Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Pembuangan dapat melalui urine ataupun bowel (Wortonah, 2006). Pembuangan
normal urine merupakan suatu fungsi dasar yang sering dianggap enteng oleh
kebanyakan orang, apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi dengan baik,
semua sistem organ pada akhirnya akan terpengaruh. Klien yang mengalami
perubahan eliminasi urine juga dapat menderita secara emosional akibat
perubahan citra tubuhnya (Potter dan Perry, 2005).
Insiden terjadinya retensi urin pada jurnal berjudul Pengaruh Bladder
Trainning Terhadap Kemampuan Berkemih pada Pasien dengan Retensi Urin
(Hinora, 2004) menyebutkan bahwa, menurut hasil penelitian Saultz, et al
berkisar 1,7% sampai 17,9%. Penelitian yang dilakukan oleh Yip, et al (1997)
menemukan insidensi retensi urin sebesar 4,9 % dengan volume residu urin 150
cc sebagai volume normal paska berkemih spontan. Penelitian lain oleh Andolf, et
al (1993) menunjukkan insidensi retensi urin sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian
dari Kavin, et al (2003) sebesar 0,7%. Berdasarkan survei awal yang dilakukan
peneliti di Ruang Perawatan Rumah Sakit Umum Daerah jumlah kasus sejak
bulan Januari sampai Desember 2012 sebanyak 52 kasus retensi urine dari total
630 pasien atau sekitar (8,25%).
Membuang urine dan alvi (eliminasi) merupakan salah satu aktivitas
pokok yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Apabila eliminasi tidak
dilakukan setiap manusia akan menimbulkan berbagai macam gangguan seperti
retensi urine, inkontinensia urine, enuresis, perubahan pola eliminasi urine,
konstipasi, diare dan kembung, berbagai macam gangguan yang telah disebutkan
di atas akan menimbulkan dampak pada system organ lainnya seperti: system
pencernaan, ekskresi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Traktus Urinarius

2.1.1. Ginjal

Ginjal yang berbentuk oval berfungsi mengeluarkan air, garam, dan hasil

buangan metabolisme protein yang berlebih dari darah saat membawa kembali zat

gizi dan zat kimia ke darah. Ren terletak retroperitoneal pada dinding abdomen

posterior, satu pada setiap sisi columna vertebralis setinggi vertebra T12-L3. Ren

dextra biasanya terletak sedikit di inferior ren sinistra, kemungkinan karena

hubungannya dengan hepar. Selama hidup, ren berwarna cokelat kemerahan dan

memiliki ukuran panjang sekitar 10 cm, lebar 5 cm, dan tebal 2,5 cm. Di superior,

ren berhubungan dengan diaphragma, yang memisahkannya dari cavitas pleuralis

dan pasangan ke-12 costa. Lebih inferior, permukaan posterior ginjal

berhubungan dengan musculus quadratus lumborum. Nervus dan pembuluh darah

subcostalis serta nervus ilioinguinalis dan iliohypogastricus turun secara diagonal

menyilang permukaan posterior ginjal. Hepar, duodenum, dan colon, ascendens di

sebelah anterior ren dextra. Ren dextra dipisahkan dari hepar oleh recessus

hepatorenalis. Ren sinistra berhubungan, dengan gaster, lien, pancreas, jejunum,

dan colon descendens.

Pada batas medial konkaf setiap ginjal adalah celah vertikal, hilum renale,

di mana arteria renalis masuk dan vena renalis serta pelvis renalis meninggalkan

sinus renalis. Di hilum, vena renalis terletak di anterior arteri renalis, yang terletak

disebelah anterior pelvis renalis. Hilum renale adalah jalan masuk ke suatu ruang

di dalam nginjal, sisnus renalis, yang diisi oleh pelvis renalis, calices, pembuluh,
dan saraf serta sejumlah lemak. Setiap ginjal memiliki permukaan anterior dan

posterior, tepi medial dan lateral, serta polus anterior dan posterior. Namun,

karena protrusi columna vertebralis lumbalis ke dalam cavitas abdominalis, ginjal

terletak oblik, membentuk suatu sudut satu sama lain. Akibatnya, diameter

transversa ginjal tampak pendek pada radiograf anteroposterior (AP). Tepi lateral

setiap ginjal berbentuk konveks, dan tepi medial konkaf di mana terletak sinus

renalis dan pelvis renalis. Tepi medial yang berindentasi menyebabkan ginjal

memiliki gambaran berbentuk seperti kacang.

Pelvis renalis adalah ekspansi ujung superior ureter yang rata dan

berbentuk seperti terowongan. Apeks pelvis renalis berlanjut dengan ureter. Pelvis

renalis menerima dua atau tiga calices renales majores, masing-masing membagi

menjadi dua atau tiga calices renales minores. Setiap calices minores diidentasi

oleh papilla renalis, apeks pyramides renales, dari sini urin diekskresi. Pada orang

yang hidup, pelvis renalis dan calicesnya biasanya kolaps (kosong). Pyramides

renales, dari sini dieksresi. Pada orang yang hidup, pelvis renalis dan calices

biasanya kolaps (kosong). Pyramides dan korteks terkaitnya membentuk lobus-

lobus ginjal . lobus dapat dilihat pada permukaan eksterna ginjal pada janin, dan

tanda lobus dapat menetap selama beberapa waktu setelah lahir.

Secara anatomis ginjal terbagi kepada 2 bagian, yaitu korteks dan medula

ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan di dalamnya terdapat berjuta

– juta nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Medulla ginjal

yang terletak lebih profundus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang

mengalirkan hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri dari glomerulus,


tubulus kontortus (TC) proksimalis, Loop of Henle, tubulus kontortus (TC)

distalis, dan duktus kolegentes.

Gambar 1. Nefron

Sistem pelvikalises ginjal terdiri dari kaliks minor, infundibulum, kaliks

major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas epitel

transisional dan dindingnya terdiri dari otot polos yang mampu berkontraksi

untuk mengalirkan urin sampai ke ureter.

Gambar 2. A : Irisan longitudinal ginjal, tampak korteks dan medulla ginjal


B : Sistem pelvikalises ginjal yang terdiri atas kaliks minor,
infundibulum, kaliks mayor, dan pelvis renalis
2.1.2. Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke

vesika urinaria. Panjangnya ±25-34 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter

sebagian terletak pada rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga

pelvis. Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang

mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih. Lapisan dinding ureter terdiri

dari:

a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)

b. Lapisan tengah lapisan otot polos

c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

Secara histologik ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan

adventisia. Lapisan mukosa terdiri atas epitel transisional yang disokong oleh

lamina propria. Epitel transisional ini terdiri atas 4-5 lapis sel. Sel permukaan

bervariasi dalam hal bentuk mulai dari kuboid (bila kandung kemih kosong atau

tidak teregang) sampai gepeng (bila kandung kemih dalam keadaan

penuh/teregang). Sel-sel permukaan ini mempunyai batas konveks (cekung) pada

lumen dan dapat berinti dua. Sel-sel permukaan ini dikenal sebagai sel payung.

Lamina propria terdiri atas jaringan fibrosa yang relatif padat dengan banyak serat

elastin. Lumen pada potongan melintang tampak berbentuk bintang yang

disebabkan adanya lipatan mukosa yang memanjang. Lipatan ini terjadi akibat

longgarnya lapis luar lamina propria, adanya jaringan elastin dan muskularis.

Lipatan ini akan menghilang bila ureter diregangkan. Lapisan muskularisnya

terdiri atas atas serat otot polos longitudinal disebelah dalam dan sirkular di
sebelah luar (berlawan dengan susunan otot polos di saluran cerna). Lapisan

adventisia atau serosa terdiri atas lapisan jaringan ikat fibroelsatin.

Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang diproduksi oleh ginjal ke

dalam kandung kemih. Bila ada batu disaluran ini akan menggesek lapisan

mukosa dan merangsang reseptor saraf sensoris sehingga akan timbul rasa nyeri

yang amat sangat dan menyebabkan penderita batu ureter akan berguling-gulung,

keadaan ini dikenal sebagai kolik ureter.

Gambar 3. Anatomi Traktus Urinarius

2.1.3. Vesika urinaria

Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk

seperti buah pir (kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga

panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.

Kandung kemih terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan serosa/adventisia.

Mukosanya dilapisi oleh epitel transisional yang lebih tebal dibandingkan ureter
(terdiri atas 6-8 lapis sel) dengan jaringan ikat longgar yang membentuk lamina

propria dibawahnya. Tunika muskularisnya terdiri atas berkas-berkas serat otot

polos yang tersusun berlapis-lapis yang arahnya tampak tak membentuk aturan

tertentu. Di antara berkas-berkas ini terdapat jaringan ikat longgar. Tunika

adventisianya terdiri atas jaringan fibroelastik. Fungsi kandung kemih adalah

menampung urin yang akan dikeluarkan kedunia luar melalui uretra.

Kandung kemih adalah ruangan berdinding otot polos yang terdiri dari dua

bagian besar; (1) badan (korpus), merupakan bagian utama kandung kemih

dimana urin terkumpul, dan (2) leher (kollum), merupakan lanjutan dari badan

yang berbentuk corong, berjalan secara inferior dan anterior ke dalam daerah

segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih rendah

dari leher kandung kemih disebut uretra posterior karena hubungannya dengan

uretra

Otot polos kandung kemih disebut otot destrusor. Serat-serat ototnya

meluas ke segala arah dan bila berkontraksi dapat meningkatkan tekanan dalam

kandung kemih. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah

terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot

destrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan

rendah dari satu sel otot ke sel otot lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat

menyebar ke seluruh otot destrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya

sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih dengan segera.

Pada dinding posterior kandung kemih, tepat di atas bagian leher dari

kandung kemih terdapat daerah segitiga kecil yang disebut trigonum. Bagian

terendah dari apeks trigonum adalah bagian kandung kemih yang membuka
menuju leher masuk kedalam uretra posterior, dan kedua ureter memasuki

kandung kemih dengan sudut tertinggi di trigonum. Trigonum dapat dikenali

dengan melihat mukosanya (lapisan dalam dari kandung kemih) yang berlipa-

lipat membentuk rugae. Masing-masing ureter pada saat memasuki kandung

kemih, melewati 1-2 cm di bawah mukosa kandung kemih berjalan secara

oblik melalui otot destrusor sebelum mengosongkan diri ke dalam kandung

kemih.

Persyarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang

berhubungan dengan medula spinalis melalui pleksus sakralis, terutama

berhubungan dengan medula spinalis segmen S-2 dan S-3. Berjalan melalui

nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan saraf motorik. Serat sensorik

mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan

dari uretra posterior sangat kuat dan terutama bertanggung jawab untuk

mencetuskan refleks yang menyebabkan pengosongan kandung kemih.

Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat

parasimpatis. Serat ini berakhir pada sel gangglion yang terletak dalam dinding

kandung kemih. Saraf post ganglion pendek kemudian mempersarafi otot

detrusor. Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting

untuk fungsi kandung kemih yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan

melalui nervus pupendal menuju sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah

serat saraf somatik yang mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada

sfingter. Juga, kandung kemih menerima saraf impatis dari rangkaian simpatis

melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan dengan segmen L-2 media

spinlais. Serat simpatis ini mungkin terutama merangsang pembuluh darah dan
sedikit mempengaruhi kontraksi kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik

juga berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan

sensasi rasa penuh dan pada beberapa keadaan rasa nyeri.

Gambar 4. Vesika Urinaria pada Laki-Laki

2.1.4. Uretra

Panjang uretra pria antara 15-20 cm dan untuk keperluan deskriptif terbagi

atas tiga bagian yaitu:

a. Pars prostatika, yaitu bagian uretra mulai dari muara uretra pada kandung

kemih hingga bagian yang menembus kelenjar prostat. Pada bagian ini

bermuara 2 saluran yaitu duktus ejakulatorius dan saluran keluar kelenjar

prostat.

b. Pars membranasea, yaitu bagian yang berjalan dari puncak prostat di antara

otot rangka pelvis menembus membran perineal dan berakhir pada bulbus

korpus kavernosus uretra.


c. Pars kavernosa atau spongiosa yaitu bagian uretra yang menembus korpus

kavernosum dan bermuara pada glands penis.

Epitel uretra bervariasi dari transisional di uretra pars prostatika, lalu pada

bagian lain berubah menjadi epitel berlapis atau bertingkat silindris dan akhirnya

epitel gepeng berlapis pada ujung uretra pars kavernosa yang melebar yaitu di

fosa navikularis. Terdapat sedikit sel goblet penghasil mukus. Di bawah epitel

terdapat lamina propria terdiri atas jaringan ikat fibro-elastis longgar.

Leher kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2-3 cm, dan

dindingnya terdiri dari otot destrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar

jaringan elastik. Otot pada daerah ini disebut sfingter internal. Sifat tonusnya

secara normal mempertahankan leher kandung kemih dan uretra posterior agar

kosong dari urin dan, oleh karena itu, mencegah pengosongan kandung kemih

sampai tekanan pada daerah utama kandung kemih meningkat diambang kritis.

Setelah uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital,

yang mengandung lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih.

Otot ini merupakan otot lurik yang berbeda dengan otot pada badan dan leher

kandung kemih, yang hanya terdiri dari otot polos. Otot sfingter eksterna bekerja

dibawah sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara sadar untuk menahan

miksi bahkan bila kendali involunter berusaha untuk mengosongkan kandung

kemih.

Pada wanita uretra jauh lebih pendek karena hanya 4 cm panjangnya.

Epitelnya bervarias dari transisional di dekat muara kandung kemih, lalu berlapis

silindris atau bertingkat hingga berlapis gepeng di bagian ujungnya.

Muskularisnya terdiri atas 2 lapisan otot polos tersusun serupa dengan ureter .
Gambar 5. Ureter pada Laki-Laki dan Perempuan

2.2. Fisiologi Sistem Genitourinaria

Proses pembentukan urin, yaitu:

a. Filtrasi (penyaringan): capsula bowman dari badan malpighi menyaring

darah dalam glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea dan zat

bermolekul besar (protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus

(urin primer). Di dalam filtrat ini terlarut zat seperti glukosa, asam amino dan

garam-garam.

b. Reabsorbsi (penyerapan kembali): dalam tubulus kontortus proksimal zat

dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan

filtrat tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.

c. Sekresi (pengeluaran): dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah

menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion
Na+ dan Cl- dan sekresi H+ dan K+. Selanjutnya akan disalurkan ke tubulus

kolektifus ke pelvis renalis.

Urin mengalir dari duktus kolingentes masuk ke kaliks renalis,

meregangkan kaliks renalis dan meningkatkan aktivitas pacemakernya, yang

kemudian mencetuskan kontraksi peristaltik yang menyebar ke pelvis renalis dan

kemudian turun sepanjang ureter, dengan demikian mendorong urin dari pelvis

renalis ke arah kandung kemih. Dinding ureter terdiri dari otot polos dan

dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis seperti juga neuron- neuron pada

pleksus intramural dan serat saraf yang meluas di seluruh panjang ureter. Seperti

halnya otot polos pada organ viscera yang lain, kontraksi peristaltik pada ureter

ditingkatkan oleh perangsangan parasimpatis dan dihambat oleh perangsangan

simpatis.

Ureter memasuki kandung kemih menembus otot destrusor di daerah

trigonum kandung kemih. Normalnya, ureter berjalan secara oblik sepanjang

beberapa sentimeter menembus dinding kandung kemih. Tonus normal dari

otot detrusor pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter, dengan

demikian mencegah aliran balik urin dari kandung kemih waktu tekanan di

kandung kemih meningkat selama berkemih atau sewaktu terjadi kompresi

kandung kemih. Setiap gelombang peristaltik yang terjadi di sepanjang ureter

akan meningkatkan tekanan dalam ureter sehingga bagian yang menembus

dinding kandung kemih membuka dan memberi kesempatan urin mengalir ke

dalam kandung kemih.

Selama kandung kemih terisi, banyak yang menyertai kontraksi berkemih

mulai tampak. Keadaan ini disebabkan oleh refleks peregangan yang dimulai
oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih, khususnya oleh

reseptor pada uretra posterior ketika daerah ini mulai terisi urin pada tekanan

kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung

kemih dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan

kemudian secara refleks kembali lagi ke kandung kemih melalui serat saraf

parasimpatis melalui saraf yang sama ini.

Ketika kandung kemih hanya terisi sebagain, kontraksi berkemih ini

biasanya secara spontan berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor berhenti

berkontraksi dan tekanan turun kembali ke garis basal. Karena kandung kemih

terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah sering dan menyebabkan

kontraksi otot destrusor lebih kuat.

Sekali refleks berkemih mulai timbul, refleks ini akan menghilang sendiri.

Artinya kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor

regang untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke

kandung kemih dan uretra posterior yang menimbulkan peningkatan refleks

kontraksi kandung kemih lebih lanjut. Jadi siklus ini terus berulang sampai

kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian lebih dari semenit,

refleks yang menghilang sendiri ini mulai melemah dan siklus regeneratif dari

refleks miksi ini berhenti sehingga menyebabkan kandung kemih berelaksasi.

2.3. Retensio Urin

2.3.1. Pengertian

Kesulitan miksi karena kegagalan mengeluarkan urin dari vesika urinaria.

Retensi urin adalah disfungsi pengosongan kandung kemih termasuk untuk


memulai buang air kecil, pancaran lemah, pelan, atau aliran terputus-putus,

perasaan tidak tuntas berkemih dan perlu usaha keras atau dengan penekanan pada

suprapubik untuk mengosongkannya.

2.3.2. Etiologi

Klasifikasi retensi urin berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf,


yaitu:
a. Supravesikal
Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis sakralis S2–4 dan
Th1- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan parasimpatis baik
sebagian atau seluruhnya, misalnya: retensi urin karena gangguan persarafan.
b. Vesikal
Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan
denganmasa kehamilan dan proses persalinan, misalnya: retensi urin akibat
iatrogenik,cedera/inflamasi, psikis.
c. Infravesikal
Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada leher
vesika urinaria, misalnya: retensi urin akibat obstruksi.

2.3.3. Klasifikasi retensi urin


Klasifikasi retensi urin berdasarkan waktu terjadinya, antara lain:
a. Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih yang tiba-tiba dan
disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Kondisi yang terkait adalah
tidak dapat berkemih sama sekali, kandung kemih penuh, terjadi tiba-tiba,
disertai rasa nyeri, dan keadaan ini termasuk kedaruratan dalam urologi.
Kalau tidak dapat berkemih sama sekali segera dipasang kateter.
b. Retensi urin kronik
Retensi urin kronik adalah retensi urin tanpa rasa nyeri yang disebabkan oleh
peningkatan volume residu urin yang bertahap. Misalnya lama-lama tidak
bisa kencing. Pada pembesaran prostat, pembesaran sedikit-sedikit, bisa
kencing sedikit tapi bukan karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri
karena tekanan lebih tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang
terkait adalah masih dapat berkemih, namun tidak lancar, sulit memulai
berkemih (hesitancy), tidak dapat mengosongkan kandung kemih dengan
sempurna. Retensi urin kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat
menyebabkan permasalahan medis yang serius di kemudian hari.

2.3.4. Patofisiologi Retensi Urin


Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urin dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan
dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal
penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan
somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung
kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih.
Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas
kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher
kandung kemih dan proksimal uretra.
Pengeluaran urin secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan
otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu
agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf
sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke
batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari
pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan
pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.
Hasilnya keluarnya urin dengan resistensi saluran yang minimal. Retensi
postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam spontan,
disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan
forcep, angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari
dis-sinergis antara otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak
sempurna yang kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang
tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya
akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor.

2.3.5. Manifestasi klinis dan diagnosis retensi urin


Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan
neurologik, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan
urinalisis dan kultur urin, pengukuran volume residu urin, sangat dibutuhkan.
Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan
uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding
cystourethrography.

a. Anamnesis
- Tidak bisa kencing atau kencing menetes/sedikit-sedikit
- Nyeri dan benjolan/massa pada perut bagian bawah
- Riwayat trauma: "straddle", perut bagian bawah/panggul, ruas tulang
belakang
- Pada kasus kronis, keluhan uremia

b. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi:
- Penderita gelisah
- Benjolan/massa perut bagian bawah
- Tergantung penyebab: batu di meatus eksternum, pembengkakan dengan
atau tanpa fistula didaerah penis dan skrotum akibat striktura uretra,
perdarahan uretra pada robekan akibat trauma
 Palpasi dan perkusi:
- Teraba benjolan/massa kistik kenyal (undulasi) pada perut bagian bawah
- Bila ditekan menimbulkan perasaan nyeri pada pangkal penis atau
menimbulkan perasaan ingin kencing yang sangat mengganggu
- Terdapat bunyi redup pada perkusi
- Dari palpasi dan perkusi dapat ditetapkan batas atas buli-buli yang penuh,
dikaitkan dengan jarak antara simfisis-umbilikus. Tergantung penyebab:
a) Teraba batu di uretra anterior sampai dengan meatus eksternum. b)
Teraba dengan keras (indurasi) dari uretra pada striktura yang panjang. c)
Teraba pembesaran kelenjar prostat pada pemeriksaan colok dubur. d)
Teraba kelenjar prostat letaknya tinggi bila terdapat ruptur total uretra
posterior.

c. Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos abdomen dan genitalia:
- Terlihat bayangan buli-buli yang penuh dan membesar.
- Adanya batu (opaque) di uretra atau orifisium internum.
 Uretrografi untuk melihat adanya striktura, kerobekan uretra, tumor uretra.
 Ultrasonografi untuk melihat volume buli-buli, adanya batu, adanya
pembesaran kelenjar prostat.

Pada retensi urin kronik, pemeriksaan yang diperlukan adalah:


 Urinalisis: untuk melihat adanya infeksi
 Sistoskopi yaitu penggunaan kamera fiberoptik pada uretra. Dengan
sitoskopi dapat dilihat penyebab striktur, letaknya, dan karakter dari striktur.
 PSA (Prostate-Spesific Antigen) adalah tumor marker yang paling penting
saat ini untuk deteksi dini, menentukan staging, dan monitoring pada
penderita kanker prostat. PSA terdiri dari protein yang diproduksi oleh sel
prostat untuk menjaga viskositas cairan semen.
 Urodinamik adalah suatu perangkat pemeriksaan obyektif untuk mengetahui
fungsi kandung kemih dan merupakan pemeriksaan penunjang yang cukup
akurat untuk menentukkan jenis dan penyebab gangguan pada saluran
kemih bagian bawah, seperti inkontinensia urin (beser kemih) atau retensi
urin ( kesulitan berkemih). Pemeriksaan urodinamika simpel meliputi:
Uroflowmetry, Cystometrography dan pengukuran volume residual urin.
Dengan memasukan kateter berisi transduser untuk mengukur tekanan ke
dalam kandungan kemih dan rektum dan kateter tersebut ddihubungkan
dengan komputer. Kemudian memasukan cairan steril ke dalam kandungan
kemih. Selama fase pengisian tersebut komputer akan memberikan
informasi mengenai tekanan kandung kemih, dan rektum, refleks kandungan
kemih dan kapasitas kandungan kemih. Setelah kandung kemih penuh,
semua perlengkapan dilepas dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
uroflowmetry, dimana pasien berkemih dan ditampung pada sebuah alat
khusus untuk mengukur laju pancaran urine. Dan terakhir sisa urin yang
masih tersisa di kandung kemih diukur volumennya. Rangkaian
pemeriksaan ini relatif tidak lama, hanya memerlukan waktu ± 30 menit.
 Cystometrography. Tes dengan sinar-X ini untuk memeriksa kandung kemih
dan uretra setelah penyuntikan cairan kontras khusus melalui kateter pada
kandung kemih. Cairan kontras berisi sifat-sifat khusus yang dapat dilihat
melalui sinar-X yang diambil pada orang dalam berbagai posisi. Sinar-X
juga diambil pada akhir tes selama urinasi.

2.3.6. Penatalaksanaan retensi urine


Penatalaksanaan retensi urin yaitu dengan cara mengeluarkan urin di
dalam vesica urinaria dengan cara kateterisasi atau sistotomi. Tindakan penyakit
primer dikerjakan setelah keadaan pasien stabil. Selain itu juga dapat dilakukan
dilatasi uretra dengan bougi, dan drainase supra pubik. Untuk kasus tertentu
mungkin tidak perlu pemasangan kateter terlebih dahulu melainkan dapat
langsung dilakukan tindakan definitif terhadap penyebab retensi urin, misalnya
batu di meatus uretra eksternum atau meatal stenosis dilakukan meatotomi,
fimosis atau parafimosis dilakukan sirkumsisi atau dorsumsisi (Purnomo, 2012).
Prosedur kateterisasi urine adalah dengan memasukkan kateter ke dalam
kandung kemih melalui uretra bertujuan untuk diagnosis dan terapi. Tindakan
diagnosis antara lain adalah:
a. Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urine guna
pemeriksaan kultur urin. Tindakan ini diharapkan dapat mengurangi risiko
terjadinya kontaminasi sample urine oleh bakteri komensial yang terdapat di
sekitar kulit vulva atau vagina.
b. Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien miksi.
c. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi antara lain: sistografi
atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan voiding
cysto-urethrography (VCUG).
d. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
e. Untuk menilai produksi urine pada saat dan setelah operasi besar.

Tindakan kateterisasi untuk tujuan terapi antara lain:


a. Mengeluarkan urin dari buli buli pada keadaan obstruksi infravesikal baik yang
disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun benda asing (bekuan darah) yang
menyumbat uretra.
b. Mengeluarkan urine pada disfungsi buli buli.
c. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada
prostatektomi dan vesikolitotomi.
d. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
e. Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB) atau clean
intermitten catheterization.
f. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik
untuk buli-buli.

Indikasi dilakukan katerisasi antara lain:


a. Pasien yang mengalami retensi urine.
b. Pasien yang perlu pemeriksaan urine steril.
c. Pasien yang akan dilakukan foto daerah kandung kemih.

Prinsip-prinsip pada pemasangan kateter antara lain:


a. Pemasangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan disinfeksi
secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit
genitalia dan jika perlu diberi profilaksis antibiotika sebelumnya.
b. Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien.
c. Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif untuk
melakukan drainase urin.
d. Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai sistem
tertutup yaitu dengan menggabungkan kateter pada urinebag.
e. Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan
definitif terhadap penyebab retensi urin.

Sistostomi atau kateterisasi suprapubik adalah memasukkan kateter


dengan membuat lubang pada buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan untuk
mengeluarkan urin. Katerisasi ini biasanya dikerjakan pada:
a. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
b. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra misalkan pada ruptur
uretra atau dugaan adanya ruptur uretra.
c. Jika ditakutkan akan terjadi kerusakan uretra pada pemakaian kateter uretra
yang terlalu lama.
d. Untuk mengukur tekanan intravesika pada studi sistotonometri.
e. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TURP.

2.3.7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada retensi urin antara lain: mudah terjadi infeksi
saluran kemih, kontraksi otot buli-buli menjadi lemah dan timbul hidroureter dan
hidronefrosis yang selanjutnya dapat menimbulkan gagal ginjal.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Retensi urin adalah disfungsi pengosongan kandung kemih termasuk untuk
memulai buang air kecil, pancaran lemah, pelan, atau aliran terputus-putus,
perasaan tidak tuntas berkemih dan perlu usaha keras atau dengan penekanan pada
suprapubik untuk mengosongkannya.
Etiologi retensi urin dapat dibedakan berdasarkan lokasi kerusakan saraf,
yaitu: supravesikal, vesikal, infravesikal. Klasidikasi retensi urin berdasarkan
waktunya dapat dibedakan menjadi dua: retensi urin akut dan kronik. Retensi urin
dapat didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan
penunjang.
Tatalaksana pada retensi urin dapat berupa kateterisasi dan sistostomi.
Komplikasi dari retensi urin antara lain: mudah terjadi infeksi saluran kemih,
kontraksi otot buli-buli menjadi lemah dan timbul hidroureter dan hidronefrosis
yang selanjutnya dapat menimbulkan gagal ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Guyton A.C. 2007. Fisiologi Kedokteran. Edisi XI. Jakarta: EGC.

Hinora, Friska, Joice Laoh, Don R.G Kabo. 2014. Pengaruh Bladder Trainning
Terhadap Kemampuan Berkemih pada Pasien dengan Retensi Urin. Buletin
Sariputra.

Moore, K.L. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis. Edisi V Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Potter, Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi IV Vol 2.


Jakarta: EGC

Wartonah Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Wonodirekso S. 1990. Sistem Urinaria dalam Buku Ajar Histologi Leeson and
Leeson (terjemahan). Edisi V. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai