, limbah udang akan mengalami denaturasi protein dan hidrolisis secara alami
dan menimbulkan bau busuk. Kadar kitin dalam berat udang sekitar 60-70% dan bila
diproses menjadi kitosan menghasilkan yield 15-20%. Manjang (1993) menambahkan
bahwa salah satu limbah yang dihasilkan dalam industri pengolahan udang adalah kulit
udang. Kulit udang ternyata dapat dimanfaatkan dan memberikan keuntungan atau nilai
ekonomis.

Suhardi, et al. (1992) menambahkan bahwa kitin pada umumnya yang ada di alam
namun tidak dalam keadaan bebas. Kitin biasanya berikatan dengan protein, mineral,
dan berbagai macam pigmen. Ormun (1992) menyatakan bahwa kitin tidak beracun dan
mudah mengalami terdegradasi secara biologis. Peter (1995) menambahkan bahwa kitin
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pendukung dari beberapa enzim, seperti papain,
laktase, kimotripsin, asam pospatase, dan glukosa isomerase yang dimanfaatkan oleh
industri pangan dan komestik.

Menurut Balley & Ollis (1977), kitosan merupakan turunan dari kitin. Muzzarelli
(1977) menjelaskan bahwa kitosan merupakan kopolimer dari N-acetyl glucosamine dan
hadir dalam bentuk homopolimer. Kitosan merupakan polisakarida dasar dengan berat
molekular yang tinggi dan berada pada dinding sel dari beberapa jamur, dan serangga.
Menurut Muzzarelli, et al. (1986), proses pembuatan kitosan dari kitin melalui N-
diasetilasi dari kitin dengan 40-50% basa cair pada suhu 120-160oC. Kitosan tidak larut
dalam air, larutan basa kuat; sedikit larut dalam HCl, HNO3, 0,5% H3PO4; dan tidak
larut dalam H2SO4. Menurut Cahyaningrum, et al. (2007), kitosan juga merupakan
produk alami yang tidak beracun, sama seperti kitin dan berupa polisakarida yang tidak
larut air, serta merupakan biopolimer kationik yang dapat didegradasi. Kitosan sangat
mudah larut dalam asam organik (asam formiat, asam asetat, dan asam sitrat). Beberapa
sifat spesifikdari kitosan yaitu bioaktif, hidrofilik, biokompatibel, pengkelat, antibakteri,
dapat terbiodegradasi dan mempunyai afinitas yang besar terhadap enzim. Pada tahap
8

deasetilasi akan memotong gugus asetil pada kitin dan menyisakan gugus amina,
sehingga derajat deasetilasi mempengaruhi kelarutan yang dimiliki oleh kitosan.
Menurut Dunn et al. (1997), adanya H pada amina akan memudahkan interaksi dengan
air melalui ikatan hidrogen. Suhartono (1989) menambahkan bahwa pelepasan gugus
asetil dari kitosan ini akan menyebabkan kitosan bermuatan positif yang mampu
mengikat senyawa bermuatan negatif, seperti protein, anion polisakarida, dan
membentuk ion netral.

3.1. Cara Kerja


Proses pembuatan kitosan pada praktikum ini terdiri dari 3 tahap, yaitu demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi. Menurut Hartati, et al. (2002), faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan proses pembuatan kitin antara lain adalah jenis bahan baku
dan proses ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi). Menurut Laila & Hendri
(2008), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas dari ekstraksi kitin adalah
tahapan proses, yaitu tahapan deproteinasi-demineralisasi serta kondisi proses dari
setiap tahapan (lama proses pengolahan, suhu, konsentrasi zat kimia dan pH). Menurut
Alamsyah, et al. (2001), isolasi kitin yang dilakukan melalui tahap demineralisasi-
deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan
tahap isolasi kitin yang melalui tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal ini disebabkan
karena mineral akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang, sehingga bila
dilakukan tahap penghilangan mineral terlebih dahulu, maka tahap deproteinasi basa
dapat berjalan dengan lebih optimal dalam penghilangan protein. Hal ini juga didukung
oleh pernyataan Angka & Suhartono (2000) yang menyebutkan bahwa urutan proses
isolasi kitin dengan tahap demineralisasi-deproteinasi akan menghasilkan rendemen
kitin dan derajat deasetilasi yang lebih baik dibandingkan dengan proses deproteinasi-
demineralisasi.

3.1.1. Demineralisasi
Menurut Suhardi (1993), tahap demineralisasi adalah tahap penghilangan mineral. Salah
satu mineral yang dihilangkan dengan penambahan larutan asam klorida (HCl) encer
pada suhu kamar adalah kalsium karbonat. Hal ini dilakukan karena kulit udang
mengandung sekitar 30-50% (berat kering) mineral dan komposisi utamanya adalah
9

kalsium karbonat dalam jumlah besar dan kalsium fosfat dalam jumlah kecil. Pada tahap
ini, mula-mula limbah udang (kulit udang) dicuci dengan air mengalir, kemudian
dikeringkan. Setelah kering, sampel dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak
dua kali. Pencucian dengan air panas bertujuan untuk menjamin tidak adanya kotoran
yang menempel di kulit udang sekaligus mematikan mikroorganisme yang ada. Setelah
itu dikeringkan kembali dan dihancurkan hingga membentuk bubuk, kemudian
dilakukan pengayakan dengan ayakan 40-60 mesh. Tujuan dilakukannya pengeringan
kedua adalah untuk menurunkan kadar air pada kulit udang, sedangkan penumpukan
limbah udang kering ditujukan untuk mempercepat proses selanjutnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Muzzarelli, et al. (1997), penumbukan atau penghancuran menjadi
serbuk berfungsi agar proses selanjutnya berlangsung lebih cepat dan sempurna.
Permukaan sampel yang semakin luas, akan menyebabkan semakin banyak dan cepat
penyerapan larutan alkali / pelarut yang akan diberikan.

Selanjutnya, serbuk kulit udang ditimbang sebanyak 10 gram (berat basah I) dan
ditambah dengan 100 ml larutan HCl (serbuk kulit udang : HCl = 1:10) dengan
konsentrasi 0,75 N untuk kelompok 1 dan 2; HCl 1 N untuk kelompok 3 dan 4;
sedangkan untuk kelompok 5 ditambahkan HCl 1,25 N. Penggunaan HCl ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendri, et al. (2007), dimana di antara 3 larutan
asam (HNO3, HCl dan H2SO4) yang digunakan pada tahap demineralisasi, larutan HCl
memiliki % recovery tertinggi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Austin, et al.
(1981) yang menyatakan bahwa penggunaan HCl efektif untuk melarutkan kalsium
dalam bentuk kalsium klorida, namun HCl juga mampu membuat kitin mengalami
depolimerisasi. Pada saat penambahan larutan HCl pada sampel, terbentuk gelembung-
gelembung udara. Hal ini sesuai dengan pendapat Hendri, et al. (2007) bahwa proses
pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 atau gelembung-
gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel. Hal ini terjadi
karena saat penambahan HCl, terjadi pelepasan CO2 dan terbentuk ion Ca2+, ion H2PO4-
yang terlarut dalam larutan berair sehingga menjadi CaCl2 yang akan hilang ketika
penyaringan.
10

Lalu larutan dipanaskan di atas hotplate sambil diaduk selama 1 jam setelah suhu
mencapai 80oC. Pengadukan ini bertujuan untuk menghomogenkan larutan dan
menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Puspawati & Simpen (2010), pengadukan dilakukan untuk menghindari terjadinya
luapan gelembung udara yang dihasilkan selama proses demineralisasi. Pemasanan
selama 1 jam sendiri bertujuan untuk mencapai keadaan yang optimum bagi HCl dalam
melarutkan mineral-mineral pada proses demineralisasi ini. Hal ini didukung dengan
pendapat Hendry (2008) yang mengatakan bahwa proses pemanasan dan pengadukan
selama 1 jam bertujuan untuk menghilangkan gas CO2 yang terbentuk akibat proses
pemisahan mineral (demineralisasi).

Setelah itu disaring dan diambil residunya, kemudian dicuci dengan air mengalir hingga
pH menjadi netral (pH 7). Tujuan pencucian dengan air yang mengalir hingga pH netral
adalah menghilangkan sifat asam dari HCl. Hal ini sesuai dengan pendapat Mudasir, et
al. (2008), pencucian pada tahap demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan HCl
yang masih tersisa dalam residu dan mencegah terjadinya degradasi produk selama
proses pengeringan. Jika masih terdapat HCl, maka HCl bereaksi dengan kalsium dan
membentuk suatu kompleks kalsium klorida, sehingga diperoleh mineral kitin dengan
berat molekul lebih tinggi. Selanjutnya, dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama
24 jam. Proses pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air dari kitin karena
dalam proses melibatkan banyak air. Proses pengeringan ini akan menghasilkan kitin
kering yang tidak mengandung mineral.

Berdasarkan data hasil pengamatan, rendemen kitin I yang dihasilkan tiap kelompok
berbeda, sekitar kurang lebih 20-30%. Rendemen kitin I terbesar dihasilkan oleh
kelompok D3 sebesar 36,84%, sedangkan rendemen kitin I terkecil dihasilkan oleh
kelompok D5 sebesar 29,17%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hargono, et al. (2008),
limbah udang mengandung sekitar 20-30% senyawa kitin, 40-50% mineral dan 21%
protein. Puspawati & Simpen (2010) dan Ramadhan, et al. (2010) menambahkan bahwa
rendemen kitin yang berasal dari proses demineralisasi ≥ 20% sangat dipengaruhi oleh
penambahan larutan HCl. Menurut Laila & Hendri (2008), semakin besar konsentrasi
HCl yang diberikan, maka rendemen kitin yang dihasilkan semakin besar karena
11

senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang semakin mudah dilepaskan dan menurut
Bastaman (1989), asam klorida dapat melarutkan komponen mineral seperti kalsium
karbonat. Hal ini tidak sesuai dengan hasil praktikum, konsentrasi HCl terbesar justru
menghasilkan rendemen kitin I yang terkecil. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh
kesalahan pada saat melakukan pencucian sampai pH netral, adanya rendemen yang
terbuang pada saat penyaringan, sehingga menyebabkan jumlah rendemen yang
terhitung menjadi berkurang. Selain itu, ketidaksesuaian hasil dengan teori dapat
disebabkan karena kain saring yang digunakan memiliki pori-pori lubang yang relatif
lebih besar dari ukuran filtrat yang disaring. Johnson & Peterson (1974)
mengungkapkan bahwa semakin tinggi dosis dan konsentrasi asam atau basa yang
ditambahkan, maka dapat menimbulkan terjadinya pelepasan atau peregangan ikatan
protein dan mineral dalam kitin dan kitosan pada kulit udang serta bahan organik
lainnya yang terdapat didalamnya. Hal ini menyebabkan rendemen kitin yang dihasilkan
semakin banyak. Hal ini didukung pula dengan pernyataan Lehninger (1975), tingginya
nilai rendemen disebabkan karena penambahan HCl yang diberikan, perlakuan
pemanasan dan pengadukan. Sedangkan menurut hasil penelitian dari Hendri, et al.
(2007), konsentrasi HCl dari 1-2 N akan menaikkan % recovery, namun pada
konsentrasi lebih dari 3 N justru berat rendemen kitin semakin berkurang atau tidak
terjadi peningkatan berat endapan yang berarti. Hal ini mengakibatkan % recovery juga
ikut berkurang. Sisa asam yang tidak bereaksi dengan mineral dapat mendegradasi kitin
melalui reaksi deasetilasi atau depolimerasi molekul kitin sehingga menyebabkan
pengurangan berat. Menurut Ramadhan, et al. (2010) dan Prasetyo (2006) yang
mengungkapkan bahwa pelarut yang baik dalam proses demineralisasi adalah HCl 1 N.
Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan praktikum, dimana pada pemberian HCl 1 N,
rendemen yang dihasilkan adalah rendemen yang tertinggi.

3.1.2. Deproteinasi
Tahap deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan protein pada limbah
udang. Hal ini disebabkan karena limbah udang masih mengandung protein yan cukup
tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwaningsih (1994), limbah udang mengandung
protein yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30%, sehingga diperlukan proses deproteinasi
dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan protein tersebut. Pada tahap ini, hasil
12

dari tahap demineralisasi yang telah dikeringkan ditimbang (berat kering I)


dicampurkan dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan pelarut dan serbuk sebesar 6 :
1. Menurut Martinou, et al. (1995), tujuan dari proses perendaman dalam larutan NaOH
adalah untuk mengubah bentuk kristalin kitin yang rapat, sehingga enzim lebih mudah
berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin. Selain itu, perendaman dapat
melarutkan protein yang melekat pada tepung kulit udang tersebut. Rochima (2005)
menambahkan bahwa NaOH perlu ditambahkan untuk memutuskan ikatan antara
protein dan kitin.

Selanjutnya larutan tersebut dipanaskan kembali di atas hotplate pada suhu 70oC sambil
diaduk lagi selama 1 jam. Pemanasan ini bertujuan untuk mendenaturasi protein. Hal ini
sesuai dengan teori dari Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa dengan pemanasan,
maka protein akan terdenaturasi. Larutan yang telah dipanaskan selama 1 jam,
kemudian didinginkan. Menurut Rogers (1986), tujuan dari proses pendinginan ini
adalah agar kitin pada larutan dapat mengendap di bawah, sehingga tidak terbuang saat
pencucian. Kemudian rendemen dicuci kembali dengan air mengalir hingga dicapai pH
netral lalu disaring. Pencucian hingga pH netral ini berfungsi untuk mencegah supaya
kitin tidak ikut teruapkan pada proses pengeringan pada oven. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan sifat basa dari NaOH. Hal ini sesuai dengan pendapat Mudasir, et al.
(2008), pencucian dilakukan untuk menghilangkan NaOH yang masih tersisa dalam
residu. Selanjutnya residu dikeringkan kembali di oven dengan suhu 70oC dan selama
24 jam. Pengeringan ini bertujuan menguapkan air yang masih tersisa selama proses
pencucian, sehingga produk kitin akhir adalah berbentuk kering dan tidak mengandung
protein.

Berdasarkan data hasil pengamatan, rendemen kitin II terbesar dihasilkan oleh


kelompok D3 sebesar 45,71%, sedangkan rendemen kitin II terkecil dihasilkan oleh
kelompok D1 sebesar 25%. Hal ini sesuai dengan pendapat Puspawati & Simpen
(2010), kulit udang yang melalui tahap deproteinasi akan menghasilkan kitin sebanyak
minimal 20%. Sedangkan menurut Fennema (1985), pada suasana basa, jumlah protein
dan mineral akan dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan suasana asam. Hal ini
disebabkan larutan basa, seperti NaOH memiliki aksi hidrolisis yang lebih kuat daripada
13

asam, sehingga nilai rendemen yang dihasilkan lebih kecil. Hal ini tidak sesuai dengan
hasil pengamatan yang diperoleh, hal ini dikarenakan nilai rendemen kitin II justru lebih
besar dibandingkan dengan rendemen kitin I. Ketidaksesuaian antara teori dan hasil
pengamatan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti panas yang berlebih,
pengadukan yang berlebih, hilangnya komponen saat dilakukan pencucian, dan proses
pengeringan yang belum sempurna sehingga belum semua air teruapkan.

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa warna akhir kitin yaitu coklat muda.
Hal ini tidak sesuai dengan teori Muzzarelli (1985), kitin merupakan kristal amorphous
berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak dapat larut dalam air maupun
pelarut organik, namun kitin larut dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam
sulfat, asam nitrat, dan asam pospat. Hal ini didukung oleh pendapat Bastaman (1989),
karakteristik dari kitin yaitu berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan,
memiliki sifat tidak beracun, dan mudah terurai secara hayati. Ketidaksesuaian ini dapat
disebabkan oleh kurang sempurnanya proses demineralisasi dan deproteinasi, pada saat
pemanasan maupun pengadukan, sehingga masih adanya mineral maupun protein yang
terkandung dalam kitin yang mempengaruhi warna akhir produk kitin.

3.1.3. Deasetilasi
Menurut Rahayu & Purnavita (2007), tujuan dari proses deasetilasi, yaitu untuk
menghilangkan gugus asetil dari kitin dengan pemanasan dalam larutan alkali kuat
berkonsentrasi tinggi. Penggunaan larutan alkali pada suhu tinggi dibutuhkan untuk
melepas agar gugus asetil (CH3CHO-) pada gugusan asetil amino kitin. Gugus amino
pada kitin ini akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif, sehingga
membentuk gugus amina bebas (-NH2) kitosan. Kitosan dapat mengadsorpsi ion logam
dengan adanya gugus ini dan dapat membentuk senyawa kompleks (khelat). Knoor
(1984) menambahkan bahwa dalam tahap deasetilasi, faktor penting yang perlu
diperhatikan, yaitu derajat asetilasi. Derajat deasetilasi mengindikasikan jumlah gugus
asetil yang hilang. Derajat deasetilasi akan dipengaruhi oleh konsentrasi dari larutan
basa, perbandingan jumlah larutan terhadap padatan, suhu, waktu, kondisi reaksi selama
deasetilasi. Tingkat kemurnian dari kitosan yang dihasilkan semakin tinggi (bebas dari
14

pengotor) dengan semakin tingginya derajat deasetilasi. Tingkat kelarutannya sempurna


dalam asam asetat 1%.

Menurut Azhar, et al. (2010), mekanisme deasetilasi kitin ini akan terjadi pada larutan
basa. Pada larutan basa, karbon karbonil suatu ester dapat diserang oleh suatu nukleofil
yang baik tanpa protonasi sebelumnya, sehingga terjadi reaksi adisi yang membentuk
zat antara. Zat antara ini selanjutnya mengalami reaksi elimininasi, sehingga gugus
asetil pada asetamida kitin lepas membentuk asetat. Proses pelepasan gugus asetil dari
gugus asetamida kitin ini berkaitan dengan konsentrasi ion OH- pada larutan.
Konsentrasi OH- akan lebih besar pada larutan basa kuat, sehingga proses deasetilasi
gugus asetil dari gugus asetamida kitin akan dipengaruhi oleh kekuatan basa. Kitosan
dan kitosan memiliki karakteristik derajat deasetilasi yang berbeda. Derajat deasetilasi
berperan sebagai indikator yang membedakan hasil dari proses demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi. Derajat deasetilasi (DD) sebesar 40-100% disebut sebagai
kitosan, namun jika kurang dari 40% maka disebut kitin.

Tahap ini dimulai dengan menimbang kitin yang telah dikeringkan pada tahap
deproteinasi (berat kering II), kemudian ditambahkan larutan NaOH (20:1) 40% untuk
kelompok 1 dan 2, 50% untuk kelompok 3 dan 4, dan 60% untuk kelompok 5.
Penggunaan larutan NaOH 40-60% pada praktikum sesuai dengan teori yang
disampaikan oleh Hirano (1989) bahwa untuk mendapatkan kitosan dari kitin digunakan
larutan NaOH 40-60% dan suhu yang tinggi karena struktur kristal kitin panjang dengan
ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil. Ramadhan, et al. (2010)
menambahkan bahwa penggunaan NaOH sebagai pelarut pada tahap deasetilasi
dikarenakan dapat menghidrolisa kitin sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus
asetamida menjadi gugus amina. Faktor yang mendorong terjadinya peningkatan derajat
deasetilasi kitin adalah faktor morfologi rantai kitin, dimana gugus asetamida dari kitin
semakin berkurang pada waktu deasetilasi meningkat. Pada setiap tahap perlakuan
deasetilasi, kitin dengan gugus asetamida yang berkurang mengalami perubahan
morfologi, sehingga memungkinkan proses hidrolisis oleh basa kuat.
15

Lalu dipanaskan di atas hotplate pada suhu 80oC sambil diaduk selama ± 60 menit.
Proses pengadukan bertujuan untuk meningkatkan penumbukan antar partikel kitin dan
larutan NaOH. Hal ini menyebabkan proses deasetilasi akan berlangsung dengan lebih
sempurna, sedangkan penggunaan suhu tinggi diperlukan supaya reaksi yang terjadi
semakin optimal dan cepat. Puspawati & Simpen (2010) menambahkan bahwa
pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi kitin.

Selanjutnya didinginkan dan disaring. Menurut Rogers (1986), proses pendinginan ini
bertujuan supaya bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap pada bagian bawah
secara maksimal dan tidak terbuang selama pencucian. Kemudian residu dicuci sampai
pH netral. Proses ini bertujuan untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama
proses pengeringan dan untuk menghilangkan residu NaOH yang mungkin tersisa.
Menurut Ramadhan, et al. (2010), proses pencucian secara bertahap dapat
mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali, sehingga efektivitas proses
hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin semakin tinggi. Selanjutnya
berat kitin III ditimbang dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 70oC selama 24
jam. Setelah 24 jam, kemudian kitosan ditimbang (berat kitosan).

Rendemen kitosan terbesar dihasilkan oleh kelompok D1 sebesar 48,25%, sedangkan


rendemen kitosan terkecil dihasilkan oleh kelompok D5 sebesar 39,14%. Konsentrasi
NaOH yang tinggi justru menghasilkan rendemen yang rendah, begitu pula sebaliknya.
Hal ini tidak sesuai dengan teori Rochima (2005), semakin tinggi konsentrasi NaOH
pada proses deasetilasi, rendemen kitosan yang dihasilkan akan memiliki derajat
deasetilasi yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena gugus fungsional amino (-NH3+)
yang menggantikan gugus asetil kitin semakin aktif, maka semakin sempurnalah proses
deasetilasi. Semakin tinggi konsentrasi dari NaOH saat deasetilasi, maka rendemen
yang dihasilkan akan semakin meningkat. Puspawati & Simpen (2010) menambahkan
bahwa penggunaan NaOH 60% pada tahap deasetilasi akan menyebabkan terputusnya
ikatan antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada gugus amina lebih banyak
terjadi. Hal ini menyebabkan lebih banyaknya gugus asetil yang dihilangkan, jika
dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Hal ini juga mengindikasikan
bahwa semakin besar konsentrasi zat yang bereaksi, maka reaksi yang berlangsung
16

semakin cepat karena semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan. Apabila gugus
asetil yang dapat dihilangkan semakin banyak, maka nilai derajat deasetilasinya akan
semakin tinggi pula. Menurut Knoor (1984), derajat deasetilasi adalah suatu parameter
mutu yang menunjukkan gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitosan.
Ketidaksesuaian antara teori dan hasil pengamatan dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti panas yang berlebih, pengadukan yang berlebih, hilangnya komponen
saat dilakukan pencucian, dan proses pengeringan yang belum sempurna sehingga
belum semua air teruapkan. Hal-hal tersebut mampu mempengaruhi hasil rendemen
kitosan.

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa kitosan yang dihasilkan berwarna


coklat muda dengan bentuk seperti padatan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Angka
& Suhartono (2000), karakteristik dari kitosan yaitu berbentuk padatan amorf dan
berwarna putih dengan struktur kristal yang tetap dari bentuk awal kitin murni.
Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh kurang sempurnanya proses demineralisasi,
deproteinasi, maupun deasetilasi pada saat pemanasan yang dilakukan terlalu tinggi
maupun pengadukan yang dilakukan terlalu cepat. Selain itu, tidak tercapainya pH
netral pada saat pencucian rendemen dengan air. Hal ini dapat menyebabkan masih
adanya kandungan mineral maupun protein dalam kitosan, maupun proses deasetilsasi
yang kurang sempurna, sehingga kitosan yang terbentuk kurang murni dan
mempengaruhi warna produk akhir.

3.2. Aplikasi Kitin dan Kitosan Pada Bidang Pangan


Muzzarelli (1997) dan Shahidi, et al. (1999) berpendapat bahwa kitosan banyak
diaplikasikan sebagai flokulan, berperan dalam proses reverse osmosis penjernihan air,
aditif produk agrokimia, bahan untuk mengawetkan hasil perikanan dan penstabil warna
produk pangan, dan sebagai pengawet benih. Wardaniati & Setyaningsih (2009)
menambahkan bahwa kitosan berpotensi untuk dijadikan bahan antimikroba karena
mengandung enzim lisosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba, sehingga dapat digunakan sebagai pengawet makanan bakso.
Efisiensi daya hambat kitosan terhadap bakteri ini dipengaruhi oleh konsentrasi
pelarutan kitosan. Hal ini disebabkan oleh kandungan polikation bermuatan positif
17

dalam kitosan yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Mekanisme
kitosan dalam pengawetan makanan, yaitu mula-mula molekul kitosan akan berinteraksi
dengan senyawa pada permukaan sel bakteri, lalu teradsorbsi, membentuk suatu lapisan
yang dapat menghambat saluran transportasi sel. Hal ini menyebabkan sel kekurangan
nutrisi dan akhirnya mati. Hal ini didukung oleh pendapat Prabu & Natarajan (2012),
kitosan memiliki spektrum yang luas dari aktivitas dan tingkat pembunuhan yang tinggi
terhadap bakteri baik gram positif maupun negatif. Selain itu, kitosan juga berguna
sebagai antioksidan karena kitosan memiliki kemampuan pada radikal hidroksil dan
kemampuan kelat pada ion besi.

Hargono, et al. (2008) menambahkan manfaat lain dari kitosan yaitu berfungsi untuk
menurunkan kadar kolesterol dalam lemak. Hal ini disebabkan karena dalam kitosan
terdapat adanya senyawa yang dapat membawa muatan listrik positif, sehingga menyatu
dengan zat asam empedu yang bermuatan negatif. Hal ini menyebabkan penyerapan
kolesterol terhambat karena zat lemak yang masuk bersama makanan harus dicerna dan
diserap terlebih dahulu dengan bantuan zat asam empedu yang disekresi liver.

Menurut Abdulkarim et al. (2013), kitosan digunakan secara luas, dari proses
pengolahan limbah, pengolahan pangan, obat, dan bioteknologi. Dalam pertanian,
kitosan bermanfaat untuk meningkatkan yield dari beras dan peningkatan produksi
tanaman anggrek. Paul et al. (2013) juga menambahkan bahwa kitin dan kitosan
berperan dalam pembuatan kemasan makanan (edible film) karena sifatnya yang
biodegradable, fleksibel, tahan lama, ramah lingkungan, kuat, sukar robek, dan
memiliki aktivitas antimikrobial. Kitosan juga berperan sebagai chelating agent yang
mampu mengikat trace metal dan mampu menghambat produksi toksin dan
pertumbuhan mikroba. Edible film yang dikembangkan dari kitin dan turunannya
digunakan dalam industri pangan untuk meningkatkan kualitas makanan, dan
memperpanjang umur simpan. Edible film ini dapat mengontrol perubahan sifat fisik,
morfologi, dan fisikokimia dari makanan. Aktivitas fisikologi dan sifat fungsional dari
kitin dan kitosan ini sangat ditentukan oleh berat molekulnya. Hal ini didukung oleh
pendapat Zaku et al. (2011), kitin merupakan biopolimer alami dengan struktur kimia
yang mirip dengan selulosa dan merupakan komponen terbesar pada eksoskeleton
18

invertebrata. Sifat khusus dari kitin dan kitosan yaitu membentuk polyoxysalt,
kemempuan membentuk film, serta dapat mengkelat ion logam, serta memiliki
karakteristik struktur optik. Parameter yang paling mempengaruhi karakteristik kitosan
yaitu berat molekulnya dan derajat deasetilasi yang akan mempengaruhi sifat kelarutan,
rheologi, fisik. Di Jepang, produksi kitosan dari kitin meningkat kurang lebih 37%
dalam setahun dari 1978 hingga 1983.

Kitin dan kitosan juga berperan sebagai membran nanopartikel. Hal ini dikemukakan
oleh Ishihara et al. (2015), kitin dan kitosan dibedakan berdasarkan proporsi N-
asetilglukosamin pada biopolimernya. Kitin dan kitosan telah dikembangkan sebagai
biopolimer kation alami karena kemampuan biocompatibility dan biodegradability yang
sempurna, non toksik, anti mikroba, hemostatis, dan perekat jaringan. Hal ini
menjadikan kitin dan kitosan sebagai sumber hydrogels, mikro/ nanopartikel, dan
membran sehingga mampu menggantikan membran nanopartikel dari perak yang dalam
pembuatannya diperlukan banyak tambahan bahan kimia yang beresiko tinggi bagi
lingkungan.

Kitin dan kitosan juga berperan dalam bidang kesehatan. Hal ini didukung oleh teori
Sakthivel et al. (2015), biopolimer alami dan non toksik dapat diproduksi secara luas
dari kitin dan kitosan, yang biasanya diperoleh dari limbah udang dan kepiting. Kitin
pada umumnya digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk turunan kitin,
seperti kitosan, oligosakarida, dan glukosamin. Kitin dan kitosan diketahui memiliki
aktivitas biologi yaitu sebagai antitumor, meningkatkan sistem imun, memproteksi
terhadap infeksi mikroba patogen, anti fungi, dan anti mikroba.
4. KESIMPULAN

 Salah satu mineral yang dihilangkan dengan penambahan larutan asam klorida
(HCl) encer pada suhu kamar adalah kalsium karbonat.
 Pada proses pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa
gelembung-gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel.
 Pengadukan dilakukan untuk menghindari terjadinya luapan gelembung udara yang
dihasilkan selama proses demineralisasi.
 Tujuan pencucian dengan air yang mengalir hingga pH netral adalah
menghilangkan sifat asam dari HCl maupun sifat basa dari NaOH.
 Semakin besar konsentrasi HCl yang diberikan, maka rendemen kitin yang
dihasilkan semakin besar karena senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang
semakin mudah dilepaskan.
 Tingginya nilai rendemen disebabkan karena penambahan HCl yang diberikan,
perlakuan pemanasan dan pengadukan.
 Pelarut yang baik dalam proses demineralisasi adalah HCl 1 N.
 Larutan NaOH adalah untuk mengubah bentuk kristalin kitin yang rapat, sehingga
enzim lebih mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin.
 Nilai rendemen kitin II lebih kecil dibandingkan dengan rendemen kitin I.
 Proses deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40-60% dan suhu yang tinggi
karena struktur kristal kitin yang panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen
dan gugus karboksil.
 Penggunaan NaOH sebagai pelarut pada tahap deasetilasi dikarenakan dapat
menghidrolisa kitin sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus asetamida
menjadi gugus amina.
 Konsentrasi NaOH yang tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan
rendemen kitosan yang memiliki derajat deasetilasi tinggi.
 Semakin tinggi konsentrasi dari NaOH saat deasetilasi, maka rendemen yang
dihasilkan akan semakin meningkat.
 Semakin banyak gugus asetil yang dapat dihilangkan, maka semakin tinggi pula
nilai derajat deasetilasinya.

19
20

Semarang, 27 Oktober 2015


Praktikan, Asisten Dosen :

Debora Rika Angelita Tjan, Ivana Chandra


(13.70.0041)
5. DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, A., Isa, M. T., Abdulsalam, S., Muhammad, A. J., & A., A. O. (2013).
Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell. Civil
and Environmental Research. 3(2), 108–115.

Alamsyah, R.; Endah, D.; Eni, H. L & Mochamad N. N. K. (2001). Pengolahan Kitosan
(Polimer Alami) Dari Kulit Udang untuk Bahan Additives. BBIHP. Bogor.

Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian


Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.

Austin, P. R.; Brine, C. J.; Castle, J. E. & Zikakis, J. P. (1981). Chitin: New Facets of
Research. Science, 212 (4496) : 749–753.

Azhar, M.; J. Efendi; Erda, S.; Rahma, M. L. & S. Novalina. (2010). Pengaruh
Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah
Kulit Udang. Eksakta, Vol. 1 Tahun XI.

Balley, J. E. & Ollis, D. F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw


Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan


from Prawn Shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical
Engineering. Queen’s Univ. Belfast.

Cahyaningrum, S. E.; Agustini & Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah


Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan
Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2
: 93-98.

Dunn, E. T.; E. W. Grandmaison & M. F. A. Goosen. (1997). Applications and


Properties of Chitosan. In: MFA. Goosen (Ed). Applications of Chitin and
Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Fennema, O. R. (1985). Food Chemistry 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Hargono; Abdullah & Indro, S. (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang
Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Jurnal
Reaktor Vol. 12 No. 1. Universitas Diponegoro. Semarang.

Hartarti, F. K.; Susanto, T.; Rakhmadiono, S. & Lukito, A. S. (2002). Faktor- Faktor
yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease
dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). Biosain,
Vol. 2, No. 1 : 68-77

21
22

Hendri, J.; Wardana; Irwan, G. S. & Aspita, L. (2007). Penentuan Kadar Ca dan Mg
pada Hasil Demineralisasi Optimum Kulit Udang Windu (Penaeus monodon)
Secara Gravimetri dan Spektroskopi Serapan Atom. Jurnal Sains MIPA, Vol. 13,
No. 2, Hal. 93-99. Lampung.

Hendry, J. (2008). Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara


Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk
Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya. Universitas Lampung. Lampung.

Hirano. (1989). Production and Application on Chitin and Chitosan in Japan. In: Chitin
and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and
Applications, Eds. G. Skjak-Braek; T. Anthonsen & P. Sandford. Elsevier
Applied Science. New York. pp. 37-40.

Indra, A. S. (1994). Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai


Pendukung Padat. Jurusan Kimia FMIPA ITS. Surabaya.

Ishihara, M., Nguyen, V. Q., Mori, Y., & Nakamura, S. (2015). Adsorption of Silver
Nanoparticles onto Different Surface Structures of Chitin / Chitosan and
Correlations with Antimicrobial Activities. International Journal of Molecular
Sciences, 16, 13973–13988.

Johnson, A. H. & M. S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.


The AVI Publishing Co., Inc. Connecticut.

Knoor, D. (1984). Use of Chitinous Polymer in Food. Journal of Food Technology, Vol.
39 (1) : 85.

Laila, A. & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media
Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. Jurusan Kimia Fakultas MIPA.
Lampung.

Lehninger, A. L. (1975). Biochemistry 2nd Ed. Worth Publisher Inc. New York.

Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu
Kitosan. Jurnal Penelitian Andalas, Vol. 12 (V) : 138-143.

Martinou, A.; D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by


Enzymatic Means: Monitoring of Deacetylation Processes. Carbohydr Res 273 :
235-242.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.


Jakarta.

Mudasir; G. Raharjo; I. Tahir & E. T. Wahyuni. (2008). Immobilization of Dithizone


onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its
Preliminary Study for the Adsorption of Cd (II) Ion. Journal of Physical
Science, Vol. 19 (1), 63-78. Yogyakarta.
23

Muzzarelli, R. A. A. (1977). Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona.


Pergamon Press. Ancona, Italy.

Muzzarelli, R. A. A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press, Inc.


Orlando, San Diego.

Ornum, J. V. (1992). Shrimp Waste Must it be Wasted? Info Fish (6) : 92.

Paul, J., Jesline, S., & Mohan, K. (2013). Development of Chitosan based Active Film
to Extend the Shelflife of Minimally Processed Fish. Impact Journals, 1(5), 15–
22.

Peter, M. G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.


Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., p. 629-639. Germany.

Prabu & Natarajan. (2012). Bioprospecting of Shells of Crustaceans. International


Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol 4, Suppl 4.

Prasetyo, K. W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu


Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M. & I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang
dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui
Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia, Vol. 4. Halaman 70-90.

Rahayu, L. H. & Purnavita, S. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah
Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri.
Reaktor, Vol. 11, No.1, Hal. 45-49. Semarang.

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad &


S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya
terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia
Indonesia, Vol. 5 (1), Hal. 17-21.

Rochima, E. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon
Jawa Barat. Buletin Teknologi hasil Perikanan. 10 (1) Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Rogers, E. P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books / Cole Publishing Company.


Science Published, Ltd. England.

Sakthivel, Vijayakumar, & Anandan, V. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan from
Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry
Southeast Coast of India. Human Journals, 4(1), 12-24.
24

Shahidi, F.; Arachchi, J. K. V. & Jeon Y. J. (1999). Food Applications of Chitin and
Chitosans. Trends in Food Science and Technology, Vol. 10 : 37.

Suhardi, U; Santoso & Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi
Kitin. BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU
UGM. Yogyakarta.

Suhartono, M. T. (1989). Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas


Bioteknologi, IPB. Bogor.

Wardaniati, R. A. & S. Setyaningsih. (2009). Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang


dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. Universitas Diponegoro. Semarang.

Zaku, S. G., Aguzue, S. A. E. O. C., & Thomas, S. A. (2011). Extraction and


characterization of chitin ; a functional biopolymer obtained from scales of
common carp fish ( Cyprinus carpio l .): A lesser known source. African Journal
of Food Science, 5(8), 478–483.
6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan
Rumus :
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Rendemen Chitin I = × 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑠𝑎 ℎ𝐼
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑘𝑖𝑡𝑖𝑛
Rendemen Chitin II = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑠𝑎 × 100%
ℎ𝐼𝐼
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑘𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛
Rendemen Chitosan = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑏𝑎𝑠𝑎 × 100%
ℎ𝐼𝐼𝐼
1,6
Rendemen Chitin II = 3,5 × 100%
Kelompok D1
= 45,71 %
4,5
Rendemen Chitin I = × 100% 1,17
14` Rendemen Chitosan = × 100%
2,5
= 32,14 %
= 46,80 %
2
Rendemen Chitin II = 8 × 100%

= 25 % Kelompok D4
1,52 4
Rendemen Chitosan = 3,15 × 100% Rendemen Chitin I = × 100%
11,5

= 48,25 % = 34,78 %
1,7
Rendemen Chitin II = 4,5 × 100%
Kelompok D2
= 37,78 %
4,5
Rendemen Chitin I = × 100% 0,98
14 Rendemen Chitosan = × 100%
2,5
= 32,14%
= 39,20 %
2,04
Rendemen Chitin II = × 100%
6,5

= 31,38 % Kelompok D5
1,38 3,5
Rendemen Chitosan = × 100% Rendemen Chitin I = × 100%
3,5 12
= 39,43 % = 29,17 %
1,8
Rendemen Chitin II = 5,5 × 100%
Kelompok D3
= 32,73 %
3,5
Rendemen Chitin I = × 100% 1,37
9,5 Rendemen Chitosan = × 100%
3,5
= 36,84 %
= 39,14 %

25
26

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal

Anda mungkin juga menyukai