OLEH :
Hasrini
C 111 13 369
RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Noor Ramadhaniah
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Ratnawati, Sp.An-KMN
Nama : Hasrini
NIM : C111 13 369
Judul Jurnal : Tatalaksana Analgesia pada Post Sectio Caesaria
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada Departemen Anestesi
Terapi Intensif Dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Mengetahui
Supervisor Pembimbing
Pendahuluan
World Health Orgaization (WHO) menyarankan bahwa idealnya angka sectio caesaria
seharusnya kurang dari 15%, namun angka sectio caesaria telah meningkat dan saat ini
merupakan operasi abdomen yang sering dilakukan di Amerika Serikat. Pada tahun 2008 angka
sectio caesaria di Amerika Serikat melebihi 32% dan di Columbia meningkat dari 24,9% pada
tahun 1988 menjadi 45,7% pada tahun 2013. Di Amerika Latin dan Karibia mengalami
pengingkatan yang signifikan dari tahun 1990 hingga tahun 2014. Di Brazil, pada klinik swasta,
angka kelahiran sesar dapat mencapai 80–90%. Penanangan nyeri pada post-operasi sectio
caesaria sangat penting untuk mengoptimalkan kesehatan ibu dan anak. Artikel berikut akan
menyajikan pendekatan farmakologi terkini yang dapat digunakan sebagai analgesik selama
periode pasca operasi sectio caesaria
Opioid Neuraksial
Penggunaan teknik anestesi neuraksial telah dikaitkan dengan penurunan mortalitas
ibu. Namun, penggunaan morfin intratekal dapat menyebabkan efek samping seperti mual,
muntah, pruritus, sedasi, dan depresi napas. Pedoman anestesi obstetrik dari American Society
of Anesthesia (ASA) merekomendasikan penggunaan opioid neuraksial secara bolus parenteral
intermiten, dengan atau tanpa nilai dosis. Meskipun pemberian neuraksial tidak dapat
dihindarkan dari kejadian efek samping, baik yang ringan maupun yang dapat sembuh dengan
sendirinya, mengingat bahwa manfaat dari analgesia dan anestesia melalui rute pemberian ini
melebihi risikonya. Carvalho dkk merekomendasikan bahwa tatalaksana awal untuk nyeri
sedang didasarkan pada opioid oral (oxycodone, hydrocodone, dan tramadol) dan penggunaan
opioid intravena hanya digunakan untuk kasus nyeri berat atau pada pasien yang intolerasi
terhadap obat oral. Meskipun opioid intravena tidak lebih baik dalam mengontrol nyeri
dibandingkan opioid oral, opioid intravena memiliki insiden efek samping yang lebih tinggi.
Bukti tentang hubungan antara morfin intratekal dan efek analgesi adalah kontradiktif,
karena dosis yang diperlukan untuk memberikan analgesi yang optimal pasca operasi sectio
caesaria, dengan kemungkinan terkecil untuk terjadinya efek samping belum ditentukan. Wong
dkk menunjukkan bahwa morfin intratekal dosis 200 µg memberikan efek anagesi yang lebih
baik dari dosis 100 µg. Namun, pasien yang menerima dosis yang lebih tinggi mengalami
insidens mual yang lebih tinggi.
Sultan dkk menunjukkan bahwa pada pasien yang menjalani operasi sectio caesaria
dengan anestesi spinal dengan morfin dosis rendah (50-100 µg) dan dosis tinggi (>100 - 250
µg), morfin dengan dosis tinggi memperpanjang efek analgesia setelah prosedur, dibandingkan
dengan dosis rendah, tanpa perbedaan yang spesifik pada hasil neonatal yang diukur dengan
Apgar score atau kejadian mual muntah pada ibu.
Salah satu efek samping yang paling berat terkait penggunaan opioid neuraksial adalah
depresi pernapasan. Pasien obstetrik dengan IMT yang tinggi, pengguna opioid sebelumnya,
pasien dengan infus magnesium sulfat, dan gangguan pernapasan beresiko lebih tinggi untuk
terjadinya depresi pernapasan pada penggunaan opioid neuraksial. Konsentrasi progesteron
yang tinggi selama kehamilan memberikan perlindungan terhadap depresi pernapasan, karena
progesteron merupakan stimulan pernapasan. ASA menerbitkan sebuah pendekatan terbaru
untuk penggunaan opioid neuraksial terkait depresi pernapasan.
Berbeda dengan analgesik lain seperti opioid sistemik, pemberian opioid neuraksial memiliki
insidens efek samping yang tinggi. Terkait dengan mual pasca operasi, resiko kejadian ini lebih
tinggi ketika menggunakan opioid neuraksial, dan hal ini berlaku pula untuk resiko terjadinya
pruritus.
Khezri dkk mengamati bahwa pemberian kombinasi ketamin dan bupivakain dengan
dosis 0,1 mg/kg pada sectio caesaria elektif dapat menunda penggunaan analgesia dan
mengurangi total penggunaan analgesi selama 24 jam pertama.
Gabapentin dapat mengurangi efek dari opioid seperti mual, muntah, dan pruritus.
Namun, dapat terjadi sedasi yang dapat menular melalui ASI. Hal inilah yang menyebabkan
gabapentin hanya direkomendasikan sebagai terapi lini terakhir atau hanya pada pasien yan
nyeri kronis.
Opioid Sistemik
ASA merekomendasikan penggunaan opioid neuraksial dibandingkan bolus parenteral
interstisial untuk analgesik pasca operasi sectio sesar, namun untuk penggunaan rutin dibatasi
karena perlu pemantauan terhadap efek samping yang dapat terjadi.
Analgesik epidural mengontrol nyeri lebih baik dari Patient Controlled Analgesia
(PCA), namun harganya lebih mahal. Patel dkk menunjukkan pengurangan biaya PCA dengan
opioid neuraksial bila dibandingkan dengan pemberian morfin secara intratekal.
Dalam hal efek samping opioid menggunakan PCA, yang paling umum terjadi adalah
sedasi berlebihan, yang biasanya terjadi selama onset persalinan, dan efek lainnya adalah
desaturasi yang dapat terjadi pada pasien tanpa oksigen tambahan. Namun, efek ini biasanya
tidak mengganggu persalinan dan kepuasan ibu.
Ada sedikit informasi terkait keamanan oxycodone selama laktasi, meskipun obat ini
sering digunakan. Lam dkk menyimpulkan bahwa oxycodone tidak lebih aman dibandingkan
codeine. Seaton dkk telah mempelajari tentang pemberian oxycodone secara oral, dan ternyata
didapatkan kontrol nyeri yang adekuat dengan resiko rendah untuk bayi. Namun, percobaan ini
terbatas hingga 72 jam pasca melahirkan. Penggunaan codeine tidak direkomendasikan karena
dapat berdampak pada kemanjuran obat dan efek samping pada bayi.
Edwards dkk menunjukkan manfaat hydromorphone, yang tujuh kali lebih kuat
daripada morfin dan dapat diberikan melalui beberapa rute. Penggunaannya belum dipelajari
untuk penggunaan panjang sectio sesar, namun tampaknya dosis rendah tidak mempengaruhi
bayi. Meskipun pasase hydromorphone ke dalam ASI lebih sedikit daripada narkotika lain,
namun tetap disarankan untuk berhati-hati.
Morfin adalah opioid yang berpasase ke dalam ASI dalam jumlah besar, mencapai dosis
relatif yang dapat berbahaya bagi bayi yang baru lahir. Oxycodone adalah yang kedua, dengan
dosis yang mendekati level berbahaya. Fentanyl adalah obat dengan tingkat pasase terendah.
Selanjutnya, selama beberapa hari pasca melahirkan, jumlah kolostrum yang dihasilkan ibu
sangat sedikit, hal ini membatasi potensi pasase opioid ke neonatal. Meskipun kejadian efek
sekunder pada neonatal terhadap penggunaan opioid sangat jarang, Hendrickson dkk
merekomendasikan untuk menggunakan opioid secara rasional selama laktasi, dengan
memberikan obat teraman sebisa mungkin. Anderson menyimpulkan bahwa meskipun opioid
adalah obat dengan insidens efek samping yang tinggi untuk bayi yang masih menyusu (25%),
namun bila digunakan dosis rendah, untuk periode waktu yang singkat, dan menghindari
kombinasi dengan obat depresan sistem saraf pusat, kejadian efek samping bisa tidak terjadi.
WHO merekomendasikan penggunaan dosis rendah ketika memberikan morfin dan kodein,
untuk mencegah pemberian berulang dan pemantauan untuk beberapa efek samping pada bayi
(apneu, bradikardi, dan sianosis), dan segera hentikan secepatnya bila efek samping terjadi.
Analgesik sistemik lainnya
NSAID digunakan sebagai analgesik multimodal untuk mengurangi opioid dan
kaitannya terhadap efek sampingnya, pada beberapa kasus, telah ditunjukkan bahwa NSAID
menurunkan skor VAS.
Berger dkk membandingkan tiga dosis dari morfin intratekal (50 µg-100 µg-150 µg)
dikombinasikan dengan ketorolac per jadwal, untuk menentukan rasio dosis terhadap respon,
kemanjuran analgesik, dan efek samping. Tidak ada perbedaan pada penggunaan morfin
selama 24 jam pertama atau pada nyeri dan efek mual. Ada insidens pruritus yang tinggi
diantara kelompok dosis tinggi dibandingkan dosis 50 µg. Tidak ada depresi napas atau sedasi
yang signifikan. Hasilnya adalah penggunaan morfin intratekal dosis 50 µg memberikan hasil
analgesik yang sama seperti yang dihasilkan dosis 100 µg dan 150 µg ketika digunakan
bersama dengan ketorolac IV per jadwal.
Boskurt dkk membandingkan diklofenak dan meperidine untuk analgesik pasca operasi
sesar. Pasien yang menerima diklofenak saja tidak mendapatkan kontrol nyeri yang adekuat.
Namun, ketika dikombinasikan dengan meperidine, VAS skor setara dengan kelompok yang
diterapi dengan meperidine dosis tinggi, serta menunjukkan kemanjuran diklofenak sebagai
bagian dari rejimen analgesik multimodal.
Sebuah Cochrane review pada analgesik oral selama periode pasca operasi sectio sasar
menyimpulkan bahwa studi yang tersedia masih langka dan dengan populasi masih terbatas,
hal ini tidak mungkin untuk bisa menentukan analgesik oral yang efektif untuk mengatasi nyeri,
dengan insidens efek samping yang rendah. Studi ini gagal konsisten dalam melaporkan
penemuan bayi, lama rawat di rumah sakit, dan biaya terapi, jadi tidak dapat ditarik sebuah
kesimpulan.