Anda di halaman 1dari 20

BELAJAR MOTORIK

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH


Belajar Motorik
Yang dibina oleh Drs. Lokananta Teguh Hari Wiguno, M.Kes

OLEH

Amalia Dinda Permata C (170611633607)


Bagus Cahyono Putro (170611633591)
M. Arif Kurniawan (170611633518)
Nira Arsita Budi M (170611633672)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Kuasa lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat dah
hidayah, dan inayah-nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Belajar Motorik”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Malang, 03 Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan .....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................3
2.1 Teori Belajar yang Relevan Belajar Motorik ............................................3
2.2 Teori Belajar Motorik ...............................................................................4
2.3 Tahap-tahap Belajar Motorik ....................................................................5
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Motorik .....................7
BAB III PENUTUP ..............................................................................................11
3.1 Kesimpulan .............................................................................................11
3.2 Saran .......................................................................................................11
DAFTAR RUJUKAN ..........................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Teori belajar sudah tidak lagi asing bagi para guru dan pelatih, sehingga bukan
mustahil banyak diantara mereka yang merasa enggan untuk mengadopsi atau
melaksanakan teori “baru”. Namun demikian, mereka mungkin tidak
mengembangkan suatu pengetahuan yang terorganisasi secara kompak dan sistematis
tentang belajar ketrampilan gerak, dan bahkan mereka tak memiliki suatu penjelasan
yang tersurat atau eksplisit tentang gejala belajar gerak, khususnya dalam olahraga.
Maka dalam bagian ini akan dibahas teori belajar ketrampilan motorik yang
diadaptasi dari teori belajar dalam psikologi pendidikan. Dengan pendekatan
psikologi untuk memahami perilaku dalam konteks belajar motorik adalah relevan,
karena proses belajar ketrampilan itu sendiri tidak semata-mata sebagai gejala yang
dipengaruhi oleh faktor biologis (neuro-fisiologis). Meskipun tak begitu jelas bagi
kita apa yang terjadi dalam proses belajar, namun aspek mental dianggap memegang
pengaruh yang dominan. Proses belajar merupakan suatu peristiwa yang melibatkan
aktivitas jiwa dan badan sebagai satu kesatuan (Rusli Lutan, 1988: 122). Penonjolan
salah satu aspek, hanya untuk kepentingan analisis secara teoritis saja. Sebelum
sampai pada uraian yang lebih spesifik tentang teori belajar motorik, kita berhadapan
dengan suatu masalah, terutama tentang kategori belajar itu sendiri yang dianggap
relevan untuk diterapkan dalam belajar ketrampilan motorik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut.
a. Apa saja teori yang relevan terhadap belajar motorik?
b. Apa pengertian dari belajar motorik?
c. Bagaimana tahap-tahap dari belajar motorik?
d. Apa saja faktor yang mempengaruhi proses belajar motorik?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui teori yang relevan terhadap belajar motorik
b. Untuk mengetahui pengertian dari belajar motorik
c. Untuk mengetahui tahapan dan faktor yang memengaruhi belajar motorik
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
a. Agar mengetahui teori yang relevan terhadap belajar motorik
b. Agar mengetahui pengertian dari belajar motorik
c. Agar mengetahui tahapan dari belajar motorik
d. Agar mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar motorik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Belajar yang Relevan Belajar Motorik


Teori-teori belajar dapat dikelompokan menjadi beberapa kategori. Beberapa
penulis seperti Bigge dan Hunt (1962), seperti apa yang dipaparkan kembali oleh
Oxendine (1968, 1984) cenderung mengklasifikasikan teori besar menjadi dua
kategori utama yaitu kelompok teori stimulus-respons dan kelompok teori gestalt-
field.
2.1.1 Kelompok Teori Asosiasi Stimulus-Respons
Watson (1930) diakui sebagai pendiri behaviorisme, peletak dasar filsafat bagi
teori stimulus-respons. Keyakinan aliran behaviorisme tentang keampuhan stimulus
yang terorganisasi, terungkap dari pernyataan Watson sebagai berikut: “berikan saya
selusin anak bayi yang sehat dan normal fisiknya, dan dunia keahlian saya
mengembangkan mereka dan saya akan menjamin untuk mengambil setiap mereka
secara acak dan melatihnya untuk menjadi berbagai tipe ahli yang saya inginkan,
seperti dokter, artis, saudagar dan sebagainya tanpa memandang bakat, kesukaan,
tendensinya, abilitasnya”. Pernyataan tersebut menunjukkan betapa optimis para
penganut behaviorisme, bahwa seseorang bisa dibentuk apa saja asal rangsang untuk
membentuk mereka benar-benar terprogram dengan baik. Menurut para tokohnya,
perilaku dapat dikontrol melalui penerapan prinsip pleasure pain. Prinsip tersebut
akan lebih jelas apabila dipahami prinsip dasar dari teori itu sendiri yang terdiri dari
dua elemen, yaitu elemen stimulus-respons yang dinyatakan dalam model S-R. model
tersebut menunjukkan bahwa stimulus berkaitan langsung dengan respons tertentu.
Sebagai contoh, pupil mata akan bereaksi secara otomatis terhadap cahaya yang kuat
atau kita akan menarik tangan dengan segera jika menyentuh setrika panas. Sejumlah
besar stimulus di lingkungan menerpa organ-organ penginderaan kita. Sebagian dari
rangsang tersebut akan ditanggapi dengan respons tertentu yang hanya akan dikuasai
melalui proses latihan dan belajar.
2.1.2 Kelompok Teori Kognitif
Ide dasar dari teori kognitif ialah bahwa seorang pelajar mengorgnisasikan
rangsang atau persepsinya ke dalam suatu pola atau bentuk secara keseluruhan. Teori
kognitif menekankan pada pentingnya kesadaran si pelajar terhadap keseluruhan
medan yang bersangkutan. Sebagai contoh seorang pemain sepakbola akan menguasai
keseluruhan prinsip dari teknik sepakbola setelah dia melakukan permainan tersebut.
Karena itu, menurut Oxendine (1986, 1984) menerimanya: (1) menghubungkan satu
rangsang dengan yang lain; (2) merumuskan kesimpulan sementara tentang kaitan
antara cara (alat) dan tujuan; dan (3) berperilaku untuk mencapai suatu tujuan.
2.1.2.1 Penganut Psikologi Gestalt
Titik konsentrasi studi yang dilakukan Gestalt klasik adalah persepsi individu.
Proses belajar tergantung pada bagaimana seseorang atau pelajar yang bersangkutan
mempersepsi lingkungannya. Konsep utama dari teori ini ialah figure dan ground. Ini
berarti bahwa medan sensoris, seperti pengamatan, pendengaran dan lain-lain
diorganisasikan ke dalam sebuah gambar denga suatu latar belakang. Seseorang akan
mempersepsi gambar dan latar belakang itu secara serempak.
Karakteristik utama dari teori ini ialah konsep insight. Gejala “Ah, ha”
dipergunakan untuk menggambarkan penemuan-penemuan pemecehan suatu masalah
secara tiba-tiba. Konsep penting lainnya dari Gestalt ialah bahwa keseluruhan lebih
besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Suatu keseluruhan tak semata-mata sebagai
akumulasi dari bagian-bagian, tapi keseluruhan pola suatu keseluruhan memiliki
karakteristiknya pada setiap bagian. Jika prinsip dari psikologi Gestalt diterapkan
dalam proses belajar ketrampilan motorik, pelaksanaanya sebagai berikut:
1. Aktivitas suatu cabang olahraga harus dilakukan secara keseluruhan, bukan
sebagai pelaksanaan gerak secara terpisah-pisah.
2. Tugas utama dari guru atau pelatih ialah untuk memaksimumkan transfer dari
latihan di antara berbagai kegiatan.
3. Faktor insight penting untuk memecahkan masalah.
4. Pemahaman tentang hubungan antara bagian-bagian dengan suatu keseluruhan
penting bagi peragaan ketrampilan yang efektif.
2.1.2.2 Teori Medan (Field) dari Lewin
Kurt Lewin (1890-1947) dikenal sebagai tokoh sebuah teori yang menekankan
kompleksitas dari rangsang terhadap pelajar. Teori ini menekankan pada peranan
motivasi. Konsep utama dari Lewin ialah bahwa “ruang kehidupan” siswa terdiri dari
kekuatan internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap dirinya. Rangsang internal
mencakup rangsang psikologis seperti memori, kecemasan, dan faktor fisiologis
seperti lapar, haus, dan sebagainya.
Aspek lain dari konstribusi Lewin ialah efek dari motivasi terhadap
pencapaian tujuan. Bagi Lewin, motif-motif berkaitan dengan tujuan yang bersifat
pribadi, dan tak perlu berkaitan dengan insentif yang sifatnya umum. Dia juga
menyatakan tujuan itu sendiri ditetapkan atau diciptakan oleh individu, sementara
hadiah dapat disediakan oleh pihak luar. Seorang atlet misalnya, mungkin
memenangkan pertandingan dan memperoleh medali, tapi dia tak begitu senang
karena dia tidak bisa memecahkan rekor sebagai tujuan yang diidamkan.
Penerapan teori medan Lewin dalam belajar ketrampilan motorik, secara
umum sebagai berikut:
1. Adalah penting bagi guru untuk membantu siswa atau atlet untuk menetapkan
tujuannya sendiri dan membantu mereka untuk mencapai tujuan tersebut.
2. Ekologi kelas atau kelompok yang diperoleh dari iklim kelas atau interaksi
sosial yang baik akan berguna untuk mendorong proses belajar yang lancar.
3. Guru atau pelatih harus memperhatikan, bahwa rangsang tak hanya datang
dari luar tapi juga dari dalam.

2.2 Teori Belajar Motorik


Dalam bagian ini akan dibahas dua macam teori belajar motorik yang
dianggap eksklusif dan dikembangkan pada tahun-tahun terakhir ini dengan maksud
untuk mengungkapkan faktor di balik proses belajar dari sudut pandang yang agak
berbeda. Yang pertama ialah teori belajar motorik yang dikembangkan oleh Adams,
dan selanjutnya teori scema yang dikembagkan oleh Schmidt. Prinsip-prinsip dasar
kedua teori ini terutama tentang sistem pengontrolan gerak: terbuka atau tertutup.
2.2.1 Teori Adams
Adam (1971) proses belajaar motorik langsung pada jalur tertutup, maksudnya
umpan balik dari anggota badan yang terus menerus selama latihan merupakan
sumber koreksi utama untuk kebenaran suatu gerakan dengan kata lain dapat
dijelaskan, apabila seseorang melakukan gerakan maka akan menghasilkan umpan
balik intrinsic yang berguna untuk menggerakkan anggota badan dan pewaktuan
(taiming) yang tepat.
Konsep utama dari teori Adams yakni mekanisme rujukan atau rujukan benar
salahnya suatu gerakan. Artinya, gerakan yang telah dilakukan seseorang
dibandingkan dengan suatu kriteria. Dalam teori Adams mekanisme rujukan ini
beroperasi dalam sistem tertutup, tapi kemudian sebagai sebuah sistem terbuka yang
mengirimkan semua informasi yang dibutuhkan untuk memulai suatu gerakan. Apa
yang dimaksud dengan formasi jejak perseptual dalam teori Adams? Ambil contoh,
manakala seseorang telah melakukan suatu tugas gerak, katakanlah menggeser sebuah
slide hingga jarak tertentu pada posisi mendatar lurus, maka dihasilkan rangsang
umpan balik intrinsik. Rangsang ini meninggalkan bekas atau jejak dalam sistem
persyarafan (karena itu disebut jejak perseptual). Dengan diulang- ulanginya respons
beberapa kali, maka seseorang semakin mendekati target yang ditetapkan dan pada
setiap trial membekaslah jejak yang berbeda, sehingga terjadi semacam koleksi jejak.
Selain itu, berkat penyediaan umpan balik berupa pengetahuan tentang hasil (PH),
maka seseorang semakin mendekati target, dan setiap trial menyediakan umpanbalik
berupa gerakan yang benar atau tepat.

Setiap kali seseorang mencoba, maka semakin kuat jejak perseptual yang
berarti semakin berkurang kemungkinan kesalahan yang terjadi. Yang menarik dari
teori Adams ini ialah bahwa error yang dihasilkan selama latihan berlangsung negatif
efeknya terhadap belajar. Hal ini disebabkan karena, jika suatu error dilakukan,
umpan balik yang diperoleh darinya tentu akan sangat berbeda dengan apa yang
didapat dari gerakan yang benar, dan karena itu pula maka jejak perseptual akan
mengalami sedikit cacat. Karena itu, implikasi terpenting ialah, bimbingan harus
diberikan dalam belajar gerak untuk menghindari.kesalahan. Menurut Schmidt (1988)
keterbatasan teori Adams yakni hanya terbatas pada fenomena gerakan lambat. Selain
itu, salah satu kelemahan utama teori Adams yakni bertentangan dengan beberapa
bukti tentang deferensiasi atau pemutusan syaraf afferent. Bukti penelitian
menunjukkan, bahwa organisasi yang dalam keadaan tak memperoleh umpanbalik
sensoris dari anggota badannya masih mampu untuk melakukan respons dengan
terampil (meskipun sedikit menurun), dan bahkan mempelajari kegiatan baru
(misalnya, Taub & Berman, 1968). Pandangan tersebut disanggah kembali oleh
Adams (1976) dengan suatu pendapat bahwa bisa jadi hewan mengalihkan sumber
lain umpan balik seperti penglihatan sebagai pengganti dari hilangnya sensasi dari
anggota tubuh Yang memberikan respons. Teori Adams mengabaikan eksistensi
pembangkit pola sentral, suatu struktur yang nampaknya berkemampuan untuk
menimbulkan satu aksi yang kompleks tanpa memanfaatkan umpan balik.
2.2.2 Teori Schmidt
Schidt (1982) belajar motorik adalah seperangkat proses yang bertalian
dengan latihan atau pengalaman yang mengantarkan ke arah perubahan permanen
dalam perilaku terampil. Meskipun tekanan belajar motorik ialah penguasaan
keterampilan tidaklah berarti aspek domain kognitif diabaikan.
Terdapat analisis karakteristik belajar motorik yang dipaparkan oleh Schmidt
(1982), yang dijabarkan Iebih Ianjut sebagai berikut:
1. Belajar sebagai proses; dalam psikologi kognitif dijelaskan, sebuah proses adalah
seperangkat kejadian atau peristiwa yang berlangsung bersama, menghasilkan
beberapa perilaku tertentu. Sama halnya dengan belajar keterampilan motorik, di
dalamnya terlibat suatu proses yang menyumbang kepada perubahan dalam
perilaku motorik sebagai hasil dari berlatih, karena itu fokus belajar motorik ialah
perubahan yang terjadi pada organisme yang memungkinkannya untuk melakukan
sesuatu yang berbeda dengan sebelum berlatih.
2. Belajar gerak adalah hasil langsung dari latihan; perilaku motorik berupa
keterampilan dipahami sebagai hasil dari latihan dan pengalaman. Hal ini
dipertegas dengan perubahan yang terjadi seperti faktor kematangan dan
pertumbuhan. Faktor-faktor yang meyebabkan perubahan perilaku, meskipun
dapat disimpulkan perubahan itu karena belajar. Sama halnya dengan persoalan
tersebut, peningkatan kemampuan fisik dapat menyebabkan peningkatan
keterampilan seseorang dalam satu cabang olahraga, sehingga dapat dibuat
kesimpulan yang salah bahwa perubahan itu karena belajar.
3. Belajar gerak tidak teramati secara langsung; proses yang terjadi di batik
perubahan keterampilan itu mungkin sekali amat kompleks dalam sistem
persyaratan, seperti bagaimana informasi sensoris diproses, diorganisasi, dan
kemudian diolah langsung dan arena itu, hanya dapat ditafsirkan eksistensinya
dari perubahan yang terjadi dalam keterampilan atau perilaku motorik.
4. Belajar gerak menghasilkan kapasitas untuk bereaksi (kebiasaan); pembahasan
belajar motorik juga dapat ditinjau dari munculnya kapasbilitas untuk melakukan
suatu tugas dengan terampil. Keterampilan tersebut dapat dipahami sebagai suatu
perubahan dalam sistem pusat syaraf. Tujuan dari latihan adalah untuk
memperkuat atau memantapkan jumlah perubahan yang terdapat pada kondisi
internal. Kondisi internal ini sering disebut dalam istilah kebiasaan.
5. Belajar gerak relatif permanen; ciri lain dari belajar motorik adalah relatif
permanen. Hasil belajar itu relatif bertahan hingga waktu relatif lama. Manakala
seseorang belajar dan berlatih, maka is tidak pernah sama dengan keadaan
sebelumnya. Dan belajar menghasilkan perubahan relatif permanen. Persoalannya
adalah seberapa lama keterampilan itu melekat? Memang sukar untuk menjawab,
berapa lama hasil belajar itu akan melekat. Meskipun sukar ditetapkan secara
kuantitatif, apakah selama 1 bulan, atau 2-5 hari, untuk kebutuhan analisis dapat
menegaskan, belajar akan menghasilkan beberapa efek yang melekat.

2.3 Tahap-tahap Belajar Motorik


Ada kesamaan pendapat para ahli, bahwa belajar ketrampilan motorik
berlangsung melalui beberapa tahap. Fitts (1964); Fitts & Posner (1967) telah
membahas tahap-tahap belajar motorik yakni: (1) tahap kognitif (2) tahap asosiatif
(3) tahap otomatis.
2.3.1 Tahap Kognitif
Pada tahap ini, sering juga terjadi kejuta berupa peningkatan yang besar jika
dibandingkan dengan kemajuan pada tahap-tahap berikutnya. Pada tahap itu juga,
bukan mustahil siswa yang bersangkutan mencoba-coba dan kemudian sering juga
salah dalam melaksanakan tugas gerak. Gerakannya memang masih nampak kaku,
kurang terkoordinasi, kurang efisien, bahkan hasilnya tidak konsisten. Sebagai
contoh, seorang yang “halus” (yakni cock melayang rendah di atas jaring dan masuk
ke peta serice), namun ketrampilan tersebut hanya sekali-kali dapat dilakukannya. Si
pelaku masih mencari-cari hubungan antara cara melaksanakan dan hasil yang
dicapai. Karena itu, masih belum terbentuk satu pola yang konsisten. Siswa yang
bersangkutan dihadapkan dengan tugas yakni apa yang harus dilakukan, sehingga
tahap pertama ini oleh Adams disebut tahap verbal-motor.
2.3.2 Tahap Asosiatif
Permulaan dari tahap ini ditandai oleh semakin efektif cara-cara siswa
melaksanakan tugas gerak dan dia mulai mampu menyesuaikan diri dengan
ketrampilan yang dilakukan. Akan nampak, penampilan yang terkoordinasi dengan
perkembangan yang terjadi secara bertahap, dan lambat laun gerakan semakin
konsisten. Jika seorang pemula belajar menembakkan bola ke dalam ring dalam
permainan bola basket hanya mampu memasukkan 2-3 tembakan dari 10 kesempatan,
maka memasuki tahap asosiatif ini, dia makin paham tentang, misalnya berapa kira-
kira daya yang harus dikerahkan atau bagaimana peranan dari pergelangan kaki dan
jari untuk mengendalikan bola. Gerakannya tidak lagi untung-untungan, tapi makin
konsisten. Artinya gerakannya makin terpola dan dia semakin menyadari kaitan
antara gerak dan hasil yang dicapai.
2.3.3 Tahap Otomatis
Setelah seorang berlatih selama beberapa hari, berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun, dia memasuki tahap otomatis. Dikatakan demikian, karena
ketrampilan motorik yang dilakukannya, dikerjakannya secara otomatis. Dikatakan
demikian, karena pelaksanaan tugas gerak yang bersangkutan tak seberapa terganggu
oleh kegiatan lainnya yang terjadi secara simultan. Seorang pengetik yang mahir
misalnya, mampu dengan lancar megetik tanpa melihat huruf-huruf ketikan,
sementtara dia memperhatikan naskah yang sedang diketiknya. Seorang pemain bola
basket yang telah mahir , mampu menembakkan bola secara efektif ke ring, meskipun
dalam keadaan posisi sulit karena dijaga oleh lawan. Yang menarik ialah dalam
melaksanakan tugas tersebut , si pelaku tak seberapa banyak menumpahkan
perhatiannya kepada tugas yang sedang dikerjakannya. Tentu saja banyak
keuntungannya, yakni si pelaku dapat memproses informasi tentang aspek lain yang
juga penting seperti taktik bermain misalnya dalam tenis, bulutangkis, atau
berkonsentrasi pada style penampilan misalnya dalam senam atau skating es.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar Motorik


Proses belajar dan penampilan gerak dipengaruhi oleh kondisi internal dan
eksternal. Kondisi internal mencakup karakteristik yang melekat pada individu,
seperti tubuh, motivasi, atau atribut lainnya yang membedakan seseorang dengan
lainnya. Kondisi eksternal mencakup faktor-faktor yang terdapat di luar individu yang
memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap penampilan gerak
seseorang. Kondisi eksternal itu meliputi kondisi lingkungan pengajaran dan bahkan
lingkungan sosial-budaya yang lebih luas.
2.4.1 Transfer Ketrampilan dan Latihan Imajiner
Transfer latihan atau ketrampilan merupakan salah satu topic penting dalam
konteks belajar dan berlatih ketrampilan olahraga. Hal itu berdasarkan asumsi bahwa
hasil belajar dalam suatu ketrampilan dapat memberikan pengaruh positif atau
negative terhadap ketrampilan lain.
2.4.1.1 Transfer dalam Penguasaan Ketrampilan
Transfer latihan terjadi apabila kebiasaan yang telah terbentuk sebelumnya
memberikan pengaruh terhadap penguasaan, penampilan, atau “relearning” dari
kebiasaan berikutnya (McGeoch & Irion, 1952). Sebagai contoh seseorang yang
terampil dalam senam artistic cenderung terampil dalam cabang olahraga loncat
indah. Ketrampilan dalam senam ditransfer ke dalam ketrampilan loncat indah.
Karena ketrampilan dalam senam menyokong penampilan yang baik dalam loncat
indah, kondisi tersebut disebut transfer positif. Sebaliknya merosotnya kecermatan
pukulan seseorang dalam bulutangkis setelah dia berlatih tenis misalnya, disebut
transfer negative, karena ketrampilan tenis dianggap sebagai penyebab menurunnya
ketrampilan bulutangkis.
2.4.1.2 Latihan Imajiner
Dalam proses pengajaran atau kepelatihan, masih kuat kecenderungan bahwa
guru atau pelatih lebih menitikberatkan pelaksanaan latihan yang nyata nampak
peragaan fisik. Dan memang harus diakui, salah satu metode terbaik untuk
meningkatkan ketrampilan yakni secara langsung mempelajari kegiatan yang
dimaksud melalui kegiatan praktek secara berulang. Tekanannya ialah pada
“pembiasaan fisik”.
Latihan imajiner atau sering disebut mental rehearsel telah dicobakan. Hingga
batas tertentu, hasilnya menunjukkan efek positif terhadap kemajuan belajar.Latihan
imajiner bermanfaat untuk merangsang perkembangan dari penguasaan ketrampilan
dalam tempo yang lebih cepat dan bahkan mungkin dengan tingkat retensi yang lebih
besar. Konseptualisasi ketrampilan motorik yang dipelajari secara tidak langsung
mengasah kemampuan kognitif atau kemampuan seseorang untuk berpikir. Ini berarti
belajar motorik tidak berlangsung secara otomatis. Dalam keadaan kelas terlampau
padat, atau fasilitas kurang, maka latihan imajiner dapat dipakai sebagai pelengkap
latihan nyata. Sambil menunggu giliran latihan nyata, para siswa dapat melakukan
latihan imajiner.
Pelaksanaan latihan imajiner bukan berarti sepenuhnya mengganti latihan
nyata. Keduanya dapat digabung untuk saing memperkuat.
2.4.2 Perbedaan Individual dan Kesiapan Belajar
Penguasaan ketrampilan motorik dalam olahraga dipengaruhi oleh atribut yang
melekat pada seseorang, baik yang bersifat psikis maupun fisikal. Sering kali
beberapa orang berpikir, mengapa seorang atlet atau siswa lebih menonjol
kemampuannya daripada yang lainnya, meskipun mereka sama-sama memperoleh
kesempatan dan bimbingan yang kira-kira setara intensitasnya.
Salah satu faktor dominan yang menyebabkan terdapat perbedaan nyata di
antara individu ialah perbedaan tingkat abilitas, suatu atribut yang relatif menetap dan
tak berubah oleh latihan. Tipe tubuh juga dipandang ada hubungannya dengan
penguasaan ketrampilan motorik atau penampilan gerak seseorang. Seperti halnya
abilitas, taka da suatu cara berlatih untuk mengubah tipe tubuh karena sifatnya tetap.
Selain itu kita juga dihadapkan dengan masalah kesiapan belajar, suatu konsep
yang kita dapatkan dalam psikologi. Tingkat kemajuan yang lambat dalam
penguasaan suatu ketrampilan, dapat terjadi karena dipengaruhi oleh faktor kesiapan
belajar pada individu yang bersangkutan. Sebagai contoh, anak berumur 6 tahun tentu
sukar menguasai ketrampilan “hand stand” dalam senam lantai. Hal ini terutama
disebabkan karena mereka belum siap secara fisikal untuk melakukan ketrampilan itu
dengan baik. Tingkat perkembangan kekuatan otot masih belum memadai untuk
mendukung pelaksanaan ketrampilan tersebut. Karena efektivitas pengajaran juga
dipengaruhi oleh pemahaman guru atau pelatih terhadap perbedaan individual dan
kesiapan belajar.
2.4.3 Motivasi dan Arousal
Konsep yang paling umum dan meluas diterima dikalangan pendidikan
olahraga dan olahraga kompetiatif ialah motivasi. Bahkan dalam kehidupan sehari-
hari, termasuk di kalangan kaum awam sebagia penonton pertandingan olahraga
misalnya, istilah motivasi sudah menjadi bagian dari pembendaharaan kata sering
mereka pakai untuk megungkapkan gejala penampilan pemain yang mereka amati.
Ketika kita sedang mengamati seorang atlet yang sering mencuri kesempatan
untuk membolos dari latihan, kita akan bertanya: “apakah faktor yang mendorong
atlet tersebut untuk mengelak latihan berat?”. Sebaliknya, kita juga bisa bertanya,
mengapa seorang tokoh masyarakat sedemikan bersemangat menjadi pengurus PSSI?
Pertanyaann tersebut sudah termasuk dalam wilayah pengkajian konsep motivasi.
Motivasi dipahami sebagai suatu proses dimana kebutuhan tercipta pada diri
seseorang yang kemudian mendorong dia untuk mencapai suatu tujuan guna
memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut (Rusli Lutan, 1988: 356).
Istilah motivasi tidak dapat terpisahkan dari arousal. Dalam literatur kita
temukan pengertian arousal sebagai satu taraf kesiagaan yang dapat digambarkan
dalam sebuah garis kontinum. Ada tingkat yang paling rendah dan ada pula tingkat
yang paling tinggi, dan diantara kedua tingkat tersebut terdapat derajat arousal. Secara
operasional kita dapat memberikan contoh, ketika kedua tim sepakbola
memperebutkkan kejuaraan dunia maka dapat dikatakan pemain berada pada kondisi
amat siaga dan ditandai dengan ketegangan tinggi. Sebaliknya, ketika seseorang
mahasiswa lalu tertidur di kelas karena menganggap kuliah dosennya tidak menarik,
maka mahasiswa tersebut dapat dikatakan berada pada kondisi arousal yang rendah.
Kondisi arousal tersebut selalu disertai oleh perubahan fisiologis.
Apakah arousal sama dengan kecemasan? Istilah kecemasan (anxiety) telah
meluas pemakaiannya guna menggambarkan kondisi psikologis yang berpengaruh
terhadap kesiagaan seseorang untuk melakukan suatu tugas. Berkenaan dengan
pengertian operasional kecemasan, Spielberger (1967) membagi kecemasan menjadi
dua yaitu (1) state anxiety dan (2) trait anxient. State anxiety ialah kecemasan yang
terjadi secara temporer yang tercermin pada respons seseorang pada suatu situasi.
Sedangkan trait anxiety adalah orientasi individu terhadap stress tertentu. Kecemasan
tersebut dapat dikatakan sebagai bagian yang melekat dalam kepribadiannya, seperti
ungkapan “orang pencemas”, “orang penggugup” dan sebagainya.
2.4.4 Pengaruh Lingkungan Sosial Budaya terhadap Perkembangan Gerak
Perkembangan dan penguasaan ketrampilan gerak pada umumnya dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan sosial budaya. Karena itu, dalam gejala penampilan
ketrampilan motorik khususnya dalam olahraga kita soroti pula dari sudut sosio-
kultural.
2.4.4.1 Pentingnya Ketrampilan Gerak Usia Dini
Sudah banyak tulisan yang mengutarakan pentingnya ketrampilan gerak pada
usia dini. Hal itu, tidak saja dikaitkan dengan prospek perkembangan ketrampilan
pada tahap-tahap berikutnya, khususnya dalam suatu cabang olahraga. Akan tetapi,
dari segi perkembangan anak secara fisik dan mental, kesempatan yang cukup banyak
untuk bergerak mengandung makna penting. Piaget (1955) tentang hierarkhi tahap
perkembangan kognitif, menurut Piaget guna perkembangan kognitif maka perlu bagi
skemata untuk berkembang secara normal pada setiap tahap. Dan perkembangan yang
terjadi akan terpacu oleh kesempatan anak untuk secara aktif bergerak untuk
mengeksploitasi lingkungannya. Seperti pada tahap sensoris motorik yang
berlangsung sejak lahir hingga usia sekitar 18 bulan, hingga kemampuan berbahasa
mulai berkembang, tahap tersebut ditandai dengan eksplorasi objek konkret oleh
gerakan tubuh.
2.4.4.2 Cacat Ketrampilan Motorik
Sebuah definisi yang dapat ditengahkan ialah sebagai berikut:
“cacat ketrampilan gerak ialah ketidakmampuan fisik seseorang untuk memberikan
respons yang memadai terhadap lingkungannya” (Rusli Lutan, 1988: 369). Kondisi
akan tercermin dalam penampilan gerak itu sendiri, terutama nampak dalam tingkat
efisiensi gerak yang pada umumnya terganggu (Whiting, 1972). Penampilan gerak
yang dimaksud dapat dihubungkan dengan rujukan gerak normal dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam konteks olahraga, dapat dikatakan cacat ketrampilan tersebut
terwujud dalaam penampilan gerak di bawah kemampuan minimal.
Dalam pengertian yang lebih umum, Stott (1966) mengemukakan definisi
cacat ketrampilan gerak sebagai “ketidak berfungsian dalam kehidupan sehari-hari”.
Definisi tersebut begitu sukar untuk diterapkan karena indikatornya ialah berupa
kegagalan seseorang untuk melakukan penyesuaian secara fisik terhadap
lingkungannya, dimana dia harus menjalankan fungsi tertentu. Namun demikian,
konsep lingkungan yang tertera dlam pernyataan tersebut juga mengandung persoalan
khusus, karena setiap lingkungan memiliki “norma” tertentu sebagai rujukan apakah
seseorang normal atau subnormal. Kesulitan dalam menetapkan kriteria ketrampilan
gerak yang cacat juga ada hubungannya dengan kesulitan dalam melaksanakan
pengukuran.
2.4.4.3 Proses Sosialisasi
a. Agen Sosial
Anak belajar tentang perilaku dengan mengamati orang lain yang bisa
dijadikan model dan dengan cara menginternalisasi, menghayati dan mengendapkan
kesemua perilaku itu sehingga menjadi bagian dari perilakunya sendiri. Proses
semacam itu disebut dalam istilah social learning(Rusli Lutan, 1988: 373). Dalam
konteks olahraga, belajar dari model atau dari orang lain di lingkungan sekitar
merupakan gejala yang lumrah. Bahkan cukup kuat kebenarannya, proses belajar
olahraga (misalnya mulai menyenangi suatu cabang) terangsang oleh pengaruh
perilaku orang sekitar seperti kampiun yang dijadikan idola, anggota keluarga
(misalnya ayah atau ibu, saudara sekandung) atau teman sepermainan.
Konsep utama yang melandasi gejala tersebut dapat kita ungkapkan dalam
istilah Sosialisasi. Anak-anak dan orang dewasa disosialisasikan ke dalam gaya hidup
lingkungannya. Berbagai macam kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk
kebiasaan yang telah melekat, tradisi yang lama berakar, jenis-jenis permainan yang
masih hidup di masyarakat, alat-alat permainan yang masih terdapat (tradisional atau
elektronik), kesemuanya ikut mempengaruhi pembentukan pola perilaku seseorang.
Sosialisasi itu terwujud dalam beberapa bentuk, termasuk ketrampilan sosial, fisikal,
sifat, nilai, pengetahuan, sikap, norma-norma. Sosialisasi itu kritis, amat penting
pengaruhnya bagi perkembangan ketrampilan motorik, karena pengalaman gerak vital
bagi perkembangan ketrampilan motorik (Haywood, 1986). Anak-anak yang berada
di lingkungan yang rajin olahraga niscaya akan senang berolahraga. Sebaliknya ,
anak-anak yang tak memperoleh pengalaman dan kesempatan untuk melakukan
aktivitas jasmani atau pengalaman gerak cenderung tak berminat untuk menguasai
suatu ketrampilan olahraga. Karena keterbatasan kesempatan untuk berlatih, mereka
cenderung kehilangan minat dalam aktivitas jasmani (Greendorfer, 1983).
b. Situasi Sosial
Faktor lain yang dianggap berpengaruh terhadap partisipasi dalam olahraga
dan ketrampilan berolahraga ialah lingkungan fisikal di mana kegiatan bermain atau
berolahraga dilakukan. Kurangnya lapangan di sekita rumah, sempitnya tanah lapang
dan taman-taman tempat bermain karena sudah terisi oleh bangunan, atau jalan raya
yang tak mungkin dipakai oleh anak untuk bermain karena berbahaya lalulintas
menyebabkan kesempatan bagi anak-anak untuk bergerak semakin berkurang. Gejala
ini dapat diamati pada kota-kota besar. Jalan yang berfungsi sebagai tempat bermain
bagi anak-anak di pedesaan misalnya, sudah tidak mungkin lagi dipakai sebagai
tempat bermain. Demikian pula, struktur rumah bersusun membawa pengaruh pada
jenis permainan dan keleluasaan bergerak, suatu kondisi yang nampak berpengaruh
terhadap perubahan jenis permainan.
2.4.5 Teori Pengajaran Olahraga
Proses belajar dalam kegiatan olahraga tak dapat dipisahkan dengan proses
mengajar. Dalam pengertian yang lebih konkret, unsur pokok yang terdapat dalam
proses mengajar-belajar itu ialah (1) guru atau pelatih yang lebih berpengetahuan,
berpengalaman, dan terampil, (2) siswa atau atlet yang sedang berkembang, (3)
informasi atau ketrampilan, (4) saluran atau metode penyampaian informasi atau
ketrampilan, (5) respons atau perubahan perilaku pada siswa atau atlet. Kegiatan
mengajar atau melatih terdiri dari seperangkat usaha mengelola pengalaman belajar
dan perilaku para siswa dengan maksud agar para siswa aktif melaksanakan tugas-
tugas latihan. Karena mereka aktif, lalu ada perubahan. Dalam kegiatan olahraga,
keaktifan para pelakunya akan nampak jelas teramati, misalnya dari sudut jumlah
waktu, frekuensi, bahkan intensitas kerjanya sendiri.
Pemilihan metode pengajaran teknik olahraga sama sekali tak terpisahkan dari
tujuan dan pengalaman belajar atau tugas-tugas gerak yang akan dipelajari. Faktor
internal juga penting peranannya dalam penentuan metode yang akan diterapkan.
Neuner (1975) menganalisis pentingnya faktor kepribadian dalam menetapkan
metode. Maksudnya ialah, bahwa penting dimasukkan hukum-hukum perkembangan
kepribadian, pembentukan sikap, tingkat pertumbuhan dan perkembangan atlet dan
kelompok belajar, termasuk beberapa aspek seperti tingkat prestasi, usia biologis dan
usia kalender, kesiapan (readiness) dan seterusnya. Kesimpulannya ialah terdapat
beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan suatu metode yang
efektif bagi pengajaran ketrampilan motorik. Guru atau pelatih harus memahami
tujuan dan merasa terpanggil untuk mencapai tujuan tersebut. Juga, isi pengalaman
belajar, karakteristik individu atau kelompok, merupakan faktor-faktor yang harus
diperhitungkan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Teori belajar merupakan
landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun terbentuknya kondisi untuk
belajar. Oleh karena itu dengan adanya teori-teori belajar maka akan memberikan
kemudahan bagi guru dalam menjalankan model-model pembelajaran yang akan
dilaksanakan dan akan membantu peserta didik dalam belajar.
3.2 Saran
Kami selaku penulis mengharapakan kritik dan saran apabila terdapat
kesalahan kata dalam penulisan ini. Kritik dan saran yang membangun akan
menjadikan kami lebih baik ke depannya dalam penulisan makalah. Harapan kami
dengan ditulisnya makalah ini bisa berguna bagi kita semua untuk menambah ilmu
pengetahuan terutama dibidang belajar motorik.
DAFTAR RUJUKAN

Gallahue, David L, Motor Develompent and Movement Experiences. New York: John
Wiley & son, inc. Tahun 1975.
Lutan, Rusli. 1988. BELAJAR KETRAMPILAN MOTORIK, PENGANTAR TEORI
DAN METODE.Jakarta: Depdikbud.
Rahantoknam, Edward. 1988. BELAJAR MOTORIK: TEORI DAN APLIKASINYA
DALAM PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA. Jakarta: Depdikbud.

Anda mungkin juga menyukai