Anda di halaman 1dari 4

PERSENTASI

Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin

Klasifikasi
Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori umum sebagai berikut (ADA, 2017).
1. Diabetes melitus tipe 1
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi atau kerusakan sel beta pancreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin (defisiensi
insulin absolut).
2. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin

Klasifikasi
Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori umum sebagai berikut (ADA, 2017).
3. Diabetes melitus tipe 1
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi atau kerusakan sel beta pancreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin (defisiensi
insulin absolut).
4. Diabetes melitus tipe 2
Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif atau bertahap yang menjadi latar belakang
terjadinya resistensi insulin.
5. Diabetes melitus gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali
pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional merupakan
klasifikasi yang tidak jelas nyata sebagai diabetes.
6. Diabetes melitus tipe spesifik lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya sindrom diabetes monogenik (seperti diabetes
neonatal dan diabetes awitan dewasa muda), penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic
fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti penggunaan glukokortikoid,
dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

Manifestasi Klinik
Manisfestasi klinik berupa keluhan klasik atau yang umum terjadi pada diabetes mellitus menurut
Smeltzer & Bare 2016 diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Penurunan berat badan dan rasa lemah
Terjadi penurunan BB berlangsung dalam waktu relatif singkat dan badan terasa lemah. Hal
ini disebabkan gula dalam darah tidak dapat masuk dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan
bakar untuk menghasilkan tenaga. Sumber tenaga terpaksa diambil dari sel lemak dan otot
(protein). Akibatnya klien kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.
2. Banyak kencing (poliuri)
Jika kadar gula darah melebihi nilai ambang ginjal (>108mg/dl), gula akan keluar bersama
urin. Untuk menjaga agar urin yang keluar tidak terlalu pekat, maka tubuh menarik air
sebanyak mungkin ke dalam urin sehingga volume urin banyak dan sering kencing terutama
pada malam hari.
3. Banyak minum (polidipsi)
Dengan banyaknya urin yang keluar, badan akan kekurangan cairan. Untuk mengatasi hal
tersebut timbullah rasa haus sehingga klien selalu ingin minum. Tidak jarang yang dipilihnya
minuman dingin, enak dan manis. Sehingga hal ini akan semakin membuat gula darah naik.
4. Banyak makan (polifagi)
Pemasukan gula ke dalam sel berkurang, sehingga orang merasa kurang tenaga. Timbullah
keinginan selalu makan.
Faktor Risiko
Mekanisme yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe
2 masih belum diketahui secara pasti. terdapat faktor-faktor resiko lain yang dapat menyebabkan
diabetes melitus tipe 2.
1. Faktor genetik
DM dapat menurun dari keluarga yang pernah memiliki riwayat penyakit DM sebelumnya.
Hal ini terjadi karena DNA pada seseorang yang mengalami DM akan ikut diinformasikan
pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin (PERKENI, 2015).
2. Usia
Resistensi insulin cenderung akan meningkat pada usia di atas 45 tahun seiring dengan
bertambahnya usia fungsi organ akan menurun. Penurunan ini akan beresiko pada penurunan
fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin (PERKENI, 2015).
3. Obesitas
Obesitas atau kegemukan berhubungan dengan terjadinya resistensi insulin. Obesitas
mengakibatkan hipertropi pankreas yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi
insulin. Hal ini disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada seseorang
yang mengalami obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak (PERKENI, 2015).
4. Pola makan
Pola makan yang salah dan tidak teratur akan berperan pada ketidakstabilan kerja sel β
pankreas. Malnutrisi dapat merusak pankreas sedangkan obesitas meningkatkan gangguan
kerja atau resistensi insulin (PERKENI, 2015).
5. Stres
Stres dapat meningkatkan kerja metabolisme dan kebutuhan sumber energy yang akibatnya
pankreas mengalami kenaikan kerjanya. Beban yang tinggi menyebabkan pankreas mudah
rusak sehingga akan berdampak pada penurunan insulin (PERKENI, 2015). Selain itu dampak
stress menyebabkan produksi berlebih pada kortisol, kortisol adalah suatu hormon yang
melawan efek insulin dan menyebabkan kadar glukosa darah tinggi. Kortisol merupakan
musuh dari insulin sehingga membuat glukosa lebih sulit untuk memasuki sel dan
meningkatkan glukosa darah (Pratiwi, 2014).
6. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya
penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi
pembuluh darah perifer (Fatimah, 2015).
7. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida > 250 mg/dl).
Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering
didapat pada pasien Diabetes (Fatimah, 2015).
8. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan frekuensi DM tipe
2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan
pengurangan ketidak aktifan fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari
lingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan
dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan
menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit
regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah

Pemeriksaan monitoring penunjang


Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan Diabetes Melitus Tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
1) Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
2) Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
2. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin
glikosilasi (disingkat sebagai HbA1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8 - 12 minggu sebelumnya. Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan
terapi, HbA1c diperiksa setiap 3 bulan, atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi
(> 10%). Pada pasien yang telah mencapai sasaran terapi disertai kendali glikemik yang stabil
HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun. HbA1C tidak dapat dipergunakan
sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat
transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur eritrosit dan
gangguan fungsi ginjal.
3. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan darah kapiler. Hasil
pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional secara
berkala. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari
atau pada pengguna obat pemacu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,
tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.
Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk menilai
ekskursi glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara
siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau
ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. PGDM terutama dianjurkan pada:
1) Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin
2) Penyandang DM dengan terapi insulin dengan keadaan sebagai berikut:
(1) Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi
(2) Wanita yang merencanakan hamil
(3) Wanita hamil dengan hiperglikemia
(4) Kejadian hipoglikemia berulang
4. Glycated Albumin (GA)
Berdasarkan rekomendasi yang telah ada, monitor hasil strategi terapi dan perkiraan prognostik
diabetes saat ini sangat didasarkan kepada hasil dua riwayat pemeriksaan yaitu glukosa plasma
(kapiler) dan HbA1C. Kedua pemeriksaan ini memiliki kekurangan dan keterbatasan. HbA1C
mempunyai keterbatasan pada berbagai keadaan yang mempengaruhi umur sel darah merah.
Saat ini terdapat cara lain seperti pemeriksaan (GA) yang dapat dipergunakan dalam
monitoring. GA dapat digunakan untuk menilai indeks control glikemik yang tidak
dipengaruhi oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan masa hidup eritrosit seperti HbA1c.
HbA1c merupakan indeks control glikemik jangka panjang (2-3 bulan). Sedangkan proses
metabolik albumin terjadi lebih cepat daripada hemoglobin dengan perkiraan 15 – 20 hari
sehingga GA merupakan indeks kontrol glikemik jangka pendek. Beberapa gangguan seperti
sindrom nefrotik, pengobatan steroid, severe obesitas dan gangguan fungsi tiroid dapat
mempengaruhi albumin yang berpotensi mempengaruhi nilai pengukuran GA (PERKENI,
2015).
5. Tes Glukosa Urin
Sama dengan persiapan pasien pada tes glukosa darah puasa dan tes glukosa darah post
prandial. Persiapan Sampel :
1) Pengambilan sampel urin dapat bersamaan dengan pengambilan sampel darah, baik untuk
tes glukosa urin puasa maupun tes glukosa urin prandial.
2) Sampel urin dimasukkan pada penampung bersih tanpa bahan pengawet. Sebaiknya
disimpan pada suhu ruangan dan tes dilakukan paling lambat 2 jam setelah pengambilan
sampel.

Anda mungkin juga menyukai