Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

APPENDISITIS AKUT

PEMBIMBING:

dr. Toni Agus Setiono, Sp.B

DISUSUN OLEH:

Melda Agustin

1113103000050

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH RSUP FATMAWATI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Adapun judul makalah ini adalah ”Apendisitis Akut”. Semoga dengan makalah
ini, dapat memberikan ilmu kepada teman-teman sejawat. Sehingga di kemudian hari
teman-teman dapat menangani kasus apendisitis akut yang sering terjadi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Toni Agus Setiono, SpB, selaku
pembimbing makalah dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Jakarta, November 2017

penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...3

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………..4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….5

BAB 3 ILUSTRASI KASUS…………………………………………………………..20

BAB 4 PAMBAHASAN……………………………………………………………….28

BAB 5 KESUMPULAN………………………………………………………………..30

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………31

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan


merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 menyebutkan bahwa
apendisitis menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah
dispepsia, gastritis, dan duodenitis, dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040
orang.

Gejala dan tanda khas apendisitis perlu dipelajari dengan cermat. Riwayat
perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting
dalam mendiagnosis appendicitis. Diagnosis yang tepat diperlukan segera untuk
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Penatalaksanaan appendicitis meliputi
tindakan konservatif dan pembedahan. Pembedahan merupakan pilihan utama
penanganan appendicitis. Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan
dari appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy.
Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi,
terutama disebabkan karena peritonitis dan shock. Oleh karena itu, sangat pentingnya
tenaga medis untuk mengenali dan menangani segera kasus appendicitis.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm


(kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar
pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal.

Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya


bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya,
apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon
ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan
oleh letak apendiks.

Gambar 2.1. Variasi lokasi Appendix

5
Apendiks terletak pada regio kuadran kanan bawah, ujung apendiks dapat
terletak retrocecal, pelvic, subcecal, preileal atau pericolic kanan. Terdapat tiga taenia
coli pada persambungan antara sekum dan apendiks, memudahkan untuk identifikasi
anatomis.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar
umbilicus.

Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa


kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks
akan mengalami gangren. Pada sediaan histologi, mukosa appendiks mengandung
selgoblet yang berperan pada produksi mukus. Submukosa mengandung folikel limfoid,
ditemukan pada 2 minggu paska kelahiran dan jumlahnya meningkat selama masa
pubertas, menetap pada dekade selanjutnya dan mulai menurun seiring usia. Drainase
limfe menuju nodus limfe anterior ileocolic.

Gambar 2.2. Lumen Appendiks

2.2 FISIOLOGI

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis. Immunoglobulin

6
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

2.3 DEFINISI

Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis dan penyebab akut


abdomen paling sering.

2.4 EPIDEMIOLOGI

Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat


setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2.
Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.
Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas..

Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.

2.5 ETIOLOGI

Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix


sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling
sering adalah fecalith. Fecalith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis.
Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid
Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing , misalnya pin, biji-bijian.

Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa


appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada
pasien appendicitis yaitu: Bakteri aerob fakultatif, Bakteri anaerob Escherichia coli,

7
Viridans streptococci, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Bacteroides fragilis,
Peptostreptococcus micros, Bilophila species, Lactobacillus species.

2.6 PATOGENESIS

Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam
24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess
setelah 2-3 hari. Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara
lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus
vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian
diikuti oleh proses inflamasi.

Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah


penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada anak dengan appendicitis akut dan 30-40%
pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat
menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan
jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik
lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris.

Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis
memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Trauma, stress psikologis, dan
herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis.

Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya


nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan.
Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan
sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul,
berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan

8
mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih
dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.

Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan
aliran limf, terjadi edema yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan
menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan
gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam,
takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari
jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan
dengan peritoneum parietal, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan
dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s.

Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri
visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat
terjadinya ruptur dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat
muncul di punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada
testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat
menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urin.

Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis


umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks
mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala
peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum,
semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak
yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat
diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.

9
Patofisiolgi dan pathogenesis appendicitis
appendiks

Hiperplasi Fakalith Erosi mukosa Benda asing Striktur tumor


folikel limfoid appendiks

Obstruksi lumen

Mukosa terbendung

Appendiks teregang

Peningkatan Tekanan intralumen

Aliran darah terganggu

Edema dan ulserasi mukosa Appendicitis akut fokal

Terputusnya aliran darah Nyeri epigastrium/


periumbilikus
Obstruksi vena,edema
bertambah, dan invasi bakteri Penyerta : Mual, Muntah
pada dinding appendiks Anoreksia, Malaise,
Demam ringan

Appendicitis supuratif akut Peradangan

Nyeri di RLQ* Aliran arteri terganggu

Infark dinding appendiks


Kronik (>2 minggu)
Gangren Appendicitis gangrenosa
-Fibrosis menyeluruh dinding
appendiks Dinding appendiks rapuh
-sumbatan lumen parsial/total
-jaringan parut Infiltrat Perforasi
-ulkus lama di mukosa
-sel inflamasi kronik
Infiltrat appendikularis Appendicitis perforasi

Appendisitis kronik

Appendicitis kronik
Eksaserbasi *RLQ : Right Lower Quadrant
eksaserbasi akut

10
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering
didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu singkat, akibat iritasi ileum terminal
atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.

2.7 GAMBARAN KLINIS

Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang


pada neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis
appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama
kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang
samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah.

Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.


Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-
anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di
kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri
punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak
dengan appendicitis retrocecal arau pelvis.

Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat
berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan
distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa
jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat
infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal
yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain
appendicitis.

Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel
habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis. Pada appendicitis tanpa komplikasi
biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan
terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki
kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi
Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat
dipercaya dapat menurun atau menghilang. Anak dengan appendicitis biasanya

11
menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan
kadang-kadang lutut diflexikan.

a.7 PEMERIKSAAN FISIK

Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga


pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut. Secara klinis, dikenal
beberapa manuver diagnostik:

- Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada
otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari
phlegmon atau abscess. Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks
yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas
pada saat dilakukan manuver ini.
- Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan
endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini
menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui
bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah
mengalami radang atau perforasi. Dasar anatomis terjadinya obturator sign
adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak
dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver ini.
- Rovsing’s sign: dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada LLQ
abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.
- Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan
nyeri di RLQ).
- Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.
- Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
- Defance musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix.
- Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
- Appendix letak pelvis.
- Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher.
- Dunphy sign: nyeri ketika batuk.

12
- Skor Alvarado : Semua penderita dengan suspek Appendicitis akut dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6.
Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan
PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut.

Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu


alat bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh
nilai lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat ditegakkan.

Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis :

Manifestasi Skor

Migrasi nyeri 1

Gejala Anoreksia 1

Mual dan/atau muntah 1

Nyeri tekan kuadran 2


kanan bawah
Tanda
Rebound 1

Peningkatan suhu tubuh 1

Leukositosis 2
Nilai laboratorium
Hitung leukosit 1
bergeser kekiri

Total skor 10

Keterangan:

0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil

5-6 : bukan diagnosis Appendicitis

13
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis

9-10 hampir pasti menderita Appendicitis

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90%
anak dengan appendicitis akut. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar
antara 12.000-18.000/mm.

Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang
ditemukan pada pasien dengan appendicitis. Pemeriksaan urinalisis membantu untuk
membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian,
hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat
ureter.

Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang


diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis akut adalah appendix
dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith,
adanya cairan atau massa periappendix.

False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil
dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul
karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang
menghalangi appendix.

CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis


appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira
95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya
abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik. Diagnosis

14
appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada
diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi
gambaran “halo”.

2.9 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan
jenis kelamin. Pada anak-anak balita : intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis
akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir
sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal.
Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah.
Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses.

Pada anak-anak usia sekolah : gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada


gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak
dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri
abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga
dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis.
Pada infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah
Pada pria dewasa muda, diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda
adalah Crohn’s disease, kolitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada

15
skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis,
pasien merasa sakit pada skrotumnya.

Pada wanita usia muda, diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda
lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic
inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID,
nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat
dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.

Pada usia lanjut, appendicitis sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding
yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal
dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat
terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada
orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena
lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari
onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan
CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.

2.10 KOMPLIKASI

a. Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus atau usus besar.
b. Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau
usus besar.
c. Perforasi
d. Peritonitis
e. Syok septik
f. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
g. Gangguan peristaltik
h. Ileus

16
2.11 PENATALAKSANAAN

a. Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis :

a. Puasakan
b. Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala
c. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan
gejala saat pemeriksaan fisik.
d. Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi.
e. Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan
Laparotomy Perawatan appendicitis tanpa operasi
f. Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi (misalnya
untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk
dilakukan operasi Rujuk ke dokter spesialis bedah. Antibiotika preoperatif.
g. Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi
post opersi.
h. Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob
i. Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
j.
Pemberian antibiotik pada apendisitis yang belum perforasi hanya untuk 24-48
jam. Pada apendisitis perforasi, terapi antibiotik direkomendasikan selama 7-10
hari. Pilihan antibiotik intravena hingga hitung jenis leukosit normal dan afebril
hingga 24 jam.
k. Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri
yang terlibat, termasuk E.coli, P.aeruginosa, Enterococcus, S.viridans,
Klebsiella, dan Bacteroides

17
Gambar 2.3 Algoritma penatalaksanaan apendisitis

b. Pembedahan
Apendisitis akut ditangani dengan pembedahan segera. Pembedahan dapat
dilakukan dengan open appendectomy atau laparoscopic.

Open appendectomy dilakukan dengan insisi transversal kuadran kanan bawah


(Davis-Rockey) atau insisi oblique (McArthur-McBurney). Pada kasus tanpa
komplikasi, pilihannya adalah insisi transversal, insisi lateral dari rectus abdominis
pada titik McBurney. Selanjutnya administrasi anestesi lokal untuk mengurangi nyeri
18
post operasi. Setelah memasuki peritonium, dilakukan identifikasi appendiks dengan
mencari taeniae pada sekum untuk membantu identifikasi anatomi apendiks.
Mesoapendiks dipisahkan. Basis apendiks diligasi dengan benang dan pada bagian
proksimal diclamp. Lalu digunting. Punctum apendiks dilipat ke dinding sekum.

Gambar 2.5 Posisi sayatan appendektomi pada Open appendectomy

19
BAB 3

ILUSTRASI KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn.ZA
No.RM : 01315199
Tempat/Tanggal lahir : Jakarta/ 27 Februari 2003
Umur : 14 Tahun
Alamat : Jl.Cendrawasih Raya Kebayoran Lama
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Pelajar
Status Perkawinan : Belum Kawin

2. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien pada
tanggal 22 Oktober 2017 di poli IGD.
Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. 4 hari SMRS,
pasien mengeluh nyeri pada ulu hati serta seperti melilit pada seluruh bagian
perut, kemudian 1 hari SMRS, nyeri semakin memberat dirasakan di bagian
perut kanan bawah. Nyeri perut kanan bawah semakin bertambah berat saat
pasien berdiri dan berjalan, dan berkurang saat pasien berbaring. Pasien juga
merasa demam, mual, dan penurunan nafsu makan sejak 2 hari SMRS. Demam
dirasakan tidak terlalu tinggi. Keluhan muntah disangkal. Pasien tidak ada
keluha diare maupun konstipasi. Buang Air Kecil berpasir, BAK keluar darah,
dan nyeri saat BAK disangkal. Keluhan ini belum pernah diobati sebelumnya.

20
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami nyeri perut serupa dahulu, riwayat operasi tidak
ada, riwayat trauma tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Di keluarga tidak terdapat keluhan nyeri perut kanan bawah serupa.

Riwayat Sosial:
Pasien suka makan makanan pedas seperti seblak.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital : TD 96/64 mmHg, HR 103x/menit,RR 20 x/menit, T
37’C
Status Generalis
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
THT : dalam batas normal
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 s
Status Lokalis
Abdomen :
I : Tampak datar
A : bising usus (+) normal
P : Supel, McBurney sign (+), defans muscular(-), Nyeri tekan epigastrium (+),
hepar dan lien tidak teraba
P : timpani diseluruh regio abdomen
Pemeriksaan tanda akut abdomen:
PSOAS Sign (+)
Obturator sign (+)

21
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 12.7 11,7– 15,5 g/dl
Hematokrit 34 33 – 45 %
Leukosit 13.3 5,000 – 10,000 /ul
Trombosit 228,000 184,000-488,000/ul
Eritrosit 440,000 440,000 – 590,000/ul
VER 85 80-100
HER 29.4 26-34
KHER 31.4 32-36
RDW 13.2 11,5-14,5
Hemostasis
APTT 33.3 26,3 – 40,3
Kontrol APTT 30.7
PT 14.3 11,5-14,5
Kontrol PT 13.6
INR 1.06
Fungsi Hati
SGOT 12 0 – 34 U/I
SGPT 9 0 – 40 U/I
Fungsi Ginjal
Ureum 21 20 – 40 mg/dl
Creatinin 0,5 0,6 – 1,5 mg/dl
Gula Darah Sewaktu 130 60 100 mg/dl
Elektrolit
Natrium 143 135 – 147
Kalium 3.38 3,10 – 5,10
Chloride 104 95 – 108

22
Foto Thorax AP

Kesan : tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru

5. RESUME
Nn. ZA, perempuan, 14 tahun, mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari
SMRS. 4 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri pada ulu hati serta seperti melilit
pada seluruh bagian perut, kemudian 1 hari SMRS, nyeri semakin memberat
dirasakan di bagian perut kanan bawah. Nyeri perut kanan bawah semakin
bertambah berat saat pasien berdiri dan berjalan, dan berkurang saat pasien
berbaring. Pasien juga merasa demam, mual, dan penurunan nafsu makan sejak 2
hari SMRS. Demam dirasakan tidak terlalu tinggi. Pasien suka makan makanan
pedas.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
tanda vital : TD 96/64 mmHg, HR 103x/menit, RR 20x/menit, T 37’C. Status
generalis dalam batas normal. Pemeriksaan fisik Abdomen didapatkan
McBurney sign (+), Nyeri tekan epigastrium (+). Pemeriksaan tanda akut
abdomen: PSOAS Sign (+) dan Obturator sign (+).
Pemeriksaan penunjang didapatkan, leukosit 13.300/ul (leukositosis), GDS 130
mg/dl, lain-lain dalam batas normal.

23
6. DIAGNOSIS
Appendisitis akut

7. TATALAKSANA
• Pro appendektomi cito
• Puasa
• IVFD RL 500 cc/8 jam
• Inj. Ceftriaxon 2x1gr
• Inj. Ketorolac 3x30 mg
• Inj. Ranitidin 2x50 mg
• Cek DPL, Ur/Cr, OT,PT,GDS,elektrolit, PT,APTT, urinalisa
• Toleransi operasi anestesi dan IKA

8. LAPORAN OPERASI
1. OS tidur posisi supine dalam anastesi spinal
2. A dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
3. Insisi transversa dititik Mcburney, insisi kutis subkutis dan fascia
4. Otot dipisahkan secara tumpul
5. Ketika peritoneum dibuka tidak keluar pus
6. Identifikasi appendix, appendix letak retrocaecal intraperitoneal ukuran 7
cm x1 cm, hiperemis, tidak ada perforasi, tidak ada fekalith
7. Appendix dibenamkan dalam kantong tembakau
8. Luka operasi dicuci dengan kasa lembab
9. Luka operasi ditutup lapis demi lapis
10. Operasi selesai

• Diagnosis pre operasi:


Appendisitis akut
• Diagnosis post operasi:
Appendisitis akut

24
9. INSTRUKSI POST OPERASI
• Awasi tanda vital, dan pendarahan
• IVFD kabiven 1440:RL 1500/24 jam
• Inj Cefotaxim 3x1 gr
• Inj Paracetamol 3x1 amp
• Inj Ranitidin 2x 50 mg
• Jika sadar penuh boleh diet lunak
• Mobilisasi bertahap
• Rawat luka

10. FOLLOW UP
• Senin, 23 Oktober 2017
S Nyeri luka operasi VAS 2-3
O KU baik,cm
TTV: TD 90/60, N: 80 x/menit, RR: 18x/menit, S: 36,6’C
Status generalis : dalam batas normal
Status lokalis : luka bekas operasi tertutup verban, tidak ada rembes.
A POD I Post Appendektomi ai Appendisitis akut.
P IVFD kabiven 1440:RL 1500/24 jam
Inj Cefotaxim 3x1 gr
Inj Paracetamol 3x1 amp
Inj Ranitidin 2x 50 mg
Rawat luka

• Selasa, 24 Oktober 2017


S Nyeri luka operasi VAS 1-2
O KU baik,cm
TTV: TD 98/65, N: 82 x/menit, RR: 18x/menit, S: 36,4’C
Status generalis : dalam batas normal
Status lokalis : luka bekas operasi tertutup verban, tidak ada rembes.
A POD II Post Appendektomi ai Appendisitis akut.
P Rawat jalan

25
Obat pulang:
Cefixim 2x200 mg po
Asam mefenamat 3x500 mg po

11. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad sanactionam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam

26
12. DOKUMENTASI
Pre operatif

Intra operatif

Post-peratif

27
BAB 4

PEMBAHASAN

Pasien ini didiagnosis apendisitis akut. Gejala apendisitis yang terdapat


pada pasien ini adalah nyeri viseral pada regio epigastrium atau umbilicus,
pasien juga mengeluh tidak nafsu makan dan sering disertai mual. Nyeri
jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri
visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic
biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum
parietal. Nyeri viseral timbul akibat distensi apendiks yang mengalami
inflamasi. Inflamasi ini disebakan oleh obstruksi lumen apendiks yang dapat
diakibatkan oleh fecalith atau appendicolith, hyperplasia limfoid, sisa
makanan, parasit maupun neoplasma. Obstruksi lumen apendiks
berkontribusi pada pertumbuhan kuman.

Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti


demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator
inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding
appendiks berhubungan dengan peritoneum parietal, serabut saraf somatik
akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks,
khususnya di titik Mc Burney’s. Pada pasien ini didapatkan demam dengan
suhu 37’C, takikardi 103x/menit, leukositosis, serta nyeri pada titik Mc
Burney positif.

Mukus yang terus disekresikan oleh sel goblet mukosa apendiks pada
lumen yang obstruksi mengakibatkan distensi dan peningkatan tekanan
dinding apendiks. Selanjutnya timbul gangguan drainase limfe,
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Distensi
tersebut yang menimbulkan nyeri viseral periumbilikal.

Diagnosis banding pada anak-anak usia sekolah yaitu gastroenteritis,


konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala
yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis,

28
sedangkan pada pasien ini terdapat leukositosis. Konstipasi, merupakan salah
satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya
demam. Pada pasien ini, tidak terdapat keluhan Buang air bersar seperti
konstipasi, juga pada pasien terdapat demam. Infark omentum juga dapat
dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai
appendicitis. Pada infark omentum, dapat teraba massa pada abdomen dan
nyerinya tidak berpindah, sedangkan pada pasien ini tidak teraba massa pada
abdomen dan terdapat nyeri yang berpindah dari nyeri epigastrium kemudian
ke nyeri perut kanan bawah.

Berdasarkan skor Alvarado, skor pasien ini adalah 8 (pasien mengalami


migrasi nyeri, nyeri pada perut kanan bawah, anoreksia, mual dan/atau
muntah, peningkatan suhu tubuh, leukositosis).

Pasien di tatalaksana dengan apendiktomi laparotomi cito. Untuk


premedikasi diberikan infus untuk pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi,
antibiotik spektrum luas untuk kuman gram positif dan negatif serta anaerob,
serta pemberian obat anti nyeri. Apendisitis akut ditangani dengan
pembedahan segera. Pada operasi didapatkan apendisitis tanpa perforasi.
Oleh karena itu dapat ditegakan diagnosis apendisitis akut.

Dari follow up selama 2 hari pasien menunjukkan tanda perbaikan,


sehingga pada pasien ini dapat dilakukan rawat jalan dan kontrol luka jahitan
ke poli bedah. Untuk prognosis pasien ini pada ad vitam, ad sanactionam,
maupun ad functionam adalah ad bonam, karena appendicitis akut pada
pasien tidak mengancam kehidupan, tidak terjadi kekambuhan karena telah
dilakukan pengangkatan appendiks, dan tidak mengganggu fungsi.

29
BAB 5

KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.


Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan
pada anak-anak dan remaja. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik
merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis. Penatalaksanaan
segera sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien dengan
appendicitis. Pada kasus ini, didapatkan diagnosis appendicitis akut berdasarkan tanda
dan gejala khas dari appendicitis akut, kemudian dilakukan tindakan berupa operasi cito
appendektomi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW. 2013. Grey’s Basic Anatomy. USA:
Elsevier
2. Martini, Frederick H. 2012. Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th
Edition. USA: Pearson Publishing
3. Netter FH. 2013. Netter atlas of human anatomy . Philadelphia : Elsevier.
4. Ramon RG, Hasan HE, Marguerite A W, et al. Diagnosis and management of
acute appendicitis. EAES consensus development conference 2015. Surg
Endosc. 2016; 30 (11): 4668–4690
5. Buku ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong edisi 3. 2010.
6. Depertemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil Kesehatan Indonesia
2008. Jakarta: Depkes RI
7. Acosta J, Adams CA, Alarcon LH, et al. 2007. Sabiston Textbook of Surgery,
18th ed. USA: Saunders Elsevier
8. Sabatine MS. Pocket medicine 4th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins and
Wolters Kluwer; 2011

31

Anda mungkin juga menyukai